Selasa, 21 Januari 2014

Filled Under:

Kerajaan Sambas Kuno

Berdiri 1300-1675
Didahului oleh Kerajaan Tan Unggal
Digantikan oleh Kesultanan Sambas
Ibu kota Sambas
Bahasa Sambas
Agama Hindu,[rujukan?][1] Islam
Pemerintahan
-Raja pertama
-Raja terakhir
Monarki
Pangeran Saboa Tangan
Raden Mas Dungun
Sejarah
-Didirikan
-Zaman kejayaan
-Krisis suksesi

1300
1300-1675 (1 Oktober 1609 Protektorat VOC-Belanda)[2]
1675
Kerajaan Sambas kuno[3]adalah negara Sambas kuno yang mula-mula berdiri sekitar abad ke 7 (lihat: Pupuh XII dan XIV[4]) hingga sampai masa Kerajaan Panembahan Sambas yang berakhir sekitar tahun 1675 di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia.
Kerajaan Panembahan Sambas merupakan pendahulu kesultanan Sambas, sebagaimana halnya Kerajaan Kutai merupakan kerajaan pendahulu yang ditaklukan oleh Kesultanan Kutai. Tetapi Dinasti (garis keturunan) Raja-Raja Kerajaan Sambas berbeda dengan Dinasti / Nasab Sultan-Sultan Kesultanan Sambas.
Penguasa Kerajaan Sambas bergelar Ratu atau Panembahan. Ratu merupakan gelar penguasa yang levelnya berada dibawah dari gelar Maharaja (disebut Sultan pada masa Islam). Panembahan merupakan gelar yang mulai populer sejak 1500 karena digunakan oleh Panembahan Jimbun (alias Raden Patah), raja pertama Kesultanan Demak.
Pada mulanya negara Sambas (Kerajaan Nek Riuh) menjadi vazal Kerajaan Bakulapura (bawahan Singhasari). Pada masa itu Tanjung Dato menjadi perbatasan wilayah mandala Bakulapura/Tanjungpura/Sukadana dengan wilayah mandala Borneo/Brunei/Barune[5][6]Selanjutnya negara Sambas (Kerajaan Tan Unggal) menjadi vazal Kerajaan Tanjungpura (penerus Bakulapura) yaitu provinsi Majapahit di Kalimantan.[7]
Sambas terletak di antara jalur pelayaran dari Tiongkok ke Champa menuju Tuban (pelabuhan Majapahit). Sambas menjalin hubungan dengan Tiongkok pada tahun 1407 sejak terbentuknya pemukiman Tionghoa Hui Muslim Hanafi didirikan di Sambas. Pemukiman Tionghoa ini dibawah koordinator Kapten Cina di Champa, namun sejak tahun 1436 langsung di bawah gubernur Nan King.[8]
Kerajaan Sambas dan kerajaan lainnya di Kalimantan di bawah pengaruh Kesultanan Demak (penerus Majapahit). Tomé Pires melaporkan bahwa Tanjompure (Tanjungpura/Sukadana) dan Loue (Lawai) masing-masing kerajaan tersebut dipimpin seorang Patee (Patih). Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak. [9]. Kemungkinan besar penguasa Sambas dan Banjarmasin juga telah ditaklukan pada masa pemerintahan Sultan Demak Pati Unus/Pangeran Sabrang Lor/Yat Sun (1518-1521) sebelum menyerbu posisi Portugis di Malaka pada tahun 1521 dimana Pati Unus gugur dalam pertempuran tersebut.
Semenjak runtuhnya Demak, Banjarmasin memungut upeti kepada negara Sambas, Sukadana dan Batang Lawai dan menjadikannya vazal Kesultanan Banjar. Terakhir kalinya negara Sambas mengirim upeti ke Martapura pada masa pemerintahan Sultan Mustainbillah[10]Pada tanggal 1 Oktober 1609, Pangeran Adipati Saboa Tangan dari Kerajaan Sambas melakukan pakta kerja sama dengan VOC Belanda.
Sebelum berdirinya Kerajaan Sambas di wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri Kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah :
  1. Keraton I disebut Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
  2. Keraton II disebut Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
  3. Keraton III disebut Kerajaan Sambas pada abad 16 M.
  4. Keraton IV disebut Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca pada masa Majapahit (1365 M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu Rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkelogis (berupa gerabah, patung dari masa hindu)yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini telah berdiri Kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.

