Sabtu, 01 Februari 2014

Filled Under:

Tokoh Kesultanan Melayu 1

Sang Sapurba

Sang Sapurba adalah tokoh mitos legenda di Bumi Melayu, keturunan dari Iskandar Zulkarnain.
Dalam Sulalatus Salatin, disebutkan dari tokoh ini semua raja-raja Melayu diturunkan. Sementara dalam Tambo Minangkabau, tokoh ini disamakan dengan Maharajadiraja pendiri Alam Minangkabau.[1]

Biografi

Sang Sapurba menikah dengan Wan Sundaria, putri Demang Lebar Daun, penguasa Palembang, dan dari pernikahan tersebut memiliki 4 orang anak, 2 orang putri, Putri Sri Dewi dan Putri Chandra Dewi, kemudian 2 orang putra, Sang Mutiara dan Sang Nila Utama.[2]
Sebagai pewaris kekuasan Iskandar Zulkarnain dan salah satu dari tiga ahli waris kekuatan besar di dunia bersama dengan Tiongkok (Kaisar Cina) dan Romawi (Kekhalifahan di Turki) waktu itu. Sang Sapurba punya ambisi memelihara kebesaran kerajaannya, kemudian menjelajahi semua kawasan Melayu. Ia melakukan perjalanan mulai dari Palembang, Tanjungpura sampai ke Lingga dan Bintan, lalu masuk Batang Kuantan sampai ke Minangkabau. Dari setiap kawasan yang dilaluinya menyatakan sembah setia sebagai rakyatnya.[2] Dalam Tambo Minangkabau, kedatangan Maharajadiraja bersama pembantunya Cati Bilang Pandai serta diiringi oleh 4 orang yang dikiaskan dengan Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan dan Anjing Mu'alim.[1] Nama-nama ini mungkin juga menunjukan asal daerah dari para pengiring tersebut.[3]
Di Minangkabau, Sang Sapurba dinobatkan menjadi raja, setelah sebelumnya diuji oleh masyarakatnya untuk mengalahkan Ular Sakti Muna, seekor ular besar yang telah merusak perhumaan di kawasan tersebut.[2] Maharajadiraja ini kemudian membangun pusat pemerintahan di Lagundi Nan Baselo yang dirujuk pada kawasan Pariangan (Parhyangan).
Keturunan dari Sang Sapurba ini kemudian menyebar di Dunia Melayu, Sang Mutiara kemudian menjadi raja di Tanjungpura, Sang Nila Utama menjadi raja di Bintan sebelum pindah ke Singapura. Sementara putrinya dinikahkan dengan raja Jawa (Majapahit).[4]

Identifikasi dengan Raja Melayu

Sulalatus Salatin menyebutkan nama pendiri Singapura adalah Sri Tri Buana.[2] Kemudian berita ini dikaitkan dengan Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, diketahui Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa sebagai Maharaja di Bumi Melayu yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Jawa Kertanagara.[5] Pararaton menyebutkan kepulangan pasukan Ekspedisi Pamalayu ke Jawa tahun 1293 sekaligus membawa dua orang putri raja Melayu, Dara Jingga dan Dara Petak[6] yang kemudian dinikahi oleh sira alaki dewa dan pendiri Majapahit Raden Wijaya.[7]

Rujukan

  1. ^ a b Datuk Batuah, A., Datukt Madjoindo, A., (1957), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
  2. ^ a b c d Raffles, T. S., (1821), Malay annals (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown
  3. ^ Marihandono, Djoko, (2008), Titik balik historiografi di Indonesia, Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan Departemen Sejarah FIB UI, ISBN 9793258802.
  4. ^ Raffles, T. S., (1817), The history of Java, Volume 2, Printed for Black, Parbury, and Allen.
  5. ^ Muljana, Slamet, (1981), Kuntala, Sriwijaya Dan Suwarnabhumi, Jakarta: Yayasan Idayu
  6. ^ Mangkudimedja, R.M., (1979), Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP. Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  7. ^ Muljana, Slamet, (2006), Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-25-5254-5
Sumber

Sang Nila Utama

Sang Nila Utama tokoh legenda pendiri Singapura.

