Rabu, 05 November 2014

Filled Under:

Sejarah Berdirinya Dewan Inkuisisi Gereja

Lambang Dewan Inkuisisi Gereja


Pada tahun 1329, tokoh-tokoh Gereja Katolik mengadakan pertemuan di Chateauroux, Prancis. Pertemuan ini merupakan yang pertama sejak pengangkatan Paus Gregorius IX. Tujuannya adalah untuk menetapkan berdirinya sebuah dewan peradilan khusus untuk mengadili orang-orang yang dianggap menyimpang dari Katolik. Misalnya golongan Yahudi, Protestan, pemikir bebas, dan kaum muslimin tentu saja yang berada di Spanyol dan Portugis. Mereka hendak menghakimi siapa saja yang dianggap atheis dan bertentangan keyakinan dengan Katolik.
Paus menetapkan berdirinya dewan tersebut secara tidak terang-terangan. Tetapi pada tahun 1333, ia mengeluarkan surat perintah secara resmi kepada seluruh gereja Katolik. Surat itu memerintahkan untuk menunjuk seorang pastur yang patut diserahi pekerjaan khusus. Ini merupakan suatu teknik untuk segera dapat melaporkan secara langsung kepada dewan peradilan kepausan apabila menjumpai penyelewengan. Pastur penyelidik yang ditunjuk bisa mengangkat para asisten bagian intel untuk menunaikan tugas. Peradilan kepausan yang khas ini diberi nama Dewan Suci atau Pengusutan Suci.
Para intel yang ditunjuk, nama-namanya dirahasiakan. Mereka memperoleh hak istimewa dari Paus dengan jaminan pengampunan dosa walau yang mereka lakukan adalah kekejaman terhadap orang-orang tertuduh yang sebenarnya tak berdosa.
Para intel akan menyeret beberapa orang untuk menghadap Mahkamah. Terdakwa yang dihadapkan ke Mahkamah akan ditanya tentang keyakinan dan loyalitasnya terhadap gereja dan agama Katolik. Kalau dianggap menyimpang, mereka akan dijebloskan ke tempat penyiksaan.
Setiap Inkuisisi terdiri dari sekitar 20 petugas: penyidik agung; tiga penyidik atau hakim utama; pengawas keuangan; petugas sipil; petugas untuk menerima dan mempertanggungjawabkan uang denda; petugas yang serupa untuk harta benda yang disita; beberapa orang penilai untuk menilai harta benda; sipir penjara; konselor untuk mewawancarai dan menasihati tertuduh; pelaksana hukuman untuk melakukan penyiksaan, penahanan, dan pembakaran; dokter untuk mengawasi siksaan; ahli bedah untuk memperbaiki kerusakan tubuh yang disebabkan oleh penyiksaan; petugas untuk mencatat pelaksanaan dan pengakuan dalam bahasa Latin; penjaga pintu; dan kenalan yang menyelinap masuk untuk mendapatkan kepercayaan orang-orang yang dicurigai kemudian memberi kesaksian untuk menentang mereka. Setiap pengadilan juga memiliki saksi atau pemberi informasi yang menentang tertuduh, dan pengunjung istimewa, yang disumpah untuk menjaga rahasia prosedur serta pelaksanaan hukuman yang mereka saksikan.
Pada mulanya, Dewan Inkuisisi hanya menangani tuduhan tentang bid’ah yang ada dalam agama Katolik. Tetapi kemudian kekuasaannya segera meluas hingga mencakup tuduhan seperti tenung, alkimia, penghujatan, penyimpangan seksual, pembunuhan anak, pembacaan Alkitab dalam bahasa umum, atau pembacaan Talmud oleh kaum Yahudi atau Alquran oleh umat Muslim.
Tidak peduli apa pun tuduhannya, Dewan Inkuisisi melakukan pemeriksaan mereka dengan kekejaman yang luar biasa, tanpa memiliki belas kasihan kepada siapa pun tidak peduli berapa usia, apa jenis kelamin, suku bangsa, keturunan bangsawan, posisi atau tingkat sosial yang istimewa, atau bagaimana kondisi fisik atau mental mereka. Dan mereka terutama bersikap kejam terhadap orang-orang yang menentang doktrin dan otoritas paus, terutama orang-orang yang sebelumnya adalah penganut Gereja Roma (Katolik) dan sekarang menjadi Protestan.
Ada sebagian tokoh Gereja yang berusaha melakukan pembelaan (apologetic). Tentang upaya apologetik dalam soal Inquisisi itu, Peter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, mencatat, bahwa sikap itu hanya menambah kemunafikan menjadi kejahatan. (it merely added hypocricy to wickedness). Yang sangat mengherankan dalam soal ini adalah penggunaan cara siksaan dan pembakaran terhadap korban. Dan itu bukan dilakukan oleh musuh-musuh Gereja, tetapi dilakukan sendiri oleh orang-orang tersuci yang bertindak atas perintah “wakil Kristus” (Vicar of Christ).
Peter de Rosa mencatat: However, the Inquisition was not only evil compared with the twentieth century, it was evil compared with the tenth and elevent when torture was outlawed andmen and women were guaranteed a fair trial. It was evil compared with the age of Diocletian, for no one was then tortured and killed in the name of Jesus crucified. (Peter deRosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 246-247).