Panembahan Ratu Sapudak

Panembahan Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini dapat disebut juga dengan nama "Panembahan Sambas". Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.[rujukan?]Pada 1 Oktober 1609 saat masa Ratu Sepudak telah mengadakan perjanjian dagang dengan Samuel Bloemaert dari VOC yang ditanda tangani di kota Lama
Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M.[rujukan?] Pada tahun 1364 pasukan majapahit telah mendarat di Pangkalan Jawi.kini daerah itu bernama Jawai Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir.[rujukan?], Raja Tan Unggal merupakan anak asuh dari Ratu Sapudak yang berhasil naik tahta dengan menyingkirkan putera dan puteri Ratu Sapudak yakni Bujang Nadi dan Dare Nandung yang dikuburkan hidup hidup dibukit Sebedang dengan tuduhan kedua bersaudara itu berniat kawin sesama saudara (lihat: Legenda Bujang Nadi Dare Nandung) Pada saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah terjadi kudeta rakyat dengan terbunuhnya Raja Tan Unggal secara tragis dengan dimasukkan kedalam peti dan petinya dibuang kedalam sungai Sambas (Lihat: dato’ Ronggo) dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.[rujukan?]
Setelah lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak.
Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda. Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Anom.
Beberapa lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun, anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.
Tidak berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan telah menjadi seorang Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang menuju Kesultanan Sarawak.
Dalam perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda Sultan Tengah secara tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah hingga tewas. Namun demikian luka yang dialami Baginda Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian membawa kepada kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya (Adik-adik dari Raden Sulaiman).
Sepeninggal Ayahnya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Aryo Mangkurat yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang kemudian dilampiaskannya setelah Ayah Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan Sambas ini sehingga penganut Islam di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak. Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan yang berarti yang cenderung untuk mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya. Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.
Maka kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahnya (Baginda Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk Islam.

Raja Sambas

Daftar Ratu (Pangeran Adipati) dan Panembahan yang memerintah Kerajaan Sambas:
  1. Saboa Tangan Pangeran Adipati Sambas (1609)[11])
  2. Ratu Timbang Paseban bin Saboa Tangan
  3. Ratu Sapudak bin Saboa Tangan (1650-1652)[12]
  4. Ratu Anom Kesumayuda (Pangeran Prabu Kencana) bin Ratu Timbang Paseban[13]
  5. Panembahan di Kota Balai (Raden Bekut)[14]
  6. Raden Mas Dungun

