Selasa, 17 Desember 2013

Filled Under:

Jatuhnya Konstantinopel (2)



SETELAH runtuhnya Abbasiyah, Kekhilafahan Islam yang kuat Turki Usmani, yang dinamai sesuai pendirinya, Usman, menjadi semakin kuat. Memulai kerajaannya dari sepetak kecil tanah di barat Konya, dekat perbatasan dengan Byzantium, Osman dan rakyatnya bertambah kuat dan mulai menjelajah ke arah barat menuju tanah Byzantium Kristen. Sultan-sultan baru dari kerajaan ini sejak dini telah memulai kampanye mereka untuk mengambil alih kota Bizantium.
Kampanye militer yang nyata terhadap dinding Konstantinopel, dimulai oleh Sultan Usmani bernama Bayezid I pada 1390, juga disebut sebagai Yildirim (sang petir). Ia berencana untuk menghancurkan dinding besar Konstantinopel atau membuat kelaparan penduduk kota itu sampai mereka menyerah.
Kaisar Byzantium Manuel II Palaeologus meminta bantuan dari penguasa Kristen. Dua Paus Romawi di Roma dan Avignon, Prancis yang berseteru sama-sama menyerukan perang salib melawan Kerajaan Usmani. Sekitar seratus ribu orang di bawah kepemimpinan raja Hungaria meluncurkan perang salib. Ketika mereka sampai di Nikopolis, salah satu kota Bulgaria, tahun 1396M, Bayezid berbaris dengan pasukannya di sana dan mengalahkan tentara salib.
Pada 1397M, upaya Bayezid untuk menaklukkan Konstantinopel ditandai dengan pembangunan sebuah kastil yang disebut Anadolu Hisar (berarti “benteng Anatolia “) di sisi pantai Asia dari Selat Bosporus. Pengepungan berlangsung sampai September 1402M, namun akhirnya ditarik oleh Bayezid untuk mengkonsentrasikan pasukannya untuk mempertahankan Anatolia dan wilayah kekuasaannya lainnya dari invasi Tatar.
Dia akhirnya ditangkap oleh Tatar dan meninggal di penjara. Pengepungan Konstantinopel untuk sementara terhenti karena kelemahan pemerintahan Usmani setelah kekalahan yang telah menguras wilayah mereka dan meninggalkan bagi mereka hanya sebagian kecil dari tanah di barat laut Anatolia, wilayah asli mereka. Setelah Raja Mongolia Timur meninggal tahun 1405, Usmani berjuang untuk mendapatkan kekuatannya kembali dan mereka berhasil dalam upaya ini.
Musa, putra Bayezid itu, kembali menguasai Thrace dan Serbia, dan memulai pengepungan Konstantinopel tahun 1410M, namun ia dibunuh tahun 1413M. Saudaranya Muhammad menggantikannya. Pada 1421M, Muhammad meninggal dan putranya Murad II naik takhta. Kenaikan tahta Sultan Murad II membuat khawatir kaisar Bizantium Manuel II yang berjuang untuk mendapatkan bantuan guna melindungi kota.
Meski demikian, Kaisar Manuel II menolak untuk menciptakan persatuan antara Gereja Roma dan Gereja Ortodoks karena khawatir bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan timbulnya dampak politik yang membuat Turki Usmani untuk melihatnya sebagai kerja sama militer bersama untuk menyerang wilayah Muslim. Putranya, John VIII Palaeologus datang sebagai kaisar berikutnya, melakukan hal yang berlawanan. Dia bernegosiasi dengan Paus Eugenius IV, yang memintanya untuk mengirim delegasi Uskup Ortodoks ke sinode (dewan) dari pemimpin agama Romawi. Delegasi setuju dengan persekutuan agama yang diusulkan dengan Roma, meskipun adanya penolakan dari para uskup gereja timur.
Paus menyerukan perang salib melawan Turki Usmani Muslim. Orang-orang Turki Muslim, pada waktu itu, sedang memperluas wilayah mereka dan berhasil mengambil kota Tesalonika pada tahun 1430M serta menaklukkan benteng di Sungai Danube yang mengancam bangsa Hungaria. Namun, mereka mampu memukul mundur pasukan Turki Usmani. Pada bulan Juni 1444M, kedua belah pihak menyepakati gencatan senjata selama sepuluh tahun yang melarang kedua belah pihak untuk menyeberangi Sungai Danube.


C. Kejatuhan Konstantinopel: Faktor di balik Keberhasilan Penaklukan

SETELAH gencatan senjata, Sultan Murad II secara mengejutkan menyerahkan tahta kepada putranya Muhammad II, yang pada saat itu baru berusia dua belas tahun. Pada Rabi II 848 H/ Juli 1444M, Muhammad II diangkat sebagai sultan oleh ayahnya. Dia ingin mempersiapkan anaknya untuk sesegera mungkin mengambil alih kekuasaan yang telah menyibukkan dirinya seumur hidupnya.

