Sabtu, 08 Februari 2014

Filled Under:

Majapahit: Gajah Mada 2 (habis)


Perang Bubat

Perang Bubat" ini mengambil asumsi perang itu terjadi. Perang yang merupakan lembaran hitam dari sejarah kebesaran Majapahit. Perang yang merupakan lembaran hitam juga bagi karir politik mahapatih Gajah Mada. Perang yang akhirnya memaksa Gajah Mada turun dari kedudukannya sebagai mahapatih Majapahit. Sumber adanya perang bubat diperoleh dari buku Pararaton, sebuah karya sastra yang berisi cerita peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kerajaan Singasari dan Majapahit. Buku lain yang juga banyak menceritakan peristiwa sejarah pada masa yang sama, yaitu buku Negara Kertagama, tidak sekali pun menyebutkan adanya peristiwa perang bubat ini.Dua puluh tahun sejak Gajah Mada mengikrarkan sumpah Palapa-nya yang terkenal. Majapahit telah menjelma menjadi kerajaan besar yang menguasai nusantara dan perairannya.

Dengan armada lautnya yang sangat besar, yang dipimpin oleh laksamana Nala, Gajah Mada telah berhasil mewujudkan cita-citanya mengajak kerajaan-kerajaan di Nusantara bersatu di bawah kekuasan Majapahit. Gajah Mada mengajak kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara bersatu salah satunya adalah untuk menggalang kekuatan melawan pasukan dari kerajaan Tar Tar yang hendak memperlebar wilayah kekuasaannya sampai ke arah selatan.

Wilayah nusantara yang sebagian besar terdiri atas perairan mendorong Majapahit memperkuat armada lautnya. Armada laut inilah yang setiap hari berpatroli di dalam wilayah laut nusantara melindungi kapal-kapal dagang yang melintas, sekaligus membentengi wilayah nusantara dari kemungkinan serbuan bangsa Tar Tar.Dari mulai Tumasek (Singapura), Tanjungpura, Bali, Dompo, hingga Seram seluruh penguasanya menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Tetapi di kala semua kerajaan yang letaknya relatif jauh sudah menyatakan tunduk, ada dua kerajaan yang sangat dekat bahkan seperti di halaman rumah sendiri, belum menyatakan tunduk. Dua kerajaan tersebut adalah Sunda Galuh yang berpusat di Galuh (sekarang berada di sekitar Ciamis), dan Sunda Pakuan yang terletak lebih ke arah barat.

Sebagai sebuah kerajaan yang sudah sangat kuat pada saat itu maka Majapahit dapat saja menundukkan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran), namun Sang Mapatih lebih memilih menghindari kekerasan dan pertumpahan darah Kerajaan Sunda Galuh saat itu dipimpin oleh seorang raja yang bernama prabu Lingga Buana. Di sebelah timur, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Majapahit di sepanjang sungai Pamali. Sedangkan di sebelah barat, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Sunda Pakuan di sepanjang sungai Citarum. Pandangan Gajah Mada untuk sesegera mungkin menyatukan kedua kerajaan Sunda tersebut ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit, bertentangan dengan pandangan kalangan istana. Baik ibu suri Tribhuana Tunggadewi maupun Dyah Wyah berpendapat bahwa kerajaan Sunda adalah kerabat sendiri, karena apabila dilihat dari silsilah keluarganya, salah satu leluhurnya berasal dari bangsawan Sunda.

Sementara sikap prabu Hayam Wuruk sendiri terlihat lebih mendukung kedua ibu suri tersebut daripada Gajah Mada. Seiring dengan perjalanan waktu Sang Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara (Raden Tetep) telah beranjak dewasa Pada suatu waktu tibalah saatnya bagi prabu Hayam Wuruk untuk mencari seorang permaisuri yang akan mendampingi dirinya. Maka dikirimlah beberapa juru gambar untuk melukis putri-putri yang cantik dari kalangan kerajaan bawahan maupun kerajaan tetangga untuk kemudian diperlihatkan kepada sang prabu. Dengan harapan apabila ada salah satu gambar yang berkenan di hati sang prabu, maka tibalah saatnya bagi sang prabu untuk menjatuhkan pilihannya kepada putri yang beruntung tersebut. Sudah sekian banyak juru gambar yang kembali membawa lukisannya, namun sang prabu Hayam Wuruk masih belum berkenan menjatuhkan pilihannya. Sampai tibalah saatnya dikirim juru gambar ke kerajaan Sunda Galuh untuk menggambar putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang kabar kecantikannya sudah terkenal ke mana-mana.

