Kamis, 13 Februari 2014

Filled Under:

Al-Andalus 3

Keamiran Granada

Setelah perjanjian perdamaian dengan Raja Pedro dari Kastilia, Granada menjadi sebuah negara yang aman merdeka hingga hampir 150 tahun berikutnya. Umat Islam diberi kemerdekaan, kebebasan bergerak dan beragama, dan dibebaskan dari upeti selama 3-tahun. Setelah tiga tahun, umat Islam diharuskan membayar upeti tidak lebih dari yang diharuskan sebelumnya pada masa Banu Nasri. Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman III. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil.
Pada 1469, terjadi pernikahan antara Raja Fernando II dari Aragon dan Ratu Isabel I dari Kastilia yang mengisyaratkan serangan terhadap Granada, yang direncanakan secara hati-hati dan didanai dengan baik. Fernando dan Isabel kemudian meyakinkan Paus Siktus IV untuk menyatakan perang mereka sebagai perang suci. Mereka mengalahkan satu persatu perlawanan umat Islam dan akhirnya pengepungan tersebut berakhir saat Sultan Granada Muhammad Abu Abdullah (Boabdil) menyerahkan istana dan benteng Granada, Alhambra kepada kekuasaan Kristen, dan menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Iberia.

Sebuah lukisan yang menggambarkan tentara Yahudi betempur bersama pasukan Sultan Granada Muhammad IX dari Banu Nasri, dalam Pertempuran Higuerela, 1431.

Masyarakat

Masyarakat Al-Andalus terdiri dari tiga kelompok utama berdasarkan agama: Muslim, Kristen, dan Yahudi. Dalam tiap-tiap kota, komunitas-komunitas ini tinggal di daerah yang berbeda. Umat Islam sendiri, walaupun disatukan oleh agama yang sama, kadang terbagi-bagi menurut etnis, terutama perbedaan antara orang Arab dan orang Berber. Orang-orang Arab tinggal di bagian selatan dan di Lembah Ebro di timur laut, sedangkan orang-orang Berber tinggal di daerah pegunungan yang sekarang berada di utara Portugal, dan di Meseta Central. Muzarab (atau Mozarab/Musta'rib) adalah orang Kristen yang hidup dalam kekuasaan Islam di Al-Andalus dan mengikuti banyak adat, kesenian, dan kata-kata dari bahasa Arab, namun masih memelihara tradisi dan ibadah Kristen mereka dan bahasa turunan Latin yang mereka miliki, disebut Bahasa Muzarab.
Orang-orang Yahudi biasanya bekerja sebagai pedagang, pemungut pajak, dokter atau duta besar. Pada akhir abad ke-15 terdapat sekitar 50.000 Yahudi di Granada dan 100.000 di seluruh Al-Andalus.[13]

