Kamis, 20 Februari 2014

Filled Under:

Demokrasi, Pemerintahan Paling Mahal dan Paling Jahat

“Hanya pemerintah yang kaya dan aman yang mampu menjadi negara demokrasi, karena demokrasi adalah jenis pemerintahan yang paling mahal dan paling jahat yang pernah terdengar di permukaan bumi.” (Mark Twain)
Paling mahal dan paling jahat. Dua kata yang mensifati sistem demokrasi ini tercermin dari drama sidang paripurna DPR saat membahas kenaikan harga BBM baru-baru ini. Mahal,karena sidang ini terkesan berjalan alot , sampai larut malam, membutuhkan waktu yang lama. Dananya tentu saja membengkak. Jahat, karena keputusannya akhirnya tetap memberikan peluang untuk menaikkan BBM yang akan mencekik rakyat.
Ya demokrasi memang mahal. Karena itu, kekuatan modal menjadi penentu kemenangan dalam menjadi penguasa dan pengambilan keputusan. Untuk biaya Pemilu 2009 diperkirakan 48 trilyun , pilkada DKI menghabiskan dana 124 milyar, sementara pilkada Jatim 2 putaran menghabiskan dana 800 milyar. Jangan tanya biaya kampanye, yang menelan ratusan milyar. Untuk iklan di televisi misalnya jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulan adalah Rp 15 milyar .
Biaya pembuatan UU nya juga mahal. Meski kinerja legislasi DPR dinilai belum memuaskan, lembaga tersebut tetap menganggarkan Rp 466,78 miliar untuk biaya legislasi dari Rp2,91 triliun anggaran tahun 2012. Itu berarti terjadi pembengkakan biaya dari anggaran 2005 yang hanya Rp560 juta.
Secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya kebijakan yang muncul bukan untuk kepentingan rakyat tapi elit pemilik modal yang mendukung. Menjadi alat untuk mengembalikan investasi politik yang mahal sekaligus untuk mempertahankan kekuasaan.
Sistem ini menjadikan uang atau modal sebagai panglima. Konsekuensinya, praktik suap menyuap, manipulasi dan korupsi pun menjadi kanker ganas yang menjadi penyakit bawaan dari sistem cacat ini. Dalam bahasa sehari-hari, kata yang digunakan untuk percobaan mempengaruhi tindakan seseorang melalui insentif uang disebut dengan istilah ‘suap’. Tapi dalam dunia politik demokrasi, kita bersikeras menggunakan istilah-istilah seperti ‘dana’, ‘melobi’ atau ‘pinjaman lunak’.
Dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di Inggris yang dikenal sebagai kampiun demokrasi dunia. Skandal politik Inggris yang terbaru membuktikan hal itu. Bendahara bersama Partai Konservatif yang memerintah tertangkap kamera sedang menawarkan akses kepada perdana menteri dan kanselir hingga lebih dari £ 250.000 dari dana sumbangan. Kemudian terungkap bagaimana para pendonor telah diundang makan malam secara pribadi dengan David Cameron dan keluarganya.
Skandal ‘The Cash for Questions’, pecah pada tahun 1994. Seorang pelobi parlemen, Ian Greer, telah menyuap para anggota parlemen sebagai ganti untuk menukar pertanyaan-pertanyaan parlemen yang diajukan, dan tugas-tugas lainnya, atas nama pengusaha Mohamed Al Fayed. Pada tahun 2009 , muncul lagi skandal ketika empat orang anggota Partai Buruh dari parlemen Inggris yang dipecat karena menawarkan membantu membuat amandemen undang-undang dengan uang hingga lebih dari £ 120.000.
Uang sebagai panglima inilah yang membuat sistem demorkasi menjadi sistem yang jahat. Disamping penuh dengan suap menyuap baik legal atau tidak, sistem ini juga melahirkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat. Yang terpenting adalah kepentingan pemilik modal. Mengurangi bahkan menghapuskan hak rakyat yang diklaim disubsidi oleh negara. Disisi lain privatisasi dan pasar bebas telah menjadi alat bagi negara-negara imperialis asing merampok kekayaan alam kita yang sesungguhnya merupakan milik rakyat.
Maka tidak heran kalau kita menyaksikan dalam drama sidang paripurna kemarin menghasilkan kebijakan yang justru melegitimasi kebijakan liberal. Memberikan peluang naiknya harga BBM dengan tunduk kepada rezim pasar internasional yang rakus. Seperti yang disampaikan Jubir HTI Ismail Yusanto dalam pernyataan persnya bahwa keputusan rapat Paripurna DPR kemaren alih-alih bisa menyelesaikan kemelut persoalan BBM, tapi sebenarnya justru menegaskan makin kokohnya liberalisasi migas di negeri ini. DPR dan pemerintah telah secara bulat meletakkan migas sebagai komoditas semata-mata yang dalam penetapan harga (pricing policy) benar-benar mengikuti harga internasional atau harga pasar.
Padahal Pasal 28 Ayat 2 UU Migas yang menjadi dasar untuk mengkaitkan harga BBM dengan mekanisme pasar telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. Akibatnya, segala bentuk perhitungan juga akan mengacu ke sana. Disitulah problema di seputar berapa sebenarnya harga produksi, harga jual, dan berapa sebenarnya subsidi (dan apakah tepat istilah subsidi itu) akan terus berlanjut yang membuat persoalan BBM ini menajdi tidak terurai secara jernih.
Karena itu Hizbut Tahrir dengan tegas menyatakan bahwa menaikkan harga BBM dan kebijakan apapun yang bermaksud untuk meliberalkan pengelolaan sumber daya alam khususnya migas merupakan kebijakan yang bertentangan syariat Islam. Migas serta kekayaan alam yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan barang milik umum yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, kebijakan kapitalistik, yakni liberalisasi migas baik di sektor hilir (termasuk dalam pricing policy) maupun di sektor hulu (yang sangat menentukan jumlah produksi migas setiap hari), juga kebijakan dzalim dan khianat ini harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, migas dan SDA lain dikelola sesuai dengan syariah. Jalannya hanya satu, melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. (Farid Wadjdi)




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.