Masa muda
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili[1]. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas[2], syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.[3]Pengajaran dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).Azyumardi Azra menyatakan[4] bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
- Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
- Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
- Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
- Mawa'iz al-Badî'. Berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
- Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
- Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
- Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.
Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.Referensi
- ^ Rinkes, D.A., Abdoerraoef van Singkel: Bijdrage tot de kennis van de mystiek op Sumatra en Java. Ph.D. diss., Leiden, 1909.
- ^ al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays. Penyunting oleh Shirley Gordon. Singapore : Malaysian Sociological Research Institute, 1963.
- ^ Adan, Hasanuddin Yusuf. Melacak Gelar Negeri Aceh, dalam website The Aceh Institute © Copyrights - 2007.
- ^ Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Penerbit Kencana, Jakarta. Cetakan I, 1998.
1. Riwayat Hidup Abdurrauf Singkel
Oleh: Ahmad Rivauzi, MA
Nama lengkap Abdurrauf Singkel adalah “Abd ar-Ra`uf bin al-Jāwiyy al-Fansūriyy as-Sinkīliyy,
selanjutnya disebut Abdurrauf Singkel. Ia adalah seorang Melayu dari pantai
barat laut Aceh, tepatnya di Fansur, (Singkel). Ayahnya adalah seorang Arab
yang bernama Syekh Ali. Hingga saat ini belum ada data pasti tanggal
kelahirannya, namun menurut hipotesis Rinkes, yang juga dirujuk oleh Oman
Fathurrahman, Abdurrauf dilahirkan diperkirakan sekitar tahun 1615.[1] Perhitungan ini didasarkan dengan cara
menghitung mundur dari saat kembalinya Abdurrauf dari tanah Arab yaitu tahun
1661.[2]
Menurutnya, usia wajar seseorang mulai berkelana adalah dalam usia 25-30 tahun.
Kalau perhitungan Ringkes itu dijadikan sebagai Referensi, maka Abdurrauf
diperkirakan berangkat ke tanah Arab untuk menuntut ilmu pada usia 27 tahun.
Dari data yang ada, Abdurrauf jelas tinggal di tanah Arab selama 19 tahun, [3]
maka umur Abdurrauf saat kembali dari tanah Arab adalah pada usia 46 tahun.
Dalam perkembangannya, menurur Azyumardi, perhitungan Rinkes ini dijadikan
pegangan oleh para ahli.[4]
Menurut Hasjmi, nenek moyang Abdurrauf berasal dari Persia yang
datang ke Samudra Pasai pada akhir abad ke 13. Mereka kemudian menetap di
Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di pantai barat
Sumatera. Ayahnya adalah kakak dari Hamzah Fansuri, seorang tokoh tasawuf yang
menyebarkan ajaran Wahdat al-Wujūd. Alasan Hasjmi ini didasari oleh
karena pada sebagian karya Abdurrauf disebutkan dengan kata-kata : “yang
berbangsa Hamzah Fansuri”. Azyumardi dan Oman meragukan keterangan Hasjmi ini,
karena sebagaimana dijelaskan oleh Voorhoeve, pernyataan “ kang abangsa Hamzah
Fansuri” tidak berarti menunjukkan
adanya pertalian darah dengan Hamzah Fansuri, baik pertalian keluarga maupun
pertalian guru-murid, melainkan karena Fansur merupakan sebuah kota dagang yang
sangat penting pada masa lalu, maka Fansur dipakai untuk penamaan seluruh
wilayah pantai barat Sumatera. Atas dasar ini Abdurrauf dapat disebut dengan
yang berbangsa Fansuri walaupun dia bukan berasal dari Barus. [5]
Pendidikannya
dimulai dari ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu agama, sejarah, bahasa Arab, mantiq,
filsafat, sastra Arab/Melayu, dan bahasa Persia. Pendidikannya kemudian
dilanjutkan ke Samudera Pasai dan belajar di Dayah Tinggi pada Syekh Syamsuddin
al-Sumatrani.[6]
Setelah itu melanjutkannya ke Arabia. Dalam sumber lainya juga disebutkan bahwa
Abdurrauf juga pernah belajar ilmu tasawuf kepada Nuruddin ar-Raniri,[7]
sebelum keberangkatannya ke Arabia. Dari perkiraan angka dengan memperhatikan
angka tahun di atas, dapat dipastikan bahwa Abdurrauf terlebih dahulu belajar
kepada Syamsuddin al-Sumatrani baru kemudian belajar dan melakukan bai’ah
tarekat Syathariyah kepada Nuruddin ar-Raniri, tepatnya setelah meninggalnya
Syamsuddin al-Sumatrani pada tahun 1630 M.