Sementara itu, Gajah Mada melihat adanya kesempatan untuk membawa kepentingannya sendiri ke dalam utusan juru gambar Majapahit ke Sunda Galuh. Kemudian Gajah Mada menyusupkan beberapa orang bawahannya untuk pergi bersama-sama ke kerajaan Sunda Galuh menyampaikan maksud Gajah Mada agar kerajaan Sunda Galuh segera menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Sekembalinya utusan tersebut, prabu Hayam Wuruk ternyata berkenan dengan kecantikan putri Dyah Pitaloka dan berniat menjadikannya sebagai permaisuri. Maka diberangkatkan rombongan utusan kedua yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan di mana pesta perkawinan antara raja dan putri akan dilangsungkan.

Akhirnya disepakati bersama bahwa raja Lingga Buana, permaisuri, dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan putri Dyah Pitaloka sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibu kota Majapahit. Maka pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah prabu Lingga Buana beserta rombongan ke Majapahit. Tidak terlalu banyak pasukan yang mengiringi mereka mengingat maksud dan tujuan sang prabu ke Majapahit adalah untuk menikahkan putrinya, Dyah Pitaloka.

Perjalanan jauh mereka tempuh dari Galuh (Ciamis) menuju ke ibu kota Majapahit (Trowulan). Sesampainya rombongan tersebut di lapangan bubat, tanpa terduga rombongan tersebut dicegat oleh utusan Gajah Mada yang menyampaikan maksud Gajah Mada agar putri Dyah Pitaloka diserahkan ke kerajaan Majapahit sebagai persembahan, tanda bahwa Sunda Galuh tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Namun rombongan sunda bersikeras agar Raja Majapahit harus turun sendiri menjemput pengantin dan rombongannya di daerah tersebut.

Sang Mapatih dihadapkan pada dilema, baik menerima maupun menolak persyaratan itu sama-sama akan membahayakan jalinan persatuan Nusantara yang sudah dengan susah payah dibangunnya sebelum ini. Sebuah persatuan yang pada masa itu dapat dipertahankan diatas wibawa Sang Penguasa Kerajaan Majapahit. Para raja lain dibawah kekuasaan Majapahit akan membaca peristiwa tersebut sebagai isyarat melemahnya kerajaan besar tersebut oleh kepemimpinan Sang Raja yang masih muda itu. Ini berarti akan berkobarnya kembali perang karena pemberontakan dari kerajaan-kerajaan dibawah Majapahit. Akhirnya perang mulut tak dapat dihindari, keduabelah pihak sama sama mempertahankan pendiriannya masing masing dan tidak mau mengalah. Prabu Lingga Buana merasa harga dirinya terinjak-injak dengan perlakuan Gajah Mada tersebut, namun sebagai seorang pemimpim yang arif sang prabu tidak bertindak gegabah untuk dengan serta merta mengadakan perlawanan di tempat.

Namun kearifan hati sang prabu tidak diikuti oleh segenap anak buahnya. Dalam situasi demikian, setiap orang yang berada dalam rombongan tersebut pasti merasa marah dan dilecehkan. Satu lesatan anak panah, entah terlepas dari busur siapa melaju menerjang utusan Gajah Mada tersebut hingga ambruk. Suasana pun menjadi tidak terkendali.