Biografi

Dalam Sulalatus Salatin, Sang Nila Utama disebutkan sebagai putra pasangan Sang Sapurba dengan Wan Sundaria (anak dari Demang Lebar Daun, penguasa Palembang). Ia menikah dengan Wan Sri Bini, dan awal menjadi raja di Bintan sebelum pindah ke Singapura.[1]

Pendirian Singapura

Dalam perjalanan pergi berburu pada suatu pulau di lepas pantai Sumatera, Sang Nila Utama melihat seekor rusa dan mengejarnya, kemudian mendaki sebuah batu besar, ketika mencapai puncak, ia memandang ke seberang laut dan melihat pulau lain dengan pantai berpasir yang memiliki penampilan selembar kain putih. Ia diberitahu salah satu menterinya bahwa itu adalah pulau Temasek.
Kemudian ketika mendarat pulau tersebut. Tiba-tiba, ia melihat seekor binatang aneh dengan tubuh merah, kepala hitam dan putih payudara. Itu adalah hewan yang tampan dan bergerak dengan kecepatan tinggi seperti menghilang ke hutan. Dia bertanya menteri kepala binatang apa itu, dan diberitahu bahwa ini mungkin adalah seekor singa. Ia senang dan percaya menjadi pertanda baik, kemudian memutuskan untuk membangun kota baru di Temasek. Kota ini diberi nama Singapura yang berarti Kota Singa.

Rujukan

  1. ^ Raffles, T. S., (1821), Malay annals (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown
Sumber

Parameswara

Parameswara merupakan pendiri Malaka dari Palembang[1] pada tahun 1405.[2] Ia mengunjungi Kaisar Cina pada tahun 1405 dan 1409 untuk mendapatkan legitimasi atas wilayah kedaulatannya serta perlindungan dari serangan Ayutthaya dan Majapahit.

Etimologi

Parameswara (परमेश्वर) adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. Parama berarti "paling berkuasa", dan Iswara berarti "raja". Parameswara juga merupakan nama lain untuk Siwa, salah satu dewa utama dalam agama Hindu. Dalam Pararaton terdapat nama tokoh yang mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Sementara Sulalatus Salatin juga ada menyebutkan bahwa selepas Batara Majapahit meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh putrinya. Kemudian Ratu Majapahit tersebut menikah dengan putra Raja Tanjungpura.

Asal-usul keturunan

Berdasarkan kronik Cina masa Dinasti Ming disebutkan pendiri Malaka adalah Pai-li-mi-su-la (Parameswara), mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan 1409. Sementara dalam Sulalatus Salatin, tidak dijumpai nama tokoh ini, namun kemudian beberapa sejarahwan merujuk tokoh ini dengan Raja Iskandar Syah, dalam Sulalatus Salatin disebutkan sebagai pendiri Malaka. Sebelumnya Raja Iskandar Syah merupakan Raja Singapura, namun karena serangan Jawa dan Siam menyebabkan Raja Singapura memindahkan pusat pemerintahannya ke Malaka.[3]

Referensi

  1. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  2. ^ Gungwu, Wang, (2003), Only connect!: Sino-Malay encounters, Eastern Universities Press, ISBN 981-210-243-4.
  3. ^ Raffles, T.S., (1821), Malay annals, (translated from the Malay language, by the late Dr. John Leyden)
Sumber

Megat Iskandar Syah

Megat Iskandar Syah adalah raja kedua Malaka yang menggantikan ayahandanya Parameswara. Seperti Parameswara dia juga menganut agama Islam, yang memudahkannya menjalin hubungan dengan jaringan pedagang Gujarat dan Benggala. Dia juga menjaga hubungan baik dengan Dinasti Ming.

Sumber

Muhammad Syah dari Malaka

Sultan Muhammad Syah adalah raja ketiga dari Kesultanan Malaka. Dia juga dikenal dengan sebutan Raja Tengah atau Radin Tengah. Pada awalnya dia mengambil gelar Seri Maharaja, namun kemudian dia memeluk agama Islam, kemungkinan karena perkawinannya dengan perempuan Tamil muslim. [1]

Catatan

Sumber

Sri Parameswara Dewa Syah

 Seri Parameswara Dewa Syah atau Raja Ibrahim merupakan raja keempat dari Kesultanan Malaka. Dia merupakan anak dari putri Kerajaan Rokan di Sumatera (sekarang termasuk Riau, Indonesia). Raja Ibrahim tampaknya tidak menganut agama Islam, dan terlibat ketegangan dengan masyarakat Tamil muslim di Malaka saat itu. Dia kemudian mangkat karena terbunuh, dan digantikan saudaranya lain ibu, Raja Kasim, yang kemudian bergelar Sultan Mudzaffar Syah. Raja Kasim berasal dari ibu etnis Tamil.

