Sabtu, 21 Desember 2013

Filled Under:

Yustinianus I (2-Habis)

Keagamaan

Yustinianus melihat Ortodoks di negerinya diancam oleh arus keagamaan yang menyimpang, terutama monofisitisme, yang memiliki banyak penganut di Suriah dan Mesir. Doktrin monofisit telah dikutuk sebagai bidaah oleh Konsili Khalsedon pada tahun 451, dan kebijakan toleran Kaisar Zeno dan Anastasius I terhadap monofisitisme telah menjadi penyebab ketegangan dalam hubungan dengan uskup-uskup Roma. Yustinianus menyetujui doktrin Khalsedon dan secara terbuka mengutuk monofisitisme. Ia mencoba menerapkan kesatuan religius dengan memaksa mereka menerima kompromi-kompromi doktrinal yang akan memuaskan semua pihak. Kebijakan itu tidak berhasil karena tidak dapat memuaskan kedua belah pihak. Sebelum mangkat, Yustinianus menjadi lebih condong terhadap doktrin monofisit, terutama dalam bentuk aphthartodocetism, tetapi ia telah wafat sebelum sempat mengeluarkan undang-undang yang mengangkat ajarannya menjadi dogma. Theodora bersimpati dengan monofisit dan dikatakan menjadi penyebab intrik pro-monofisit di istana.

Kebijakan religius


Yustinianus I dalam sebuah koin.

Pada awal kekuasaannya, ia menganggap sudah saatnya untuk menyebarluaskan kepercayaan gereja mengenai Trinitas dan Inkarnasi melalui hukum. Ia juga merasa perlu untuk mengancam semua bidaah dengan hukuman yang layak;[44] kemudian Yustinianus I menyatakan bahwa ia ingin menghilangkan semua pengganggu Ortodoks dengan segala kemungkinannya melalui pendekatan hukum.[45] Ia menjadikan kepercayaan Nicea-Konstantinopel sebagai lambang tunggal gereja,[46] dan memberikan kekuatan hukum untuk kanon empat dewan ekumenisme.[47] Uskup-uskup yang hadir dalam Konsili Konstantinopel Kedua tahun 553 mengakui tidak dapat melakukan apa yang berlawanan dengan keinginan dan komando kaisar dalam gereja;[48] sementara, kaisar, dalam kasus Patriark Anthimus, memperkuat larangan gereja melalui pengasingan sementara.[49] Yustinianus melindungi kemurnian gereja dengan menekan bidaah. Ia mengambil semua kesempatan untuk mengamankan hak-hak gereja dan rohaniwan, dengan tujuan melindungi dan memperluas monastisisme. Yustinianus memberikan pendeta hak untuk mewarisi properti dari penduduk dan hak untuk menerima solemnia atau hadiah tahunan dari kas kekaisaran atau pajak provinsi-provinsi tertentu. Ia juga melarang penyitaan terhadap properti-properti biara.

Meskipun sifatnya yang despotik tidak sesuai dengan sensibilitas modern, ia sungguh merupakan "bapak perawat" gereja. Codex dan Novellae berisi banyak undang-undang mengenai sumbangan, pendirian, dan pengaturan properti gerejawi; pemilihan dan hak-hak uskup, imam, dan kepala biara; kehidupan biara, kewajiban penduduk kepada klerus, pelayanan ilahi, yurisdiksi episkopal, dll. Yustinianus juga membangun kembali gereja Hagia Sophia (yang menghabiskan biaya sebesar 20.000 pon emas),[50] yang sebelumnya hancur akibat kerusuhan Nika.

