Selasa, 21 Januari 2014

Filled Under:

Kesultanan Luwu 2

Sawerigading

Sawerigading adalah nama seorang putera raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi nama Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung[1]. Nama ini dikenal melalui cerita yang termuat dalam Sureq Galigo (Periksa Edisi H. Kern 1939), dimulai ketika para dewa dilangit bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi (dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak menggantikan ayahnya penguasa di Luwu.
Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara Lattu’. Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit. Dari perkawinan keduanya lahirlah Sawerigading dan We Tenriabeng sebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan[2].
Mengenai masa hidup Sawerigading terdapat berbagai versi di kalangan ahli sejarah. Menurut versi Towani-Tolotang di Sidenreng, Sawerigading lahir pada tahun 564 M. Jika versi ini dihadapkan dengan beberapa versi lain, maka data ini tidak terlalu jauh perbedaanya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan tiga versi mengenai masa hidup Sawerigading, yaitu :
  1. Versi Sulawesi Tenggara, abad V;
  2. Versi Gorontalo, 900 dikurangi 50 = 850;
  3. Versi Kelantan - Terengganu, tahun 710.
Sepertinya, versi Sulawesi Tenggara lebih dekat dengan versi yang dikemukakan oleh masyarakat Towani-Tolotang. Mereka menetapkan versi ini sebab menurut kepercayaan mereka Sawerigading sezaman dengan Nabi Muhammad, bahkan pernah bertemu[3].

Perjalanan ke negeri Cina

Berdasarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus dibesarkan terpisah agar kelak bila mereka menjadi dewasa tidak akan saling jatuh cinta. Namun demikian suratan menentukan yang lain, sebab dirantau Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai seorang saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya. Sejak itu hatinya resah hinggah pada suatu waktu ia berhasil melihatnya dan langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksud itu mendapat tentangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak, karena kawin bersaudara merupakan pantangan yang jika dilanggar akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri kebingungan. Melalui suatu dialog yang panjang, berhasil juga We Tenriabeng membujuk saudaranya untuk berangkat ke negeri Cina memenuhi jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perawakannya sama benar dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke Cina, We Tenriabeng sendiri naik kelangit dan kawin dengan tunangannya di sana bernama Remmang ri Langi. Dengan mengatasi hambatan demi hambatan, akhirnya berhasil juga Sawerigading mengawini I We Cudai yang tunangannya, Settiaponga sudah lebih dahulu dikalahkan, dalam suatu pertempuran di tangah laut dalam perjalanan menuju ke Cina. Mereka hidup rukun damai dan memperoleh tiga orang anak yaitu : I La Galigo , I Tenridia dan Tenribalobo. Dari seorang selirnya I We Cimpau, Sawerigading memperoleh seorang anak bernama We Tenriwaru.
Dalam pada itu La Galigo pun menjadi dewasa, merantau, menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika I We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan sumpahnya dahulu, ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, akhirnya iapun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewa- dewa yang ada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi dengan masing-masing seorang wakil.
Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang ke Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk menggantikan neneknya sebagai raja peretiwi. Di peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang kemudian kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya dikirim ke Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan untuk memperbarui darah mereka sebagai penguasa.


(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.