Abdurrauf
berangkat ke tanah Arab pada tahun 1642 dalam usia 27 tahun. Menurut Azra,
Abdurrauf meninggalkan catatan biografis mengenai studinya di Arabia ini. Hal
ini didasari dari salah satu karyanya, ‘Umdat al-Muhtājīn ilā Sulūk Maslak
al-Mufridīn’. Dalam karyanya ini, Abdurrauf menuliskan 19 orang guru yang
dari mereka dia mempelajari berbagai cabang disiplin Islam, dan 27 ulama
lainnya yang dengan mereka dia memilki kontak dan hubungan pribadi. Abdurrauf
belajar di sejumlah tempat, yang tersebar sepanjang rute perjalanan haji, dari
Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Makkah dan
Madinah. Di Dhuha dia belajar kepada Abd al-Qadir al-Mawrir. Dari sini dia
melanjutkan pelajarannya di Yaman, terutama di Bayt al-Faqih (ibn ‘Ujayl) dan
Zabid, meskiupun dia juga memiliki beberapa orang guru di Mawza’, Mukha,
al-Luhayyah, Hudaydah, dan Ta’izz.[8]
Di
Bayt al-Faqih, sebagai daerah pusat pengajaran Islam di wilayah Yaman ini, dia
belajar terutama kepada para ulama dari keluarga Ja’man, seperti Ibrahim bin
Muhammad bin Ja’man, Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man[9],
dan Qadhi Ishaq bin Muhammad bin Ja’man[10]. Di samping itu, dia juga menjalin hubungan
dengan Faqih al-Thayyib bin Abi al-Qasim bin Ja’man, mufti Bayt al-Faqih dan
seorang Qadhi lain, Muhammad bin Ja’man. Keluarga Ja’man adalah sebuah keluarga
sufi-ulama terkemuka di Yaman atau, sebagaimana dikemukakan al-Muhibbi, yang
pada mulanya tinggal di Zabid sebelum akhirnya pindah ke Bayt al-Faqih.
Sebagian ulama Ja’man adalah murid-murid Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani.
Jaringan
guru-guru Abdurrauf menjadi lebih kompleks ketika dia melanjutkan pelajarannya
di Zabid. Di antara guru-gurunya adalah ‘Abd al-Rahim bin al-Shiddiq al-Khash,
Amin bin Shiddiq al-Mizjaji, yang juga guru dari Ahmad al-Qusyasyi, Abd Allah
bin Muhammad al-‘Adani (seorang yang disebut Qari), Abd al-Fath al-Khash,
Sayyid al-Thahir bin al-Husayn al-Ahdal, Muhammad al-Baqi al-Mizjaji (seorang
syekh Naqsyabandiyah termasyhur w. 1074/1664), Qadhi Muhammad bin Abi Bakar bin
Muthayr (w. 1075/1664), Ahmad Abu al-Abbas bin Muthayr (w. 1075/1644) . Dalam
rute perjalanan berikutnya, Abdurrauf belajar di Jeddah bersama ‘Abd al-Qadir
al-Barkhali. Kemudian dia melanjutkannya ke Makkah, belajar kepada Badr al-Din
al-Lahuri, Abd Allah al-Lahuri, dan ‘Ali bin Abd al-Qadir al-Thabari.