Perang pun tidak terlelakkan lagi terjadi di lapangan bubat. Rombongan pasukan Sunda Galuh yang tidak siap berperang terpaksa harus menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi pasukan Majapahit yang juga sebenarnya tidak siap untuk berperang. Kalah jumlah dan berada dalam lokasi yang salah akhirnya seluruh anggota rombongan pasukan Sunda Galuh pun gugur di lapangan bubat, termasuk prabu Lingga Buana dan permaisurinya. Putri Dyah Pitaloka pun akhirnya bunuh diri. Akibat dari peristiwa tersebut prabu Hayam Wuruk akhirnya mencopot jabatan Gajah Mada dari mahapatih Majapahit yang selama ini disandangnya. 

Air terjun di daerah Madakaripura di yakini sebagai tempat Gajah Mada mengasingkan diri setelah peristiwa Bubat.

Gajah Mada memiliki kekuasaan yang sangat besar, bahkan melebihi kekuasaan sang prabu sendiri. Boleh dikata jalannya roda pemerintahan berada di bawah kendali Gajah Mada. Sedangkan sang prabu hanya duduk manis di atas dampar dan menerima laporan dan hasilnya saja. Langkah pencopotan Gajah Mada tentunya bisa menimbulkan gejolak politik yang sangat besar yang bahkan bisa menimbulkan adanya perang.
Perang saudara antara prajurit Majapahit yang mendukung dan menentang Gajah Mada hampir terjadi setelah peristiwa bubat. Penentang Gajah Mada berasal dari orang-orang yang marah akibat kehendak rajanya untuk segera memiliki permaisuri gagal, bahkan calon permaisuri - putri Sunda Galuh dan keluarganya - akhirnya dibantai beserta seluruh pengiringnya di lapangan bubat. Sedangkan pendukung Gajah Mada kebanyakan berasal dari pasukan dan orang-orang yang selama ini dengan setia berada di belakangnya.

Gajah Mada sendiri memandang peristiwa bubat bukanlah kesalahan dirinya, dan bukan pula kesalahan Majapahit. Gajah Mada mengungkapkan bahwa selama ini sikap dan pandangan Majapahit terhadap kerajaan-kerajaan lain yang tersebar di seluruh penjuru nusantara sudah jelas. Majapahit menempatkan diri sebagai pemimpin dan pengayom wilayah nusantara, dan kerajaan lain harus satu kata dengan Majapahit. Dengan kata lain kerajaan-kerajaan lain harus tunduk kepada Majapahit.

Sikap Majapahit tersebut tidak boleh dibeda-bedakan, pun terhadap dua kerajaan Sunda yang letaknya di sebelah barat pulau Jawa. Pandangan Gajah Mada yang demikian tidak sejalan dengan sang prabu dan keluarganya. Gajah Mada lebih memandang tunduknya dua kerajaan Sunda di wilayah barat tersebut mesti diberlakukan sama dengan tunduknya kerajaan-kerajaan lain, kalau perlu dengan kekuatan militer. Sedangkan sang prabu dan keluarga lebih memilih jalan damai.

Jalan damai tersebut salah satunya adalah dengan berbesanan dengan keluarga kerajaan Sunda Galuh. Alasan Gajah Mada mengajak kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara bersatu salah satunya adalah untuk menggalang kekuatan melawan pasukan dari kerajaan Tar Tar yang hendak memperlebar wilayah kekuasaannya sampai ke arah selatan. Wilayah nusantara yang sebagian besar terdiri atas perairan mendorong Majapahit memperkuat armada lautnya. Armada laut inilah yang setiap hari berpatroli di dalam wilayah laut nusantara melindungi kapal-kapal dagang yang melintas, sekaligus membentengi wilayah nusantara dari kemungkinan serbuan bangsa Tar Tar.

Pandangan keras Gajah Mada berujung pada kesalahan pengelolaan keadaan sehingga terjadi perang bubat. Raja Sunda Galuh dan seluruh pengiringnya tewas dibantai di lapangan bubat, termasuk calon permaisuri sang prabu. Gajah Mada yang kemudian dicopot dari jabatan mahapatih menjadi orang biasa, akhirnya memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya di sebuah tempat untuk bertapa dan mawas diri. Tempat pertapaan Gajah Mada tersebut terletak di kaki gunung Bromo, di sebuah wilayah yang disebut Sapih. Sampai saat ini, tempat tersebut lebih terkenal dengan sebutan Madakaripura.