Muslim dan Non-Muslim di Al-Andalus

Perlakuan terhadap non-Muslim

Perlakuan terhadap non-Muslim di Al-Andalus merupakan bahan diskusi dan perdebatan di antara para ahli dan para pengamat, terutama mereka yang tertarik dengan keberadaan bersama umat Muslim dan non-Muslim di dunia modern. Kaum non-muslim di Al-Andalus, seperti Kristen dan Yahudi, dalam hukum Islam merupakan dzimmi, yang bebas menjalankan ajaran agamanya, tidak didorong untuk masuk Islam, namun membayar pajak yang disebut jizyah.[14] Para ahli berpendapat bahwa agama minoritas (termasuk Yahudi) di Al-Andalus yang dikuasai umat Islam diperlakukan jauh lebih baik daripada di daerah Eropa Barat yang dikuasai Kristen, dan mereka hidup dalam "masa keemasan" toleransi, saling menghormati dan keharmonisan antarumat beragama.
Al-Andalus merupakan pusat kunci peradaban Yahudi pada Abad Pertengahan, dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan ternama, seperti Maimonides, rabbi, filsuf, dan dokter yang menjadi ikon masa keemasan Yahudi di Al-Andalus. Masyarakat Yahudi di Al-Andalus juga merupakan salah satu masyarakat Yahudi yang paling stabil dan paling makmur. Sedangkan umat Kristen di Al-Andalus disebut kaum Muzarab. Kaum Muzarab merupakan keturunan orang Kristen terdahulu di Spanyol yang tetap memeluk Kristen namun mengadopsi budaya Arab.[14] Bahasa mereka, Bahasa Muzarab, merupakan bahasa Roman yang dipengaruhi oleh bahasa Arab dan dituliskan dalam abjad Arab.
María Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas Yale, berpendapat bahwa "toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus".[15] Dalam bukunya The Ornament of the World (2003), Menocal berpendapat bahwa sebagai dzimmi, agama minoritas di Al-Andalus diberikan hak yang lebih terbatas daripada umat Muslim, namun masih lebih baik daripada di daerah Eropa yang dikuasai Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-sekte Kristen yang dianggap terlarang datang dari seluruh Eropa ke Al-Andalus, tempat mereka menerima toleransi.
Bernard Lewis memiliki pandangan yang berbeda, dan berpendapat bahwa "klaim toleransi yang sekarang banyak didengar dari apologis Muslim, dan khususnya apologis untuk Islam, merupakan hal baru dan tidak diketahui asal-usulnya."[16] Lewis menolak bahwa Muslim dan non-Muslim diberikan perlakuan sama pada masa lalu. Ia juga mengatakan "bagaimana mungkin orang yang memeluk agama yang benar dan orang yang menolaknya dipelakukan sama? Ini merupakan hal yang mustahil secara teologi maupun logika"[16]

 Gambar dari seorang penyanyi Yahudi membaca kisah Pesakh di Al-Andalus.

Naik turunnya kekuasaan Islam

Penguasa Al-Andalus memperlakukan non-Muslim berbeda-beda sepanjang waktu. Salah satu periode toleransi adalah masa kekuasaan Abdurrahman III dan Al-Hakam II, ketika Yahudi Al-Andalus mengalami kemakmuran, mencurahkan hidupnya untuk melayani Kekhalifahan Kordoba, mempelajari sains, perdagangan, dan industri, terutama perdagangan sutera dan budak, yang ikut memakmurkan negeri Al-Andalus. Al-Andalus menjadi suaka bagi kaum Yahudi yang teraniaya di negeri-negeri lain.
Orang-orang Kristen di Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen lain di sepanjang perbatasan Al-Andalus kadang kala menegaskan klaim-klaim Agama Kristen, dan dengan sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa toleransi. Misalnya, 48 orang Kristen Kordoba melakukan penghinaan terhadap agama Islam, dan akhirnya dipenggal. Mereka sengaja melakukan tersebut agar mati sebagai martir, dan mereka dikenal sebagai Martir Kordoba. Beberapa orang dari generasi berikutnya-pun meneruskan hal ini, dan mereka sepenuhnya tahu apa nasib yang menimpa pendahulu mereka.[17]
Setelah kematian Al-Hakam II pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-Muslim pada umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember 1066, peristiwa penganiayaan pertama terjadi ketika kaum Yahudi diusir dan ratusan keluarga dibunuh karena tidak mau meninggalkan Granada, dan kerusuhan setelahnya menewaskan sekitar 3.000 orang.[18] Penganiayaan terhadap Yahudi juga terjadi sesekali pada masa Murabitun dan Muwahidun,[19] tapi sumber yang ada amat sedikit dan tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai hal ini.[20]
Saat terjadi kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan Muslim yang meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih memiliki toleransi dan telah dikuasai oleh pasukan Kristen. Sekitar 40,000 Yahudi bergabung dengan pasukan Kristen, dan sisanya bergabung dengan pasukan Murabitun menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.
Penguasa Muwahidun yang mengambil alih kekuasaan Murabitun pada 1147,[21] lebih fundamentalis dari Murabitun, dan memperlakukan non-Muslim dengan keras. Takut akan kematian atau paksaan pindah agama, banyak orang Yahudi yang pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran di Selatan dan Timur,[22] atau ke daerah Kristen di Utara.[23][24] Keluarga Maimonides sendiri pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran. Namun, penguasa Muwahidun juga mendorong perkembangan seni dan tulisan, menghasilkan diantaranya Ibnu Tufail, Ibnu Araby, dan Ibnu Rusyd.[21]

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.