Selasa, 04 Februari 2014

Filled Under:

Bali: Kerajaan Satria 1

Sejarah Puri Satria
BADUNG PADA JAMAN SUB DINASTI JAMBE (1750 – 1788 M)
(Gambar kiri: Pemerajan Puri Satriya)

Sejarah keberadaan Puri Satria berkaitan dengan ekspedisi Majapahit ke Bali tahun Çaka 1256 (sastining Bhuta manon janma) atau 1334 Masehi untuk menaklukan kerajaan Bedulu dibawah pimpinan Panglima Arya Damar/ Adityawarman.

Dalam ekspedisi Majapahit ke Pulau Bali dapat diuraikan bahwa pasukan Majapahit dibawah pimpinan Patih Gajah Mada dan Arya Damar mengalahkan musuh musuhnya dengan caranya sendiri sendiri. Patih Gajah Mada dengan “Wiweka”nya (akal) sedangkan Arya Damar dengan mengandalkan “Kawisesan”nya atau ilmu magic yang dimilikinya sebagai pengikut setia aliran Bajrayana-Amoghapasa yang menyebabkan pahlawan dan prajurit Bali ketakutan dan menyerah.

Setelah Kerajaan Bedulu berhasil ditaklukkan maka sebelum Patih Gajah Mada meninggalkan Pulau Bali, semua Arya dikumpulkan untuk diberikan pengarahan tentang pengaturan pemerintahan, ilmu kepemimpinan sampai pada ilmu politik “ Raja Sesana dan Nitipraja” yang mana tujuannya agar para Arya tersebut nantinya dapat mempersatukan dan mempertahankan Pulau Bali sebagai daerah kekuasaan Majapahit.

Penempatan para arya diatur sebagai berikut :

  1. Arya Kenceng diberikan kekuasaan di daerah Tabanan dengan rakyat sebanyak 40.000 orang
  2. Arya Kutawaringin diberikan kekuasaan di Gelgel dengan rakyat sebanyak 5.000 orang
  3. Arya Sentong diberikan kekuasaan di Pacung dengan rakyat sebanyak 10.000 orang
  4. Arya Belog diberikan kekuasaan di Kaba Kaba dengan rakyat sebanyak 5000 orang
  5. Arya Beleteng diberikan kekusaan di Pinatih
  6. Arya Kepakisan diberikan keuasaan di daerah Abiansemal
  7. Arya Binculuk diberikan kekauasaan di daerah Tangkas
Demikianlah penempatan para Arya di Bali, setelah itu Patih Gajah Mada, Arya Damar dan Pasung Grigis kembali ke Majapahit dengan disertai 30.000 orang prajurit.

Arya Damar telah meninggalkan Pulau Bali namun putra putra beliau yaitu Arya Kenceng, Arya Delancang dan Arya Tan Wikan (purana Bali dwipa lembar 11a) ditinggalkan di Bali untuk mengawasi Pulau Bali dari kemungkinan timbulnya pemberontakan dari orang orang Bali Aga.

PEMERINTAHAN ARYA KENCENG DI TABANAN

Dalam lontar Purana Bali Dwipa dinyatakan bahwa Arya kenceng adalah anak dari Arya Damar, sebab Arya Damar ketika menyerang Bali bukan pemuda lagi, diperkirakan usia beliau pada waktu diperkirakan 45 tahun. Hal yang sama juga dinyatakan dalam Kitab Usana Jawa yang menyatakan “ Arya Damar Kenceng Pwa sira “ yang artinya dalam diri Arya Kenceng terdapat darah daging Arya Damar”. Dan hal ini hanya dimungkinkan kalau Arya Kenceng adalah anak kandung Arya Damar yang berhak menerima kedudukan di dalam pemerintahan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan sebagai ahli waris Arya Damar.

Tempat Pemujaan Arya Kenceng di Desa Buahan Tabanan

Arya Kenceng , beliau adalah penguasa daerah Tabanan, berkedudukan di desa Pucangan atau Buwahan. Satu uraian sejarah yang menguatkan dugaan bahwa Arya Kenceng adalah Anak Arya Damar dinyatakan dalam buku sejarah berjudul Pulau Bali Dalam masa Masa yang Lampau tentang adanya suatu tradisi untuk memberikan suatu jabatan atau kedudukan tertentu dalam pemerintahan kepada anak anaknya untuk menggantikan kedudukan orang tuanya, setelah orang tuanya meninggal atau karena jasa jasa orang tuanya.

Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir di Gelgel Tahun 1380 – 1460. yang menjadi menteri menteri adalah anak anak dari para Arya yang datang ke Bali pada ekspedisi Majapahit untuk menggantikan kedudukan orang tuanya.
Arya Kenceng mengambil istri putri keturunan brahmana yang bertempat tinggal di Ketepeng Renges yaitu suatu daerah di Pasuruan yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Arya Kenceng memperistri putri kedua dari brahmana tersebut sedangkan putri yang sulung diperistri oleh Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan dari Puri Samprangan dan putri yang bungsu diperistri oleh Arya Sentong.

Dari perkawinan dengan putri brahmana tersebut Beliau berputra :

  1. Shri Megada Parabhu / Dewa Raka ( tidak tertarik akan kekuasaan, beliau senang melakukan tapa yoga semadi, mencari kesunyian, mendekatkan diri pada alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa untuk mecari ketenangan dan kedamaian, membangun pesraman di Kubon Tingguh ), mempunyai putri yang dijadikan istri oleh Kepala Desa Pucangan dan mempunyai anak lima orang : Ki Bendesa Beng, Ki Guliang di Rejasa,Ki Telabah di Tuakilang, Ki Bendesa di Tajen, Ki Tegehen di Buahan
  2. Shri Megada Natha / Dewa Made / Arya Yasan / Sri Arya Ngurah Tabanan Sri Maganata (Sirarya Ngurah Tabanan I ) memangku jabatan raja menggantikan ayahnya, beliau memerintah dengan bejaksana dan berwibawa sehingga terjaminlah keamanan wilayah Tabanan. Sri Maganata dalam sejarah Pemecutan disebut juga dengan Nama Arya Yasan.
Dari Istrinya yang lain, beliau berputra :
  1. Kyayi Ngurah Tegeh Kori menjadi raja Badung berkedudukan di sebelah kuburan umum. Merupakan Putra kandung dari Arya Kenceng yang beribu dari desa Tegeh di Tabanan ( bukan putra Dalem yang diberikan kepada Arya Kenceng, menurut babad versi Benculuk Tegeh Kori / Beliau membangun Kerajaan di Badung, diselatan kuburan Badung ( Tegal ) dengan nama Puri Tegeh Kori ( sekarang bernama Gria Jro Agung Tegal ), karena ada konflik di intern keluarga maka beliau meninggalkan Puri di Tegal dan pindah ke Kapal. Di Kapal sempat membuat Pemerajan dengan nama "Mrajan Mayun " yang sama dengan nama Pemerajan sewaktu di Tegal, dan odalannya sama yaitu pada saat "Pagerwesi". Dari sana para putra berpencar mencari tempat. Kini pretisentananya ( keturunannya ) berada di Puri Agung Tegal Tamu, Batubulan, Gianyar dan Jero Gelgel di Mengwitani ( Badung), Jro Tegeh di Malkangin Tabanan. Di Puri Tegeh Kori beliau berkuasa sampai generasi ke empat. Beliau berhasil membuat bendungan di Pegat dan melahirkan golongan Gusti Di Tegeh
  2. Seorang putri bertempat tinggal di Istana di Buwahan diambil istri oleh Kyayi Asak Pakisan di desa Kapal, tetapi tidak memperoleh keturunan..
Arya Kenceng sebagai kepala pemerintahan di daerah Tabanan bergelar Nararya Anglurah Tabanan, sangat pandai membawa diri sehingga sangat disayang oleh kakak iparnya Dalem Samprangan. Dalam mengatur pemerintahan beliau sangat bijaksana sehingga oleh Dalem Samprangan beliau diangkat menjadi Menteri Utama.

Karena posisi beliau sebagai Menteri Utama, maka hampir setiap waktu beliau selalu berada disamping Dalem Samprangan. Arya Kenceng sangat diandalkan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Dalem Samprangan, karena jasanya tersebut maka Dalem Samprangan bermaksud mengadakan pertemuan dengan semua Arya di Bali. Dalam pertemuan tersebut Dalem Samprangan menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan tersebut tiada lain untuk memberikan penghargaan kepada Arya Kenceng atas pengabdiannya selama ini.
  • Wajai dinda Arya Kenceng, demikian besar kepercayaanku kepadamu, aku sangat yakin akan pengabdianmu yang tulus dan ikhlas dan sebagai tanda terima kasihku, kini aku sampaikan wasiat utama kepada dinda dari sekarang sampai seterusnya dari anak cucu sampai buyut dinda supaya tetap saling cinta mencintai dengan keturunanku juga sampai anak cucu dan buyut.
  • Dinda saya berikan hak untuk mengatur tinggi rendahnya kedudukan derajat kebangsawanan (catur jadma) , berat ringannya denda dan hukuman yang harus diberikan pada para durjana.
  • Dinda juga saya berikan hak untuk mengatur para Arya di Bali , siapapun tidak boleh menentang perintah dinda dan para Arya harus tunduk pada perintah dinda.
  • Dalam tatacara pengabenan atau pembakaran jenasah (atiwatiwa) ada 3 upacara yang utama yaitu Bandhusa, Nagabanda dan wadah atau Bade bertingkat sebelas. Dinda saya ijinkan menggunakan Bade bertingkat sebelas. Selain dari pada itu sebanyak banyaknya upacara adinda berhak memakainya sebab dinda adalah keturunan kesatriya, bagaikan para dewata dibawah pengaturan Hyang Pramesti Guru.
Demikianlah penghargaan yang kanda berikan kepada adinda karena pengadian dinda yang tulus sebagai Mentri utama “. Arya Kenceng karena telah lanjut usia, akhirnya beliau wafat dan dibuatkan upacara pengabenan (palebon) susai dengan anugrah Dalem Samprangan yaitu boleh menggunakan bade bertingkat sebelas yang diwariskan hingga saat ini. Adapun roh sucinya (Sang Hyang Dewa Pitara) dibuatkan tugu penghormatan (Padharman) yag disebut batur dan disungsung oleh keturunan beliau hingga saat ini dan selanjutnya.

MASA PEMERINTAHAN

SHRI MEGADA NATHA/DEWA MADE/ARYA YASAN/SRI ARYA NGURAH TABANAN/ RAJA TABANAN II

Karena Sri Megadaprabu tidak bersedia memegang kekuasaan di Tabanan, maka yang menjadi Raja menggantikan Bhetara Arya
Kenceng adalah Sri Megadanata, dengan nama yang lain Sri Ngurah Tabanan. Beliau tidak lupa dengan hubungan baik dengan Dalem yang pada waktu itu adalah Dalem Ketut Ngulesir, yang lebih dikenal dengan Sri Kepakisan yang beristana di Swecapura atau Linggarsapura Sukasada atau Gelgel.


(Gambar kanan: Peninggalan Puri Agung Satriya)


Beliau putra dari Sri Kresna Kepakisan ( cucu dari Dalem Wawu Rawuh ) yang mempunyai istana di Samprangan dan merupakan adik dari Dalem Ile. Beliau Arya Ngurah Tabanan mempunyai tiga orang istri dari keturunan kesatria dan memberikan 8 orang putra Istri Pertama (Warga para Sanghyang) lahir 4 orang putra (menetap di Tabanan):
  1. Nararya Ngurah Tabanan / Sirarya Ngurah langwang (Putra Mahkota)
  2. Kiyai Madhyattara/ Made Kaler – menurunkan Pragusti Subamia
  3. Kiyai Nyoman Pascima / Nyoman Dawuh – menurunkan pragusti Jambe (Pamregan) ·
  4. Kiyai Ketut Wetaning Pangkung – menurunkan pragusti Lodrurung, Ksimpar dan Serampingan
Istri kedua (Warga para Sanghyang) lahir 3 orang putra menetap di Badung) :
  1. Kiyai Nengah Samping Boni – menurunkan pragusti Samping
  2. Kiyai Nyoman Ancak – menurunkan pragusti Ancak dan Angligan
  3. Kiyai Ketut Lebah – tidak memberikan keturunan karena kesua anaknya perempuan.
Istri ketiga (Putri bendesa Pucangan) lahir 1 orang putra (menetap di Badung):
  1. Kiyai Ketut Bendesa/ Kiyai Pucangan/ Nararya Bandhana
(Gambar kanan: Pura Satriya)

Tiga orang saudara dari Kiyayi Pucangan Tabanan yaitu Kyayi Samping Boni, Kyayi Nyoman Batan Ancak, Kyayi Ketut Lebah, atas perintah Dalem agar menetap di Badung sebagai pendamping Raja Badung. seperti ayah beliau menjalin hubungan yang baik dengan Dalem Ketut di Gelgel (Anak dari Sri Kresna Kepakisan) sebagai sesuhunan Pulau Bali dan karena masih bersaudara sepupu. Karena demikian akrabnya hubungan tersebut ternyata membawa suatu petaka.
Prasasti Mpu Aji Tusan Lembar 7a transkrip halaman 9 menyebutkan Pada suatu ketika Putra Mahkota Dalem Ketut minta tolong kepada Sri Maganata yang masih merupakan pamannya untuk memotong rambutnya yang sudah panjang. Beliau karena demikian akrabnya maka dipototonglah rambut putra mahkota tersebut sampai gundul tanpa persetujuan dari ayahnya.
Memang sudah takdir dari Yang Maha Kuasa, ketika Dalem Ketut melihat anaknya dalam keadaan gundul, beliau sangat terkejut dan mencari tahu siapa gerangan yang melakukan hal tersebut tanpa seijin dirinya.
Hatinya merasa berang setelah mengetahui bahwa Sri Maganatalah yang melakukan hal tersebut, namun beliau berupaya menyembunyikan kemarahannya tersebut serta menanyakan hal tersebut kepada Sri Maganata Setelah mendengar penjelasan dari Sri Maganata hati beliau tetap tidak senang akan hal tersebut dan mengusir Sri Maganata secara halus ke Majapahit untuk menengok keluarganya disana. Mengetahui kemarahan Dalem tersebut tanpa membantah lagi maka berangkatlah Sri Maganata ke Majapahit .
Arya Yasan tinggal di Kerajaan Majapahit kurang lebih 8 tahun, disana beliau berusaha untuk mencari dan menanyakan keluarganya dari keturunan Arya Damar/ Adityawarman, namun pencarian tersebut tidak membuahkan hasil karena Majapahit sudah runtuh tahun 1478 sehingga beliau memutuskan untuk pulang kembali ke Bali.
(Gambar kiri: Peninggalan Puri Satriya)

Setibanya di Bali beliau kemudian mengembara ke gunung gunung untuk menjadi serang pendeta kemudian bertapa. Arya Yasan tidak diperkenankan menyandang kedudukan dan tidak berhak memiliki rakyat demikian pula kedua putra beliau juga mengalami hal yang sama dengan ayahnya. Diceritakan bahwa adik beliau yang paling kecil tinggal diistana yang bernama Bibi Kyahi Tegeh Kori yang diperistri oleh Dalem Gelgel dan diserahkan kepada putra Si Arya Wongaya Kepakisan yang bernama Kyahi Asak yang tinggal di Kapal.

Hal tersebut membuat beliau marah terhadap Dalem, lalu mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pada putranya Sri Arya Longwan / Sri Arya Ngurah Tabanan sebagai Raja Tabanan III. Setelah meletakkan jabatan Arya Ngurah Tabanan meninggalkan keraton dan mendirikan sebuah pondok di tengah hutan yang disebut Kubon Tingguh.

Kubon Tinggoh adalah tempat berduka cita. Karena perbuatan Dalem yang sewenang-wenang tersebut Arya Yasan menjadi marah dan mengutuk Dalem dan para patih agar selama lamanya terkutuk karena Dalem tidak mematuhi petuah dimasa lampau (antara Arya Kenceng dengan Dalem Kresna Kepakisan ).
Akibat kutukan tersebut Dalem mendapat serangan burung gagak yang senantiasa mengusik hidangan Dalem sehingga beliau menjadi sangat kesal. Beliau Arya Yasan/ Sri Megadanata kemudian menjalani kehidupan suci serta membuat pesraman yang dilengkapi tetamanan dan telaga didaerah Kebon Tingguh yang terletak dibarat daya dari Istana di Pucangan. Pesraman tersebut sekarang sudah menjadi sebuah pura besar yang dinamakan Pura Mentingguh Tabanan yang sekarang disungsung oleh rakyat Tabanan dan Badung.

Diceritakan bendesa Pucangan mempunyai seorang putri yang sangat cantik bernama Sang Ayu Mendesa, diberikan tugas oleh bendesa pucangan untuk melayani kebutuhan sehari hari Arya Yasan/ Sri Megadanata sehingga lama kelamaan tumbuh benih benih cinta kasih diantara keduanya yang dilanjutkan dengan upacara perkawinan.
Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra yang diberi nama Kyahi Ketut Bendesa atau Kyahi Pucangan. Beliau menerima pusaka demon dan pahleng yaitu supit atau tulup tanpa lubang. Setelah besar beliau diserahkan kepada kakaknya Sri Arya Ngurah Longwan / Sri Arya Ngurah Tabanan dean tetap tinggal di Istana. Tidak berapa lama karena lanjut usia wafatlah beliau dan diadakan upacara sebagaimana mestinya.


(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.