Peristiwa bubat tidak menyebabkan kerajaan Sunda Galuh merasa perlu untuk membangun kekuatan militer dan menyerang kerajaan Majapahit. Orang-orang Sunda Galuh cinta damai. Walaupun demikian, secara individu beberapa orang yang setia kepada raja Sunda Galuh yang terbantai di lapangan bubat, memutuskan untuk membalas dendam secara sembunyi-sembunyi. Mereka kemudian membentuk satu kelompok penari tayub yang diberangkatkan ke Majapahit dengan sasaran bidik yang sudah jelas, yaitu Gajah Mada.

Gerakan senyap dan samar yang dilakukan orang-orang Sunda ini langsung menusuk ke lingkungan istana Majapahit. Persiapan yang sangat matang dan teliti adalah kunci keberhasilan gerakan tersebut. Setiap anggota kelompok ini sudah pasti mahir berbahasa Jawa dan menguasai kesenian Jawa. Pagelaran tari tayub pun di selenggarakan di dekat markas prajurit Majapahit, dengan tujuan untuk menggaet beberapa prajurut Majapahit pilihan, dan mengubahnya untuk dijadikan eksekutor lapangan yang nantinya akan memburu Gajah Mada.

Kecantikan dan gemulainya gerakan penari sunda adalah senjata utama mereka. Tujuan tersebut hamper berhasil mereka capai. Seorang prajurit pilihan Majapahit berpangkat lurah, yang dulunya menjadi pengawal setia Gajah Mada, yang juga pemimpin prajurit pelindung istana kepatihan akhirnya masuk perangkap namun Gajah Mada tidak berhasil mereka singkirkan.


Wafatnya Patih Gajah Mada

Dalam Pararaton dikisahkan setelah peristiwa Bubat, Patih Gajah Mada Mukti Palapa yaitu kepergian Gajah Mada dari kepatihan dan melaksanakan pengembaraan untuk menghindari kemarahan Prabu Hayam Wuruk dan keluarga kerajaan lainnya. Namun pengembaraan tersebut tidak berlangsung lama , pada tahun saka 1281 atau tahun masehi 1359 patih Gajah Mada ikut serta dalam kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke daerah Lumajang. Peristiwa tersebut tercatat dalam kitab NegaraKertagama pupuh 18/2. Pada Tahun saka 1284 Prabu Hayam Wuruk mengadakan upacara Srada yaitu penghormatan untuk Gayatri, Gajah Mada sebagai patih Amangku bumi tampil kemuka mempersebahkan arca putri cantik yang sedang bersedih berlindung dibawah gubahan Nagapuspa yang melilit Rajasa.

Selanjutnya dalam pararaton dikisahkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk dengan Paduka Sori setelah peristiwa Bubat dimaksudkan untuk menghibur Prabu Hayam Wuruk yang menderita kepedihan akibat kegagalan perkawinannnya dengan Dyah Pitaloka dari kerajaan Pasudan. Setelah perkawinan tersebut keadaan menjadi reda, kemarahan Prabu hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada menjadi berkurang dan kelanjutan pemerintahan menjadi prioritas yang lebih diutamakan. Dalam masa jabatan ke dua Gajah Mada sebagai patih Amangku Bumi tidak terdapat sejarah yang berkaitan dengan gagasan Nusantara. Mungkin sekali setelah peristiwa Bubat Gajah Mada sudah merasa letih, tua dan Kecewa.

