Adalah sangat jelas dalam sejarah Indonesia, bahwa syariah Islam pernah secara formal diterapkan di bumi Nusantara . Saat itu para Sultan menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara. Hal ini membantah pendapat segelintir orang dari kelompok liberal, bahwa di Indonesia tidak pernah diterapkan syariah Islam secara formal oleh negara. Tidak hanya itu, kesultanan di Indonesia memiliki hubungan yang jelas dengan Khilafah Islam.
Tegaknya
syariat Islam tidak lepas dari keberadaan penguasa kaum Muslim yang
menerapkan hukum Islam, menjaga akidah Islam, melindungi kepentingan
umat Islam, dan melakukan dakwah Islam. Penguasa tersebut sering disebut
sebagai khalifah, imam, amirul mukminin, atau sultan.
Terlepas dari
soal penamaan ini, penguasa kaum Muslim pada dasarnya adalah penguasa
otoritatif yang diakui keberadaannya oleh kaum Muslim; mereka menjaga
dan membela kaum Muslim dari berbagai pihak yang mencoba menganggu
eksistensi kaum Muslim serta memelihara kaum Muslim sedunia.
Para
ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi
kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di
belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam
dari Spanyol sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M),
dilanjutkan oleh Kekhilafahan Abbasiyah kurang lebih satu abad (750-870
M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.
Adanya kekuatan
politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong
tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka,
dan Samudra Hindia.[1]
Hal ini dengan sendirinya memberi dampak bagi penyebaran Islam dan
tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang
sekaligus berprofesi sebagai pedagang.
Tulisan ini
akan mengkaji pengaruh keberadaan Khilafah Islam yang berpusat di Timur
Tengah, khususnya pada masa Utsmaniyah, terhadap kehidupan umat Islam di
Nusantara. Kajian didasarkan pada suatu kerangka analisis bahwa dengan
adanya Khilafah, umat Islam berada di bawah satu kepemimpinan. Khalifah
merupakan pelindung kaum Muslim. Para penguasa kaum Muslim di berbagai
belahan dunia dengan sendirinya akan mengakui dan tunduk pada Khalifah.
Gangguan terhadap umat Islam di suatu negeri dianggap sebagai gangguan
terhadap seluruh kaum Muslim; Khalifah akan berperan aktif
mengamankannya.
Secara faktual,
pada abad 16 dan 17, umat Islam di Kepulauan Nusantara sedang
menghadapi serangan penjajah asing, khususnya Portugis dan Belanda.
Kedatangan Portugis, sebagaimana diketahui, memiliki tujuan: merampas
kekayaan umat Islam (gold), menjalankan tugas suci kristenisasi
(gospel), dan melakukan pembalasan terhadap kaum Muslim yang telah
menduduki Spanyol dan Portugal sejak zaman Kekhilafahan Bani Umayah
(glory). Portugis ingin mewujudkan dominasi militer terhadap komunitas
umat Islam.[2]
Bertolak dari
fakta-fakta inilah, penulis melihat adanya hubungan antara Kekhilafahan
Islam dan para Sultan di Kepulauan Nusantara.
Dua Pucuk Surat Pengakuan
Pengaruh keberadaan Khilafah Islam terhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa
awal berdirinya Daulah Islam. Keberhasilan umat Islam melakukan
penaklukan (futûhât) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian
besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah
kepemimpinan Umar bin al-Khaththab telah menempatkan Khilafah Islam
sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M.
Ketika
kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di
Nusantara—yang masih beragama Hindu sekalipun—mengakui kebesaran
Khilafah.
