Senin, 30 Desember 2013

Filled Under:
,

Kerajaan Israel Lagi (4)

A. Abyatar

Abyatar (bahasa Ibrani: אביתר Ebyathar, Evyatar, bapa dari kemakmuran), adalah nama laki-laki Ibrani yang dipakai oleh beberapa orang dalam Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Yang paling terkenal adalah Abyatar, Imam Besar pada zaman raja Daud.[1][2] Anak dari Ahimelekh (atau Ahijah) bin Ahitub, imam di kota Nob, keturunan ke-4 dari imam Eli. Keturunan Lewi melalui Itamar bin Harun.[3]

Zaman raja Saul

Abyatar adalah satu-satunya yang selamat dari pembantaian keluarganya atas perintah raja Saul di kota Nob. Ketika dikejar-kejar hendak dibunuh oleh Saul, Daud datang ke Nob, mengatakan kepada imam Ahimelekh, ayah Abyatar, bahwa ia mengerjakan tugas khusus untuk Saul dan meminta makanan. Ahimelekh memberikan kepada Daud roti bekas sajian persembahan untuk Tuhan (yang selalu digantikan dengan roti baru setiap hari).[4] Ahimelekh juga memberikan pedang Goliat kepada Daud.[5] Hal ini disaksikan oleh Doeg, salah seorang pegawai Saul, yang dikhususkan melayani TUHAN; seorang Edom, pengawas atas gembala-gembala Saul.[6] Doeg kemudian melaporkan kejadian itu kepada raja Saul.[7] Saul kemudian memanggil Ahimelekh bersama-sama dengan seluruh keluarganya, para imam yang di Nob; dan datanglah sekaliannya menghadapnya.[8] Saul menuduh mereka mengadakan persepakatan dengan Daud untuk menentangnya, dan menyuruh bentaranya membunuh para imam itu, tetapi para pegawai raja tidak mau melakukannya.[9] Lalu Saul menyuruh Doeg untuk melakukannya dan pada hari itu Doeg memarang 85 orang imam keluarga Ahimelekh, yang memakai baju efod dari kain lenan.[10] Juga penduduk Nob, kota imam itu, dibunuh raja dengan mata pedang; laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak yang menyusu, pula lembu, keledai dan domba dibunuhnya dengan mata pedang.[11]
Abyatar luput dan melarikan diri kepada Daud yang berada di hutan Keret (wilayah suku Yehuda),[12] kemudian di Kehila.[13] Ketika Abyatar memberitahukan kepada Daud, bahwa Saul telah membunuh para imam TUHAN, berkatalah Daud kepada Abyatar:
"Memang pada hari itu juga ketika Doeg, orang Edom itu, ada di sana, aku telah tahu, bahwa pasti ia akan memberitahukannya kepada Saul. Akulah sebab utama dari pada kematian seluruh keluargamu. Tinggallah padaku, janganlah takut; sebab siapa yang ingin mencabut nyawamu, ia juga ingin mencabut nyawaku; di dekatku engkau aman."[14]
Daud kemudian menggubah sebuah mazmur untuk mengenang peristiwa tersebut, yaitu Mazmur 52.[15]
Yesus Kristus menyebutkan bahwa Abyatar sudah menjabat sebagai Imam Besar pada saat Daud datang ke "Rumah Allah" di kota Nob, menurut catatan Injil Markus pasal 2, sehingga rupanya ia harus tinggal melayani di tempat ibadah itu, tidak boleh turut pergi bersama keluarganya menemui Saul, dan karenanya tidak ikut dibunuh pada hari itu juga serta sempat melarikan diri.[16]
Abyatar menjadi pengikut Daud dan imam bagi tentaranya. Sewaktu melarikan diri dari Nob, Abyatar membawa serta baju efod yang hanya dipakai oleh Imam Besar dan dapat digunakan untuk menanyakan petunjuk Tuhan.[17]