Gajah Mada sudah merasa puas karena gagasan Nusantaranya telah dapat dilaksanakan lebih luas dari pada sumpah Palapa yang pernah diucapkan. Suatu kenyataan bahwa Gajah Mada tidak bergerak seaktif ketika masa jabatan patih Amangku Bumi yang pertama. Dalam masa jabatan ke dua sebagai patih Amangku Bumi lebih banyak dilaksanakan kunjungan ke daerah daerah oleh Prabu Hayam Wuruk, Dalam Nagarakretagama pupuh 17 kunjungan tersebut diantaranya :· Pajang tahun saka 1275
· Lasem tahun saka 1276
· Pajang tahun saka 1279
· Lumajang tahun saka 1281

Dalam perjalanan yang terakhir tersebut Gajah Mada tidak ikut serta, Demikianlah Gajah Mada dipanggil kembali menjadi patih Amangku Bumi, semua orang dikerahkan untuk mencari ke pedusunan, hal tersebut membuktikan betapa besar jasa patih Gajah Mada terhadap perkembangan wilayah Kerajaan majapahit. Demikianlah tafsiran tentang kemoksaan tentang patih Gajah Mada dan amukti Palapa setelah peristiwa bubat seperti terdapat dalam kidung Suandayana dan Pararaton. Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda.

Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura. Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah gering (sakit). Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi. Prabu Hayam Wuruk sangat terharu dan sedih dengan kepergian Gajah Mada, selain karena jasa yang sangat besar bagi perkembangan Majapahit, Gajah Mada juga dicintai rakyat karena dapat berbaur dengan semua kalangan.

Gajah Mada berprinsip bahwa hidup hanya sekali saja sehingga dalam perbuatannya sehari hari lebih banyak diisi dengan kegiatan beramal. Meninggalnya Gajah Mada menurut catatan Prapanca yang dituangkan dalam Negarakertagama dalam pupuh LXXI/I. Kabar dari Pararaton menyebut, tahun meningalnya Gajah Mada adalah 1290. Dalam hal ini, berita dari Negarakertagama lebih bisa dipercaya karena ditulis oleh Prapanca yang hidup sezaman dengan Gajah Mada). "Dari dialog imaginer paranormal didapat gambaran sosok Gajah Mada . Pada kesempatan tersebut, Gajah Mada menggambarkan sosok dirinya dalam untaian kata-kata bersyair.
  • “Aku masih bocah ketika pranyatan kamardikan (Pranyatan kamardikan, Jawa, pernyataan kemerdekaan atau proklamasi. Hari itu berbarengan dengan hari ketika Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja pertama Majapahit) Majapahit itu dikumandangkan. Aku masih ingat karena saat itu tiba-tiba banyak orang berbicara tentang Wilwatikta yang diharapkan menjadi sebuah negara yang besar.

    Aku, siapakah aku? Orang menyebutku Gajah Mada. Sampai sejauh ini, tidak seorang pun tahu siapa aku. Dari mana asalku? Ada orang yang mengira aku bernama Gajah dari desa Mada. Ada pula yang mengira aku berasal dari Bali. Dari mana sebenarnya asalku? Aku telah mengambil keputusan untuk melipatnya dalam hati, termasuk siapa orang tuaku, aku tak berminat untuk bercerita. Aku dan latar belakangku sama sekali tidak penting sebagaimana berharap, kelak, berbarengan dengan akhir hidupku, tak perlu ada pihak yang menyesalkan mengapa aku tidak memiliki keturunan dan dimana pula aku dikubur. Namaku mulai dikenal orang ketika aku mengabdikan diri menjadi prajurit dengan tugas dan tanggung jawab mengamankan lingkungan istana serta memberikan pengawalan kepada segenap kerabat raja.

    Aku sungguh beruntung karena berada di tempat yang tepat dan di waktu yang tepat ketika ontran-ontran (Ontran-ontran, Jawa, geger, kekacauan) Ra Kuti terjadi. Karena keberhasilanku menyelamatkan raja dan mengembalikannya pada kekuasaan yang dirampok para Dharmaputra Winehsuka, aku diangkat menjadi Patih Kahuripan mendampingu Tuan Putri Breh Kahuripan atau Sri Gitarja. Selanjutnya, aku ditunjuk menjadi patih di Daha mendampingi Tuan Putri Breh Daha atau Dyah Wiyat.