Hubungan religius dengan Roma

Semenjak pertengahan abad ke-5, kaisar Romawi Timur harus menghadapi tugas berat dalam masalah gerejawi. Kaum radikal di tiap sisi merasa diri mereka senantiasa didiskreditkan oleh kepercayaan yang diterapkan oleh Konsili Khalsedon untuk melindungi doktrin Kristus di kitab suci dan menjembatani pemisah antara kelompok-kelompok dogmatik. Surat Paus Leo I kepada Flavianus dari Konstantinopel dianggap sebagai hasil karya setan di Romawi Timur, sehingga tak ada seorang pun yang peduli untuk mendengarkan Gereja Roma. Akan tetapi, kaisar memiliki kebijakan yang menjaga kesatuan antara Konstantinopel dengan Roma; dan ini tetap mungkin hanya jika mereka tidak menyimpang dari garis yang didefinisikan dalam Konsili Khalsedon. Selain itu, faksi-faksi di Romawi Timur yang gempar dan tidak puas terhadap Konsili Khalsedon memerlukan pembatasan dan penyatuan. Masalah ini terbukti lebih sulit, karena, di Timur, kelompok-kelompok yang berbeda pendapat melebihi pendukung Khalsedon, baik dalam jumlah maupun kemampuan intelektual. Ketegangan dari ketidakcocokan keduanya tumbuh: siapapun yang memilih Roma dan Barat harus meninggalkan Timur, dan sebaliknya.

Setelah memasuki panggung tata negara gerejawi, Yustinianus mengakhiri skisma monofisit. Pengakuan Tahta Suci sebagai kewenangan gerejawi tertinggi[51] tetap menjadi landasan bagi kebijakan Barat-nya. Meskipun dianggap menghina oleh orang-orang Romawi Timur, Yustinianus merasa dirinya bebas untuk mengambil posisi despotik terhadap paus seperti Silverius dan Vigilius. Sementara tidak ada kompromi yang dapat diterima oleh sayap dogmatik gereja, usahanya dalam melakukan rekonsiliasi membuatnya diterima oleh tubuh utama gereja. Selanjutnya, Yustinianus mulai sadar bahwa mungkin ia juga dapat melakukan rekonsiliasi terhadap monofisit, dan ia mencobanya dalam konferensi religius dengan pengikut-pengikut Severus dari Antiokhia tahun 533, akan tetapi tidak berhasil.

Sekali lagi, Yustinianus berkompromi dalam dekret religius pada 15 Maret 533,[52] dan menyelamati dirinya karena Paus Yohanes II mengakui Ortodoks sebagai syahadat kekaisaran.[53] Kesalahan besar yang dibuat, yaitu dengan menekan uskup dan pendeta monofisit yang menyakiti hati penduduk dari berbagai provinsi, segera ia perbaiki. Tujuannya sekarang adalah tetap menang atas monofisit, tetapi tidak melepaskan kepercayaan Khalsedon. Bagi banyak orang di istana, ia tidak berbuat cukup jauh: Theodora akan sangat senang melihat monofisit didukung. Yustinianus merasa terkekang oleh kerumitan yang terjadi dengan Barat. Dalam pengutukan Tiga Bab, Yustinianus mencoba memuaskan Barat dan Timur, tetapi tidak berhasil. Meskipun paus menyetujui pengutukan, Barat meyakini bahwa kaisar bertindak berlawanan dengan dekret Khalsedon. Meskipun banyak delegasi yang muncul di Timur tunduk kepada Yustinianus, banyak orang, terutama monofisit, yang tetap tidak puas.

Penekanan agama

Kebijakan religius Yustinianus melambangkan keyakinan kekaisaran bahwa kesatuan Bizantium memerlukan kesatuan keyakinan; dan keyakinan ini tiada lain selain Ortodoks (Nicea). Orang lain yang berbeda pandangan harus mengakui bahwa proses konsolidasi, yang telah dipengaruhi oleh undang-undang kekaisaran sejak masa Kaisar Konstantius II, akan terus berlanjut. Codex berisi dua undang-undang[54] yang memutuskan penghancuran paganisme, bahkan dalam kehidupan pribadi. Sumber-sumber kontemporer (John Malalas, Theophanes, Yohanes dari Efesus) mengisahkan penganiayaan kejam, bahkan terhadap orang berpangkat tinggi.

