Sabtu, 21 Desember 2013

Filled Under:

Kekaisaran Romawi Timur (7)

Ekonomi

Ekonomi Romawi Timur merupakan salah satu yang paling maju di Eropa dan Mediterania selama berabad-abad. Eropa tak mampu menandingi kekuatan ekonomi Romawi Timur hingga akhir abad pertengahan. Konstantinopel merupakan pusat utama dalam jaringan perdagangan yang meliputi hampir seluruh Eurasia dan Afrika Utara. Kota tersebut juga menjadi salah satu kota utama dalam jalur sutra. Beberapa ahli menyatakan bahwa, hingga datangnya bangsa Arab pada abad ketujuh, ekonomi Romawi Timur merupakan yang terkuat di dunia. Penaklukan Arab menyebabkan terjadinya kemunduran dan stagnansi. Reformasi Konstantinus V (765) menandai mulainya pemulihan ekonomi yang berlangsung hingga tahun 1204. Dari abad kesepuluh hingga akhir abad keduabelas, Kekaisaran Romawi Timur memproyeksikan citra mewah, dan pengelana kagum dengan kekayaan di Konstantinopel. Semuanya berubah pada masa Perang Salib Keempat, yang membawa bencana ekonomi.[136] Palaiologos mencoba memulihkan ekonomi, tetapi negara Romawi Timur akhir tidak akan memperoleh kuasa penuh atas kekuatan ekonomi domestik dan asing. Pelan-pelan, Romawi Timur juga kehilangan pengaruhnya dalam modalitas perdagangan dan mekanisme harga, dan juga kuasa atas aliran logam-logam berharga, dan bahkan, menurut beberapa ahli, terhadap pencetakan koin-koin.[137]

Salah satu fondasi ekonomi kekaisaran adalah perdagangan. Tekstil merupakan komoditas ekspor yang paling penting.[138] Negara dengan ketat menguasai perdagangan internal dan internasional, serta memiliki hak monopoli dalam mengeluarkan koin. Pemerintah mengatur tingkat bunga, dan menetapkan parameter aktivitas serikat dan perusahaan dagang, yang dikenakan bunga khusus. Kaisar dan pejabat-pejabatnya melakukan campur tangan pada masa krisis untuk menjamin penyediaan modal dan menjaga harga serealia. Pemerintah mengumpulkan hasil surplus melalui pemungutan pajak, dan mengembalikannya dalam sirkulasi melalui redistribusi dalam bentuk gaji kepada pejabat-pejabat negara, atau dalam bentuk investasi fasilitas-fasilitas umum.[139]

Pemerintahan

Di Romawi Timur, kaisar adalah penguasa tunggal dan absolut. Kekuasaannya dianggap memiliki asal usul ilahi.[18] Senat tidak mempunyai kewenangan politik dan legislatif yang nyata, tetapi tetap sebagai dewan kehormatan. Pada akhir abad ke-8, pemerintahan sipil yang terpusat di istana dibentuk sebagai bagian dari konsolidasi kekuatan di ibukota (bangkitnya posisi sakellarios berhubungan dengan perubahan ini).[140] Reformasi paling penting pada periode ini adalah pendirian thema. Pada thema, pemerintahan sipil dan militer diatur oleh satu orang, yaitu strategos.[18]

Terlepas dari penggunaan istilah "Bizantium" dan "Bizantinisme" yang merendahkan, birokrasi Bizantium mampu merekonstruksi diri sejalan dengan situasi Kekaisaran.

Sistem tituler dan hak pendahuluan di kekaisaran mengakibatkan pemerintahan tampak seperti birokrasi bagi pengamat-pengamat modern. Pejabat-pejabat diatur dalam susunan yang ketat di antara kaisar, dan jabatan mereka bergantung pada kehendak kaisar. Di Romawi Timur terdapat pekerjaan administratif yang sebenarnya, tetapi pemerintahan dapat digantungkan pada orang-orang tertentu daripada suatu jawatan.[141] Pada abad ke-8 dan ke-9, kepegawaian negeri merupakan jalan tercepat menuju status aristokrat, tetapi sejak abad ke-9, aristokrasi sipil disaingi oleh aristokrasi kebangsawanan. Menurut beberapa penelitian, politik abad ke-11 didominasi oleh persaingan antara aristokrasi antara sipil dan militer. Pada masa tersebut, Alexios I melancarkan reformasi administratif penting yang meliputi pengadaan pangkat dan jabatan istana.[142]

Diplomasi

Duta besar Bizantium, Yohanes Ahli Tata Bahasa pada 829, antara kaisar Theophilos dan Khlifah Abbasiyah Al-Ma'mun.

Setelah jatuhnya Roma, tantangan utama Romawi Timur adalah membina hubungan dengan tetangga-tetangganya. Diplomasi Romawi Timur segera menarik perhatian tetangga-tetangganya. Maka terbukalah jaringan hubungan internasional dan antarnegara.[143] Jaringan ini berkisar pada pembuatan traktat, dan meliputi penyambutan penguasa baru, serta asimilasi tindakan, nilai, dan institusi sosial Romawi Timur.[144] Sementara penulis klasik menuliskan pemisahan etis dan legal antara perdamaian dan perang, Romawi Timur menganggap diplomasi sebagai salah satu bentuk perang.[145] Contohnya, ancaman Bulgaria dapat diatasi dengan memberikan dana kepada Rus Kiev.[145] Gereja Ortodoks juga memainkan fungsi diplomatik, dan penyebaran Kekristenan Ortodoks merupakan tujuan diplomatik utama kekaisaran.

Scrinium Barbarorum di Konstantinopel bertugas menangani protokol dan penyimpanan catatan mengenai apapun yang berhubungan dengan "barbar".[146] Sementara sedang melaksanakan tugas protokol, mereka memastikan duta-duta asing diperlakukan dengan baik, dan juga berperan dalam penerjemahan misi diplomatik dari negara-negara Barbar. J.B. Bury meyakini bahwa departemen tersebut mengawasi semua orang asing yang mengunjungi Konstantinopel.[147] Beberapa orang, seperti Michael Antonucci, meyakini bahwa Scrinium Barbarorum bertindak sebagai semacam jawatan mata-mata untuk kekaisaran, tetapi tak ada bukti yang kuat mengenai hal ini. On Strategy dari abad ke-6 menawarkan saran mengenai kedutaan asing: "[Duta-duta] yang dikirim harus diterima dengan hormat dan murah hati, karena siapapun menghormati para duta, namun kehadiran mereka perlu diawasi agar mereka tidak memperoleh informasi dengan menanyai orang-orang kita."[148]

Romawi Timur mengambil kesempatan baik dan memanfaatkan beberapa pendekatan diplomatik. Sebagai contoh, kedutaan ke ibukota seringkali tinggal selama bertahun-tahun. Salah satu anggota keluarga kerajaan dari negara lain seringkali diminta tinggal di Konstantinopel. Mereka tidak hanya berguna sebagai sandera, tetapi juga pion yang dapat dimanfaatkan jika kondisi politik negara tempat ia berasal berubah. Praktik penting lain pada diplomasi Romawi Timur adalah dengan banyak menunjukkan barang-barang mewah kepada pengunjung.[143] Menurut Dimitri Obolensky, keberlangsungan peradaban di Eropa Timur adalah karena keterampilan dan akal diplomasi Romawi Timur, yang tetap menjadi salah satu sumbangan Romawi Timur bagi sejarah Eropa.[149]

Ilmu pengetahuan dan hukum

Gambar muka Vienna Dioscurides, yang menggambarkan tujuh dokter terkenal.

Penulisan ala era klasik tidak pernah berhenti diberdayakan di Romawi Timur. Maka, ilmu pengetahuan Romawi Timur berhubungan dekat dengan filsafat kuno dan metafisika.[150] Meskipun Romawi Timur berhasil menerapkan ilmu pengetahuan (seperti dalam pembangunan Hagia Sophia), setelah abad ke-6, ahli-ahli Romawi Timur tidak banyak memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Teori-teori baru tidak banyak digagas, dan gagasan penulis-penulis klasik tak banyak dikembangkan.[151] Keahlian terhambat pada tahun-tahun kegelapan akibat wabah pes dan penaklukkan Arab, tetapi pada masa renaisans Romawi Timur di akhir milenium pertama, ahli-ahli Romawi Timur muncul kembali dan menjadi ahli dalam pengembangan ilmiah Arab dan Persia, terutama dalam bidang astronomi dan matematika.[152] Orang Bizantium juga berperan dalam beberapa penemuan penting, khususnya dalam arsitektur (misalnya kubah pendentif) dan teknolog perang (misalnya api Yunani).

