Selasa, 21 Januari 2014

Filled Under:

Tokoh Kesultanan Demak 8

11. Arya Pangiri

Arya Pangiri adalah adipati Demak yang berhasil menjadi raja kedua Kesultanan Pajang, yang memerintah tahun 1583-1586 bergelar Sultan Ngawantipura. Menurut kronik Cina Kuil Sam Po Kong, Ja Tik Su (Sunan Kudus?) melantik seorang putera dari Mukming/Raden Mukmin sebagai raja Demak sepeninggal Mukming/Raden Mukmin yang tewas terbunuh.[1]

Asal-Usul

Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya.
Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.

Arya Pangiri Sebagai Bupati Demak

Kerajaan Aceh mencatat Arya Pangiri sebagai seorang bupati yang mudah curiga. Pada tahun 1564 Sultan Ali Riayat Syah raja Aceh mengirim utusan meminta bantuan Demak untuk bersama mengusir Portugis dari Malaka. Tapi Arya Pangiri justru membunuh utusan tersebut. Akhirnya pada tahun 1567 Aceh tetap menyerang Malaka tanpa bantuan Jawa. Serangan itu gagal walaupun memakai meriam hadiah dari sultan Turki.

Arya Pangiri Merebut Pajang

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus.

Pemerintahan Arya Pangiri

Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya.
Arya Pangiri melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.

Kekalahan Arya Pangiri

Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya di Mataram. Kedua saudara angkat itu berunding di desa Weru. Akhirnya diambilah keputusan untuk menyerbu Pajang.
Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berangkat untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhtanya. Perang terjadi di kota Pajang. Pasukan Arya Pangiri yang terdiri atas 300 orang Pajang, 2000 orang Demak, dan 400 orang seberang dapat ditaklukkan. Arya Pangiri sendiri tertangkap dan diampuni nyawanya atas permohonan Ratu Pembayun, istrinya.
Sutawijaya mengembalikan Arya Pangiri ke Demak, serta mengangkat Pangeran Benawa sebagai raja baru di Pajang.

Catatan kaki

  1. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 71. ISBN 9798451163.ISBN 9789798451164

Sumber
========================================================================

12. Fatahillah

Fatahillah adalah tokoh yang dikenal mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa dan memberi nama "Jayakarta" yang berarti Kota Kemenangan, yang kini menjadi kota Jakarta. Ia dikenal juga dengan nama Falatehan. Ada pun nama Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah, yang sering dianggap orang sama dengan Fatahillah, kemungkinan besar adalah mertua dari Fatahillah.

Latar belakang

Ada beberapa pendapat tentang asal Fatahillah. Satu pendapat[siapa?] mengatakan ia berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang kemudian pergi meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut dikuasai Portugis. Fatahillah pergi ke Mekah, lalu ke tanah Jawa, Demak, pada masa pemerintahan Sultan Trenggono.[rujukan?] Ada pendapat lain yang mengatakan[siapa?] bahwa Fatahillah adalah putra dari raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran.[rujukan?] Pendapat lainnya lagi mengatakan[siapa?] Fatahillah dilahirkan pada tahun 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, dengan Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rasa.[rujukan?]. Namun tidak jelas dari tradisi mana ketiga pendapat ini berasal.
Ada sumber sejarah yang mengatakan[siapa?] sebenarnya ia lahir di Asia Tengah (mungkin di Samarqand), menimba ilmu ke Baghdad, dan mengabdikan dirinya ke Kesultanan Turki, sebelum bergabung dengan Kesultanan Demak.[rujukan?] Namun pendapat ini juga tidak jelas berasal dari mana.

Hubungan antara Sunan Gunung Jati dan Fatahillah

Penelitian terakhir[siapa?] menunjukkan Sunan Gunung Jati tidak sama dengan Fatahillah. Sunan Gunung Jati adalah seorang ulama besar dan muballigh yang lahir turun-temurun dari para ulama keturunan cucu Muhammad, Imam Husayn.[rujukan?] Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Jamaluddin Akbar.[rujukan?] Jamaluddin Akbar adalah Musafir besar dari Gujarat, India yang memimpin putra-putra dan cucu-cucunya berdakwah ke Asia Tenggara, dengan Campa (pinggir delta Mekong, Kampuchea sekarang) sebagai markas besar.[rujukan?] Salah satu putra Syekh Jamaluddin Akbar (lebih dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar) adalah Syekh Ibrahim Akbar (ayah Sunan Ampel).[rujukan?]
Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan, orang Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama).
Dalam wawancara dengan majalah Gatra di akhir dekade 90, alm. Sultan Sepuh Cirebon juga mengkonfirmasi perbedaan 2 tokoh besar ini dengan menunjukkan bukti 2 makam yang berbeda. Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati sebenarnya dimakamkan di Gunung Sembung, sementara Fatahillah (yang menjadi menantu beliau dan Panglima Perang pengganti Pati Unus) dimakamkan di Gunung Jati.
Menurut Saleh Danasasmita sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam bab Surawisesa, Fadhlullah Khan masih berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyut beliau Zainal Alam Barakat adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat,India.