Pembelaan di depan Inkuisisi hampir tidak ada gunanya karena tuduhan yang dikenakan pada mereka sudah menjadi bukti yang cukup untuk menyatakan kesalahan, dan makin besar kekayaan tertuduh, makin besar bahaya yang ia tanggung. Sering kali seseorang dieksekusi bukan karena ia melakukan bid’ah, melainkan karena ia memiliki harta benda yang banyak. Sering kali tanah dan rumah yang luas atau bahkan provinsi atau wilayah kekuasaan dirampas oleh Gereja Katolik atau oleh penguasa yang bekerja sarna dengan Dewan Inkuisisi dalam pekerjaan mereka.
Orang-orang yang dituduh oleh Dewan Inkuisisi tidak pernah diizinkan untuk mengetahui nama penuduh mereka. Dua orang pemberi informasi sudah cukup untuk memberikan tuduhan. Setiap metode pembujukan digunakan oleh pelaku Inkuisisi untuk membuat tertuduh mengakui tuduhan itu dan karena itu membuktikan tuduhan terhadap mereka, dan meyakinkan diri mereka sendiri. Untuk melakukannya, setiap cara penyiksaan fisik yang dikenal atau yang bisa dibayangkan digunakan – seperti merentangkan kaki tangan mereka pada alat perentang; membakar mereka dengan arang panas atau logam yang dipanaskan; mematahkan jari-jari tangan dan kaki; meremukkan kaki dan tangan; mencabut gigi; meremas daging dengan penjepit; menusukkan pengait ke bagian tubuh yang lunak dan menarik pengait itu menembus dagingnya; menyayat daging mereka menjadi potongan kecil-kecil; menancapkan jarum ke dalam daging; menancapkan jarum di bawah kuku jari tangan atau kaki; mengencangkan tali pengikat di sekeliling daging sampai menembus tulang; memukuli dengan tongkat dan pentung; memelintir kaki dan tangan serta melepaskan sendi mereka. Cara yang digunakan oleh para pelaksana Inkuisisi yang kejam terlalu banyak jumlahnya, dan terlalu mengerikan untuk dicatat.
Pada awal penyidikan, yang dicatat dalam bahasa Latin oleh petugas, orang yang dicurigai dan saksi harus bersumpah bahwa mereka akan menyingkapkan segala sesuatu. jika mereka tidak mau bersumpah, hal itu ditafsirkan sebagai tanda persetujuan dengan tuduhan. Jika mereka menyangkal tuduhan tanpa bukti bahwa mereka tidak bersalah, atau jika mereka dengan bandel menyangkal untuk mengakui, atau bertahan dalam ke-bid’ah-an mereka; mereka akan diberi hukuman yang paling kejam, harta benda mereka disita dan, hampir tanpa perkecualian, mereka dihukum mati dengan cara dibakar.
Setelah Inkuisisi selesai menghakimi, upacara yang khidmat diadakan di tempat eksekusi; yang dikenal dengan ‘sermo generalis’ (khutbah umum) atau, di Spanyol disebut ‘auto-de-fe’ (tindakan iman), Acara itu dihadiri oleh pejabat lokal, para imam, dan semua masyarakat baik itu musuh atau ternan terpidana itu, yang ingin melihat hukuman atau eksekusi.
Dewan Inkuisisi mempraktekkan pekerjaannya dengan cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi sesuai perintah raja yang mendukung. Praktek kekejaman mereka berlangsung hingga revolusi Prancis meletus pada tahun 1789. Setelah ketahuan kedok kejahatannya, Dewan tersebut dibubarkan. Rakyat dendam dan hendak membalas pada Dewan Inkuisisi. Sebagian anggota Dewan itu lolos, melarikan diri ke Spanyol dan Portugis menggabung dengan teman-temannya di sana.
Dewan Inkuisisi namanya sangat dikenal di Prancis, Italia, dan negara-negara Eropa. Hanya saja praktek kekejaman mereka tak sekejam yang di Spanyol. Korban tercatat tidak kurang sembilan juta orang muslim. Sejak tahun 1333 hingga tahun 1835, lima abad lamanya dewan suci yang lalim ini merealisir kekejian. Mereka mengadakan barisan atau kelompok secara kuat untuk menekan dan menyiksa orang-orang tak berdosa. Semua itu demi keotoriteran Katolik.
Dari semua petugas Inkuisisi di seluruh dunia, Inkuisisi di Spanyol adalah yang paling aktif dan sadis; itu merupakan contoh dari bahaya yang luar biasa dari pemberian kekuasaan yang tak terbatas atas tubuh dan kehidupan orang-orang yang tidak suci yang menyatakan dirinya suci.
Disusun oleh Tim Redaktur Muslimdaily.net  
Sumber Referensi:
Muhammad Ali Quthub. 1993. Fakta Pembantaian Muslimin di Andalusia. Solo: Pustaka Mantiq
John Foxe, Foxe’s Book of Martyrs, Kisah Para Martir tahun 35-2001, Andi, 2001.
http://www.hrionline.ac.uk/johnfoxe/intro.html 
http://www.ccel.org/f/foxe/martyrs/home.html 
Wikipedia.org





Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.