Hubungan Kerajaan Panembahan Sambas dan Kesultanan Banjar sampai abad ke-17

Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Sambas sebagai salah satu negeri di provinsi Tanjungnagara (beribukota di Tanjungpura) yang telah ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Gajah Mada. Sedangkan menurut Hikayat Banjar, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa, pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar Hindu), Sambas merupakan salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang menyerahkan upeti. Dalam Hikayat Banjar, penguasa Sambas disebut Raja Sambas demikian juga penguasa Sukadana disebut Raja Sukadana sementara daerah Kota Waringin, Pasir dan Berau penguasanya disebut orang besar. Jika berada di pusat keraton Banjar maka Raja Sambas disebut Dipati Sambas/Pangeran Adipati Sambas dan Raja Sukadana disebut Dipati Sukadana/Pangeran Adipati Sukadana yang dianggap sebagai raja bawahanan dari Sultan Banjar yang bertindak sebagai pemerintah pusat. Saat itu raja-raja di Kalimantan masih setaraf Panembahan atau Pangeran Adipati dan belum ada yang bergelar Sultan, kecuali Sultan Brunei dan Sultan Banjar. Pada masa pemerintahan Sultan Banjar ke-4 Marhum Panembahan/Sultan Mustainbillah yang berkuasa tahun 1595-1642, setelah mengutus Kiai Martasura ke Makassar untuk bertemu Karaeng Patinggaloang, maka kira-kira antara tahun 1638-1640, seorang raja Sambas (Saboa Tangan Pangeran Adipati Sambas) telah datang ke Kesultanan Banjar untuk mempersembahkan upeti berupa dua biji intan dan barang-barang lainnya. Intan yang satu ada sedikit bercak kotor ukurannya sebesar buah tanjung dinamakan Si Giwang, sedangkan yang sebuah lagi berukuran sebesar telur burung dara dinamakan Si Misim. Sejak saat itulah Sambas tidak lagi disuruh menyerahkan upeti tiap-tiap tahun, tetapi hanya jika saat-saat Sultan Banjar menyuruh mengirimkan barang yang dikehendakinya maka jangan tidak dicarikan barang tersebut. Selanjutnya intan Si Misim dipersembahkan oleh Marhum Panembahan/Sultan Mustainbillah kepada raja Mataram Sultan Agung[10]. Tahun 1546 raja Demak Sultan Trenggono mangkat. Ia telah berjasa menolong Sultan Suriansyah mendirikan Kesultanan Banjar. Sejak runtuhnya Demak, Sultan Banjarmasin melepaskan diri dan tidak pernah lagi mengirim upeti kepada pemerintahan Jawa berikutnya. Pada masa Sultan Hidayatullah I (ayah Marhum Panembahan), Mataram menyerang Banjarmasin dan menawan putra mahkota Ratu Bagus di Tuban. Sejak itu hubungan Mataram dan Banjarmasin mengalami ketegangan. Namun sejak tahun 1637 hubungan Banjarmasin dan Mataram membaik dan Ratu Bagus dibebaskan dari tawanan. Maka tibalah di pelabuhan Jepara pada bulan Oktober tahun 1641 utusan Marhum Panembahan mengirim persembahan (hadiah/bukan upeti) berupa intan Si Misim (upeti dari raja Sambas dahulu) dan barang lainnya seperti lada, rotan, tudung dan lilin. Sebagai utusan anandanya sendiri yang dilahirkan dari selir seorang Jawa yaitu Pangeran Dipati Tapesana beserta mangkubumi Kiai Tumenggung Raksanagara dan seorang menteri Kiai Narangbaya disertai dua ratus pengiring.
Hikayat Banjar, menyebutkan[10] :

  • Hubungan Negara Dipa (Banjar Hindu) dengan Sambas pada masa Maharaja Suryanata menyebutkan :
Hatta berapa lamanya maka raja perempuan itu hamil pula. Sudah genap bulannya genap harinya maka beranak laki-laki pula. Maka tahta kerajaan, beranak itu seperti demikian jua, dinamai Raden Suryawangsa. Kemudian daripada itu, Raden Suryaganggawangsa itu sudah taruna, Raden Suryawangsa itu baharu kepinggahan (= tanggal gigi) itu, maka seperti raja Sukadana, seperti raja Sambas, seperti orang besar-besar Batang Lawai, seperti orang besar di Kota Waringin, seperti raja Pasir, seperti Kutai, seperti Karasikan, seperti orang besar di Berau, sekaliannya itu sama takluk pada Maharaja Suryanata di Negara-Dipa itu. Majapahit pun, sungguh negeri besar serta menaklukkan segala negeri jua itu, adalah raja Majapahit itu takut pada Maharaja Suryanata itu. Karena bukannya raja seperti raja negeri lain-lain itu asalnya kedua laki-isteri itu maka raja Majapahit hebat itu; lagi pula Lambu Mangkurat itu yang ditakutinya oleh raja Majapahit dan segala menteri Majapahit itu sama hebatnya pada Lambu Mangkurat itu. Maka banyak tiada tersebutkan.[10]