Alasan lain yang disebutkan untuk suksesi yang sangat cepat ini adalah bahwa Sultan Murad II ingin memastikan legitimasi pemerintahan putranya melawan seorang pangeran palsu keturunan Turki Usmani yang mengklaim kekuasaan dan tinggal di dalam kota Konstantinopel, yaitu pangeran Orkhan.

Pemerintahan pertama Sultan Muhammad II yang tercatat dari Rabi II 848H / Juli 1444M hingga Djumada II 850H/August 1448M, menemui kegagalan. Krisis internal pemberontakan Hurufi di Edirne pada 8 Djumada II 848/22 September 1444. Krisis eksternal yang ditimbulkan oleh fakta bahwa sepuluh tahun gencatan senjata rupanya dilanggar oleh raja Hungaria yang menyeberangi sungai ke Bulgaria. Paus mengampuni raja Hungaria atas sumpah yang telah diucapkannya dengan alasan bahwa hal itu tidak berlaku karena ia bersumpah untuk seorang kafir. Dalam 4-8 Djumada II 848 H/ 18-22 September 1444M, raja dan tentara salib siap untuk pertempuran.

Pada bulan November 1444, dengan bantuan pelaut Genoa, tentara Usmani di bawah Murad II menyeberang ke Eropa dan melawan tentara salib di dekat pelabuhan Laut Hitam Varna, utara dari Konstantinopel. Dinasti Utsmani menang secara telak, raja Hungaria tewas, dan hanya sedikit yang lolos.
Murad II mengupayakan untuk memastikan suksesi Sultan Muhammad II setelah mengajaknya untuk turut dalam kampanye militer yang besar di kawasan Balkan – melawan Hungaria di Kossova di 852H/1448M, dan melawan Albania pada musim panas 854H/1450M. Murad II memerintahkan anaknya untuk menikahi Sitti Khatun putri Dzul Kadirid penguasa, yang secara tradisional merupakan sekutu Turki Usmani melawan Karamanids, dan kemudian tinggal di istana ayahnya di Manisa, Anatolia. Tak lama setelah menerima kabar kematian ayahnya, Sultan Muhammad Al Fatih sekali lagi kembali ke tahta Usmani pada 16 Muharram 855H/18 Februari 1451M.

Ancaman eksternal terus menempatkan kepemimpinan Sultan Muhammad II dalam ancaman. Kaisar Bizantium, dalam upaya untuk mendapatkan konsesi dari Sultan Muhammad II, mengancam untuk melepaskan pangeran Orkhan. Pada saat yang sama, Karamanid Ibrahim menginvasi wilayah sengketa di Hamid-ili. Wazir Candarli berhasil menahan Byzantium dan Serbia dengan konsesi teritorial, sedangkan sultan muda memulai kampanye militer pertamanya melawan pasukan Karamanid tersebut.

Ancaman Kaisar Bizantium tidak selesai dengan pemberian konsesi sebelumnya. Bahkan, karena mengejar kekayaan, kaisar Kristen itu kembali mengancam untuk melepaskan pangeran Orkhan. Sultan Muhammad II, setelah mencapai kesepakatan dengan Karamanid, bertekad untuk kembali ke Edirne dan memecahkan masalah Bizantium secara tuntas. Dengan dukungan Panglima militer Zaghanos, ia mulai merencanakan pukulan militer yang akan mematikan kerajaan tua itu, pertama dengan membangun kastil Boghaz-Kesen di Bosphorus.

Dia juga telah mengamankan perjanjian dengan Venesia (13 Sha’ban 855/10 September 1451) dan Hungaria (25 Syawal 855/20 November 1451) serta menyewa seorang ilmuwan Hungaria bernama Urban untuk menciptakan meriam paling kuat yang pernah dikenal untuk menghancurkan dinding tua Konstantinopel. Panglima Zaghanos dan Syekh Shihabuddin mendukung perang tersebut seraya menegaskan ancaman bahaya yang ditimbulkan dari Bizantium untuk kekhilafahan Islam dan dapat memecah kesatuannya. Keberhasilan penaklukan akan sangat tergantung pada efisiensi waktu dan efektivitas pengepungan.


 PADA bulan Maret 1453M, tentara Usmani meluncurkan long-march menuju kota. Pada tanggal 2 April, orang di kota melihat tentara besar sejumlah lebih dari seratus ribu tentara mendekati kota. Kaisar Constantine XI benar-benar cemas dengan situasi tersebut. Seorang berkebangsaan Venesia bernama Nicolo Barbaro telah tiba pada musim semi di kota itu.

