Sabtu, 25 Januari 2014

Filled Under:

Wangsa Syailendra (Mataram Kuno) 1

1. Wisnuwarman

Maharaja Wisnu adalah seorang raja dari Wangsa Sailendra yang dipercaya telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya. Beberapa literatur menyebut tahun pemerintahannya terjadi pada 775782. Namun rentang waktu ini hanya bersifat dugaan yang kebenarannya masih perlu untuk dibuktikan.

Naskah Prasasti Ligor

Nama Wisnu terdapat dalam prasasti Ligor yang ditemukan di Semenanjung Malaya. Prasasti ini berupa sebongkah batu yang bertuliskan pada kedua sisinya. Sisi pertama disebut prasasti Ligor A, dikeluarkan oleh raja Kerajaan Sriwijaya yang dipuji bagaikan Indra. Raja tersebut meresmikan bangunan Trisamaya Caitya pada tahun 775. Dengan kata lain daerah Ligor pada saat itu merupakan jajahan Sriwijaya.
Sisi yang satu lagi disebut dengan istilah prasasti Ligor B, dikeluarkan oleh raja dari Wangsa Sailendra yang disebut Wisnu dan bergelar Sri Maharaja (terjemahan Dr. Chhabra). Sisi yang kedua ini berisi pujian terhadap raja tersebut sebagai Sarwwarimadawimathana, yang artinya “pembunuh musuh-musuh perwira”.

Teori Coedes

Sejarawan Prof. George Cœdès (1950) berbeda penafsiran dengan Dr. Chhabra. Ia berpendapat bahwa prasasti Ligor A dan B dikeluarkan oleh Wisnu pada saat yang bersamaan, yaitu pada tahun 775. Menurutnya pula, dalam prasasti Ligor B terdapat dua orang raja, yaitu Wisnu dan Sri Maharaja.
George Coedes berpendapat bahwa Wisnu adalah ayah dari Sri Maharaja yang tidak jelas namanya itu. Sri Maharaja sendiri dianggap identik dengan Dharanindra yang mengeluarkan prasasti Kelurak (782). Dengan kata lain, Maharaja Wisnu raja Sriwijaya adalah ayah dari Dharanindra raja Jawa. Beberapa sejarawan lainnya yang sependapat menganggap tokoh Dharanindra ini sebagai maharaja yang menaklukkan Rakai Panangkaran putra Sanjaya.

Teori Slamet Muljana

Sejarawan Slamet Muljana (1960) berpendapat bahwa, terjemahan Dr. Chhabra lebih benar, yaitu Wisnu dan Sri Maharaja bukan ayah dan anak, melainkan satu orang yang sama. Berdasarkan perbedaan tata bahasa, ia juga menolak anggapan kalau prasasti Ligor A dan B ditulis pada waktu yang bersamaan.
Menurutnya Slamet Muljana, hanya prasasti A saja yang ditulis pada tahun 775 oleh raja Sriwijaya yang dipuji bagaikan Indra. Sedangkan prasasti B dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu setelah Kerajaan Sriwijaya berhasil dikuasai Wangsa Sailendra.
Wisnu dan Dharanindra masing-masing dijuluki sebagai Sarwwarimadawimathana (prasasti Ligor B) dan Wairiwarawiramardana (prasasti Kelurak) yang keduanya bermakna sama, yaitu "pembunuh musuh-musuh perwira". Selain itu, nama Wisnu dan Dharanindra juga memiliki makna yang sama, yaitu "pelindung dunia". Dengan kata lain, Slamet Muljana menganggap Maharaja Wisnu dan Dharanindra adalah orang yang sama.
Slamet Muljana juga membantah teori bahwa Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang dikalahkan Dharanindra. Dalam prasasti Kalasan (778) Rakai Panangkaran disebut sebagai "permata wangsa Sailendra", jadi tidak mungkin kalau ia adalah putra Sanjaya. Justru menurutnya, Rakai Panangkaran merupakan raja Sailendra pertama yang berhasil mengalahkan keluarga Sanjaya dan merebut takhta Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno).
Lebih lanjut Muljana berpendapat, Dharanindra adalah raja pengganti Rakai Panangkaran yang berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya dengan kekuatannya. Setelah peristiwa itu, Ligor yang merupakan jajahan Sriwijaya secara otomatis menjadi jajahan Wangsa Sailendra. Daerah itu pun dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Kamboja dan Campa. Sebagai tanda kekuasaan, Dharanindra menulisi bagian belakang prasasti Ligor A, sehingga lahir prasasti B yang isinya berupa puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu.
Teori Slamet Muljana ini juga didasarkan pada data sejarah Kamboja, bahwa Campa pernah diserang Jawa tahun 787. Kemudian pada tahun 802 Raja Jayawarman berhasil memerdekakan Kamboja dari penjajahan Jawa.
Apabila teori ini benar, maka penulisan prasasti B merupakan tanda berkuasanya Wangsa Sailendra atas daerah Ligor yang terjadi antara tahun 778 dan 787. Muljana menyimpulkan, setelah berhasil menaklukkan Jawa, keluarga Sailendra pun menaklukkan Sriwijaya dan menjadikan Ligor sebagai batu loncatan untuk menyerang Kamboja.

Tahun Pemerintahan Wisnu

Apabila teori Slamet Muljana benar, maka tahun pemerintahan Maharaja Wisnu yang berlangsung dari 775782 sebagaimana banyak ditemukan dalam beberapa literatur perlu untuk ditinjau ulang.
Alasan pertama ialah, tahun 775 merupakan tahun penulisan prasasti Ligor A oleh raja Kerajaan Sriwijaya sebelum berkuasanya Wangsa Sailendra. Muljana menganggap hanya prasasti B yang dikeluarkan oleh Wisnu dan itu pun ditulis sesudah tahun 775.
Alasan kedua ialah, andaikata prasasti A benar-benar dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu tahun 775, tetap saja tidak ada bukti kuat kalau prasasti ini adalah prasasti pertamanya. Dengan kata lain, Wisnu belum tentu naik takhta tepat tahun 775.
Alasan ketiga ialah, tahun 782 merupakan tahun dikeluarkannya prasasti Kelurak oleh Dharanindra. Apabila teori Coedes benar bahwa Dharanindra adalah putra Wisnu, tetap saja tidak ada bukti kuat kalau prasasti Kelurak merupakan prasasti pertamanya. Dengan kata lain, Dharanindra mungkin saja naik takhta menggantikan Wisnu sebelum tahun 782.
Dengan demikian, masa pemerintahan Maharaja Wisnu tidak dapat dipastikan benar-benar terjadi pada tahun 775 – 782.

Sumber

2. Bhanu


Bhanu adalah nama seorang pemimpin Wangsa Sailendra yang berkuasa di Jawa Tengah. Beberapa literatur menyebut tahun pemerintahannya adalah 752775. Namun, rentang waktu ini hanya bersifat dugaan yang kebenarannya perlu pembuktian.

Kisah Hidup

Nama Bhanu ditemukan dalam Prasasti Plumpungan sebagai seorang pemimpin yang memberikan tanah di desa Hampran, di daerah Trigramwya (sekarang Salatiga) pada tanggal 24 Juli 752. Penganugerahan ini dilakukan demi kebaktian terhadap Sang Isa, dengan persetujuan dari Sang Siddhadewi. Prasasti tersebut ditemukan di desa Beringin, Salatiga.
Pada masa pemerintahan Bhanu terdapat tokoh lain, yang mungkin hidup sezaman, yaitu Sanjaya raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Tokoh ini mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732. Menurut teori Slamet Muljana, seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Rakai Panangkaran akhirnya berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya.
Apabila teori ini benar, maka dapat diperkirakan adanya hubungan kekerabatan antara Bhanu dengan Rakai Panangkaran. Bisa jadi mereka adalah ayah dan anak, atau mungkin kakak dan adik. Rakai Panangkaran sendiri memiliki nama asli Dyah Pancapana sehingga kecil kemungkinannya kalau ia identik dengan Bhanu.

Tahun Pemerintahan

Pada umumnya, Bhanu dianggap sebagai raja pertama Wangsa Sailendra yang memerintah pada tahun 752775. Padahal prasasti itu sama sekali tidak menyebut Bhanu sebagai raja. Kemungkinan besar, Bhanu hanya menjabat sebagai penguasa daerah bawahan pada pemerintahan Sanjaya.
Prasasti Plumpungan yang dikeluarkan Bhanu merupakan prasasti bertuliskan aksara Jawa Kuna tertua yang pernah ditemukan. Sementara itu ditemukan pula prasasti Sojomerto yang menyebut adanya nama Dapunta Selendra yang juga diduga kuat merupakan cikal bakal Wangsa Sailendra. Prasasti tersebut berbahasa Melayu Kuno. Tidak jelas apakah tokoh Dapunta Selendra ini identik dengan Bhanu.
Sementara itu tahun pemerintahan Bhanu yang secara populer dianggap berlangsung pada 752 – 775 masih merupakan dugaan dan belum jelas kebenarannya.
Alasan pertama ialah, tahun 752 merupakan tahun dikeluarkannya Prasasti Plumpungan. Tidak ada bukti kuat bahwa prasasti ini adalah prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Bhanu. Mungkin saja Bhanu sudah memerintah sebelum tahun 752.
Alasan kedua ialah, tahun 775 adalah tahun dikeluarkannya prasasti Ligor oleh Maharaja Wisnu yang dianggap sebagai pengganti Bhanu. Dengan alasan yang sama, belum tentu Wisnu naik takhta pada tahun tersebut.
Alasan ketiga ialah, tidak ada bukti yang kuat kalau Wisnu adalah pengganti Bhanu. Mungkin saja ada raja lain yang memerintah di antara mereka, yang sampai saat ini belum ditemukan prasastinya.
Slamet Muljana berpendapat, anggota Wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja ialah Rakai Panangkaran, bukan Bhanu. Menurut teorinya, Rakai Panangkaran berhasil mengalahkan keluarga Sanjaya dan merebut takhta Kerajaan Medang. Rakai Panangkaran kemudian digantikan Dharanindra yang juga dijuluki sebagai Maharaja Wisnu.

Sumber

3. Dharanindra

Dharanindra, atau kadang disingkat Indra, adalah seorang raja dari Wangsa Sailendra yang memerintah sekitar tahun 782. Namanya ditemukan dalam prasasti Kelurak dengan disertai gelar Sri Sanggrama Dhananjaya. Tokoh ini dipercaya telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Wangsa Sailendra sampai ke Semenanjung Malaya dan daratan Indocina.
Salah satu pendapat yang dikemukakan Sejarawan Slamet Muljana menyebut Dharanindra identik dengan Sri Maharaja Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang periode Jawa Tengah, atau yang lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno.