    Kedekatanku dengan Paman Arya Tadah, Patih Amangkubumi Majapahit kembali menunjukkan kepadaku bahwa aku berada di tempat yang tepat dan di waktu yang tepat. Aku diminta menggantikannya menjadi patih amangkubumi karena beliau sakit-sakitan. Aku tiba-tiba tersadar bahwa ternyata peluangku untuk menduduki jabatan yang amat tinggi itu cukup besar. Padahal, di sekitarku ada banyak sekali calon yang layak ditunjuk menjadi mahapatih yang baru. Ada beberapa mahamenteri di barisan katrini yang lebih layak dariku.

    Namun, tidak serta merta aku menerima tawaran itu. Aku tahu ada banyak orang yang merasa lebih pantas dan lebih berjasa untuk ditunjuk menjadi mahapatih. Kepada Paman Arya Tadah, aku minta waktu untuk membereskan lebih dulu pemberontakan di dua tempat sekaligus, yaitu di Sadeng dan Keta. Jika aku bisa merampungi makar di dua tempat itu, barulah aku bersedia. Aku mengumandangkan sumpahku untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara yang ditandai dicabutnya Aksobhya dan digantikan gupala Camunda.

    Sejak itu, hampir seluruh waktuku aku gunakan untuk meyatukan seluruh negara di wilayah Nusantara. Satu demi satu, negara yang ada diimbau untuk bergabung. Mereka harus disadarkan, kesatuan dan persatuan itu sangat penting karena di luar sana, ada negara Tartar yang pasti akan selalu berusaha mencari celah untuk menancapkan pengaruhnya sebagaimana dulu pernah dialami Singasari. Untung, Sang Prabu Kertanegara telah bertindak benar. Utusan dari Tartar itu dipotong telinganya dan digunduli kepalanya.

    Agar hal itu tidak terulang kembali, hanya satu jawabnya, semua negara harus bersatu di bawah naungan Majapahit. Sekuat apapun, Tartar hanya kuat di tempatnya, tetapi tidak di sini. Jika ribuan prajurit Tartar dikirim, Majapahit siap untuk menyediakan jumlah yang sama. Untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara tak cukup dengan duduk di atas kursi di belakang meja sambil menyalurkan perintah. Aku tak percaya ada keberhasilan dengan cara itu. Aku amat yakin sampai mendarah daging, untuk mewujudkan mimpi besarku, tak ada pilihan lain kecuali menyingkirkan nafsu hamukti wiwaha.

    Hamukti Wiwaha adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan nikmat duniawi. Menikamti tingginya derajat dan pangkat, menikmati hidup dengan tiada hari tanpa bujana handrawina (Bujana handrawina, Jawa, pesta makan minum) merupakan salah satu pilihan yang bisa kuambil megingat aku adalah seorang mahapatih yang menjalankan pemerintahan mewakili raja. Akan tetapi, bukan hamukti wiwaha yang kuambil. Aku memilih lawan katanya, yaitu Hamukti palapa. Hanya semangat lara lapa (Lara lapa, Jawa, hidup menderita) atau palapa yang bisa mengantarku meraih apa yang aku impikan. Orang menyebut, aku tidak akan makan buah palapa, tidak makan rempah-rempah. Apa pun kata mereka, pilihan hamukti palapa yang kuambil adalah semata-mata berprihatin. Tanpa, dilandasi prihatin, sebuah doa yang dipanjatkan kepada Hyang Widdi tak terkabulkan. Tanpa prihatin, sebuah kerja besar tidak membuahkan hasil. Dilandasi laku prihatin dan kerja besar hamukti palapa itulah, satu demi satu untaian zamrud di Nusantara mewujud. Beberapa negara yang diimbau untuk bersatu menyatakan diri bergabung. Namun, ada pula yang harus diimbau beberapa kali dan terpaksa harus diancam. Jika negara-negara itu tidak ingin bergabung, untuk mereka hanya tersisa sebuah bahasa yang paling mudah dipahami, yaitu, digempur.
    Perangku terjadi dimana-dimana, di Bali, Tumasek, Luwuk, Tanjung Pura, Dompo hingga Riau. Wilayah Majapahit akhirnya menjadi sangat besar. Beban seberat apapun jika ditanggung bersama pasti menjadi ringan. Dengan armada laut yang dibangun bersama-sama, kekuatan dari manca yang berusaha menancapkan pengaruhnya bisa dihalau. Persatuan dan kesatuan Majapahit juga memberikan dampak yang bagus, antara lain perang antara beberapa negara bawahan yang selama ini bermusuhan tidak terjadi lagi. Semua masalah bisa tuntas diselesaikan di Tatag Rambat Bale Manguntur lewat sidang pasewakan yang digelar setahun sekali.

