Rabu, 22 Januari 2014

Filled Under:

Tokoh dan Raja Mataram 4

Setelah kekalahan di Batavia

Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.

Akhir kekuasaan

Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.

 Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645)

Wafatnya Sultan Agung

Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.

Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890).

Referensi

  1. ^ Montanus, A. "Oud en nieuw Oost-Indien", hal. 358
  2. ^ [1] Afbeelding - AMH (Berkas AMH)
Sumber
========================================================================

7. Panji Pulangjiwa

Panji Pulangjiwo adalah tokoh dari Malang, Jawa Timur yang hidup pada masa Kesultanan Mataram sedang gencar-gencarnya dalam melakukan penyatuan pulau Jawa antara tahun 1600, saat itu Kesultanan Mataram sedang dipimpin oleh Sultan Agung. Panji Pulangjiwo adalah tokoh nyata yang namanya kemudian melegenda dalam sejarah Malang. Pada perang tahun 1614 antara Malang melawan Mataram, Panji Pulangjiwo inilah yang telah berhasil membunuh Tumenggung Surantani dari Mataram.
Legenda Panji Pulangjiwo
Berawal dari Panji Pulangjiwo saat datang ke Malang. Diceritakan ada dua versi, yang pertama sebagai pedagang, dan yang kedua sebagai pengungsi karena ada peperangan di Madura. Singkat cerita, Panji akhirnya ingin memperistri Proberetno (Putri Kadipaten Malang).
Di sisi lain, Sumolewo berasal dari Gempol-Porong, dan bekerja di Kadipaten Malang sebagai Aris di daerah Japanan-Malang. Sumolewo mempunyai seorang guru bernama Ki Japar Sodik yang terkenal mumpuni ilmu kanuragannya. Ki Japar Sodik pernah berpesan melarang Sumolewo tidak boleh memperistri Roro Ayu Proboretno, putri dari Adipati Malang. Dan apabila dilanggar, maka akan terjadi kematian yang disebabkan oleh seorang laki-laki dari utara timur yang memakai anting-anting dan berkumis.
Roro Ayu Proboretno adalah seorang gadis yang lincah dan suka ilmu kanuragan. Diceritakan, saat keluarganya menyarankan agar bersedia menikah, Proboretno sering menolak. Karena desakan itulah, akhirnya Proboretno mengajukan syarat yaitu, "Apabila ada seorang lelaki yang bisa mengalahkan kekuaatan ilmu kanuragannya maka sanggup untuk menjadi istrinya".
Akhirnya, Adipati Malang mengumumkan sayembara tersebut. Kabar sayembara sudah tersebar keluar daerah Kadipaten Malang. Karena merasa tertantang, Sumolewo pun bekeinginan untuk mengikuti sayembara tersebut. Sumolewo bertekad untuk melanggar pesan dari gurunya, yakni agar tidak memperistri Roro Ayu Proboretno.
Dia ingin menghidari takdir kematiannya, maka dia membuat aturan untuk melarang orang asing tidak boleh masuk daerah Kadipaten Malang. Apalagi, bagi yang mempunyai ciri-ciri : berasal dari arah utara timur, masih muda dan berkumis. Bila terdapat orang dengan ciri-ciri tersebut, maka akan langsung diberhentikan dan dibunuh di daerah Lawang (daerah tersebut akhirnya dijuluki kali getih).
Tetapi tindakan Sumolewo ini pun tidak berhasil. Raden Panji Pulangjiwo, seseorang dengan ciri-ciri yang disebutkan tadi akhirnya bisa memasuki Kadipaten Malang. Raden Panji pun mengikuti sayembara.
Pada masa pelaksanaan sayembara, Sumolewo ingin melawan Raden Panji. Terjadilah pertempuran yang sengit yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Panji. Sumolewo pun meninggal.
Raden Panji akhirnya berkesempatan untuk bertanding kemampuannya dengan Roro Proboretno. Karena kesaktian Raden Panji lebih unggul, Roro Ayu Proboretno terdesak lari dan bersembunyi di Gua Tepi Sungai Brantas (gua bertapanya Proboretno).
Goa ini ditutup dengan batu yang bernama “Nini Growah” yang dipakai untuk bersembunyi waktu perang kesaktian. Meski begitu, persembunyian ini bisa diketahui oleh Raden Panji. Akhirnya sayembara selesai dengan penyerahan Roro Proboretno.
Orang Tua Proboretno Adipati Malang menepati janjinya untuk menikahkan anaknya dengan Raden Panji Pulangjiwo, meski sebenarnya hati mereka menolak dengan kehadirannya Raden Pulangjiwo ini.
Perkawinan antara Raden Panji Pulangjiwo dengan Roro Ayu Proboretno mempunyai keturunan seorang putra Bernama Raden Panji Wulung.
Pada suatu waktu Adipati Malang, mengutus Randen Panji Pulangjiwo untuk menyelesaikan peperangan diluar kota Malang. Tepatnya, di sebelah timur kadipaten Malang. Raden Panji sebagai pimpinan pasukan dalam perang ini.
Pada masa perang, terjadi pertempuran sengit dan tidak seimbang. Akal licik dari kelompok lawan yang tidak suka dengan Raden Panji membuat kabar bohong bahwa Raden Panji telah meninggal dalam pertempuran. Kabar bohong ini didengar oleh istrinya, Putri Proboretno. Akhirnya Proboretno jatuh sakit. Dan pada proses akan dibawa ke Kadipaten, Proboretno akhirnya meninggal dalam perjalanan dan kemudian dimakamkan (sekarang di belakang kantor Diknas Kabupaten Malang).
Lantas terdengar kabar bahwa Raden Panji Pulangjiwo akan segera pulang menuju Kadipati Malang dengan rasa marah karena Proboretno telah meninggal dunia. Adipati Malang pun berupaya untuk menutup akses jalan masuk ke Kadipaden Malang.
Namun, Raden Panji mengambil strategi untuk masuk kadipaten Malang dengan melalui Malang Timur yaitu daerah Kedung Kandang (tempat peliharaan hewan-hewan).
Dengan meninggalnya istrinya, Raden Panji Pulangjiwo tertekan jiwannya. Akhirnya, Adipati Malang menghadapi dan membunuh Raden Panji yang terkenal mahir ilmu kanuragannya dengan memakai akal busuk.
Dengan membuat suatu Panggung Jebakan yang diatasnya adik perempuannya dihias mirip Putri Proboretno. Setelah Raden Panji datang dan tahu istrinya masih hidup maka cepat-cepat mendekat ke perempuan itu. Tepat didekat panggung tersebut terdapat jebakan berupa lubang sumur.
Raden Panji Pulangjiwo akhirnya terjebak dan masuklah ke lubang sumur tersebut. Prajurit-prajurit kadipaten segera membunuhnya. Raden Panji Pulangjiwo meninggal dan dimakamkan di dekat kuburan Putri Proboretno, di Jl. Penarukan Kepanjen-Malang (dekat stasiun Kepanjen).
Dari kisah Raden Panji inilah akhirnya wilayah tersebut dikenal dengan Kepanjian, atau sekarang disebut Kepanjen--Rendra fatrisna (bicara) 19 Maret 2013 09.13 (UTC).


Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.