Pada tahun 529, Akademi Neoplato di Athena ditempatkan di bawah pengawasan negara oleh Yustinianus. Pengawasan tersebut mencekik sekolah pelatihan Helenistik ini. Paganisme terus menerus ditekan. Di Asia Kecil, Yohanes dari Efesus mengklaim telah mengkristenkan 70.000 pagan.[55] Bangsa-bangsa lain juga menerima Kekristenan: Heruli,[56] Hun yang tinggal di dekat sungai Don,[57] Abasgi,[58] dan Tzanni di Kaukasus.[59]

Penyembahan Amun di Augila, Libya, dihentikan.[60] Sisa-sisa pemuja Isis di pulau Philae juga bernasib sama.[61] Presbyter Julian[62] dan Uskup Longinus[63] mengadakan misi kristenisasi terhadap suku Nabath, sementara Yustinianus mencoba memperkuat Kekristenan di Yemen dengan mengirim uskup dari Mesir.[64]
Orang Yahudi juga menderita: tidak hanya karena pemerintah membatasi hak mereka[65] dan mengancam hak-hak religius mereka,[66] tetapi juga karena kaisar ikut campur dalam masalah internal sinagoga.[67] Yustinianus tidak aktif menjalankan penganiayaan terhadap orang Yahudi, tetapi mendorong mereka menggunakan septuaginta Yunani dalam sinagoga-sinagoga di Konstantinopel.[68]

Kaisar memiliki banyak masalah dengan orang-orang Samaria yang menentang untuk menjadi Kristen. Ia melawan mereka dengan dekret-dekret keras, tetapi tidak dapat menghentikan permusuhan Samaria terhadap orang Kristen. Kekonsistenan kebijakan Yustinianus berarti bahwa penganut maniisme juga mengalami penekanan, baik melalui penganiayaan, pembuangan, maupun ancaman hukuman mati.[69] Di Konstantinopel, pada suatu peristiwa, setelah melalui inkuisisi ketat, penganut-penganut maniisme yang tidak sedikit jumlahnya dihukum mati di hadapan kaisar: beberapa dengan cara dibakar, sementara lainnya ditenggelamkan.[70]

Pembangunan, seni, sastra

Mosaik istana Kaisar Yustinianus di Basilika San Vitale.

Yustinianus adalah pembangun yang produktif. Di bawah perlindungannya, pembangunan Basilika San Vitale di Ravenna, (yang menampilkan dua mosaik terkenal yang melambangkan Yustinianus dan Theodora), diselesaikan.[8] Ia juga membangun kembali Hagia Sophia, yang sebelumnya hangus terbakar dalam kerusuhan Nika. Katedral ini, dengan kubahnya yang penuh dengan mosaik-mosaik, tetap menjadi pusat Kekristenan timur selama berabad-abad. Gereja penting lain di ibukota, Gereja Rasul Suci, yang berada pada kondisi buruk pada akhir abad ke-5, dibangun kembali olehnya.[71] Penghiasan tidak hanya dilakukan pada gereja. Penggalian di situs Istana Agung Konstantinopel telah menemukan mosaik-mosaik berkualitas tinggi dari masa Yustinianus. Tiang dengan patung perunggu Yustinianus yang sedang berkuda di atasnya didirikan di Augustaeum, Konstantinopel, tahun 543.[72]

Sang kaisar memperkuat perbatasan kekaisaran dengan membangun benteng-benteng. Ia juga menjamin persediaan air Konstantinopel melalui pembangunan sumur. Untuk mencegah banjir yang merusak kota perbatasan Dara, Bendungan Dara dibangun. Pada masanya pula, Jembatan Sangarius dibangun di Bithynia. Jembatan ini menjadi penghubung rute persediaan militer ke timur. Selain itu, Yustinianus juga merestorasi kota yang rusak akibat gempa bumi atau perang, dan membangun kota baru di dekat tempat kelahirannya, yaitu Justiniana Prima, yang awalnya didirikan untuk menggantikan Thessalonika sebagai pusat politik dan religius Illyricum.

Pada masa kekuasaannya, lahir sejarawan-sejarawan besar, seperti Procopius dan Agathias, dan penyair-penyair seperti Paulus Silentiarius dan Romanus Melodus.