    Lalu, masalah timbul dari Sunda Galuh. Aku tidak senang dengan sikap Sunda Galuh yang masih membangkang, tidak mau menggabungkan diri dengan Majapahit. Dalam sidang di pasewakan, berulang kali aku mengutarakan pentingnya menyerbu Sunda Galuh dan memaksanya untuk bergabung dengan Majapahit. Akan tetapi, aku mengalami kesulitan memaksakan penyerbuan itu karena perlawanan dan ketidaksetujuan dari para Ibu Suri. Mereka beralasan, leluhurnya juga berasal dari Sunda Galuh.Penyerbuan ke Sunda Galuh kuyakini tidak akan mengalami kesulitan karena negara yang berada di wilayah Priangan itu menempatkan diri sebagai negara yang mengedepankan perdamaian. Namun, untuk bisa mengalahkan Sunda Galuh, aku harus berhadapan dengan niat Sang Prabu mengawini anak Raja Sunda Galuh, Dyah Pitaloka Citraresmi.

    Perang Bubat adalah kesalahan pengelolaan keadaan yang aku lakukan. Sejujurnya, aku harus menyesali peristiwa itu. Andaikata aku sabar sedikit, penyatuan itu akan terjadi pula. Keadaan menjadi tidak terkendali karena Raja Sunda Galuh tak hanya punya nyali, tetapi juga punya harga diri. Aku membutuhkan waktu amat lama untuk mengakui peristiwa itu tak perlu terjadi.

    Dalam semangatku membangun Majapahit, aku melumuri jiwaku dengan hamukti palapa. Aku menghindari gebyar duniawi. Kuhindari nafsu duniawi, termasuk aku menghindari memiliki istri. Dengan cita-cita sedemikian besar dan membutuhkan kerja keras, aku tidak mau terganggu oleh rengek istri dan atau tangisan anak. Tidak beristri dan tidak memiliki anak harus aku akui sebagai pilihan tersulit. Akan tetapi, aku layak bersyukur bisa menjalaninya. Dengan kebebasan yang aku miliki, aku bisa berada di mana pun dalam waktu lama tanpa harus terganggu oleh keinginan untuk pulang. Labih dari itu, aku berharap apa yang kulakukan itu akan menyempurnakan pilihan akhir hidupku dalam semangat hamukti moksa (Hamukti moksa, Jawa, semangat untuk meski lenyap, telah melakukan pekerjaan luar biasa demi orang lain, seperti lilin yang rela terbakar asal bisa menerangi tanpa meminta balasan, seperti pahlawan yang rela menjadi martir).


    Biarlah orang mengenangku hanya sebagai Gajah Mada yang tanpa asal usul, tak diketahui siapa orang tuanya, tak diketahui di mana kuburnya, dan tidak diketahui anak turunnya. Biarlah gajah Mada hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejak telapak kakinya, murca berubah bentuk menjadi udara.
    Hari ini, ketika aku sendiri di istana karena Sang Prabu Hayam Wuruk sedang berada di Simping Blitar yang menjadi bagian rencana perjalanan panjangnya, aku merasakan nyeri di dada kiriku. Sakitnya tidak ketulungan. Peluh bagai diperas dari tubuhku. Aku merasa pintu gerbang kematian telah dibuka. Aku harus melepaskan semua urusan duniawiku, termasuk bagian yang paling sulit karena ada sesuatu yang menyatu di tubuhku, warisan yang aku peroleh dari Kiai Pawagal di Ujung Galuh.

