Rabu, 05 Maret 2014

Filled Under:

Kartosuwiryo 3

Detik-detik Menjelang Penangkapan Kartosoewirjo

islampos.com—DETIK-detik menjelang penangkapan sang Imam DI/TII ini begitu mengharukan. Lereng Gunung Rakutak, Cicalengka, Kabupaten Bandung, menjadi saksi Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo meng­akhiri perlawanannya. Ketika gelap mulai merayapi punggung Rakutak, 3 Juni 1962, bersama seorang anak buahnya, Dodo Muhammad Darda. Sang imam Negara Islam Indonesia, ”angkat tangan”. Ia menyerah kepada pa­sukan Batalion 328 Kujang yang dipimpin Letnan Dua Suhanda.
Tiada perlawanan. Ketika ditangkap, pria 57 tahun itu tergolek lemah di dalam gubuk akibat luka di kakinya yang makin parah. Ki Dongkol, keris pusakanya, masih terselip di pinggang. Pasukan Suhanda terpaksa memakai tandu membawa Kartosoewirjo turun gunung.
Setelah tiga belas tahun berge­rilya melawan pemerintah, Kartosoewirjo dan pasukannya memang makin terpojok. Cadangan logistik yang terus menipis membuat mereka terpaksa makan daun-daunan. Mental pasukan makin jatuh ketika, dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitarlima kilometer dari Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan itu, kaki sang imam kena tembak.
Sejak itu, satu per satu pendukung utama Tentara Islam Indonesia, demikian nama pasukan­ Kartosoewirjo, meletakkan senjata alias tertangkap. Pada akhir Mei 1962, misalnya, Adah Djaelani Tirtapradja, salah satu Panglima Tentara Islam, menye­rahkan diri.
Langkah Adah itu menyusul jejak Toha Machfoed dan Danoe Moehammad Hasan. Dengan menyerahnya tiga pimpinan pasukan itu, tinggal Agus Abdullah pendukung Kartosoewirjo yang masih bertahan. Pasukan Agus terus bergerilya di sekitar Gunung Ciremai, Ku­ning­an, Jawa Barat.
Selepas fajar, pada 5 September 1962, sang imam diangkut kapal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari pangkalan Tanjung Priok menuju salah satu pulau tak berpenghuni di Kepulauan Seribu. Di sana sudah menanti satu regu tembak. Sebelumnya, Mahkamah Militer sudah menjatuhkan vonis hukuman mati untuk Kartosoewirjo.
Pagi itu, ujar Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu sang imam, kepada Tempo, ayahnya dieksekusi. Bersama perginya sang imam, berakhirlah pula Darul Islam. [hf/islampos/majalahtempo/pustakadigitalbuyanatsir]
Sumber
========================================================================

Lima Peluru Bersarang di Dada Kiri Kartosoewirjo

islampos.com—DALAM buku ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ karya Fadli Zon, Kartosoewirjo dieksekusi mati di Pulau Ubi di wilayah Kepulauan Seribu.
Di hari terakhirnya, 12 September 1962, Kartosoewirjo mengenakan pakaian berwarna putih-putih yang diberikan oleh TNI.
Ketika sudah tiba di Pulau Ubi, TNI langsung menggiring Kartosoewirjo ke lokasi eksekusi. Di kapal menuju Pulau Ubi, Kartosoewirjo terus berdoa. Sesampai di sana, langsung digiring ke tiang eksekusi.
12 orang regu tembak bersiap siaga. Ketika mata Kartosoewirjo sudah ditutup dengan menggunakan kain putih, maka seperti prosedur eksekusi tembak mati dimanapun, regu tembak menyalakkan senapannya serentak sekaligus.
Di antara ke-12 orang itu, tak ada satu orang pun yang tahu, senapan siapa yang terisi peluru.
Lima peluru bersarang di dada kiri Kartosoewirjo. Terakhir komandan regu penembak melakukan tembakan dari jarak dekat sekali, untuk memastikan bahwa Kartosoewirjo sudah dihabisi. [sa/pizaro/islampos]
Sumber
========================================================================

Kartosuwirjo, dari Ulama sampai Jurnalis Muda

KARIER menjadi jurnalis muda, saat usia Kartosoewirjo menginjak umur 22 tahun  tepat ditahun 1927, tidak lama dari itu—dalam waktu 16 bulan Kartosoewirjo diangkat sebagai wakil pemimpin redaksi dan kuasa usaha. Ini menunjukkan prestasi cukup mengesankan ketika itu bagi Kartosoewirjo. Dalam fase kehidupan jurnalistik inilah Kartosoewirjo mengembangkan kemampuan artikulasi gagasan-gagasannya.
Pemikaran-pemikiran hebat Kartosoewirjo memang berawal dari usaha keras yang dicapainya untuk menempuh pendidikan, ini ditunjang dari pemikiran Islam modern ketika Kartosoewirjo tumbuh menjadi pemuda intelek bersama pejuang-pejuang lainnya, wajarlah ia juga disebut ulama kharismatik, disampinh sikap patrotisme-nya.
Dua tahun kemudian sejak tahun 1927, dalam usaianya ang relatif muda, sekitar 24 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia . Fadjar Asia ketika itu, menjadi wadah paling tepat untuk memuat tulisan Kartosoewirjo. Dalam Fadjar Asia itulah tulisan-tulisannya ‘mengalir’ bak air terjun.
Tulisannnya, mula mula ditujukan kepada penguasa kolonial, kemudian juga ditujukan kepada kaum bangsawan Jawa. Dalam artikelnya itu tergambar selain pendirian radikalnya juga sikap politiknya. Begitulah dia mengkritik Sultan, sewaktu merayakan HUT-nya yang ke-64 dan mengundang wartawan Belanda.
Mengenai Sunan dia menulis :
“Rasa kebangsaan ta’ada; ke-Islaman poen demikian poela halnja, kendatipoen ia menoeroet titelnja menjadi kepala agama Islam. Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lain diberi hak jang lebih dari batas…… Jang soedah terang dan njata ialah: Boekan karena tjinta bangsa dan tanah air,…. melainkan karena keperloean diri sendiri belaka, keperloean yang bersangkoetan dengan kesoenanannya”.
Kartosuwiryo dengan tulisan-tulisannya itu menyebabkan banyak mendapat musuh, baik dari kalangan penguasa, lebih-lebih dari kalangan bangsanya sendiri, dari golongan kaum nasionalis sekuler.
Menurut Holk H. Dengel, artikel-artikel yang tajam tidak ditandai dengan namanya sendiri, tetapi dengan nama samaran, yaitu Arjo Djipang.
“Kebangsaan kita dianggap aneh oleh Darmo Kondo. Djanganlah kira kalaoe kita kaoem kebangsaan jang berdasarkan kepada Islam dan ke-Islaman tidak berangan-angan Indonesia Merdeka. Tjita-tjita itoe boekan monopolinja collega dalam Darmo Kondo. Dan lagi djangan kira, bila kita orang Islam tidak senantiasa beroesaha dan ichtiar sedapat-dapatnja oentoek mentjapai tjita-tjita kita, soepaja kita dapat mengoeasai tanah air kita sendiri. Tjoema perbedaan antara collega dalam Darmo Kondo dan kita ialah, bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia bagi Nasionalisme kebangsaan Indonesia jang di njatakan oteh redaksi Darmo Konda itoe adalah poentjaknja jang setinggi-tingginya. Sedang kemerdekaan negeri toempah darah kita bagi kita hanjalah satoe sjarat, satoe djembatan jang haroes kita laloei oentoek mentjapai tjita-tjita kita jang lebih tinggi dan moelia, ialah kemerdelaran dan berlakoenja agama IsIam di tanah air kita Indonesia ini, dalam arti kata jang seloeas-loeasnja dan sebenar-benarnja. Djadi jang bagi kita hanja satoe sjarat itoe, bagi redaksi Darmo Kondo adalah maksoed dan toedjoean idoep jang tertinggi.
“Pertama-tama adalah kita moeslim, dan di dalam kemoesliman kita itoe adalah kita Nasionalist dan Patriot, jang menoedjoe kemerdekaan negeri toempah darah kita tidak tjoema dengan perkataan-perkataan jang hebat dalam vergadering sadja, tetapi pada tiap-tiap saat bersedia djoega mendjandjikan korban sedjalan apa sadja jang ada pada kita oentoek mentjari kemerdekaan negeri toempah darah kita”.
Seperti itulah Kartosoewirjo, sikap patrotisnya benar-benar dilandaskan dari dirinya sebagai seorang muslim. Karena sesungguhnya pencapaian terbesar bagi seorang muslim adalah menegakkan Khilafah Islamiyah. [islampos/saefulloh]
Sumber
=========================================================================

Siapa Yang Mengabadikan Proses Eksekusi Kartosoewirjo?

islampos.com—FOTO-foto yang ditampilkan dalam buku ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ itu sangat nyata. Menggambarkan tahapan eksekusi dengan sangat detail dan runut. Padahal kejadian itu sudah 50 tahun berlalu, darimana sebenarnya Fadli Zon mendapatkan 81 foto tersebut?
“Foto ini saya dapatkan dari seorang kolektor yang saya beli dua tahun lalu,” kata Fadli Zon saat peluncuran bukunya di Galeri Cipta, Cikini, Jakarta Pusat, pada hari Rabu (5/9/2012).
Namun saat ditanya soal harga foto-foto tersebut, Fadli enggan membocorkannya. ”Saya lupa. Itu dua tahun lalu,” kata Fadli.
Saat gambar itu didapat, foto-foto sudah dilengkapi dengan keterangan di masing-masing foto.  Foto yang didapat itu dari saat Kartosoewirjo makan siang sampai eksekusi mati.
“Dilengkapi juga dengan caption dengan rangkaian dari makan siang terakhir sampai dengan kemudian eksekusi sekitar September 1962,” kata pria yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Dikarenakan foto itu telah berumur puluhan tahun, jadi cukup sulit untuk mengetahui siapa yang mengabadikannya dengan apik dan leluasa. “Hampir bisa dipastikan semua foto yang berada dalam koleksi ini belum pernah dipublikasikan dan hanya ada satu-satunya di dunia. Kemungkinan besar foto-foto ini didokumentasikan oleh tentara,” jelas Fadli.
Alasan Fadli menyebut tentara yang mengambil foto pun berdasarkan keleluasaan sang fotografer mengambil gambar. “Ini dapat dilihat dari keterlibatan orang-orang yang hadir dalam peristiwa eksekusi dan cara menuliskan keterangan foto yang serba kaku khas tentara,” tutur Fadli.
Fadli ingin publik melihat sejarah di masa lalu dengan cara lebih dewasa dan lebih tenang. Masyarakat juga diharapkan bisa melihat ke depan. Sekalipun ada perbedaan, itu diharapkan bisa direkonsiliasi.
“Kami belajar supaya tidak terulang kembali dan hal-hal seperti ini akan terjadi di masa lalu termasuk DI/TII. Kami dudukan secara proposional tidak perlu emosional,” ujarnya.
Ia juga mengaku, tidak ada maksud politis dalam pembukuan 81 foto ini. ”Tidak ada maksud politis. Karena September ini 50 tahun eksekusi matinya. Ini untuk meluruskan sejarah,” tambah Fadli. [hf/islampos/detikcom/merdeka/vivanews]
Sumber
========================================================================

Restu Jendral Sudirman untuk Kartosuwiryo

islampos.com—TERNYATA Kartosoewiryo memiliki hubungan yang dekat dengan Jendral Sudirman. Hal ini terjadi ketika pasukan Siliwangi dari Jawa Barat hijrah ke Yogyakarta, akibat dari penandatanganan perjanjian Renville  pada 17 Januari 1947 oleh pihak Indonesia dan Belanda. Tentu saja perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia.
Saat Jendral Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta, seorang wartawan Antara yang dipercaya sang jendral diajak naik mobil. Dalam perjalanan sang wartawan bertanya pada Jendral Sudirman, “Apakah siasat ini tidak merugikan kita?” Pak Dirman menjawab, “saya telah menyiapkan orang kita (Kartosuwiryo) di sana.”
“Bung Tomo, bapak pahlawan perjuangan Surabaya pada 10 Nopember dan mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap. Dalam sebuah buku kecil berjudul “Himbauan” yang ditulis Bung Tomo pada tanggal 7 September 1977, mengatakan bahwa Kartosuwiryo telah mendapat restu dari Panglima Besar Jendral Sudirman,” tulis seorang penulis buku.
Dalam keterangan itu, jelas bahwa saat Kartosuwiryo meninggalkan Yogyakarta sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau pamit dan minta restu kepada Jendral Sudirman, dan akhirnya diberi restu seperti keterangan Bung Tomo tersebut.
Tidak ada lagi orang yang dipercaya oleh Jendral Sudirman yang berangkat ke Jawa Barat selain Kartosuwiryo. Pada saat itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam kementerian pertahanan RI yang pernah ditawari menjadi menteri muda pertahanan, tetapi ia tolak. Jabatan menteri muda pertahanan tersebut kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri yaitu Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti kenapa Jendral Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI/TII, justru yang menumpasnya adalah Jendral Nasution dan Ibrahim Adji. Kedua jendral inilah yang menyebabkan banyaknya umat Islam yang terbunuh. [sm/islampos/berbagaisumber]
Sumber
=========================================================================

Makam Kartosoewirjo; Dangkal & Tanpa Nisan

islampos.com—DALAM buku yang ditulis Fadli Zon berjudul ‘Hari Terakhir Kartosoewirjo’ tergambar proses eksekusi dan rupa makam, tempat Kartoswoewirjo dikebumikan.
Seusai ditembak mati, dimandikan air laut, dan disalatkan, jenazah Kartosoewirjo dikuburkan di Pulau Ubi. Tanah untuk kuburannya di foto itu tidak dalam, mungkin hanya 1 meter kurang.
Menurut Fadli Zon dalam bukunya hal itu agak mengherankan. “Liang lahat yang digali sangatlah dangkal jika dibandingkan liang lahat pada umumnya. Jika dilihat dari foto, dalamnya kuburan itu tak lebih dari satu meter. Lalu jasad ditimbun tanah. Ada pembacaan doa yang dipimpin oleh imam tentara bagian rohani.”
Di foto itu juga tergambar, kuburan Kartosoewirjo tanpa nisan, hanya sebuah batu terlihat dari kuburan itu. Sebagai tanda juga, kuburan itu terletak di dekat sebuah pohon. [sa/pz/islampos]


Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.