Ekonomi dan pemerintahan

Kesehatan ekonomi kekaisaran bergantung pada sektor pertanian. Perdagangan jarak jauh juga berkembang, dan telah mencapai Cornwall, tempat timah ditukar dengan gandum Romawi.[73] Konvoy yang berlayar dari Iskandariyah membawa gandum ke Konstantinopel. Yustinianus membuat lalu lintas perdagangan lebih efesien dengan membangun lumbung besar di pulau Tenedos.[74] Sang kaisar juga mencoba menemukan jalur perdagangan ke timur yang baru, yang mengalami hambatan akibat peperangan melawan Sassaniyah. Komoditas mewah yang penting adalah sutra, yang diimpor dan diproses di kekaisaran. Untuk melindungi pembuatan produk sutra, Yustinianus memberikan hak monopoli bagi pabrik-pabrik kekaisaran tahun 541.[75] Untuk menghindari jalur darat Sassaniyah, sang kaisar membuka hubungan baik dengan Abyssinia, yang ingin dijadikan sebagai perantara dagang dengan mengangkut sutra India ke kekaisaran; namun, Abyssinia tidak mampu bersaing dengan pedagang Persia di India.[76] Selanjutnya, pada awal tahun 550-an, dua pendeta berhasil menyelundupkan telur-telur ulat sutra dari Asia Tengah ke Konstantinopel,[77] dan sutra menjadi produk asli kekaisaran.

Emas dan perak ditambang di Balkan, Anatolia, Armenia, Siprus, Mesir, dan Nubia.[78]

Mosaik kehidupan sehari-hari di Istana Agung Konstantinopel.

Pada awal masa kekuasaan Yustinianus I, ia telah mewarisi surplus sebesar 28.800.000 solidi (400.000 pon emas) pada kas kekaisaran.[31] Di bawah kekuasaannya, dilakukan langkah-langkah untuk melawan korupsi dan mempermudah pemungutan pajak. Kekuasaan administratif yang lebih besar diserahkan kepada pemimpin prefektur dan provinsi, sementara kuasa vicarius keuskupan ditarik, bahkan beberapa dibubarkan. Semuanya bertujuan untuk menyederhanakan pemerintahan.[79] Menurut Brown (1971), peningkatan mutu pemungutan pajak telah banyak memengaruhi penghancuran struktur-struktur lama kehidupan provinsial, karena telah melemahkan otonomi dewan kota di kota-kota Yunani.[80] Diperkirakan bahwa sebelum proses penaklukan kembali Yustinianus, Bizantium memperoleh keuntungan tahunan sebesar 5.000.000 solidi tahun 530, tetapi setelah penaklukan kembali, keuntungan tahunan meningkat menjadi 6.000.000 solidi pada tahun 550.[31]

Selama masa kekuasaan Yustinianus, kota dan desa di Timur menjadi sejahtera, meskipun Antiokhia diguncang oleh dua gempa bumi (526, 528) dan dijarah oleh Persia (540). Yustinianus membangun kembali kota tersebut, tetapi dalam ukuran yang lebih kecil.[81]

Akan tetapi, kekaisaran mengalami beberapa rintangan pada abad ke-6. Rintangan pertama adalah wabah pes yang berlangsung dari tahun 541 hingga 543. Wabah ini mengurangi jumlah penduduk kekaisaran, dan menimbulkan kekurangan tenaga kerja serta peningkatan gaji.[82] Kurangnya sumber daya manusia juga mengakibatkan peningkatan jumlah "orang barbar" dalam angkatan bersenjata kekaisaran pada awal tahun 540-an.[83] Perang yang berlarut di Italia dan peperangan melawan Sassaniyah memberikan beban berat bagi sumber daya kekaisaran, dan Yustinianus dikritik karena membatasi jasa pos yang dikelola pemerintah, yang ia batasi hanya pada satu rute militer ke timur.[84]