Zaman raja Daud

Ketika Daud menjadi raja, ia diangkat menjadi Imam Besar[18] dan kemudian penasehat raja.[19] Anaknya, Ahimelekh bin Abyatar, juga diangkat menjadi imam utama bersama-sama Zadok bin Ahitub.[20]
Pada waktu Absalom bin Daud memberontak terhadap ayahnya, Daud harus mengungsi pergi dari Yerusalem. Ketika Daud dan rombongannya menyeberangi sungai Kidron dan seluruh rakyat berjalan ke arah padang gurun, Abyatar ikut datang (meskipun agak terlambat) bersama Zadok beserta semua orang Lewi pengangkat tabut perjanjian Allah. Mereka meletakkan tabut Allah itu sampai seluruh rakyat dari kota selesai menyeberang. Daud meminta Zadok agar bersama Abyatar pulang ke Yerusalem beserta anak mereka masing-masing, yakni Ahimaas bin Zadok dan Yonatan bin Abyatar, dan memberi kabar kepada Daud yang menanti di dekat tempat-tempat penyeberangan ke padang gurun" Lalu Zadok dan Abyatar membawa tabut Allah itu kembali ke Yerusalem dan tinggallah mereka di sana.[21] Lalu Daud mengutus Husai, sahabatnya, kembali ke Yerusalem dan menjadi penasehat Absalom, tetapi memberikan kabar kepada Daud melalui imam-imam Zadok dan Abyatar, yang akan mengirimkannya melalui kedua anak mereka.[22]
Daud juga mempercayai Abyatar bersama Zadok sebagai penyampai pesan kepada para tua-tua Yehuda, sehingga mereka serentak menerima Daud kembali sebagai raja setelah Absalom mati dan Daud kembali dari pengungsian ke Yerusalem.[23]

Zaman raja Salomo

Waktu Daud sudah tua, Abyatar berpihak kepada Adonia, anak Daud, dan menjadi pengikut/pembantunya, tidak kepada Salomo, yang oleh Daud kemudian diangkat menjadi raja.[24] Akibatnya, Abyatar disingkirkan dari pemerintahan Salomo. Setelah Daud wafat, Salomo berkata kepada imam Abyatar: "Pergilah ke Anatot, ke tanah milikmu, sebab engkau patut dihukum mati, tetapi pada hari ini aku tidak akan membunuh engkau, oleh karena engkau telah mengangkat tabut Tuhan ALLAH di depan Daud, ayahku, dan oleh karena engkau telah turut menderita dalam segala sengsara yang diderita ayahku."[25] Lalu Salomo memecat Abyatar dari jabatannya sebagai imam TUHAN, meskipun tetap mengakuinya sebagai imam,[26] sehingga jabatan Imam Besar diduduki oleh imam Zadok dari keturunan Eleazar.[27] Dengan demikian Salomo memenuhi firman TUHAN yang telah dikatakan-Nya di Silo mengenai keluarga Eli. Ini merupakan penggenapan nubuat firman TUHAN yang telah dikatakan-Nya di Silo mengenai keluarga Eli.[28]