Pengakuan
terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat
yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani
Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim
kepada Umar bin Abdul Aziz.[3] Surat
pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayah oleh
Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi,
yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi. Al-Jahizh yang
mendengar surat itu dari Haitsam menceriterakan pendahuluan surat itu
sebagai berikut:
Dari Raja
al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya
terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang
memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….[4]
Surat
kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam
karyanya, Al-Iqd al-Farîd. Potongan surat tersebut ialah sebagai
berikut:
Dari Raja Diraja…, yang adalah keturunan seribu raja.…kepada Raja Arab (Umar bin Abdul
Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah
mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang
tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda
mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada
saya dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.[5]
Ibnu
Tighribirdi, yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, An-Nujûm
azh-Zhâhirah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhirah, memberikan kalimat tambahan
pada akhir surat ini, yakni, “Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa
bahan wewangian, sawo, kemenyan, dan kapur barus. Terimalah hadiah itu,
karena saya adalah saudara Anda dalam Islam.”[6]
Namun demikian,
sekalipun ada kalimat, “Saudara Anda dalam Islam,” belum ada indikasi
Maharaja Sriwijaya memeluk Islam. Maharaja yang berkuasa pada masa itu
ialah Sri Indravarman, yang disebut sumber-sumber Cina sebagai
Shih-li-t’o-pa-mo. Nama ini mengisyaratkan bahwa ia belum menjadi
pemeluk Islam.[7]
Sultan Rum, Khâdim al-Haramayn
Munculnya
Kekhilafahan Islam Turki Utsmani, terutama setelah berhasil melakukan
penaklukan atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota Romawi Timur pada
857/1453, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara.
Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.”[8]
Sebelum
kebangkitan Turki Utsmani, istilah Rum mengacu pada Byzantium, dan
kadang-kadang juga pada Kerajaan Romawi. Akan tetapi,setelah kemunculan
Turki Utsmani, istilah Rum beredar untuk menyebut Kesultanan Turki
Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki
Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke
Nusantara.[9]
Kekuatan
politik dan militer Kekhilafahan Turki Utsmani mulai terasa di kawasan
Lutan India pada awal abad ke-16. Sebagai penguasa kaum Muslim, Khalifah
Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khâdim al-Haramayn (penjaga dua
tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para penguasa
Turki Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan
bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani di
tempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat
langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi
gangguan Portugis.
Pada tahun
954/1538, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928/1520-66) melepas armada yang
tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, untuk
membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna mengamankan
pelayaran haji ke Jeddah.[10]
Turki Utsmani
juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan
menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut
Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak
hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga
mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan
ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan konstribusi penting bagi
pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah
haji.
Pada saat yang
sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India,
tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan
Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16. [11]
Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman
Reis (w 936/1528), laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak
maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat
pemerintahan Khilafah di Istambul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip
Obazan ialah sebagai berikut:
(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar
yang disebut Syamatirah (Sumatera)….Dikatakan, mereka mempunyai 200
orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga
menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera….Karena itu,
ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insya Allah, bergerak melawan
mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu
benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk
perlawanan yang bersatu.[12]
Laporan ini
memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah skuadron
Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal
asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut
Merah.
Membebaskan Malaka dan Menaklukan Daerah Batak
Sebagaimana
disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka diduduki
Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Turki
Utsmani.
Pada tahun
925/1519, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan
armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir.
Kabar ini, tentunya, sangat menggembirakan kaum Muslim setempat.[13]
Ketika Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943/1537, ia
kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada
Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk
melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah
pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Qahhar menggunakan pasukan
Turki, Arab, dan Abesinia.[14]
Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari
Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh.
Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di
pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539.
Mendez Pinto,
yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak, melaporkan
kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid
Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.[15]
Seorang
sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui
adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futûhât terhadap wilayah
sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat
Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap
wilayah sekitar Aceh.[16]
Demikianlah,
hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan
bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki
sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.
Nuruddin
ar-Raniri, dalam Bustân as-Salâthîn, meriwayatkan, bahwa Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Qahhar mengirim utusan ke Istambul untuk menghadap
‘Sultan Rum’. Utusan ini bernama Husain Effendi yang fasih berbahasa
Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.[17]
Pada Juni 1562, utusan Aceh tersebut tiba di Istambul untuk meminta
bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu
berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istambul, ia
berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan
kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor
pada 973/1564.[18]
Khalifah dan Gubernurnya di Aceh
Dalam kaitan
dengan utusan Aceh tersebut, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang
berisi sebuah petisi dari Sultan Alauddin Riayat Syah kepada Sultan
Sulaiman al-Qanuni yang dibawa Husain Effendi. Dalam surat ini Aceh
mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu, surat ini
melaporkan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah
besar terhadap para pedagang Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke
Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan
kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir.[19]
Khalifah
Sulaiman al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi, petisi Aceh
mendapat dukungan Sultan Salim II (974-82/1566-74), yang mengeluarkan
perintah Kekhilafahan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh.
Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir
Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan
api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh
selama masih dibutuhkan oleh Sultan.[20]
Namun, dalam
perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai Aceh karena
dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada
tahun 979/1571.[21]
Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun
1566-1577 sebanyak 500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak,
dan para teknisi. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka
pada tahun 1568.[22]
Kehadiran
Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya dengan sendirinya
disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan
upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar sebagai
gubernur (wali) Aceh,[23] yang merupakan utusan resmi Khalifah yang ditempatkan di daerah Aceh.
Bendera Turki di Kapal Aceh
Hubungan Aceh
dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan
Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti
al-Qahhar kedua, yakni Sultan Mansyur Syah (985-98/1577-88) memperbarui hubungan politik dan militer dengan Utsmani.[24]
Hal ini dibenarkan oleh sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de
Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993/1585
melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan
Khilafah Utsmaniyah untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan
serangan baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan
Alauddin Riayat Syah (988-1013/1588-1604) juga dilaporkan telah
melanjutkan hubungan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah
Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada
Sultan Aceh dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk
mengibarkan bendera Turki.[25]
Kapal-kapal
atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal
kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung
yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan
Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian dari wilayah
Kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar,
berukuran 500 sampai 2000 ton.[26]
Kapal-kapal besar yang berasal dari Turki, yang dilengkapi meriam dan
persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari
Eropa yang menganggu wilaya-wilayah Muslim di Nusantara.[27]
Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti
Portugis karena diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Kekhilafahan
Turki sebagai bantuan Khalifah terhadap Aceh.[28]
Menurut
sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (10116-46/1607-36) mengirimkan
armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istambul
setelah dua setengah tahun pelayaran melalui Tanjung Harapan. Ketika
misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12
pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Khilafah
Utsmaniyah tentang persahabataan dan hubungan dengan Aceh. Kedua belas
pakar militer tersebut disebut pahlawan di Aceh. Mereka dikatakan
sangata ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda tidak hanya
dalam membantu membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga
istana kesultanan.[29]
As-Singkeli dan Qanun Syariah di Aceh
Sebagai bagian
Khilafah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai patokan kahidupan
bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak didatangi para
ulama dari berbagai belahan Dunia Islam lainnya. Syarif Makkah
mengirimkan ke Aceh utusannya, seorang ulama bernama Syaikh Abdullah
Kan’an sebagai guru dan muballig. Sekitar tahun 1582, datang dua orang
ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khair dan Syaikh
Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama
besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf as-Singkeli. [30]
Abdur Rauf Singkel mendapat
tawaran dari Sultan Aceh, Safiyatuddin Shah untuk menduduki jabatan
kadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al-Adil yang sudah
lowong beberapa lama karena Nuruddin ar-Raniri kembali ke Ranir
(Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdur Rauf menerima
tawaran tersebut.[31]
Karena itu, ia resmi menjadi kadi/hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi
al-Malik al- Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi/hakim, Abdur Rauf
diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qânûn)
penerapan syariat Islam.[32] Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-Thullâb.
Menurut Abdur
Rauf, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath al-Wahhâb karya
Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan
untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah al-Muhtâj, Nihâyah
al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh Shahîh Muslim.[33]
Mir’ah
ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi’i, kecuali
masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya menguraikan
sebagian kandungan Mir’ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak,
Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah. Namun,
terlepas dari itu, Aceh sebagai bagian dari Khilafah Islam memiliki
qânûn (undang-undang) penerapan syariat Islam yang ditulis oleh Abdur
Rauf as-Singkeli.
Penutup
Banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang
dekat antara Aceh dan Khilafah Utsmani. Aceh seakan-akan dianggap
sebagai bagian dari wilayah Turki Utsmani. Persoalan yang menimpa umat
Islam di Aceh seakan-akan dianggap sebagai persoalan umat Islam secara
keseluruhan. Khilafah Utsmani melindungi wilayah Aceh serta membantu
Aceh melakukan futûhât dan dakwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Maman
Kh.kandidat doktor dan staf pengajar UIN Syarief Hidayatullah)
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar