Sabtu, 25 Januari 2014

Filled Under:

Wangsa Sanjaya (Mataram Kuno) 2

2. Rakai Panangkaran

Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana adalah raja kedua Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Ia memerintah sekitar tahun 770-an. Periode pemerintahannya menandai dimulainya kegairahan membangun berbagai candi beraliran Buddha Mahayana di Dataran Prambanan; antara lain Tarabhavanam, Abhayagirivihara, dan Manjusrigrha.[1]
Minimnya data-data sejarah Mataram Kuno menyebabkan terjadinya beberapa penafsiran di antara para sejarawan mengenai asal usul Rakai Panangkaran. Ada yang berpendapat ia berasal dari Wangsa Sanjaya, ada pula yang berpendapat ia berasal dari Wangsa Sailendra.

Sang Pembangun Candi

Maharaja Rakai Panangkaran menempati urutan kedua dalam daftar raja-raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih. Namanya ditulis setelah Sanjaya, yang diyakini sebagai pendiri kerajaan tersebut. Prasasti ini dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung pada tahun 907, atau ratusan tahun sejak masa kehidupan Rakai Panangkaran.
Sementara itu, prasasti yang berasal dari zaman Rakai Panangkaran adalah prasasti Kalasan tahun 778. Prasasti ini merupakan piagam peresmian pembangunan sebuah candi Buddha bernama Tarabhavanam (Buana Tara) untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan ini atas permohonan para guru raja Sailendra. Dalam prasasti itu Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Candi yang didirikan oleh Rakai Panangkaran tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Candi Kalasan.
Periode pemerintahannya ditandai dengan giatnya pembangunan candi-candi beraliran Buddha Mahayana di kawasan Dataran Prambanan. Selain candi Kalasan, berapa candi yang diperkirakan dibangun atas prakarsa Rakai Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu), dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko).[1]
Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M menyebutkan tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana (Rakai Panangkaran) mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara, yang dikaitkan dengan kompleks Ratu Boko. Diperkirakan Raja Panangkaran telah wafat sebelum Candi Sewu dan Abhayagirivihara rampung, sehingga beliau tidak sempat menyaksikan beberapa karyanya (Candi Sewu).[1]

Hubungan dengan Sanjaya dan Dharanindra

Sanjaya merupakan raja pertama Kerajaan Medang. Menurut prasasti Canggal (732), ia menganut agama Hindu aliran Siwa. Sementara itu Rakai Panangkaran adalah raja kedua Kerajaan Medang. Menurut prasasti Kalasan (778), ia mendirikan sebuah candi Buddha aliran Mahayana. Sehubungan dengan berita tersebut, muncul beberapa teori seputar hubungan di antara kedua raja tersebut.
Teori pertama dipelopori oleh Van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Wangsa Sanjaya kemudian dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Pembangunan Candi Kalasan tidak lain merupakan perintah dari raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang telah tunduk sebagai bawahan. Nama raja Sailendra tersebut diperkirakan sama dengan Dharanindra yang ditemukan dalam prasasti Kelurak (782). Teori ini banyak dikembangkan oleh para sejarawan Barat, antara lain George Cœdès, ataupun Dr. F.D.K. Bosch.
Teori kedua dikemukakan oleh Prof. Poerbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya namun keduanya sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra, bukan Wangsa Sanjaya. Dalam hal ini Poerbatjaraka tidak mengakui keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurut pendapatnya (yang juga didukung oleh sejarawan Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto), sebelum meninggal, Sanjaya sempat berwasiat agar Rakai Panangkaran berpindah ke agama Buddha. Teori ini berdasarkan kisah dalam Carita Parahyangan tentang tokoh Rahyang Panaraban putra Sanjaya yang dikisahkan pindah agama. Rahyang Panaraban ini menurut Poerbatjaraka identik dengan Rakai Panangkaran. Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah guru Rakai Panangkaran sendiri.
Teori ketiga dikemukakan oleh Slamet Muljana bahwa, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih tertulis nama Sanjaya bergelar Sang Ratu, sedangkan Rakai Panangkaran bergelar Sri Maharaja. Perubahan gelar ini membuktikan terjadinya pergantian dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang. Jadi, Rakai Panangkaran adalah raja dari Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Medang serta mengalahkan Wangsa Sanjaya. Menurut Slamet Muljana, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai bawahan Wangsa Sailendra karena dalam prasasti Kalasan ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra).
Dalam hal ini, Slamet Muljana menolak teori bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Dharanindra. Menurutnya, Rakai Panangkaran dan Dharanindra sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra. Meskipun demikian, ia tidak menganggap keduanya sebagai tokoh yang sama. Menurutnya, Dharanindra tidak sama dengan Rakai Panangkaran yang memiliki nama asli Dyah Pancapana (sesuai pemberitaan prasasti Kalasan). Muljana berpendapat, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang yang namanya disebut sesudah Rakai Panangkaran dalam prasasti Mantyasih.

Sumber

3. Dharanindra

 Dharanindra atau Rakai Panunggalan. Lihat dalam wangsa Syailendra.

4. Rakai Warak

Sri Maharaja Rakai Warak adalah raja keempat Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno) yang memerintah sekitar tahun 800-an. Nama ini ditemukan dalam daftar raja-raja Medang dalam prasasti Mantyasih.
Salah satu teori yang dikemukakan oleh sejarawan Slamet Muljana menyebutkan bahwa, nama asli Rakai Warak adalah Samaragrawira, yaitu ayah dari Balaputradewa, raja Kerajaan Sriwijaya.

Riwayat Pemerintahan

Sri Maharaja Rakai Warak menempati urutan keempat dalam daftar para raja Kerajaan Medang yang ditemukan pada prasasti Mantyasih. Namanya disebut sesudah Rakai Panunggalan dan sebelum Rakai Garung.
Istilah Rakai Warak sendiri bukan nama asli karena nama ini bermakna “kepala daerah Warak”. Siapa nama aslinya tidak diketahui dengan pasti karena peninggalan sejarah atas nama tokoh ini sangatlah minim ditemukan. Satu-satunya prasasti yang menyebut adanya tokoh bernama Rakai Warak hanyalah prasasti Mantyasih (907)yang baru ditulis puluhan tahun setelah kematiannya.
Sejarawan Slamet Muljana mengidentifikasi Rakai Warak dengan tokoh Samaragrawira. Namun identifikasi ini baru bersifat dugaan saja, yaitu dengan cara memadukan beberapa prasasti sebagai perbandingan.

Identifikasi Samaragrawira

Nama Samaragrawira terdapat dalam prasasti Nalanda sebagai ayah dari Balaputradewa raja Kerajaan Sriwijaya. Samaragrawira merupakan putra dari seseorang yang dijuluki sebagai Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak (782).
Sejarawan Krom menganggap Samaragrawira identik dengan Samaratungga, ayah dari Pramodawardhani. Secara otomatis, Balaputradewa pun disebut sebagai saudara Pramodawardhani. Pendapat ini kemudian berkembang menjadi teori populer yang banyak didukung oleh para sejarawan lainnya.
Sejarawan Slamet Muljana berpendapat lain. Ia membantah teori tersebut karena menurut prasasti Kayumwungan (824), Samaratungga hanya memiliki seorang putri bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Samaragrawira lebih tepat disebut sebagai ayah Samaratungga. Dengan demikian, Balaputradewa merupakan paman dari Pramodawardhani.
Slamet Muljana mencoba memadukan nama Samaragrawira dengan daftar para raja versi prasasti Mantyasih yang selama ini dianggap sebagai daftar raja-raja Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Ia menolak anggapan tersebut karena Rakai Panangkaran yang menempati urutan kedua dalam daftar menurutnya merupakan anggota Wangsa Sailendra (dengan mengacu pada isi prasasti Kalasan).
Analisis Slamet Muljana dimulai dengan berita bahwa Rakai Pikatan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Samaratungga. Maka, Samaratungga pun dianggap identik dengan Rakai Garung yang namanya disebut sebelum Rakai Pikatan dalam daftar para raja Medang. Sementara itu, Samaragrawira yang diyakininya sebagai ayah dari Samaratungga, dianggap identik dengan Rakai Warak, yaitu nama raja sebelum Rakai Garung dalam daftar tersebut.

Keluarga Samaragrawira

Menurut teori Slamet Muljana, Samaragrawira alias Rakai Warak naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Dharanindra alias Rakai Panunggalan.
Menurut prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah putra Samaragrawira yang lahir dari Dewi Tara, putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Kebanyakan para sejarawan berpendapat bahwa Sri Dharmasetu merupakan raja Kerajaan Sriwijaya. Dengan kata lain, Balaputradewa mewarisi takhta pulau Sumatra dari kakeknya itu.
Slamet Muljana menemukan nama Sri Dharmasetu juga terdapat dalam prasasti Kelurak sebagai bawahan Dharanindra, yang ditugasi merawat bangunan suci di desa Kelurak. Dengan demikian, Sri Dharmasetu bukan orang Sumatra, melainkan orang Jawa. Jadi, pendapat bahwa ia merupakan raja Sriwijaya sulit untuk dipertahankan.
Dengan demikian, menurut Muljana, Balaputradewa tidak mewarisi takhta Sriwijaya dari Dharmasetu. Balaputradewa bisa menjadi raja Sriwijaya karena ia merupakan anggota Wangsa Sailendra, yaitu sebuah dinasti yang saat itu berkuasa di pulau Jawa dan Sumatra. Keberhasilan Wangsa Sailendra menaklukkan Kerajaan Sriwijaya terjadi pada masa pemerintahan Dharanindra. Raja ini dijuluki sebagai “penakluk musuh perwira” yang kekuasaannya bahkan mencapai Kamboja dan Campa.
Sepeninggal Dharanindra, putranya yang bernama Samaragrawira naik takhta. Meskipun ia dipuji sebagai pahlawan perkasa dalam prasasti Nalanda, namun raja baru ini mungkin tidak sekuat ayahnya. Hal itu terbukti dengan ditemukannya prasasti Po Ngar yang menceritakan bahwa, Kamboja berhasil melepaskan diri dari penjajahan Jawa pada tahun 802. Saat itu Dharanindra kemungkinan sudah meninggal, sedangkan Samaragrawira sebagai raja baru tidak mampu menaklukkan negeri itu kembali.
Atas dasar tersebut, pada akhir pemerintahan Samaragrawira, kekuasaan Wangsa Sailendra pun dibagi menjadi dua agar pengawasannya lebih mudah. Kekuasaan tersebut diserahkan pada kedua putranya, yaitu Samaratungga di pulau Jawa, serta Balaputradewa di pulau Sumatra.
Pada umumnya teori yang berkembang menyebutkan bahwa, sepeninggal Samaratungga terjadi perebutan takhta Jawa antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Teori ini mengatakan, bahwa Rakai Pikatan suami Pramodawardhani berhasil mengusir Balaputradewa dari benteng persembunyiannya di bukit Ratu Baka.
Namun berdasarkan analisis Drs. Buchari, di bukit Ratu Baka sama sekali tidak ditemukan bukti-bukti peninggalan Balaputradewa. Justru yang ditemukan adalah peninggalan seorang bangsawan bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni, yang mengaku sebagai keturunan pendiri kerajaan (Sanjaya). Buchari berpendapat bahwa Mpu Kumbhayoni inilah yang memberontak terhadap pemerintahan Rakai Pikatan, meskipun keduanya sama-sama keturunan Sanjaya.
Jika teori Slamet Muljana dan Buchari dipadukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa, kepergian Balaputradewa dari pulau Jawa bukan karena kalah perang, mengingat musuh Rakai Pikatan memang bukan dirinya, melainkan bernama Mpu Kumbhayoni. Balaputradewa berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya juga bukan karena mewarisi takhta dari Sri Dharmasetu, melainkan sejak awal ia mungkin sudah diangkat sebagai pemimpin cabang Wangsa Sailendra di pulau Sumatra.

Tahun Pemerintahan

Kapan tepatnya Rakai Warak alias Samaragrawira naik takhta tidak dapat diketahui dengan pasti. Pada tahun 782 yaitu tahun dikeluarkannya prasasti Kelurak, kerajaan masih dipimpin oleh Dharanindra. Raja ini terkenal sebagai penumpas musuh perwira, bahkan sampai berhasil menaklukkan negeri Kamboja.
Menurut prasasti Po Ngar, Kamboja merdeka dari penjajahan Jawa pada tahun 802. Mungkin saat itu Dharanindra sudah meninggal, sedangkan putranya, yaitu Samaragrawira tidak sekuat dirinya. Jadi, dapat diperkirakan Samaragrawira naik takhta sekitar tahun 802.
Tidak diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Samaragrawira berakhir. Prasasti atas nama Rakai Garung yang tertua yang sudah ditemukan adalah prasasti Pengging tahun 819. Namun demikian, belum tentu kalau prasasti ini adalah prasasti pertamanya.
Jadi, apabila teori Slamet Muljana benar, maka pemerintahan Rakai Warak Samaragrawira dapat diperkirakan berjalan tidak lebih dari 17 tahun.

Sumber

5. Rakai Garung

Rakai Garung adalah raja Kerajaan Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya dan merupakan pengganti dari Rakai Warak yang berkuasa antara tahun 828 sampai dengan 847. Nama Rakai Garung disebutkan dalam Prasasti Wanua Tengah III sebagai raja yang memerintah sebelum Rakai Pikatan.
Prasasti paling lama yang dikeluarkan oleh Rakai Garung yaitu Prasasti Pengging dengan angka tahun 819.
Menurut de Casparis, Rakai Garung itu sama dengan Dang Karayan Partapan Pu Palar yang tertulis di Prasasti Gandasuli [1] Di prasasti itu, Dang Karayan lah yang mengadakan upacara sima. Nama Pu Palar juga ditemukan dalam Prasasti Karangtengah, bersamaan dengan Pramodawardhani dan Samaratungga. Putri Pramodhawardhani dianggap sama dengan Sri Kaluhunnan. Oleh karena itu, de Casparis menganggap bahwa Pramodawardhani adalah menantu Rakai Garung yang menikah dengan Rakai Pikatan.
Beda lagi pendapat dari Slamet Muljana. Ia menganggap bahwa Rakai Garung adalah Samaratungga. Rakai Garung tidak sama dengan Dang Karayân Partâpan Pu Plâr.[2] Alasannya, Dang Karayân cuma memiliki gelar haji (raja kecil), bukan maharaja. Sementara Rakai Garung disebutkan memiliki gelar Maharaja.

Referensi

  1. ^ R. Soekmono. The Javanese Candi: Function and Meaning. EJ Bril. 1995
  2. ^ Sriwijaya. Slamet Muljana. LKiS. 2006
Sumber

6. Rakai Pikatan

Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku adalah raja keenam Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno) yang memerintah sekitar tahun 840-an – 856.

Nama Asli dan Gelar

Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah Mpu Manuku. Pada prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan. Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai Pikatan.
Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun 850 Mpu Manuku kembali bergelar Rakai Patapan. Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun 832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat itu ia sudah menjadi maharaja. Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah Kerajaan Medang di mana seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah, misalnya Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Menurut prasasti Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.
Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Mamrati turun takhta dan menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856.

Perkawinan dengan Pramodawardhani

Prasasti Wantil juga menyinggung perkawinan Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan Mpu Manuku dengan seorang putri beragama lain. Para sejarawan sepakat bahwa putri itu ialah Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana, sementara Mpu Manuku sendiri memeluk agama Hindu Siwa.
Pramodawardhani adalah putri Samaratungga yang namanya tercatat dalam prasasti Kayumwungan tahun 824. Saat itu yang menjabat sebagai Rakai Patapan adalah Mpu Palar, sedangkan nama Mpu Manuku sama sekali tidak disebut. Mungkin saat itu Pramodawardhani belum menjadi istri Mpu Manuku.
Sejarawan De Casparis menganggap Rakai Patapan Mpu Palar sama dengan Maharaja Rakai Garung dan merupakan ayah dari Mpu Manuku. Keduanya merupakan anggota Wangsa Sanjaya yang berhasil menjalin hubungan perkawinan dengan Wangsa Sailendra.
Teori ini ditolak oleh Slamet Muljana karena menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar merupakan pendatang dari pulau Sumatra dan semua anaknya perempuan. Lagi pula, Mpu Manuku sudah lebih dulu menjabat sebagai Rakai Patapan sebelum Mpu Palar. Kemungkinan bahwa Mpu Manuku merupakan putra Mpu Palar sangat kecil.
Sementara itu, Mpu Manuku sudah menjabat sebagai Rakai Patapan pada tahun 807, sedangkan Pramodawardhani masih menjadi gadis pada tahun 824. Hal ini menunjukkan kalau perbedaan usia di antara keduanya cukup jauh. Mungkin, Rakai Pikatan Mpu Manuku berusia sebaya dengan mertuanya, yaitu Samaratungga.
Pramodawardhani bukanlah satu-satunya istri Rakai Pikatan. Berdasarkan prasasti Telahap diketahui istri Rakai Pikatan yang lain bernama Rakai Watan Mpu Tamer. Kiranya saat itu gelar mpu belum identik dengan kaum laki-laki.
Selir bernama Rakai Watan Mpu Tamer ini merupakan nenek dari istri Dyah Balitung, yaitu raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907).