Referensi

Sumber

B. Eli

Eli (bahasa Ibrani: עֵלִי, Standar ʻEli Tiberias ʻĒlî ; "Naik"; bahasa Yunani Kuno: Ἤλι; bahasa Latin: Heli) adalah imam besar Israel di kota Silo, sebelum digantikan oleh Samuel, menurut Kitab 1 Samuel. Eli adalah orang Lewi dari garis keturunan Itamar bin Harun. Ia melihat Hana, yang kemudian melahirkan Samuel, berdoa minta anak dari Allah dan mengira perempuan itu mabuk. Namun, setelah mendengar keluhannya, Eli memberkatinya. Hana bersumpah, jika diberi anak, akan memberikan anak itu kepada Allah. Setelah Samuel lahir dan disapih (berhenti menyusui), Hana membawanya untuk hidup melayani Allah di Silo, di bawah asuhan imam Eli.[1]
Kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas, ternyata tidak menghormati Allah, dan menyalahgunakan jabatan imam mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat termasuk di dalam kemah suci Allah. Waktu itu Eli sudah tua dan tidak dapat mengontrol perbuatan anak-anaknya. Akibatnya, Allah mengirimkan abdi-Nya untuk memberitahukan hukuman terhadap keluarganya; "Dengarlah, akan datang masanya Aku membunuh semua pemuda dalam keluarga dan margamu, sehingga tak seorang pria pun dalam keluargamu akan mencapai usia lanjut. Maka engkau akan memandang dengan mata bermusuhan kepada segala kebaikan yang akan Kulakukan kepada Israel dan dalam keluargamu takkan ada seorang kakek untuk selamanya. Tetapi seorang dari padamu yang tidak Kulenyapkan dari lingkungan mezbah-Ku akan membuat matamu rusak dan jiwamu merana; segala tambahan keluargamu akan mati oleh pedang lawan. Inilah yang akan menjadi tanda bagimu, yakni apa yang akan terjadi kepada kedua anakmu itu, Hofni dan Pinehas: pada hari yang sama keduanya akan mati." [2]
Nubuat ini diulangi lagi melalui Samuel. Kali ini Allah sendiri yang memanggil nama Samuel. Tiga kali Samuel mengira imam Eli yang memanggilnya. Eli akhirnya mengerti bahwa Allah yang berbicara langsung kepada Samuel. Eli menyuruh Samuel kembali ke tempat tidurnya, yaitu di samping Tabut Perjanjian Allah, dan bila dipanggil lagi untuk menjawab: "Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar." Allah berbicara langsung dengan Samuel dan mengulangi peringatan dan hukuman atas keluarga Eli. Eli memaksa Samuel menceritakan semua perkataan itu, tetapi tidak mengambil tindakan apa-apa. Eli terus mengasuh Samuel, meskipun semua orang Israel mulai mengetahui bahwa TUHAN menyertai Samuel dan kepada Samuel telah dipercayakan jabatan nabi TUHAN.[3]
Beberapa tahun kemudian, bangsa Israel berperang dengan orang-orang Filistin di dekat kota Eben-Haezer. Mereka mengalami kekalahan besar. Supaya menang, bangsa Israel membawa Tabut Perjanjian Allah dari Silo ke medan perang, bersama Hosni dan Pinehas. Namun, orang Filistin mengalahkan mereka, membunuh Hosni dan Pinehas, serta merampas Tabut Perjanjian itu. Eli, yang saat itu berusia 98 tahun, gemuk dan sudah bular matanya (tidak bisa melihat lagi), duduk menunggu di tepi jalan depan rumahnya. Waktu mendengar kabar kematian kedua anaknya, ia jatuh telentang dari kursi di sebelah pintu gerbang, batang lehernya patah dan ia mati. Eli memerintah sebagai hakim atas orang Israel 40 tahun lamanya.[4]

Keturunan

  • Ahimelekh, cicit Eli, menjadi imam di kota Nob. Ia beserta keluarganya, dibunuh oleh Doeg, orang Edom, atas suruhan raja Saul, karena dituduh membantu Daud yang diburu untuk dibunuh oleh Saul. Hanya satu anaknya, Abyatar, yang berhasil lolos.[5] Ini merupakan penggenapan nubuat atas keturunan Eli.[2]
  • Abyatar bin Ahimelekh, selamat dari pembantaian keluarganya di kota Nob, berpihak kepada Daud. Ketika Daud menjadi raja, ia diangkat menjadi Imam Besar.[6] dan penasehat raja.[7] Namun waktu Daud sudah tua, ia berpihak kepada Adonia, anak Daud, tidak kepada Salomo, yang kemudian menjadi raja menggantikan Daud. Akibatnya, jabatan Imam Besarnya dicopot, diberikan kepada imam Zadok dari keturunan Eleazar bin Harun dan Abyatar sendiri dibuang ke Anatot.[8] Ini juga merupakan penggenapan nubuat atas keturunan Eli.[9]

Referensi




Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.