Kaisar sangat menghargai dukungan ini pada situasi yang sangat mengkhawatirkan sehingga ia memberikan empat gerbang kota dan semua kunci yang ada pada mereka kepadanya. Para penjaga Konstantinopel juga memblokade Golden Horn dengan rantai besi untuk mencegah berlalunya setiap armada laut Turki Usmani. Populasi kota selama pengepungan itu diperkirakan berjumlah sekitar dua ribu orang asing dan 4,773 orang Yunani untuk melindungi dinding kota yang panjangnya 23 km.

Di sisi lain, Tentara Turki Usmani berkemah di luar tembok kota. Para tentara elit Janissary menjaga tenda merah dan emas tempat Sultan Muhammad Al Fatih berdiam, sedangkan tentara reguler menduduki dua daerah: “barat kota sepanjang daerah dataran rendah di sekitar Sungai Lycus, yang mengalir melalui tengah Konstantinopel, dan di dekat Barbaro Galata / Pera di pantai utara Golden Horn.” Diperkirakan terdapat sekitar 145 kapal Turki Usmani rendah berlabuh di Kolom Ganda, sebuah pelabuhan di Bosporus yakni 3 km sebelah utara kota. Mempertahankan kota Konstantinopel dari laut adalah Alvise Diedo, seorang kapten kapal dan pedagang Venesia, yang menguasai sekitar dua puluh enam kapal tinggi dan perahu-perahu kecil, dan bertugas mempertahankan pelabuhan Golden Horn

Sebelum pengepungan dimulai, Sultan, mengikuti tradisi Islam, menawarkan warga Konstantinopel kesempatan untuk menyerah, pilihan yang akan menyelamatkan hidup dan harta mereka. Tetapi kaisar yang sombong terlalu mustahil untuk mengambil penghinaan seperti itu.

Pada tanggal 6 April pengepungan bersejarah dimulai dengan membuka tembakan meriam yang merusak parah dinding dekat gerbang Charisian sekitar setengah mil (0.8 km) utara Sungai Lycus. Para pembela kota berusaha untuk memperbaiki dinding. Beberapa hari kemudian, meriam membombardir dinding lagi dan benar-benar menghancurkan tembok luar sehingga memaksa para pelindung kota untuk membangun sebuah benteng tanah dan kayu di atasnya.

Dampak meriam sangat besar sehingga meninggalkan lubang di dinding yang tidak dapat diperbaiki. Namun, meriam itu hanya bisa ditembakkan tujuh kali sehari dan membutuhkan persiapan lama sebelum penembakan.

Pada tanggal 15 April, selama pengepungan, empat kapal penuh persediaan berlayar menuju kota, didanai oleh Paus dan duta besar Konstantinopel, melalui Laut Marmara. Suleiman Baltoghlu, laksamana armada Turki Usmani, mengerahkan puluhan kapal untuk mencegat dan menghancurkan empat kapal itu. Sayangnya, angin yang bertiup melawan arus membuat kapal-kapal Turki Usmani tidak mampu bermanuver.

Kapal Italia yang lebih tinggi dan bersenjata lengkap secara mengherankan lolos dan masuk ke Pelabuhan Tanduk Emas setelah para pelaut itu berhasil memukul kembali pelaut Turki  Usmani dengan tombak, kapak, batu dan panah. Di darat, tentara Usmani cukup berhasil. Giovanni Giustiniani memimpin para pembela kota dengan berani dan memukul kembali upaya musuh untuk membakar benteng dan membunuh para pembelanya. Setelah empat jam, pasukan Usmani mundur.

Para pembela kota mengambil kesempatan untuk memperbaiki lubang di dinding dengan balok kayu, tanaman merambat, cabang, bumi dan puing-puing. Sementara itu, Sultan telah merencanakan untuk memasuki pelabuhan Golden Horn dengan membangun jalan yang tidak lazim melintasi lereng bukit dekat Galata / Pera ke pelabuhan.

Keesokan harinya, sekitar tujuh puluh kapal Turki Usmani berlayar menuju rantai besi. Satu per satu, kapal diangkat dan ditarik ke darat. Pasukan Lembu dan roda menyeret kapal-kapal itu ke gelondongan kayu yang diminyaki dengan lemak hewan … dan dalam hitungan jam kapal-kapal itu telah tiba dengan aman di dalam Golden Horn. “Keberhasilan pelaut Turki Usmani dalam memasuki pelabuhan telah membuat populasi kota lebih menderita karena kehabisan persediaan dan terhalang dari memancing ikan.

Di dalam kota Konstantinopel, orang-orang Kristen dari semua sekte berkumpul ke Gereja Hagia Sophia untuk mengadakan Misa bersama-sama. Mereka bersatu setidaknya untuk sesaat setelah sengketa selama berabad-abad antara gereja Yunani dan Latin. Giustiniani dan tentaranya mengambil posisi antara dinding bagian dalam di Lycus Valley dan benteng luar di mana tentara Turki Usmani pasti akan menyerang. Gerbang pada dinding bagian dalam di belakang mereka ditutup. Tidak ada jalan bagi mereka untuk mundur.
(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.