Sumber

Mudzaffar Syah dari Malaka

Sultan Mudzaffar Syah adalah raja kelima dari Kesultanan Malaka. Dia menggantikan saudara seayahnya, Raja Ibrahim atau Seri Parameswara Dewa Syah. Pada masa pemerintahannya Malaka mulai melaksanakan perang ekspansi ke negeri-negeri tetangganya, dan berhasil menundukkan Manjong, Selangor, Batu Pahat, Kampar dan Indragiri. Hal ini mengundang kemarahan Siam yang menyerbu Malaka dua kali, tahun 1445 melalui Pahang dan tahun 1456 melalui laut.
Mudzaffar Syah digantikan putranya, Raja Abdullah (Sultan Mansur Syah).

Sumber

Mansur Syah dari Malaka

Sultan Mansur Syah atau Raja Abdullah adalah raja keenam Kesultanan Malaka. Pada masa pemerintahannya Malaka menaklukkan Pahang dan Kedah, yang pada saat itu berada di bawah Siam. Menurut Sejarah Melayu pahlawan legendaris Melayu, Hang Tuah, pertama kali muncul pada masa pemerintahan raja ini.
Di bawah Sultan Mansur Syah Malaka menguasai sepenuhnya Selat Malaka. Baik Semenanjung Malaya dan pantai Timur Sumatera pada masa itu berada di bawah kendali Malaka.

Sumber

Hang Tuah

 Hang Tuah merupakan seseorang pahlawan dan tokoh legendaris Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Ia adalah seorang pelaut dengan pangkat laksamana dan juga petarung yang hebat di laut maupun di daratan.

Biografi

" Tak akan Melayu hilang di bumi "
— Sumpah Hang Tuah dalam Sulalatus Salatin.
Penggambaran Hang Tuah dari beberapa versi Sulalatus Salatin berbeda, ada yang menyebutkan bahwa ia dahulunya adalah seorang nelayan miskin. Hang Tuah ialah seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Melaka di abad ke-15 (Kesultanan Melayu Melaka) bermula pada 1400-1511 A.D. )[1] Menurut rekod sejarah, beliau lahir di Kampung Sungai Duyong, Melaka kira-kira dalam tahun 1444 A.D.
Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) dari Melaka mengetahui kehebatan mereka dan mengambil mereka untuk berkerja di istana.
Semasa ia bekerja di istana, Hang Tuah membunuh seseorang petarung dari Jawa yang terkenal dengan sebutan Taming Sari, yang di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit, Konon Taming Sari dikenal pandai berkelahi,kebal senjata dan dapat menghilang ,kemudian dilawan oleh Hang Tuah diketahui yang membuat Taming Sari sakti terletak pada kerisnya, Hang Tuah berhasil merebut keris tersebut kemudian membunuh Taming Sari. Kemudian keris tesebut diambil Hang Tuah dan diberi nama Taming Sari , setelah menjadi miliknya dan dipercaya bahwa keris itu dapat berkuasa kepada pemiliknya untuk menjadi hilang.
Hang Tuah dituduh berzinah dengan pelayan Raja, dan di dalam keputusan yang cepat, Raja menghukum mati Laksamana yang tidak bersalah. Namun, hukuman mati tidak pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah dikirim ke sesebuah tempat yang jauh untuk bersembunyi oleh Bendahara.
Setelah mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati, teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat, dengan murka ia membalas dendam melawan raja, mengakibatkan semua rakyat menjadi kacau-balau. Raja menyesal menghukum mati Hang Tuah, karena dialah satu-satunya yang dapat diandalkan untuk membunuh Hang Jebat. Secara tiba-tiba, Bendahara memanggil kembali Hang Tuah dari tempat persembunyiannya dan dibebaskan secara penuh dari hukuman raja. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya dari Hang Jebat, dan membunuhnya.Setelah teman seperjuangannya gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.

Penghargaan

Kehebatan Hang Tuah, menginspirasikan masyarakat untuk tetap mengabadikan namanya. Selain digunakan untuk nama jalan, namanya juga dikaitkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan bahari. Nama Hang Tuah digunakan untuk beberapa institusi pendidikan kemaritiman, antara lain Universitas Hang Tuah di Surabaya serta Sekolah Menengah Kejuruan Pelayaran Hang Tuah di Kediri Jawa Timur. Selain itu salah satu kapal perang Indonesia, juga menggunakan namanya yaitu, KRI Hang Tuah.

Catatan kaki




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.