Rujukan

  1. ^ J.F. Haldon, Byzantium in the seventh century (Cambridge, 2003), 17–19. Karena usaha restorasinya, Yustinianus kadang-kadang disebut sebagai "Romawi Terakhir" dalam historiografi modern, misalnya oleh G.P. Baker (Justinian, New York 1938), atau pada serial Outline of Great Books (Justinian the Great).
  2. ^ Dalam Gereja Ortodoks Timur, Yustinianus diperingati pada tanggal 14 November menurut kalender Julian, yang sama dengan 27 November dalam kalender Gregorian. Ia diperingati pada tanggal 14 November di kalender santo-santo Gereja Lutheran - Missouri Synod dan Gereja Lutheran - Kanada
  3. ^ The Inheritance of Rome, Chris Wickham, Penguin Books Ltd. 2009, ISBN 978-0-670-02098-0 (halaman 90)
  4. ^ M. Meier, Justinian, 29: "481 or 482"; Moorhead (1994), hal. 17: "sekitar 482"; Maas (2005), hal. 5: "sekitar 483".
  5. ^ Moorhead (1994), hal. 18.
  6. ^ The Cambridge Companion to the Age of Justinian by Michael Maas
  7. ^ Justinian and Theodora Robert Browning, Gorgias Press LLC, 2003, ISBN 1-59333-053-7,hal. 23.
  8. ^ a b c d e f g h Robert Browning. "Justinian I" in Dictionary of the Middle Ages, volume VII (1986).
  9. ^ Cambridge Ancient History hal. 65
  10. ^ A.D. Lee, "The Empire at War", in: Michael Maas (ed.), The Cambridge Companion to the Age of Justinian (Cambridge 2005), hal. 113–133 (hal. 113–114).
  11. ^ Lihat Procopius, Secret history, bag. 13.
  12. ^ M. Meier, Justinian, hal. 57.
  13. ^ Robert Browning, Justinian and Theodora (1987), 129; James Allan Evans, The Empress Theodora: Partner of Justinian (2002), 104
  14. ^ Migne, Patrologia Graeca, Vol. 86.
  15. ^ http://www.constitution.org/sps/sps.htm
  16. ^ Kunkel, W. (translated by J.M. Kelly) An introduction to Roman legal and constitutional history. Oxford, Clarendon Press, 1966; 168
  17. ^ Russia and the Roman law
  18. ^ Diehl, Charles. Theodora, Empress of Byzantium (© 1972 by Frederick Ungar Publishing, Inc., transl. by S.R. Rosenbaum from the original French Theodora, Imperatice de Byzance), hal.87.
  19. ^ J. Norwich, Byzantium: The Early Centuries, 200
  20. ^ Diehl, Charles. Theodora, Empress of Byzantium 1972 oleh Frederick Ungar Publishing, Inc., terjemahan oleh S.R. Rosenbaum dari bahasa Perancis Theodora, Imperatice de Byzance), 89.
  21. ^ Vasiliev (1958), hal. 157.
  22. ^ Moorhead (1994), hal. 22–24, 63–98, dan 101–9.
  23. ^ Lihat A.D. Lee, "The Empire at War", in: Michael Maas (ed.), The Cambridge Companion to the Age of Justinian (Cambridge 2005), hal. 113–33 (hal. 113–14). Untuk sudut pandang Yustinianus sendiri, lihat Codex Yustinianus 1.27.1 dan Novellae 8.10.2 dan 30.11.2.
  24. ^ Yustinianus hanya turun ke lapangan sekali, selama peperangan melawan bangsa Hun tahun 559, ketika ia sudah tua. Kedatangannya hanyalah sebagai simbol, dan meskipun tidak bertempur, kaisar mengadakan arak kemenangan di ibukota sesudahnya. (Lihat Browning, R. Justinian and Theodora. London 1971, 193.)
  25. ^ Lihat Geoffrey Greatrex, "Byzantium and the East in the Sixth Century" in: Michael Maas (ed.). Age of Justinian (2005), hal. 477–509.
  26. ^ J. Norwich, Byzantium: The Early Centuries, 195.
  27. ^ Bury (1923), Vol. II hal.126
  28. ^ Moorhead (1994), hal. 68.
  29. ^ Moorhead (1994), hal. 70.
  30. ^ Procopius, "II.XXVIII", De Bello Vandalico
  31. ^ a b c d e Early Medieval and Byzantine Civilization: Constantine to Crusades, Tulane
