Selasa, 21 Januari 2014

Filled Under:

Tokoh Kesultanan Demak 5

5. Sunan Prawoto

Sunan Prawoto (nama lahirnya Raden Mukmin atau ejaan China Muk Ming[1]) adalah raja Demak keempat, yang memerintah tahun 1546-1549. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli agama daripada ahli politik. Pada masa kekuasaannya, daerah bawahan Demak seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya. Menurut Babad Tanah Jawi, ia tewas dibunuh oleh orang suruhan bupati Jipang Arya Penangsang, yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Setelah kematiannya, Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan Kerajaan Demak pun berakhir.

Masa muda

Naskah babad dan serat[rujukan?] menyebut Raden Mukmin sebagai putera sulung raja Demak Trenggana. Ia lahir saat ayahnya masih sangat muda dan belum menjadi raja.
Pada tahun 1521, Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua adiknya, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin, bersaing memperebutkan tahta. Raden Trenggana adalah adik kandung Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri Raden Patah; sedangkan Raden Kikin yang lebih tua usianya lahir dari selir, yaitu putri bupati Jipang.
Raden Mukmin memihak ayahnya dalam persaingan ini. Ia mengirim pembantunya bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat. Raden Kikin tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki Surayata. Sejak saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, dalam bahasa Jawa artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda Lepen meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.

Pemerintahan

Sepeninggal Trenggana yang memerintah Demak tahun 1521-1546, Raden Mukmin selaku putra tertua naik tahta. Ia berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun, keterampilan berpolitiknya tidak begitu baik, dan ia lebih suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja. Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Lokasinya saat ini kira-kira adalah desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.
Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto.[rujukan?] Pada tahun 1548, Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.
Cita-cita Sunan Prawoto pada kenyataannya tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan, seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas; sedangkan Demak tidak mampu menghalanginya.[rujukan?]

Kematian

Sepeninggal Trenggana, selain Sunan Prawoto terdapat dua orang lagi tokoh kuat, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang dan Hadiwijaya bupati Pajang. Masing-masing adalah keponakan dan menantu Trenggana.
Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang mendapat dukungan dari gurunya, yaitu Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak. Pada tahun 1549 ia mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya. Menurut Babad Tanah Jawi,[rujukan?] pada suatu malam Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Sunan mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen. Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni. Rangkud setuju, lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus. Ternyata istri Sunan yang sedang berlindung di balik punggungnya ikut tewas pula. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan sempat membunuh Rangkud dengan sisa-sisa tenaganya.
Pada tahun 1549 itu pula, Aryo Penangsang berhasil dibunuh oleh Danang Sutawijaya atas siasat dari Ki Juru Martani.
Sunan Prawoto meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Arya Pangiri, yang kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah dewasa, Arya Pangiri menjadi menantu Hadiwijaya, raja Pajang, dan diangkat sebagai bupati Demak.
Menurut kronik Cina Kuil Sam Po Kong, Ja Tik Su melantik seorang putera dari Mukming/Raden Mukmin sebagai raja Demak sepeninggal Mukming/Raden Mukmin.

Kronik Cina

Raden Mukmin disebut dengan nama Muk Ming, menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang. Disebutkan bahwa pada tahun 1529, ia menggantikan Kin San (Raden Kusen) sebagai kepala galangan kapal di Semarang. Kin San adalah adik Jin Bun (Raden Patah).
Muk Ming dibantu masyarakat Cina yang muslim dan non muslim bekerja menyelesaikan 1.000 kapal besar yang masing-masing dapat memuat 400 orang prajurit. Pembangunan kapal-kapal perang tersebut untuk kepentingan angkatan laut ayahnya, yaitu Tung-ka-lo (Trenggana) yang berniat merebut Maluku. Belum sempat Tung-ka-lo merebut Maluku, ia lebih dulu tewas saat menyerang Panarukan tahun 1546. Muk Ming pun naik takhta namun dimusuhi sepupunya yang menjadi bupati Ji-pang (Arya Penangsang). Perang saudara terjadi, dan kota Demak dihancurkan bupati Ji-pang. Muk Ming pindah ke Semarang tapi terus dikejar musuh, sehingga ia akhirnya tewas di kota itu. Galangan kapal hancur terbakar pula, dan yang tersisa hanya masjid dan kelenteng saja.

Catatan kaki

  1. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 70. ISBN 9798451163.ISBN 9789798451164
Sumber 
========================================================================

6. Arya Penangsang

Arya Penangsang atau Arya Jipang atau Ji Pang Kang[1] adalah Bupati Jipang Panolan yang memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia melakukan pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, penguasa terakhir Kerajaan Demak tahun 1549, namun dirinya sendiri kemudian tewas ditumpas para pengikut Hadiwijaya, penguasa Pajang. Riwayat mengenai Arya Penangsang tercantum dalam beberapa serat dan babad yang ditulis ulang pada periode bahasa Jawa Baru (abad ke-19), seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Arya Penangsang juga terkenal sakti mandraguna.

Silsilah

Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patah raja Demak pertama. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.
Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").
Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai bupati Jipang Panolan. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Cepu, Blora, Jawa Tengah.

Aksi pembunuhan

Trenggana naik takhta Kerajaan Demak sejak tahun 1521. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai raja keempat bergelar Sunan Prawoto.
Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.
Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.
Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.
Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Trenggana yang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.
Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.

Sayembara

Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.
Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.
Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.

Kematian

Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.
Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.
Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.
Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.

Dampak budaya

Kisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa, khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.
Tapi bagi masyarakat sekitar Cepu entah itu yang berada di Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro berpendapat lain. Untaian bunga melati pada keris pengantin pria Jawa diibaratkan sebagai lambang kegagahan Arya Penangsang. Meskipun telah terburai isi perutnya, namun Arya Penangsang tetap masih mampu tegap berdiri hingga titik darah penghabisan. Dari perlambang itu, diharapkan sang pengantin laki-laki kelak bisa menjaga kemakmuran, kebahagiaan, keutuhan dan kehormatan rumah tangga meski dalam keadaan kritis seperti apa pun. Seperti halnya Arya Penangsang yang tetap memegang prinsip hingga ajal tiba.

Catatan kaki

  1. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 70. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.