    Untuk membebaskan diri darinya bukan pekerjaan gampang. Aku tidak punya pilihan lain kecuali memutar udara itu dengan kencang, makin kencang dan makin kencang. Aku berharap saat pusaran angin itu bubar, hilang pula aku.
    Demikian hasil penerawangan sosok Gajah Mada oleh Paranormal. Dalam pupuh 12/4 pujian pujangga Mpu Pranpanca dalam kidungnya sebagai berikut “ Di bagian timur laut adalah rumah Sang Gajah Mada, patih Wilkatikta, seoarang menteri wira, bijaksana serta setia bakti kepada raja, fasih bicara, jujur, pandai, tenang, teguh, tangkas serta cerdas, tangan kanan raja yang melindungi hidup penggerak dunia “ Keangungan Majapahit adalah berkat kemampuan Gajah Mada dalam menunaikan tugasnya sebgai patih Amangku Bumi

Mengenai asal usul Gajah Mada ada pendapat yang mengatakan bahwa Gajah Mada berasal dari Sumatera
  • Satu-satunya pulau di Indonesia yang ada gajahnya adalah Sumatra. Yang pusat koservasinya ada di Way Kambas, Jambi. Dan kalau dilihat dari catatan sejarah, ada benang merah yang dapat ditarik. Dara Petak berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini lokasinya ada di Sumatra, seperti kutipan dibawah ini Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi adalah kerajaan yang terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang, dan di utara Jambi.

    Setelah berhasil melaksanakan ekspedisi Pamalayu, Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga beserta keluarganya dan Dara Petak kembali ke Pulau Jawa untuk menemui Kertanegara, raja yang mengutusnya. Setelah sampai di Jawa, ia mendapatkan bahwa Sang Kertanegara telah tewas dan Kerajaan Singasari telah musnah oleh Jayakatwang, raja Kadiri.

    Oleh karena itu, Dara Petak, adik Dara Jingga kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan Raden Kalagemet atau Sri Jayanegara, raja Majapahit ke-2. Dengan kata lain, raja Majapahit ke-2 adalah keponakan Mahesa Anabrang dan sepupu Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung.
  • Berdasarkan catatan-catatan diatas, dapat disimpulkan, saat Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga dan Dara Petak dari Sumatra ke Jawa, Gajah Mada termasuk dalam rombongan tersebut yang bertugas untuk mengawal keselamatan putri raja mereka sekaligus sebagai duta dari Kerajaan Darmasraya. Atau malah Gajah Mada ditugaskan secara khusus untuk menjadi pengawal pribadi Dara Petak. Yang akhirnya tinggal dan menetap di Majapahit mengikuti tuannya yang menjadi permaisuri raja Majapahit. Dari uraian-uraian di atas, ada yang berkesimpulan bahwa asal-usul Gajah Mada bukan dari Jawa tetapi Sumatra?
Berikut Nama Nama Patih Majapahit menurut Kitab Pararaton :
  1. Mahapatih Nambi 1294 – 13162.
  2. Mahapatih Dyah Halayuda (Mahapati) 1316 – 13233.
  3. Mahapatih Arya Tadah (Empu Krewes) 1323 – 13344.
  4. Mahapatih Gajah Mada 1334 – 1364
  5. Mahapatih Gajah Enggon 1367 – 13946.
  6. Mahapatih Gajah Manguri 1394 – 13987.
  7. Mahapatih Gajah Lembana 1398 – 14108.
  8. Mahapatih Tuan Tanaka 1410 – 1430
begitulah yang ditulis oleh pararaton, tentunya dua buah karya sastra kuno besar (Negarakertagama dan Pararaton) layak dipercaya. Nama Gajah Mada juga tercantum di prasasti Singhasari tahun 1351, Mahamantrimukya Rakryan Mapatih Mpu Mada




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.