  32. ^ J. Norwich, Byzantium: The Early Centuries, 215
  33. ^ Moorhead (1994), hal. 84–86.
  34. ^ Lihat Moorhead (1994), hal. 89 ff., Greatrex (2005), hal. 488 ff., dan H. Boerm, "Der Perserkoenig im Imperium Romanum", dalam: Chiron 36, 2006, hal. 299ff.
  35. ^ a b J. Norwich, Byzantium: The Early Centuries, 229
  36. ^ Moorhead (1994), hal. 97–98.
  37. ^ J. Norwich, Byzantium: The Early Centuries, 235
  38. ^ Moorhead ((1994), hal. 164) memperkirakan lebih rendah, Greatrex ((2005), hal. 489) memperkirakan lebih tinggi.
  39. ^ J. Norwich, Byzantium: The Early Centuries, 251
  40. ^ Lihat Lee (2005), hal. 125 ff.
  41. ^ W. Pohl, "Justinian and the Barbarian Kingdoms", pada: Maas (2005), hal. 448–476; 472
  42. ^ Haldon (2003), hal. 17–19.
  43. ^ Pohl, ibidem.
  44. ^ Cod., I., i. 5.
  45. ^ MPG, lxxxvi. 1, hal. 993.
  46. ^ Cod., I., i. 7.
  47. ^ Novellae, cxxxi.
  48. ^ Mansi, Concilia, viii. 970B.
  49. ^ Novellae, xlii.
  50. ^ P. Heather, The Fall of the Roman Empire: A New History of Rome and the Barbarians, 283
  51. ^ cf. Novellae, cxxxi.
  52. ^ Cod., L, i. 6.
  53. ^ Cod., I., i. 8.
  54. ^ Cod., I., xi. 9 dan 10.
  55. ^ F. Nau, in Revue de l'orient chretien, ii., 1897, 482.
  56. ^ Procopius, Bellum Gothicum, ii. 14; Evagrius, Hist. eccl., iv. 20
  57. ^ Procopius, iv. 4; Evagrius, iv. 23.
  58. ^ Procopius, iv. 3; Evagrius, iv. 22.
  59. ^ Procopius, Bellum Persicum, i. 15.
  60. ^ Procopius, De Aedificiis, vi. 2.
  61. ^ Procopius, Bellum Persicum, i. 19.
  62. ^ DCB, iii. 482
  63. ^ John of Ephesus, Hist. eccl., iv. 5 sqq.
  64. ^ Procopius, Bellum Persicum, i. 20; Malalas, ed. Niebuhr, Bonn, 1831, hal. 433 sqq.
  65. ^ Cod., I., v. 12
  66. ^ Procopius, Historia Arcana, 28;
  67. ^ Nov., cxlvi., 8 February, 553
  68. ^ Michael Maas (2005), The Cambridge companion to the Age of Justinian, Cambridge University Press, hlm. 16–, ISBN 9780521817462, diakses 18 August 2010
  69. ^ Cod., I., v. 12.
  70. ^ F. Nau, in Revue de l'orient, ii., 1897, p. 481.
  71. ^ Vasiliev (1952), hal. 189
  72. ^ Brian Croke, "Justinian's Constantinople", in: Michael Maas (ed.), The Cambridge Companion to the Age of Justinian (Cambridge 2005), hal. 60–86 (hal. 66)
  73. ^ John F. Haldon, "Economy and Administration", in: Michael Maas (ed.), The Cambridge Companion to the Age of Justinian (Cambridge 2005), hal. 28–59 (hal. 35)
  74. ^ John Moorhead, Justinian (London/New York 1994), hal. 57
  75. ^ Peter Brown, The World of Late Antiquity (London 1971), hal. 157–158
  76. ^ Vasiliev (1952), hal. 167
  77. ^ Lihat Moorhead (1994), hal. 167; Procopius, Wars, 8.17.1–8
  78. ^ Dan Oancea: Justinian's Gold Mines http://technology.infomine.com/articles/1/3707/justinian-gold.roman-mines.egypt-gold/justinian%E2%80%99s.gold.mines.aspx
  79. ^ Haldon (2005), hal. 50
  80. ^ Brown (1971), hal. 157
  81. ^ Kenneth G. Holum, "The Classical City in the Sixth Century", in: Michael Maas (ed.), Age of Justinian (2005), hal. 99–100
  82. ^ Moorhead (1994), hal. 100–101
  83. ^ John L. Teall, "The Barbarians in Justian's Armies", in: Speculum, vol. 40, No. 2, 1965, 294–322. Jumlah tentara Bizantium di bawah Yustinianus diperkirakan sebesar 150.000 orang (J. Norwich, Byzantium: The Early Centuries, 259).
  84. ^ Brown (1971), hal. 158; Moorhead (1994), hal. 101



Sumber









0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.