Perang Melawan Balaputradewa

Balaputradewa putra Samaragrawira adalah raja Kerajaan Sriwijaya. Teori populer yang dirintis oleh sejarawan Krom menyebutkan bahwa, Samaragrawira identik dengan Samaratungga sehingga secara otomatis, Balaputradewa adalah saudara Pramodawardhani.
Dalam prasasti Wantil disebutkan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh Dyah Lokapala putra Jatiningrat. Dalam prasasti itu terdapat istilah Walaputra, yang ditafsirkan sebagai Balaputradewa. Akibatnya, muncul teori bahwa telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga yang berakhir dengan kekalahan Balaputradewa.
Slamet Muljana menolak anggapan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga karena menurut prasasti Kayumwungan, Samaratungga hanya memiliki seorang anak bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Samaragrawira lebih tepat disebut sebagai ayah dari Samaratungga. Dengan demikian, Balaputradewa merupakan paman dari Pramodawardhani.
Teori populer menganggap Balaputradewa membangun benteng dari timbunan batu di atas bukit Ratu Baka dalam perang melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Namun, menurut sejarawan Buchari, di bukit Ratu Baka tidak dijumpai prasasti atas nama Balaputradewa, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Mungkin tokoh ini yang memberontak terhadap pemerintahan Rakai Pikatan karena ia juga mengaku sebagai keturunan asli pendiri kerajaan, yaitu Sanjaya.
Sementara itu istilah Walaputra dalam prasasti Wantil bermakna “putra bungsu”. Jadi, istilah ini bukan nama lain dari Balaputradewa, melainkan julukan untuk Dyah Lokapala, yaitu pahlawan yang berhasil mengalahkan Rakai Walaing, musuh ayahnya.
Dengan demikian, teori populer bahwa telah terjadi perang saudara antara Rakai Pikatan melawan iparnya, yaitu Balaputradewa mungkin keliru. Kiranya Balaputradewa meninggalkan pulau Jawa bukan karena kalah perang, tetapi karena sejak awal ia memang sudah tidak memiliki hak atas takhta Kerajaan Medang, mengingat ia bukan putra Samaratungga melainkan adiknya.
Wangsa Sailendra di bawah pimpinan Dharanindra berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, bahkan sampai Kamboja. Sepeninggal Dharanindra, kekuasaannya diwarisi oleh Samaragrawira. Mungkin ia tidak sekuat ayahnya karena menurut prasasti Po Ngar, Kamboja berhasil merdeka dari penjajahan Jawa pada tahun 802.
Atas dasar tersebut, sepeninggal Samaragrawira mungkin kekuasaan Wangsa Sailendra dibagi menjadi dua, dengan tujuan agar pengawasannya bisa lebih mudah. Kekuasaan atas pulau Jawa diberikan kepada Samaratungga, sedangkan kekuasaan atas pulau Sumatra diberikan kepada Balaputradewa.

Pendirian Candi Prambanan

Prasasti Wantil disebut juga Prasasti Siwagrha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 856. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagrha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.
Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya.

Akhir Pemerintahan

Prasasti Wantil juga menyebutkan bahwa Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun takhta menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856. Takhta Kerajaan Medang kemudian dipegang oleh putra bungsunya, yaitu Dyah Lokapala alias Rakai Kayuwangi.
Penunjukan putra bungsu sebagai maharaja ini kiranya berdasarkan atas jasa mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni sang pemberontak. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan karena kelak muncul prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi. Nama ini tidak terdapat dalam daftar raja prasasti Mantyasih, sehingga dapat diperkirakan pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi telah terjadi perpecahan kerajaan.
Nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu ditemukan dalam prasasti Plaosan setelah Rakai Pikatan. Mungkin mereka adalah anak Rakai Pikatan. Atau mungkin juga hubungan antara Dyah Ranu dan Dyah Saladu adalah suami istri.
Pada tahun 807 Mpu Manuku sudah menjadi pejabat, yaitu sebagai Rakai Patapan. Ia turun takhta menjadi brahmana pada tahun 856. Mungkin saat itu usianya sudah di atas 70 tahun. Setelah meninggal dunia, Sang Jatiningrat dimakamkan atau didharmakan di desa Pastika.

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.