  • Hubungan Banjar dengan Sambas pada masa Sultan Suriansyah menyebutkan :
Sudah itu maka orang Sebangau, orang Mendawai, orang Sampit, orang Pembuang, orang Kota Waringin, orang Sukadana, orang Lawai, orang Sambas sekaliannya itu dipersalin sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim barat sekaliannya negeri itu datang mahanjurkan upetinya, musim timur kembali itu. Dan orang Takisung, orang Tambangan Laut, orang Kintap, orang Asam-Asam, orang Laut-Pulau, orang Pamukan, orang Paser, orang Kutai, orang Berau, orang Karasikan, sekaliannya itu dipersalin, sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim timur datang sekaliannya negeri itu mahanjurkan upetinya, musim barat kembali.[10]

  • Hubungan Banjar dengan Sambas pada masa Sultan Mustain Billah alias Marhum Panembahan menyebutkan :
Kemudian daripada itu datang raja Sambas maaturkan intan dua biji, serta ada barang lain-lain yang ada di Sambas itu diaturkannya tetapi yang tersebutkan intan dua biji. Yang satu rigat (= kotor) sedikit, besarnya seperti buah tanjung, dinamai Si Giwang. Satu besarnya seperti telur burung dara, itu dinamai Si Misim. Pangandika (= perkataan) Marhum Panambahan pada raja Sambas:”Dipati Sambas, nyawa (= kamu) sudah jangan lagi mahanjurkan upati seperti zaman dahulu kala. Hanya lamun ada aku menyuruh barang yang kukehendaki itu jangan tiada carikan. Maka lamun ada kehendak nyawa (=kamu) barang sesuatu menyuruh ke mari.” Sembah raja Sambas:” Nugraha sampian (= anda) itu kaula (= saya) junjung kaula suhun atas batu kepala kaula.” Demikianlah mulanya maka Sambas tiada lagi tiap-tiap tahun maaturkan upati ke Martapura itu. Banyak tiada tersuratkan.[10]

Semua data yang dijelaskan di atas adalah untuk masa Kerajaan Sambas hindu sedangkan setelah masa Kerajaan Sambas hindu ini dilanjutkan dengan masa Panembahan Sambas hindu yang berbeda keturunan (Dinasti / Nasab) dengan Kerajaan Sambas hindu itu, setelah masa Panembahan Sambas hindu itu dilanjutkan lagi masa pemerintahan Kesultanan Sambas dimana Kesultanan Sambas ini berbeda keturunan (Dinasti / Nasab) dengan Kerajaan Sambas hindu maupun Panembahan Sambas hindu. Masa Pemerintahan Kesultanan Sambas inilah yang datanya jauh lebih jelas dan lengkap dibandingkan dengan masa-masa Kerajaan-Kerajaan Sambas sebelumnya. Keturunan dari Raja-Raja Kerajaan Sambas hindu dan Panembahan Sambas hindu telah hilang jejaknya, yang ada sekarang sebagai keturunan Kerajaan Sambas adalah dari Raja-Raja Kesultanan Sambas yang berkembang luas hingga sekarang ini. Jadi Kerajaan Sambas yang dimaksudkan masyarakat saat ini adalah Kesultanan Sambas, bukan Kerajaan Sambas hindu atau Panembahan Sambas hindu dimana data-data yang disebutkan di atas alinea ini adalah untuk masa Kerajaan Sambas hindu dan Panembahan Sambas hindu, bukan untuk Kesultanan Sambas yang ada sekarang. Kesultanan Sambas itu tidak sama dengan Kerajaan Sambas yang dibahas pada halaman ini, Kerajaan Sambas itu adalah Kerajaan yang ada di wilayah Sungai Sambas sebelum berdirinya Kesultanan Sambas. Luas wilayah kekuasaan Kerajaan Sambas itu tidak sebesar wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas. Sedangkan yang ditunjukkan pada peta awal halaman ini adalah bukan wilayah kekuasaan Kerajaan Sambas tetapi adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas.