Pada abad akhir kekaisaran, ahli tata bahasa Romawi Timur bertanggung jawab dalam membawa dan menulis tata bahasa dan studi sastra Yunani Kuno ke Italia Renaisans awal.[153] Pada periode ini, astronomi dan matematika diajarkan di Trebizond.[154]

Di bidang hukum, reformasi Yustinianus I telah memberikan pengaruh yang jelas terhadap perkembangan jurisprudens. Sementara itu, Ecloga Kaisar Leo III memengaruhi pembentukan institusi hukum di dunia Slavia.[155] Pada abad ke-10, Leo VI Yang Bijak menyelesaikan kodifikasi seluruh hukum Bizantium dalam bahasa Yunani, yang menjadi dasar bagi seluruh hukum Bizantium selanjutnya, memicu munculnya ketertarikan terhadap hukum Bizantium bahkan hingga saat ini.[156]

Bahasa


Mazmur Mudil, mazmur lengkap tertua dalam bahasa Koptik (Museum Koptik, Mesir, Koptik Kairo).


Gulungan Yosua, manuskrip Yunani teriluminasi yang kemungkinan dibuat di Konstantinopel (Perpustakaan Vatikan, Roma).



Awalnya, bahasa kekaisaran adalah bahasa Latin. Bahasa tersebut menjadi bahasa resmi hingga abad ke-7, ketika Heraklius menggantinya dengan bahasa Yunani. Bahasa Latin Ilmiah tidak lagi digunakan oleh penduduk berpendidikan, meskipun masih menjadi bagian dari budaya seremonial kekaisaran selama beberapa waktu.[157] Bahasa Latin Rakyat tetap menjadi bahasa minoritas kekaisaran, dan di antara penduduk Trako-Romawi, bahasa tersebut melahirkan bahasa (Proto-)Rumania.[158] Sementara itu, di pantai laut Adriatik, dialek neo-Latin berkembang, yang akan membuahkan bahasa Dalmatia. Di provinsi-provinsi Mediterania Barat yang sempat dikuasai di bawah pemerintahan Yustinianus I, Latin (akhirnya berevolusi menjadi bahasa Italia) terus digunakan sebagai bahasa rakyat maupun bahasa ilmiah.

Bahasa utama yang digunakan di Romawi Timur (bahkan semenjak sebelum jatuhnya Romawi Barat) adalah bahasa Yunani. Bahasa tersebut telah dituturkan selama berabad-abad sebelum Latin.[159] Pada awal berdirinya Romawi, bahasa Yunani banyak digunakan di gereja Kristen, dan juga menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan seni. Selain itu, bahasa Yunani juga menjadi perantara perdagangan.[160]

Banyak bahasa lain juga dituturkan di kekaisaran multietnis ini. Beberapa bahasa memperoleh satatus resmi yang terbatas di provinsi-provinsi. Pada awal abad pertengahan, bahasa Suryani dan Aram dituturkan oleh penduduk berpendidikan di provinsi-provinsi ujung timur.[161] Bahasa Koptik, Armenia, dan Georgia juga banyak digunakan di tempatnya masing-masing.[162] Sementara itu, bahasa Slavonia, Vlach, dan Arab menjadi penting karena terjalinnya hubungan dengan kekuatan asing.[163]

Konstantinopel merupakan pusat perdagangan di kawasan Mediterania, sehingga setiap bahasa yang diketahui pada abad pertengahan kadang-kadang dituturkan di kekaisaran, bahkan termasuk bahasa Tionghoa.[164] Saat kekaisaran memasuki masa kemunduran terakhirnya, penduduk Romawi Timur menjadi homogen, dan bahasa Yunani menjadi penting bagi identitas dan agama mereka.[165]

Budaya

Seni dan sastra

Miniatur Injil Rabbula.

Seni Romawi Timur sebagian besar berhubungan dengan ekspresi religius. Gaya-gaya Romawi Timur disebar melalui perdagangan dan penaklukan ke Italia dan Sisilia; gaya-gaya tersebut akan memengaruhi seni renaisans Italia. Dengan maksud untuk memperluas Gereja Ortodoks Timur, gaya Romawi Timur disebar ke kota-kota Eropa timur, terutama Rusia.[166] Pengaruh dari arsitektur Romawi Timur, terutama dalam bentuk bangunan religius, dapat ditemui di berbagai wilayah, dari Mesir dan Arabia, hingga Rusia dan Rumania.

Dalam bidang sastra, terdapat empat elemen budaya, yaitu Yunani, Kristen, Romawi, dan Oriental. Sastra Romawi Timur seringkali diklasifikasikan dalam lima kelompok: sejarawan dan analis, ensiklopedis (Patriark Photios, Michael Psellos, dan Michael Choniates dianggap sebagai ensiklopedis terbesar Romawi Timur) dan penulis esai, serta penulis puisi sekular. Dua kelompok lainnya meliputi jenis sastra baru: sastra gerejawi dan teologis, dan sastra populer. Dari dua hingga tiga ribu volume sastra Romawi Timur yang selamat, hanya tiga ratus tiga puluh yang meliputi puisi sekular, sejarah, ilmu pengetahuan, dan ilmu semu.[167] Sastra sekuler berkembang dari abad kesembilan hingga keduabelas, sementara sastra religius (khotbah, buku liturgi, puisi, devosi, dll) berkembang lebih dahulu, dengan Romanus Melodus sebagai contoh yang paling menonjol.[168]

Agama

Mosaik Kristus di Hagia Sophia.