Penumpas musuh-musuh perwira

Nama Dharanindra terdapat dalam prasasti Kelurak tahun 782. Dalam prasasti itu ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana, atau "penumpas musuh-musuh perwira". Julukan yang mirip terdapat dalam prasasti Nalanda, yaitu Wirawairimathana, dan prasasti Ligor B yaitu Sarwwarimadawimathana.
Sejarawan Slamet Muljana menganggap ketiga julukan tersebut merupakan sebutan untuk orang yang sama, yaitu Dharanindra. Dalam prasasti Nalanda, Wirawairimathana memiliki putra bernama Samaragrawira, ayah dari Balaputradewa (raja Kerajaan Sriwijaya). Dengan kata lain, Balaputradewa adalah cucu Dharanindra.
Sementara itu prasasti Ligor B yang memuat istilah Sarwwarimadawimathana menurut pendapat Sejarawan George Cœdès dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu raja Sriwijaya. Prasasti ini dianggap lanjutan dari prasasti Ligor A, yang berangka tahun 775. Dalam hal ini Slamet Muljana berpendapat bahwa, hanya prasasti A saja yang ditulis tahun 775, sedangkan prasasti B ditulis sesudah Kerajaan Sriwijaya jatuh ke tangan Wangsa Sailendra.
Alasan Muljana adalah terdapat perbedaan tata bahasa antara prasasti A dan B, sehingga kedua prasasti itu menurutnya ditulis dalam waktu yang tidak bersamaan. Ia kemudian memadukannya dengan berita dalam prasasti Po Ngar, bahwa Jawa pernah menjajah Kamboja (Chen-La) sampai tahun 802. Selain itu, Jawa juga pernah menyerang Campa tahun 787.
Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra sebagai raja Jawa telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, termasuk daerah bawahannya di Semenanjung Malaya, yaitu Ligor. Prasasti Ligor B ditulis olehnya sebagai pertanda bahwa Wangsa Sailendra telah berkuasa atas Sriwijaya. Prasasti ini berisi puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu. Daerah Ligor kemudian dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Campa tahun 787 dan juga Kamboja.
Penaklukan terhadap Sriwijaya, Ligor, Campa, dan Kamboja ini sesuai dengan julukan Dharanindra, yaitu "penumpas musuh-musuh perwira". Kamboja sendiri akhirnya berhasil merdeka di bawah pimpinan Jayawarman tahun 802. Mungkin saat itu Dharanindra telah meninggal dunia.
Dalam teorinya, George Coedes menganggap Maharaja Wisnu merupakan ayah dari Dharanindra. Sementara itu, Slamet Muljana menganggap Wisnu dan Dharanindra merupakan orang yang sama. Selain karena kemiripan julukan, juga karena kemiripan arti nama. Wisnu dan Dharanindra menurutnya sama-sama bermakna “pelindung jagad”.

Hubungan dengan Rakai Panangkaran

Rakai Panangkaran adalah raja kedua Kerajaan Medang (periode Jawa Tengah) versi prasasti Mantyasih. Pada tahun 778 ia membangun Candi Kalasan atas permohonan para guru raja Sailendra.
Menurut teori van Naerrsen, Rakai Panangkaran adalah anggota Wangsa Sanjaya yang menjadi bawahan raja Sailendra. Nama raja Sailendra itu kemudian ditemukan dalam prasasti Kelurak (782), yaitu Dharanindra. Dengan kata lain, Dharanindra adalah atasan Rakai Panangkaran.
Menurut teori Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah disebutkan dalam prasasti mana pun. Sanjaya dan Rakai Panangkaran merupakan anggota Wangsa Sailendra namun berbeda agama. Sanjaya beragama Hindu Siwa, sedangkan Rakai Panangkaran adalah putranya yang berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahayana.
Teori ini menolak anggapan bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Wangsa Sailendra, karena ia sendiri dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan (778). Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri. Prasasti Kalasan dan prasasti Kelurak hanya berselisih empat tahun, jadi kemungkinan besar dikeluarkan oleh raja yang sama. Dengan kata lain, Dharanindra adalah nama asli Rakai Panangkaran.
Menurut teori Slamet Muljana, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Keduanya berasal dari dua dinasti yang berbeda. Rakai Panangkaran adalah anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Jika ia hanya menjadi raja bawahan saja, maka ia tidak mungkin bergelar maharaja dan dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka. Sementara itu, menurut prasasti Kalasan, nama asli Rakai Panangkaran adalah Dyah Pancapana, jadi tidak mungkin sama dengan Dharanindra. Dengan kata lain, Dharanindra adalah raja pengganti Rakai Panangkaran.
Dalam prasasti Mantyasih diketahui nama raja Kerajaan Medang sesudah Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan. Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan.

Sumber

4. Samaratungga

Sri Maharaja Samarottungga, atau kadang ditulis Samaratungga, adalah raja Kerajaan Medang dari Wangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792835. Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Smaratungga lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan pembangunan candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia. Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.[1]
 Pada masa Raja Samaratungga, Candi Borobudur selesai dibangun.


(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.