Sedangkan pada masa pemerintahannya, Kesultanan Sambas yang berdiri sejak tahun sekitar tahunn 1675 M, tidak pernah tunduk / bernaung kepada pihak-pihak kekuasaan manapun baik itu Kerajaan lainnya di Nusantara ini ataupun pihak Kolonoal Eropa hingga kemudian pada masa Sultan Sambas ke-10 yaitu Sultan Umar Akamaddin III (tahun 1831 M), kekuasaan Kolonial Hindia Belanda mulai memengaruhi pemerintahan Kesultanan Sambas hingga masa kemerdekaan RI.
Bahkan Kesultanan Sambas sempat menjadi Kerajaan terbesar di wilayah Kalimantan Barat selama sekitar 100 tahun yaitu dari awal abad ke-18 (tahun 17-an) hingga awal abad ke-19 (tahun 18-an), baru kemudian setelah Hindia Belanda mulai berkuasa di wilayah Kalimantan Barat, Kejayaan Kesultanan Sambas mulai meredup dan kemudian kebesaran Kesultanan Sambas itu digantikan oleh Kesultanan Pontianak.[rujukan?]
Peta wilayah yang ditunjukkan di awal halaman ini adalah batas wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas dari masa Sultan Sambas ke-4 yaitu Sultan Abubakar Kamaluddin (1730) hingga berakhirnya masa pemerintahan Kesultanan Sambas dengan bergabung kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950. Bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas tersebut diatas kemudian pada tahun 1956 dijadikan sebagai wilayah Kabupaten Sambas yang berlangsung selama sekitar 44 tahun hingga kemudian pada tahun 2000 wilayah Kabupaten Sambas itu dimekarkan menjadi 2 Kabupaten dan 1 Kota yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang seperti yang ada sekarang (2012. Jadi bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas sekarang menjadi wilayah dari 2 Kabupaten dan 1 Kota yaitu Kota Singkawang, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas yang sejak berpuluh tahun oleh masyarakat di wilayah ini di kenal dengan sebutan populer yaitu "SINGBEBAS" singkatan dari Singkawang, Bengakayang dan Sambas wilayah-wilayah inilah yang dahulu merupakan wilayah kekuasaan KESULTANAN SAMBAS. (Sumber : 1. Arsip Nasional RI, Jakarta, 2. Silsilah Kesultanan Sambas, 3. Berita Daerah Provinsi Kalimantan Barat tahun 1956)

Catatan kaki

  1. ^ Silver Buddha on a bronze lotus base - Sculpture from the Sambas Treasure
  2. ^ (Indonesia) Arsip Nasional Republik Indonesia, Inventaris arsip Borneo Westerafdeeling, 1609-1890 dan Borneo Zuid en Oosterafdeeling, 1664-1890, Arsip Nasional Republik Indonesia, 1986
  3. ^ Raja Sambas merupakan sebutan untuk penguasa Tanah Sambas sebelum tahun 1675 seperti tertulis dalam Hikayat Banjar (1663)
  4. ^ (Belanda)Kern, Hendrik (1918). H. Kern: deel. De Nāgarakṛtāgama, slot. Spraakkunst van het Oudjavaansch. M. Nijhoff.
  5. ^ (Inggris) Smedley, Edward (1845). Encyclopædia metropolitana; or, Universal dictionary of knowledge. hlm. 713.
  6. ^ (Inggris)Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. hlm. 7.
  7. ^ (Indonesia) Bambang Pramudito, Kitab Negara Kertagama: sejarah tata pemerintahan dan peradilan Kraton Majapahit, Penerbit Gelombang Pasang, 2006
  8. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 61. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
  9. ^ Sejarah Nasional Indonesia; Pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaaan
  10. ^ a b c d e f (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  11. ^ (Belanda) L. C. van Dijk, Ne©erland's vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Camobdja, Siam en Cochin-China, Scheltema, 1862
  12. ^ (Indonesia) Sejarah Singkat Sambas dalam situs www.sambas.go.id/profile-daerah/sejarah-singkat.html
  13. ^ (Indonesia) Bangun Kampung dan Menyebarkan Islam: Menelusuri Keberadaan Istana Kerajaan di Kalbar dalam situs /www.kalbariana.net
  14. ^ (Indonesia) SEJARAH KERAJAAN SAMBAS dalam situs www.pontianakonline.com



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.