Kelangsungan hidup kekaisaran memastikan peran aktif kaisar dalam urusan gereja. Negara Romawi Timur mewarisi kebiasaan administratif dan finansial dalam mengatur urusan agama dari masa pagan, dan kebiasaan ini diterapkan di gereja. Orang-orang Romawi Timur memandang kaisar sebagai wakil atau pengabar Kristus. Maka kaisar bertanggung jawab dalam penyebaran Kekristenan di antara orang-orang pagan, dan untuk "luar" agama, seperti pemerintahan dan keuangan. Seperti disebutkan oleh Kyril Mango, pemikiran politik Bizantium dapat dirangkum dalam moto, "Satu Tuhan, satu kekaisaran, satu agama".[169] Meskipun begitu, peran kaisar dalam gereja tidak pernah berkembang menjadi sistem tetap yang legal.[170]

Peran imperial dalam urusan Gereja tak pernah berkembang menjadi sistem yang tetap dan pasti secara hukum.[170] Dengan jatuhnya Roma dan pertikaian internal pada tubuh kepatriarkan lainnya, gereja Konstantinopel menjadi pusat Kekristenan terkaya dan paling berpengaruh antara abad ke-6 hingga abad ke-11.[171] Bahkan ketika Kekaisaran mengalami kemunduran dan menyusut, Gerejanya tetap memiliki pengaruh signifikan baik di dalam dan di luar perbatasan kekaisaran, seperti ditulis oleh George Ostrogorsky:

Kepatriarkan Konstantinopel terus menjadi pusat dunia Ortodoks, dengan subordinatnya adalah tahta metropolitan dan keuskupan agung di kawasan Asia Kecil dan Balkan, kini lepas dari Bizantium, serrta di Kaukasus, Rusia dan Lithuania. Gereja tetap menjadi unsur paling stabil di Kekaisaran Bizantium.[172]

Doktrin Kristen resmi pertama ditetapkan oleh tujuh dewan ekumeni pertama, dan ketika itu kaisar bertugas menjalannya kepada rakyatnya. Suatu dekrit kekaisaran pada 388, yang kelak dimasukkan ke dalam Kodeks Justinianus, memerintahkan penduduk Kekaisaran "untuk menganut Kristen Katolik." dan menyatakan bahwa mereka yang tidak mematuhinya dianggap "gila dan bodoh" oleh hukum; sebagai pengikut "dogma pagan".[173]

Kekristenan tidak pernah bersatu secara penuh di Kekaisaran Romawi Timur. Gereja Ortodoks Timur tidak mewakili semua orang Kristen di kekaisaran. Nestorianisme, pandangan yang diajarkan oleh Nestorius, berpisah dari gereja kekaisaran, dan kini menjadi Gereja Timur Asiria. Gereja Ortodoks Oriental melepaskan diri dari gereja kekaisaran setelah deklarasi Konsili Khalsedon. Arianisme dan sekte-sekte Kristen lain, seperti Nestorianisme, Monofisitisme dan Paulisianisme, juga ada di kekaisaran, meskipun pada masa jatuhnya Roma pada abad ke-5, Arianisme lebih terbatas pada suku-suku Jermanik di Eropa Barat. Pada masa akhir kekaisaran, Ortodoks Timur mewakili sebagian besar orang Kristen di sisa kekaisaran. Sementara itu, Yahudi merupakan minoritas yang penting di kekaisaran. Meskipun beberapa kali mengalami penganiayaan, mereka secara umum ditoleransi.

Perpecahan lainnya di antara kaum Kristiani terjadi ketika Leo III memerintahkan penghancuran ikon-ikon di seluruh Kekaisaran. Ini memicu terjadinya krisis keagamaan yang besar, yang berakhir pada pertengahan abad ke-19 dengan dipulihkannya ikon-ikon. Selama periode yang sama, gelombang pagan baru berkembang di Balkan, terutama berasal dari bangsa Slav. Mereka secara perlahan-lahan dikristenisasi, dan tahap akhir Bizantiu, yaitu Kristen Ortodoks Timur mencerminkan sebagian besar umat Kristiani, dan secara umum, sebagian besar orang di sisa-sisa kekaisaran.[174]
(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.