Selanjutnya Abdurrauf juga melakukan kontak dengan ulama lainnya di Makkah yang
tentunya juga ikut membentuk cakrawala sosio-intelektualnya. Mereka itu adalah,
‘Isa al-Magribi, ‘Abd al-‘Aziz al-Zamzami, Taj al-Din Ibn Ya’qub, ‘Ala’ al-Din
al-Babili, Zayn al-‘Abidin al-Thabari, ‘Ali Jamal al-Makki dan ‘Abd Allah bin
Sa’id Ba Qasyir al-Makki (1003-1076/1595-1665). [11]
Selama
19 tahun belajar di Arab, tahap terakhir dari perjalanan panjangnya ia belajar
agama terutama tasawuf kepada dua orang tokoh sufi besar di Madinah yang
memegang posisi penting dalam jaringan ulama di dunia Islam. Dua ulama besar
tersebut adalah Syaikh Shafiuddin Ahmad al-Dajjani al-Qusyasyi ( +
1583-1660 M), seorang ulama besar Makkah dan satu orang lagi setelah meninggal
al-Qusyasyi ia belajar selama satu tahun kepada murid al-Qusyasyi yaitu Syaikh
Ibrahim al-Kurani (1616-1689 M) seorang ulama besar asal Madinah.[12]
Menurut Abdullah, dari guru-gurunya ini dia menerima ijazah dalam perjalanan
keshufian dan telah di izinkan memakai khirqah sebagai tanda dia telah
dilantik menjadi mursyid dalam orde tarekat Syathariyah. Ini berarti ia
telah boleh membaiat orang dan telah memiliki silsilah yang bersambung
dari gurunya sampai kepada Nabi Nuhammad, Saw.[13]
Selain dari tarekat Syathariyah, Abdurrauf juga belajar tarekat Qadiriyah dari
al-Qusyasyi dan juga menurut Abdullah, Abdurrauf juga berafiliasi dengan
tarekat Kubrawiyah, Suhrawardiyah, Naqsyabandiah dll.[14]
Dapat
disimpulkan, karena selain dari dua ulama besar di atas, Abdurrauf yang juga
belajar kepada ulama-ulama lain seperti ilmu di bidang fiqih, tafsir, hadits
dan ilmu-ilmu agama lainnya yang mendiami daerah daerah seperti Jeddah, Makkah,
Madinah, Mokha, dan lainnya,[15] dapat diyakini bahwa Abdurrauf adalah seorang
yang mumpuni dalam ilmu agama dan tasawuf sekaligus.
Abdurrauf
kembali ke Aceh pada tahun 1661 M., yaitu satu tahun setelah al-Qusyasyi
meninggal.[16]
Pandangan-pangannya segera mendapat tempat dan merebut hati Sultan
Safiyyatuddin, yang sedang memerintah Aceh, dan mengangkatnya sebagai Qadi
Malik al-‘Adil, atau mufti yang
bertanggung jawab atas administrasi masalah keagamaan.[17]
Abdurrauf wafat pada tahun 1693 dan dimakamkan di samping makam
Teungku Anjong yang dianggap paling keramat di Aceh, dekat Kuala Sungai Aceh.
Inilah sebabnya Abdurrauf dikenal juga dengan sebutan Teungku di Kuala.[18]
Untuk mengabadikan kemuliyaan Abdurrauf, sebuah perguruan tinggi di Aceh diberi
nama Universitas Syiah Kuala. [19]
Kalau dipakai perhitungan Rinkes, maka dapat disimpulkan bahwa Abdurrauf
meninggal dalam usia 78 tahun.