Sumber
========================================================================

13. Sunan Ngudung

Sunan Ngudung atau Sunan Undung (lahir: ? - wafat: 1524) adalah seorang anggota Walisanga yang juga bertindak sebagai imam Masjid Demak pada pemerintahan Sultan Trenggana. Naskah-naskah babad mengisahkan ia gugur dalam perang melawan Kerajaan Majapahit.

Asal-Usul

Nama asli Sunan Ngudung adalah Raden Usman Haji, putra Sunan Gresik kakak Sunan Ampel. Atau dengan kata lain, ia masih sepupu Sunan Bonang. Sunan Ngudung menikah dengan Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel. Dari perkawinan tersebut lahir Raden Amir Haji, yang juga bernama Jakfar Shadiq alias Sunan Kudus.
Sunan Ngudung diangkat sebagai imam Masjid Demak menggantikan Sunan Bonang sekitar tahun 1520. Selain itu ia juga tergabung dalam anggota dewan Walisanga, yaitu suatu majelis dakwah agama Islam di Pulau Jawa.

Kisah Kematian

Naskah-naskah babad, misalnya Babad Demak atau Babad Majapahit lan Para Wali mengisahkan Sunan Ngudung tewas ketika memimpin pasukan Kesultanan Demak dalam perang melawan Kerajaan Majapahit. Menurut naskah-naskah legenda tersebut, perang antara dua kerajaan ini terjadi pada tahun 1478. Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah melawan Kerajaan Majapahit yang untuk menengakkan keadilan. karena pada tahun itu Brawijaya V atao Bhre Kertabhumi diserang oleh Girindra wardhana yang di tanai dengan condro sengkala Sirna Ilang Kertaning bumi atau 1440 Saka/ 1478 M. sedang pada saat diserang oleh Girindrawardhana Bhre Kertabhumi menyelamatkan diri ke Gunung Lawu. Sunan Ngudung diangkat sebagai panglima perang menghadapi musuh yang dipimpin oleh Raden Kusen, adik tiri Raden Patah sendiri yang menjabat sebagai adipati Terung (dekat Krian, Sidoarjo). Raden Kusen merupakan seorang muslim namun tetap setia terhadap Majapahit. Dalam perang tersebut Sunan Ngudung memakai baju perang bernama Kyai Antakusuma (sekarang disebut Kyai Gondil). Baju pusaka itu diperoleh Sunan Kalijaga dan konon merupakan baju perang milik Nabi Muhammad.
Sunan Ngudung dalam pertempuran itu gugur sebagai syahid.
Jabatan Sunan Ngudung sebagai panglima perang kemudian digantikan oleh Sunan Kudus. Di bawah kepemimpinannya pihak Demak berhasil mengalahkan Majapahit.

Tahun Kematian

Menurut prasasti Trailokyapuri diketahui bahwa Majapahit runtuh bukan akibat serangan Demak melainkan karena perang saudara melawan keluarga Girindrawardhana. Namun siapa nama raja Majapahit saat itu tidak disebutkan dengan jelas.Pararaton menyebut nama Bhre Kertabhumi sebagai raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Girindrawardhana yang kemudian Bhre Kertabhumi menyelamatkan diri ke Gunung Lawu.
Setelah penyerangan inilah kemudian Raden Fatah (adipati demak yang kemudian menjadi sultan Demak)mengumpulkan bala tentara untuk membantu Bhre Kertabhumi. Ayahnya yang telah diserang Majapahit. Namun dalam penyerangan Raden Fatah mengalami kekalahan. Setelah kekalahan ini Para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.
Pada tahun 1481 M Raden Fatah mengirimkan tentara lagi untuk menyerang Girindrawardahana di Majapahit. Pada serangan ini Raden Fatah memperoleh kemenangan sehingga Majapahit takluk dibawah Raden Fatah. Pada tahun 1982 Raden Fatah dilantik menjadi Sultan Demak.
Naskah Hikayat Hasanuddin menyebutkan pada tahun 1524 imam Masjid Demak yang bernama Pangeran Rahmatullah tewas ketika memimpin perang melawan Majapahit. Tokoh ini kemungkinan besar identik dengan Sunan Ngudung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian Sunan Ngudung terjadi pada tahun 1524, bukan 1478 sebagaimana yang tertulis dalam naskah babad.



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.