Sabtu, 22 Februari 2014

Filled Under:

Salman al-Farisi

Aku berasal dari Persia, tepatnya Ashfahan. Ayahku adalah seorang yang kaya-raya dan ternama. Aku orang yang paling dicintainya di dunia ini. Bahkan saking cintanya, aku tidak pernah diperbolehkan keluar dari rumah. Aku penganut agama Majusi yang sangat taat. Aku mengabdi kepada api, tidak pernah aku membiarkannya redup barang sebentar.
Perjalanan hidupku sangat panjang dan berliku hingga aku bisa seperti ini sekarang. Perjalanan itu bermula pada suatu pagi. Pagi itu ayahku sibuk hingga tidak bisa menengok kebunnya yang luas. Aku diminta untuk menengoknya. Kebun itu berada cukup jauh dari rumah.
Di tengah perjalanan, aku melewati sebuah gereja. Kudengar sayup-sayup suara jamaah gereja yang sedang khusyuk berdoa dan memuji tuhan mereka. Suara pujian dan doa mereka demikian indah. Dalam hati aku berpikir, agama ini jauh lebih baik daripada agama yang kuanut. Aku pun segera mampir ke sumber suara itu. Aku masuk untuk melihat barang sejenak apa yang mereka lakukan. Kekagumanku semakin bertambah ketika kulihat mereka berdoa. Aku sempat bertanya pada seseorang di sana, “Dari mana asal agama ini?” Dia menjawab, “Dari negeri Syam.”
Setelah beberapa saat berada di dalamnya, berat rasanya beranjak dari tempat itu. Kuhabiskan pagi, siang, hingga sore hari itu di dalam gereja. Aku pulang tanpa sempat lagi menengok kebun.
Sesampainya di rumah, aku baru mengetahui bahwa ayahku sepanjang hari berkeliling-keliling mencariku. Dia bertanya, “Kemana saja engkau, sesore ini baru pulang?” Aku menjawab, “Aku tadi melewati sebuah gereja. Di dalamnya banyak orang yang sedang berdoa. Aku pergi melihat mereka, dan aku sangat tertarik dengan agama mereka. Agama itu lebih baik dari agama kita. Karena senang, aku baru pulang ketika hari sudah sore.”
Ayahku berkata, “Anakku, agama yang baru kau lihat tidak sebaik yang kau kira. Agamamu dan nenek moyangmu jauh lebih baik.” Aku pun bersikeras bahwa agama mereka lebih baik. Akhirnya ayahku marah. Aku kembali dikurungnya di rumah.
Selama dikurung, aku selalu merenung tentang agama itu. Aku sempatkan mengirim pesan kepada orang yang kutemui di gereja itu. Kukatakan, “Kalau ada rombongan yang datang dari negeri Syam, tolong beritahu aku.”
Selang beberapa waktu datang, serombongan orang Syam. Lalu beberapa orang gereja pun datang ke rumahku untuk memberitahukan hal tersebut. Kukatakan kepada mereka, “Nanti kalau mereka akan kembali ke negeri mereka, tolong beritahu aku.”
Singkat cerita, datanglah orang memberitahukan bahwa orang-orang Syam itu akan segera kembali ke negeri mereka. Aku segera mencari cara agar bisa keluar dari rumah. Setelah berhasil keluar, aku segera bergabung dengan rombongan yang akan pergi ke Syam tersebut. Berhari-hari kulalui perjalanan ke Syam. Sesampainya di sana, kutanyakan kepada mereka, “Siapakah orang yang paling luas pengetahuannya tentang agama ini?” Mereka menjawab, “Uskup.”
Segera aku mendatanginya dan berkata kepadanya, “Aku ingin masuk agama ini. Oleh karena itu, aku akan selalu bersamamu dan mengabdi di gereja, sehingga aku bisa belajar agama ini.” Dia menjawab, “Masuklah.” Hanya beberapa waktu bersamanya, aku sudah mengetahui bahwa dia adalah orang yang jahat. Dia memerintahkan orang lain untuk membayar sedekah. Sedangkan sedekah-sedekah itu diambil dan disimpannya untuk diri sendiri. Dia tidak memberikannya kepada orang-orang miskin. Hingga harta yang terkumpul mencapai tujuh buah kotak berisi emas dan perak. Aku sangat membencinya karena kejahatan itu.
Setelah beberapa tahun bersamanya, Uskup itu meninggal dunia. Orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburkannya. Kukatakan kepada mereka, “Sebenarnya Uskup ini adalah orang yang jahat. Dia menyuruh kalian membayar sedekah, sedang sedekah itu dikumpulkannya untuk diri sendiri.” Mereka tidak percaya dengan perkataanku, “Mana buktinya?” Maka aku segera tunjukkan tempat disimpannya emas dan perak itu. Mereka sangat terkejut dan langsung berkata, “Selamanya kami tidak akan menguburkannya.” Mereka kemudian menyalib jenazah Uskup itu, lalu melemparinya dengan batu.
Orang-orang Nasrani kemudian memilih Uskup yang baru. Kulihat Uskup pengganti itu adalah orang yang baik. Dia orang yang rajin beribadah dan sangat zuhud kepada harta dunia. Aku sangat menghormati dan mencintainya. Aku hidup bersamanya beberapa waktu, sampai saat datang ajal kepadanya. Saat itu kukatakan, “Selama ini aku hidup bersamamu, mencintaimu lebih dari cintaku kepada yang lain. Sekarang aku lihat ajalmu sudah dekat. Katakanlah kepada siapa lagi aku berguru sepeninggalmu?”  Beliau menjawab, “Anakku, demi Allah saat ini sudah sangat jarang orang yang mengamalkan agama seperti kita. Orang-orang yang benar sudah meninggal; yang tersisa adalah orang-orang yang sudah rusak dan mengubah agama mereka. Hanya ada satu orang yang mengamalkan agama seperti kita, yaitu seorang Nasrani di kota Al-Maushil. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana.”
Aku pun segera pergi ke kota Al-Maushil. Aku menemui orang yang dimaksud guruku itu. Kukatakan kepadanya, “Saat meninggal, guruku berwasiat agar aku menemui dan berguru kepadamu.” Dia menjawab, “Baiklah. Tinggallah bersamaku.” Aku lihat dia seorang yang baik. Persis dengan guru keduaku. Namun tak lama aku tinggal bersamanya, dia pun sakit dan meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia, aku bertanya kepadanya, “Wahai guruku, dulu guruku yang kedua berwasiat kepadaku untuk belajar kepadamu. Sekarang engkau sudah sakit parah. Kalau engkau meninggal, ke manakah hendaknya aku berguru lagi?” Dia menjawab, “Aku hanya mengetahui satu orang yang mengamalkan agama seperti kita. Dia tinggal di kota Nashibin. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana, dan tinggallah bersamanya.”
Setelah guruku meninggal dunia dan dikuburkan, aku segera pergi ke Nashibin untuk menemui orang yang ditunjuk tersebut. Setelah kKukatakan maksud kedatanganku, dia pun mempersilahkaku tinggal bersamanya. Aku hidup bersamanya beberapa waktu, karena dia pun kemudian meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia, kembali kutanyakan tentang guru berikutnya. Dia menunjuk seorang Nasrani di kota Amuriah, sebuah propinsi Romawi.
Aku belajar di Amuriah beberapa saat, karena guru baruku pun meninggal dunia. Di akhir kehidupannya, dia berpesan, “Sekarang memang sudah sangat sedikit orang yang baik dalam mengamalkan agamanya. Tapi jangan khawatir, sudah hampir tiba masa diutusnya seorang nabi baru. Dia akan diutus di negeri Arab. Karena mendapatkan pertentangan dari kaumnya, dia akan hijrah ke sebuah negeri yang diapit dua gunung berbatu hitam. Di tengah dua gunung tersebut adalah lahan perkebunan kurma yang sangat subur. Nabi itu mempunyai tanda-tanda yang bisa kau gunakan untuk mengenalinya; dia tidak mau makan harta sedakah, tapi mau makan harta hadiah, dan di punggungnya ada sebuah tanda kenabian.”
Begitu mendengar kisah itu, aku merasa sangat rindu bertemu dengan nabi itu. Aku berharap bisa segera pergi ke negeri Arab. Maka ketika datang rombongan pedagang dari negeri Arab, aku langsung menemui mereka. Kukatakan kepada mereka, “Bolehkah aku ikut ke negeri kalian? Imbalannya, aku akan memberi kalian hewan-hewan ternakku.” Mereka pun menerima. Namun di tengah perjalanan, mereka berkhianat. Mereka menjualku kepada seorang Yahudi. Mulai saat itu aku menjadi seorang budak. Dia membawaku ke tempat tinggalnya untuk hidup dan mengabdi kepadanya. Dia tinggal di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon kurma. Dalam hati, aku berharap bahwa tempat itu adalah tempat yang dimaksud oleh guruku. Bahwa nabi baru itu akan berhijrah ke sana.
Sehari-hari aku sibuk dengan banyak pekerjaan seorang budak. Aku tidak banyak mendengar kabar dunia luar. Termasuk kabar yang tersiar di Mekah tentang seseorang yang mengaku sebagai nabi. Saat yang kutunggu-tunggu itu rupanya sudah tiba. Saat itu aku sedang bekerja di atas pohon kurma, sedangkan tuanku berada di bawah. Ketika datang seseorang mengabarkan bahwa nabi itu telah tiba, aku hampir terjatuh saking kaget dan bahagianya. Kutanyakan kepada tuanku, “Benarkah nabi itu telah tiba?” Tuanku marah dan menamparku, “Apa urusanmu dengan datangnya nabi itu? Ayo, lanjutkan kerjamu.”  Aku menjawab, “Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja.”
Baru sebentar nabi itu datang, aku sudah ingin segera menemuinya. Saat itu aku sudah memiliki  kurma. Aku ingin memberikan kurma itu kepada nabi baru itu. Aku menemuinya yang saat itu masih berada di Quba’, belum sampai ke Madinah. Kukatakan kepadanya, “Aku mendengar bahwa engkau adalah orang yang baik. Engkau juga mempunyai banyak teman yang sangat membutuhkan bantuan. Aku ingin mensedekahkan kurma-kurma ini.” Aku meletakkan kurma-kurma itu di hadapannya, tapi beliau malah berkata kepada para sahabatnya, “Makanlah kurma-kurma ini.” Sedangkan beliau sendiri tidak makan sedikitpun. Dalam hati aku berkata, “Salah satu tanda kenabiannya sudah kubuktikan.”
Selang beberapa hari, nabi itu melanjutkan perjalanan ke Madinah. Aku mengumpulkan kurma lagi untuk diberikan kepadanya, “Kemarin aku melihat engkau tidak berkenan memakan sedekah. Sekarang aku ingin memberimu kurma-kurma ini sebagai hadiah.” Mendengar hal itu, beliau pun memakannya. Dalam hati aku berkata, “Sudah dua tanda kenabiannya yang kulihat.”
Suatu hari, ada seorang penduduk Madinah yang meninggal dunia. Kulihat nabi itu ikut mengantarnya ke kuburan Baqi’ul Gharqad. Beliau menutupi tubuhnya dengan dua selendang dari kain yang sangat kasar. Aku menemui dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah itu aku mundur ke arah belakang beliau. Aku bermaksud menunggu kainnya tersingkap hingga bisa kulihat tanda kenabian yang tertulis di punggung beliau. Seakan merasakan hal tersebut, beliau langsung menyingkap kainnya sehingga dengan sangat jelas kulihat tanda kenabian itu di punggungnya. Aku menangis sejadi-jadinya, dan langsung memeluk dan mencium beliau. Akhirnya kutemui juga nabi yang selama ini kutunggu-tunggu dan kucari-cari.
Langsung terbayang dalam benakku saat aku meninggalkan ayah yang sangat mencintaiku. Saat aku hidup berpindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain di negeri-negeri yang berjauhan. Saat kehilangan harta-hartaku. Saat aku dihinakan menjadi seorang budak yang diperjual-belikan, yang dipaksa bekerja bagaikan hewan ternak. Namun rasanya, semua itu hilang begitu saja ketika kubuktikan bahwa orang yang ada di depanku adalah nabi yang selama ini aku cari dan tunggu.
Sekarang aku menjadi salah seorang sahabatnya. Aku sangat mencintainya, seperti perasaan seluruh pengikutnya. Beliau adalah pemimpin agung yang sangat menyayangi kami. Karena sayangnya, beliau meminta untuk segera menebus diri agar tidak lagi menjadi seorang budak. Beliau membantuku mengumpulkan harta untuk tebusan. Sekarang aku seorang Muslim yang Merdeka. Seorang sahabat Rasulullah saw. Aku kini dikenal dengan nama Salman Al-Farisi. Di atas adalah foto kuburan beliau di Irak.




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.