[1] Oman Fathurrahman, Tanbīh al-Māsyī; Menyoal Wahdatul Wujud,
Kasus Abdurrahman Singkel di Aceh Abad 17,Jakaerta: Mizan,
[2] Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Singapura:
Pustaka Nasional PTE LTD, Data ini juga dapat ditemui dalam, A.H. Johns, The
Gift Addressed to The Spiritof The Prophet, (Canberra: Published by
Australian National University,
[3] Ibid
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung:
Penerbit Mizan,
[5] Ibid, h. 26
[6] Syamsuddin al-Sumatrani wafat 1630 M. adalah
murid dari Hamzah Fansuri yang mengajarkan paham wujūdiyah. Ia
mendapatkan posisi penting di masa Sultan Iskandar Muda. Lihat, M. Sholihin, Melacak
Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
[7] Nuruddin ar-Raniri memiliki nama lengkap Nur ad-Din Muhammad Ibn
‘Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad ar-Raniri. Silsilah keturunannya berasal dari
India, keturunan Arab. Dipanggil ar-Raniri karena beliau dilahirkan di daerah
Ranir ( Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun yang belum
diketahui dan meninggal dunia pada 22 Dzulhijjah 1096 H/ 21 September 1658 M di
India. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa tahun meninggalnya Nuruddin
ar-Raniri adalah pada tahun 1666 Untuk pertama kalinya Nuruddin tinggal di Aceh
pada Masa Sultan Iskandar Muda, kemudia ia meninggalkan Aceh karena tidak
mendapatkan perhatian dari Sultan yang sedang berkuasa. Pada zaman Sultan
Iskandar Sani, ia kembali ke Aceh untuk kedua kalinya dan baru mendapatkan
perhatian dari Sultan. Dalam masa kembali yang ke dua ini ia tinggal di Aceh
dari tahun 1637 sampai 1644 M. Ia akhirnya menjadi pelopor utama gerakan anti
terhadap paham Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Lihat Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan
Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: al-Ikhlash, Dalam riwayat lain juga
disebutkan bahwa tahun meninggalnya Nuruddin ar-Raniri adalah pada tahun 1666.
Lihat Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
[8] Azra,Ibid.,
[9] Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man (w. 1083/1672) adalah guru
Abdurrauf dari keluarga Ja’man yang terpenting. Ulama yang satu ini dikenal
sebagai seorang muhaddits dan Faqih. Dia adalah seorang pemberi fatwa
yang produktif dan, karenanya, merupakan salah seorang ulama yang paling sering
dicari untuk dijadikan tempat konsultasi. Menurut keterangan dari Abdurrauf
sendiri, dia banyak menghabiskan waktunya dengan Ibrahim bin Abdullah bin
Ja’man untuk belajar dengan yang
dinamakan dengan ilmu al-Zhahir (pengetahuan eksoteris), seperti fiqih,
hadits, dan lainnya. Berkatnyalah Abdurrauf beroleh berkat untuk berkhidmat
kepada Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Lihat Azra, dan Abdurrauf dalam Umdat
al-Muhtājīn ilā Sulūk Maslak al-Mufridīn.
[10] Ishaq bin Ja’man (w.
1014-1096/1605-1685) adalah ulama utama lainnya dari keluarga Ja’man tempat
Abdurrauf belajar. Dia dilahirkan di Zabid, mendapatkan pendidikan awalnya di
Yaman, antara lain, dari pamannya, Ibn al-Thayyib bin Ja’man. Kemudian dia
belajar di Haramayn bersama Ibrahin al-Kurani, ‘Isa al-Magribi, dan Ibn ‘Abd
al-Rasul al-Barzanji. Setelah kembali ke Bayt al-Faqih, dia memperoleh
kemasyhuran sebagai faqih dan muhaddits terkemuka di wilayah itu. Dia
meninggal di Zabid. Lihat Azra,
[11] Azra, Ibid.,
[13] Hawas Abdullah,
[14] Ibid.,
[15] Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jilid
II, diterjemahkan dari De Atjehers oleh Sutan Maimoen, Jakarta: INIS,
[16] Lihat, D.A. Rinkes, Abdoeraoef van Singkel’ Bijdrage tot de
kennis van de mystiek op Sumatra en Java, ( Heerenven: Hepkema, 1909), h.25, Hurgronje Jilid II, , dan P. Voorhoeve , Bajan
Tadjalli: gegevens voor een nadere studie over Abdurrauf van Singkel, TBG
85; terj: Aboe Bakar
[17] Oman Fathurrahman,
[18] Snouck Hurgronje,
[19] Oman Fathurrahman,
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar