Rabu, 18 Desember 2013

Filled Under:

Pemberontakan Ionia (1)

Letak Ionia di Asia Kecil

Pemberontakan Ionia dan pemberontakan terkait
di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia, adalah pemberontakan militer oleh beberapa daerah di Asia Kecil terhadap kekuasaan Persia, dan berlangsung dari tahun 499 SM sampai 493 SM. Penyebab pemberontakan ialah ketidakpuasan kota-kota Yunani di Asia Kecil terhadap para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memimpin mereka, juga kemarahan terhadap tindakan individual oleh dua tiran Miletos, yaitu Histiaios dan Aristagoras. Kota-kota Ionia sendiri ditaklukkan oleh Persia sekitar tahun 540 SM, dan sejak itu diperintah oleh tiran, yang diusulkan oleh satrap Persia di Sardis. Pada tahun 499 SM, tiran Miletos, Aristagoras, melancarkan ekspedisi gabungan bersama satrap Persia, Artaphernes, untuk menaklukkan Naxos, dengan tujuan menaikkan posisinya. Misi tersebut gagal, dan merasa bahwa dia akan dipecat, Aristagoras memilih untuk menghasut seluruh Ionia untuk memberontak menentang kaisar Persia, Darius yang Agung.
Pada tahun 498 SM, dibantu oleh pasukan dari Athena dan Eretria, pasukan Ionia bergerak, menangkap, dan membakar kota Sardis. Namun dalam perjalanan pulangnya, mereka diikuti oleh pasukan Persia, dan secara telak dikalahkan pada Pertempuran Ephesos. Kampanye ini adalah satu-satunya tindakan ofensif dari pihak Ionia, yang untuk selanjutnya malah menjadi tindakan defensif. Persia menanggapi pada tahun 497 SM dengan serangan bercabang tiga yang diarahkan untuk menangkap daerah di sekitar wilayah para pemberontak, tapi menyebarnya pemberontakan ke Karia membuat pasukan terbesar Persia, dipimpin oleh Darius, harus dipindahkan ke sana. Walaupun pada walnya meraih keberhaslan di Karia, pasukan Persia dikalahkan dalam suatu penyergapan pada Pertempuan Pedasos. Ini berakibat pada kebuntuan untuk sisa tahun 496 dan 489 SM.

Pada tahun 494 SM, angkatan darat dan angkatan laut Persia berkumpul kembali, dan mereka menuju tepat ke pusat pemberontakan di Miletos. Angatan laut Ionia berusaha mempertahankan Miletos di laut, tapi secara telak dikalahkan pada Pertempuran Lade, setelah bangsa Samos berkhianat dan balik mendukung Persia. Miletos dikepung dan dikuasai oleh Persia. Peristiwa di Miletos membuat pemberontakan berhenti, dan orang-orang Karia pun menyerah kepada Persia. Persia menghabiskan tahun 493 SM untuk menumpas sisa-sisa pemberontakan di kota-kota lainnya, sebelum akhirnya menetapkan kesepakatan damai di Ionia.
Pemberontakan Ionia merupakan konflik besar pertama antara Yunani melawan Kekaisaran Persia, dan menjadi fase pertama dalam Perang Yunani-Persia. Meskipun Asia Kecil berhasil dikuasai kembali oleh Persia, namun Darius bersumpah untuk menghukum Athena dan Eretria atas tindakan mereka yang membantu para pemberontak. Selain itu, Darius juga melihat bahwa kota-kota di Yunani dapat mengancam kestabilan Kekaisarannya. Maka dari itu, Darius pun berniat melakukan invasi ke Yunani.

1. Sumber

Secara praktis, satu-satunya sumber primer untuk Pemberontakan Ionia adalah sejarawan Yunani Herodotos.[1] Herodotos, yang disebut sebagai 'Bapak Sejarah',[2] lahir pada tahun 484 SM di Halikarnassos, Asia Kecil (ketika itu dikuasai oleh Persia). Dia menulis karyanya yang berjudul Historia sekitar tahun 440–430 SM, berusaha untuk melacak asal-usul Perang Yunani-Persia, yang ketika itu merupakan peristiwa yang belum terlalu lama berlalu (perang itu berakhir pada tahun 450 SM).[3][4] Pendekatan Herodotos sepenuhnya baru, dan setidaknya di masyarakat Barat, dia tampaknya menciptakan 'sejarah' seperti yang kini diketahui.[4] Seperti dinyatakan oleh Holland:[4]


 Patung Herodotos di Wina, Austria


Untuk pertama kalinya, seorang penulis kronik memutuskan untuk melacak asal-usul suatu konflik bukan ke masa silam yang begitu jauh demi terlihat menjadi sangat menakjubkan, bukan juga kepada tingkah laku dan keinginan dewa tertentu, bukan kepada klaim orang demi mewujudkan takdir, namun lebih kepada penjelesan yang dapat dia verifikasi secara pribadi.

Banyak sejarawan kuno di kemudian hari yang, meskipun mengikuti jejak penulisan Herodotos, mengkritiknya, bermula dari Thukydides.[5][6] Meskipun demikian, Thukydides memilih untuk memulai catatan sejarahnya pada peristiwa ketika Herodotos menyelesaikan catatannya sendiri, yaitu pada Pengepungan Sestos, dan dengan demikian Thukydides mungkin merasa bahwa tulisan Herodotos sudah cukup akurat sehingga tak perlu dikoreksi atau ditulis ulang.[6][3] Plutarkhos mengkritik Herodotos dalam esainya "Mengenai Kejahatan Herodotos", menggambarkan Herodotos sebagai "Philobarbaros" (pencinta orang barbar), karena menurutnya Herodotos kurang memihak Yunani. Ini menunjukkan bahwa Herodotos kemungkinan telah melakukan penulisan sejarah yang cukup netral dan tidak terlalu berat sebelah.[7]
Pandangan negatif tentang Herodotos berlanjut hingga Eropa Renaisans, meskipun karyanya tetap banyak dibaca.[8] Akan tetapi, sejak abad ke-19 reputasinya secara dramatis mengalami perbaikan akibat masa demokrasi dan temuan-temuan arkeologis yang berulang kali menunjukkan bahwa catatan sejarahnya memang akurat.[9] Pandangan modern yang kini berlaku adalah bahwa Herodotos secara umum melakukan pekerjaan yang baik dalam karyanya Historia, namun beberapa rincian spesifiknya (terutama mengenai jumlah pasukan dan tanggal kejadian) harus dicermati dengan skeptisisme.[9] Meskipun demikian, masih ada beberapa sejarawan yang menganggap bahwa Herodotos memiliki kecenderungan anti-Persia dan bahwa banyak bagian dari kisahnya yang dibuat-buat demi tujuan dramatis[10]

2. Latar belakang

 Pada Zaman Kegelapan Yunani yang berlangsung setelah runtuhnya peradaban Mykenai,[11] banyak orang Yunani yang beremigrasi ke Asia Kecil dan bermukim di sana. Para pemukim ini berasal dari tiga kelompok suku: suku Aiolia, Doria, dan Ionia.[12][13] Orang Ionia bermukim di pesisir Lydia dan Karia, mendirikan dua belas kota yang membentuk daerah Ionia.[13] Kota-kota ini antara lain Miletos, Myos dan Priene di Karia; Ephesos, Kolophon, Lebedos, Teos, Klazomenai, Phokaia dan Erythrai di Lydia; serta pulau Samos dan Khios.[14][15][16]

Meskipun kota-kota Ionia masing-masing berdaulat sendiri-sendiri, tapi mereka mengakui bahwa mereka mewarisi kebudayaan dan peradaban yang sama. Mereka juga memiliki satu kuil utama dan tempat pertemuan tetap, disebut Panionion. Mereka dengan demikian telah membentuk 'perkumpulan kebudayaan', yang tidak boleh dimasuki oleh kota-kota lainnya, bahkan oleh suku Ionia lainnya.[17][18].Kota-kota Ionia merdeka sampai mereka ditaklukkan oleh raja Kroisos dari Lydia yang terkenal sekitar tahun 560 SM.[19][20][17] Kota-kota Ionia kemudian berada di bawah kekuasaan Lydia hingga pada akhirnya Lydia ditaklukkan oleh Kekaisaran Persia yang dipimpin Koresh Agung.[21][22][23]

Ketika sedang berperang melawan Lydia, Koresh mengirim pesan kepada kota-kota Yunani di Ionia. Dia meminta mereka untuk memberontak terhadap kekuaaan Lydia. Permintaannya ditolak oleh orang-orang Ionia.[21] Setelah Koresh selesai menaklukkan Lydia, kota-kota Ionia kini menawarkan diri untuk berada di bawah kekuasaan Persia dengan kesepakatan yang sama seperti ketika dikuasai oleh Kroisos dari Lydia..[21] Koresh menolak dan mengungkit-ungkit keengganan bangsa Ionia ketika dulu mereka tidak mau membantunya. Bangsa Ionia dengan demikian bersiap-siap untuk mempertahankan diri, dan Koresh mengirim jenderal Media, Harpagos, untuk menaklukkan mereka.[24] Dia pertama-tama menyerang Phokaia; orang-orang Phokaia memutuskan untuk meninggalkan kota mereka dan berlayar menyelamatkan diri ke Sisilia, daripada harus tunduk di bawah kekuasaan Persia (meskipun kemudian banyak pula yang kembali).[25] Beberapa orang Teos juga memilih untuk bermigrasi ketika Harpagos menyerang kota mereka, tapi bangsa Ionia di kota-kota lainnya tetap bertahan, dan satu demi satu kota-kota Ionia ditaklukkan oleh Persia.[26]

 Peta periode akhir Kekaisaran Lydia di bawah Kroisos, abad ke-6 SM.


 Ilustrasi Darius I dari Persia, berdasarkan relief di Behistun, Iran


Persia mendapati bahwa orang Ionia sulit diatur. Di wilayah lainnya di kekaisaran, Koresh memanfaatkan kelompok elit penduduk pribumi untuk membantunya mengatur daerah taklukan barunya, misalnya kelompok kependetaan Yudea.[27] Kelompok seperti itu tidak ada di kota-kota Yunani pada masa itu; meski biasanya ada aristokrasi, hal ini pada akhirnya berujung pada golongan-golongan yang saling bermusuhan.[27] Persia kemudian menempatkan seorang tiran di tiap kota di Ionia, meskipun ini menyeret mereka ke dalam konflik internal Ionia. Selain itu, tiran tertentu kemungkinan mengembangkan gagasan untuk merdeka dan harus diganti.[27] Para tiran itu sendiri menghadapi tugas yang sulit, mereka mesti mengalihkan kebencian terburuk warganya terhadap Persia, sambil tetap mengabdi kepada Persia.[27]

Sekitar 40 tahun setelah penaklukan Persia atas Ionia, dan pada masa pemerintahan raja Persia keempat, Darius Agung, tiran Miletos saat itu, Aristagoras, mendapati dirinya berada dalam permasalahan seperti di atas.[28] Paman Aristagoras, Histiaios, pernah menemani Darius dalam kampanyenya pada tahun 415 SM, dan ketika ditawarkan imbalan, meminta bagian wilayah Thrakia yang telah ditaklukkan Persia. Meskipun permintaan itu dikabulkan, ambisi Histiaios membuat para penasehat Darius cemas, akibatnya Histaios kembali diberi "hadiah" lain, yaitu dijadikan "Kawan Semeja Raja" (kemungkinan sebagai penasehat) Darius, yang membuat Histaios harus terus berada di Susa, sehingga Persia tak perlu cemas lagi akan ambisinya. Jabatan tiran kemudian diwariskan kepada Aristagoras, yang harus menghadapi rasa ketidaksukaan rakyat Miletos kepada Persia.[28][29]

Pada tahun 500 SM, Aristagoras didekati oleh beberapa aristokrat yang terusir dari Naxos. Mereka meminta Aristagoras untuk membantu mereka kembali berkuasa di Naxos.[30] Melihat adanya kesempatan untuk memperkuat posisinya di Miletos dengan cara menaklukkan Naxos, Aristagoras pun mendatangi satrap Lydia, Artaphernes, dengan sebuah tawaran. Jika Artaphernes menyediakan pasukan, Aristagoras akan menaklukkan Naxos atas nama Dairus sehingga wilayah Persia akan bertambah luas, dan Artaphernes juga akan diberikan bagian dari rampasan perang untuk mengganti biaya pembentukan pasukan.[31] Artaphernes setuju dan meminta izin Darius untuk melancarkan ekspedisi. Darius memberi izin dan dibentuklah armada laut yang terdiri atas 200 trireme yang akan dikerahkan untuk menyerang Naxos setahun kemudian.[32]

3. Kampanye Naxos

Pada musim semi tahun 499 SM, Artaphernes menyiapkan armada Persia, dan menunjuk sepupunya Megabates sebagai komandan.[32] Dia lalu mengirim pasukan itu ke Miletos, di sana mereka mengangkut pasukan Ionia yang dipimpin Aristagoras. Setelah itu bersama-sama mereka berlayar menuju Naxos. Dalam perjalanan, Aristagoras bertengkar dengan Megabetes mengenai seorang kapten kapal Ionia bernama Skylax yang tak menyertakan petugas jaga. Herodotos menuturkan bahwa akibat perselisihan itu, Megabetes mengirim utusan ke Naxos untuk memberitahu rakyat Naxos mengenai kedatangan pasukan Pesia.[33] Sebagian sejarawan modern meragukan bahwa Megabetes membocorkan rencana penyerangan kepada rakyat Naxos.[34] Ada kemungkinan bahwa kisah ini disebarkan oleh Aristagoras setelah ekspedisi, sebagai alasan mengapa dia gagal dalam kampanye itu.[1]

Walau bagaimanapun, yang jelas rakyat Naxos sudah mengetahui bahwa mereka akan diserbu oleh Persia sehingga mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk pengepungan. Mereka mengumpulkan persediaan makanan di dalam kota dan memperkuat tembok kota. Ketika pasukan Persia tiba di Naxos, mereka mendapati bahwa kota sasaran mereka sudah terlindungi dengan baik.[35] Setelah melakukan pengepungan selama empat bulan, persediaan uang yang dibawa oleh pasukan Persia mulai habis, selain itu para tentara Persia juga sudah kehilangan semangat. Akhirnya armada Persia terpaksa pulang kembali ke Asia tanpa membawa kemenangan.[36] Sebelum pergi, mereka membangun sebuah benteng di pulau tersebut bagi para aristokrat Naxos yang terusir.[35]


  Peta pulau Naxos

 4. Awal Pemberontakan
Dengan kegagalan menaklukkan Naxos, Aristagoras mendapati dirinya berada dalam keadaan yang sulit; dia tidak dapat membayar biaya ekspedisi kepada Artaphernes.[37] Selain itu dia semakin menjauh dari keluarga kerajaan Persia. Dia cemas dirinya akan dipecat dari jabatannya oleh Artaphernes. Dalam upaya putus asa untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Aristagoras memilih untuk menghasut rakyatnya, yakni penduduk Miletos, untuk memberontak melawan kekuasaan Persia, yang dengan demikian memulai Pemberontakan Ionia.[38][36][39][1]

Pada musim gugur tahun 499 SM, Aristagoras mengadakan pertemuan dengan para anggota faksinya di Miletos. Dia menyatakan pendapatnya bahwa Miletos mesti memberontak. Semua anggota, kecuali sejarawan Hekataios, setuju.[40] Pada saat yang sama, seorang utusan yang dikirim oleh Histiaios tiba di Miletos, menyuruh Aristagoras untuk memberontak terhadap Darius. Herodotos berpendapat bahwa ini karena Histiaios amat sangat ingin kembali ke Ionia, dan berpikir bahwa dia akan dikirim ke sana jika terjadi pemberontakan.[39] Maka dari itu Aristagoras secara terbuka menumumkan pemberontakannya terhadap Darius. Dia mundur dari jabatannya sebagai tiran dan memproklamirkan Miletos sebagai negara demokrasi.[41] Herodotos meyakini bahwa pelepasan kekuasaan ini hanyalah muslihat Aristagoras.

Menurutnya Aristagoras melakukannya supaya rakyat Miletos bersemangat untuk memberontak.[42]
Pasukan yang sebelumnya dikerahkan ke Naxos masih berkumpul di Myos dan meliputi kontingen-kontingen dari kota-kota Yunani lainnya di Asia Kecil, seperti Aiolia dan Doris, selain juga dari Mytilene, Mylasa, Temera dan Kyme.[40] Aristagoras mengirim orang untuk menangkap semua tiran Yunani yang ada dalam pasukan, lalu menyerahkan para tiran itu ke kota mereka masing-masing supaya kota-kota itu mau bekerja sama dengannya.[42] Beberapa tiran itu dihukum mati di kota mereka, namun sebagian besarnya diusir.[43] Meskipun tidak dinyatakan secara jelas oleh Herodotos, namun diduga bahwa Aristagoras menghasut seluruh pasukan untuk bergabung dalam pemberontakannya,[1] dan juga merebut kapal-kapal yang sebelumnya disediakan oleh Persia untuk mengepung Naxos.[41] Jika ini benar, maka dapat menjelaskan mengapa Persia butuh waktu lama untuk melancarkan serangan laut terhadap Ionia, karena mereka membutuhkan waktu lama untuk membangun armada yang baru.[44]

Meskipun Herodotos menyebutkan bahwa pemberontakan itu terjadi sebagai akibat dari motif pribadi Aristagoras, namun jelas bahwa rakyat Ionia sendiri memang sudah ingin memberontak, terutama karena mereka merasa marah kepada para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memimpin mereka.[1] Meskipun negara-negara Yunani pada masa lalu pernah dipimpin oleh tiran, ini adalah bentuk pemerintahan yang tengah mengalami kemunduran. Selain itu, para tiran pada masa lampau cenderung (dan memang harus) kuat dan cakap, sementara orang-orang yang ditunjuk oleh Persia hanya bertindak sebagai perwakilan dari pemerintahan Persia. Didukung oleh kekuatan militer, para tiran ini tidak membutuhkan dukungan dari rakyat, dan dengan demikian dapat berkuasa secara mutlak.[1] Maka dari itu tindakan Aritagoras bisa dibilang menjadi pemicu bagi keinginan orang Ionia itu sendiri. Pemberontakan itu menyebar ke seluruh Ionia, di berbagai kota Yunani di sana, rakyat menggulingkan kekuasaan para tiran dan menggantinya dengan pemerintahan demokrasi.[41]

Aristagoras berhasil menghasut seluruh Asia Kecil Hellenik untuk memberontak, namun ia menyadari bahwa Ionia membutuhkan sekutu lain supaya mampu menghadapai Persia.[43][45] Pada musim dingin tahun 499 SM, dia pertama-tama berlayar ke Sparta, negara yang terkenal kuat dalam berperang. Akan tetapi, meskipun telah dibujuk oleh Aristagoras, raja Sparta Kleomenes I menolak tawaran untuk memimpin pasukan Yunani melawan Sparta. Maka dari itu Aristagoras pun mencari bantuan ke negara lainnya, yaitu Athena.[45]

Pada saat itu Athena sendiri baru saja menjalankan demokrasi, menggulingkan tirannya sendiri Hippias. Dalam perjuangan mereka mendirikan demokrasi, orang Athena sempat meminta pertolongan kepada Persia dan menawarkan kekuasan atas Athena. Pada akhirnya bantuan tersebut tak dibutuhkan oleh Athena.[46] Beberapa tahun kemudian, Hippias berupaya untuk berkuasa kembali di Athena, dengan dibantu oleh Sparta. Upaya ini gagal dan Hippias mencari perlindungan kepada Artaphernes. Hippias lalu membujuk Persia untuk menaklukkan Athena.[47] Athena mengirim utusan kepada Artaphernes untuk mencegahnya mengambil tindakan, namun Artaphernes hanya menyuruh orang Athena untuk menerima kembali Hippias sebagai tiran.[45] Orang Athena menolak keras hal ini, dan dengan demikian mereka secara terbuka menyatakan perang kepada Persia.[47] Dengan menjadi musuh Persia, Athena menjadi berada dalam posisi untuk mendukung kota-kota Ionia ketika mereka mulai melakukan pemberontakan.[45] Selain itu, kenyataan bahwa demokrasi Ionia diilhami oleh Athena semakin mendorong Athena untuk mendukung Pemberontakan Ionia, apalagi kota-kota Ionia dipercaya bermmula sebagai koloni-koloni Athena.[45]

Aristagoras juga berhasil membujuk kota Eretria untuk ikut mengirim bantuan kepada orang Ionia. Alasan Eretria membantu Pemberontakan Ionia tak sepenuhnya jelas. Kemungkinan faktornya adalah alasan perdagangan; Eretria adalah kota dagang, yang perniagaannya terancam oleh dominasi Persia di Aigeia.[45] Herodotos sendiri berpendapat bahwa Eretria mendukung pemberontakan sebagai balasan karena dulu orang Miletos pernah membantu Eretria dalam perang melawan Khalkis, barangkali pada Perang Lelantina.[48][49]
(Bersambung)


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.