Transformasi Pendidikan
Transformasi
pendidikan merupakan jalan linear menuju peradaban. Dalam setiap
kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal
melalui sebuah lembaga pendidikan formal, maupun secara informal melalui
beragam bentuk komunikasi sosial, begitulah kata almarhum Kuntowijoyo.[20]
Kita mulai dari seorang intelektual Banjar yang hidup pada akhir abad
XVIII dan awal abad XX, yaitu Syeh Arsyad Al Banjari. Saya merasa perlu
mengetengahkan intelektual ini, karena ia berperan paling depan sebagai
pionir dalam membangun pembentukan sistem pengetahuan masyarakat Banjar.
Mohamad
Arsyad dari kecil sudah masyhur kecerdasannya, sehingga sultan pada
masa itu merasa perlu untuk menyekolahkannya ke Mekah. Pengiriman studi
Mohamad Arsyad merupakan contoh betapa pedulinya penguasa pada dunia
pendidikan. Di akhir masa studinya Syekh Arsyad Al Banjari, ia diberikan izin untuk mengajar di Mesjidil Haram.
Ketika kembali
Ke Banjarmasin pada tahun 1773, sultan sangat menghargai
keintelektualannya, ia tidak dipaksa untuk menuruti kerangka sosial
budaya keraton, tetapi malah diberikan wewenang dan diakui
hak-hak pribadinya. Contoh penghargaan sultan terhadap
keintelektualaannya, sultan tidak marah, ketika Mohamad Arsyad Al
Banjari mengeluarkan fatwa tentang pertanyaan apakah sultan berhak
menghukum orang yang tidak sembahyang Jumat dengan pembayaran denda
kepadanya.[21]
Selain itu, Syekh Arsyad Al Banjari menyumbang pikiran dan membentuk
jabatan mufti dalam struktur kepegawaian Kesultanan Banjar. Syech
Mohamad Arsyad Al Banjari banyak menulis buku, salah satu karyanya yang
monomental adalah kitab Sabilal Muhtadin.
Keintelektualan
Syekh Arsyad Al Banjari tidak melulu dalam bidang keagamaan, persoalan
di luar keagamaanpun ia mumpuni. Misalnya, ketika ia membangun sebuah kampung baru di areal tanah kosong jauh dari keraton yang sekarang dikenal dengan sebutan dalam Pagar. Ia juga menggali saluran air baru (kanal) berfungsi sebagai irigrasi untuk kepentingan pertanian. Sekarang daerah itu dikenal dengan nama Kampung Sungai Tuan yang juga dijadikan tempat pendidikan agama Islam dengan model sorongan .
Kampung
Sungai Tuan yang dibangun oleh Syekh Mohamad Arsyad Al Banjari,
mengisyaratkan, bahwa transformasi pendidikan yang dialaminya
menghasilkan kearifan aktual. Katakan saja, dalam sosok Syekh Mohamad
Arsyad Al Banjari memancarkan sesosok ulama yang sangat diperlukan baik oleh kesultanan maupun oleh rakyat. Kampung Sungai Tuan juga merupakan refleksi dari pembentukan sosok budaya Banjar Islam yang egaliter.
Pada awal Abad XX, semangat belajar manusia Banjar semakin tinggi. Untuk memfasilitasi semangat belajar di Martapura1914 berdiri sekolah Islam Darusalam, tahun 1940 di Amuntai berdiri sekolah Arabische School yang kemudian berubah menjadi Ma ahad Rasyidiyah dan pada tahun 1932 di Barabai berdiri sekolah Diniyah Islamiyah. Kemudian diikuti oleh madrasah Persatuan perguruan Islam, Madrasah Sarekat Islam, Madrasah Musyawatuttalibin,
Sekolah Muhamadiyah, Sekolah taman Siswa dan terakhir Perguruan rakyat
Parindra. Pendidikan yang disebutkan itu semacam proses inisiasi dari
remaja ke dewasa. Kelak alumi dari sekolah-sekolah itu menjadi aktivis pemuda Islam yang bergerak dalam bidang politik, sosial maupun kemasyarakatan.[22]
Dapat dikatakan juga, bahwa sekolah-sekolah itu mempunyai andil besar
dalam membangun sesosok budaya Banjar yang egaliter dan terkadang
ide-ide apabila dicermati, kita akan acungkan jempol. Begitu juga dalam
kehausan menuntut ilmu, banyak para ulama yang belajar agama ke Mekah,
dan banyak juga pemuda Banjar belajar baik agama maupun non ke agamaan
ke Jawa.
Pengembaraan orang Banjar menuntut ilmu membuahkan hasil, paling tidak dalam melemparkan ide. Katakan
saja, pada tahun 1949 masyarakat Banjar yang diwakili oleh Brigjen K.H.
Hasan Basery menyatakan diri, bahwa Kalimantan adalah bagian dari Negara
Kesatuan Indonesia. Begitu juga keberanian warga kalimantan Selatan
yang bersama-sama dengan Sumatra Selatan dan Sulawasi Selatan berani
membubarkan PKI yang saat itu masih kuat pamornya. Pada masa gerakan
mahasiswa 1966, seorang pemuda mahasiswa Fakultas Hukum UNLAM. Banjar
bernama Hasanuddin Mugdi mati tertembak dalam suatu demonstrasi
mahasiswa. Gugurnya Hassnuddin Mugdi apabila dilihat waktunya, ia gugur
lebih awal ketimbang Arif Rahman Hakim ( UI ) Jakarta dan KAPPI lainnya.
Paparan
di atas mengisyaratkan, bawa roh dari pendidikan memberikan kesadaran
manusia Banjar untuk selalu berubah. Ide-ide dan keberanian mengambil
resiko merupakan buah dari pendidikan yang cerdas. Perubahan
budaya dalam bentuk transformasi pendidikan masih berjalan atau masih
berdialog. Dialog dalam transformasi yang akan melahirkan peradaban baru
dari budaya Banjar.
Rekayasa Budaya
Perubahan budaya yang artifisal atau direkayasa biasanya diselenggarakan melalui kekuasaan, begitu hemat Kuntowijoyo.[23] Mendiskusikan fokus
dari relasi kekuasaan sedikitnya terdapat kata dominasi dan hegamoni.
Dalam setiap dominasi akan selalu terdapat relasi kekuasaan. Relasi
kekuasaan itu kemudian dimantapkan dengan strategi
menguasai sehingga tercipta hubungan yang berlangsung dalam tempo yang
panjang walaupun di tengah jalan mengalami keterpurukan. Relasi
hegamonik berupaya menciptakan ketundukan melalui perundingan konsensus
secara aktif sehingga kekuasaan itu tampak dalam pelupuk mata.
Dalam
konteks rekayasa budaya di Banua Banjar dapat dilacak, ketika
bersinggungan dengan budaya Barat, khususnya kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda dalam merekayasa budaya, melalui
perjanjian-perjanjian yang mengikat dan melemahkan. Awalnya melalui
perjanjian pada pertengahan Abad XVIII antar kesultanan Banjar dengan
Belanda membuat kesultanan yang awalnya memiliki etos perdagangan yang
mobil dan bercorak urban kehilangan mobilitasnya.Tuntutan budaya Belanda
yang mengandalkan kepada rasionalitas, efesiensi dan produktivitas
ditambah dengan keserakahan sistem kolonial tidak memberikan ruang
secuilpun kepada para elite lokal untuk berdialog secara kreatif.[24]
Fakta sejarah malah menyebutkan, banyak kaum bangsawan memposisikan
dirinya menjadi bagian dari kekuasaan dari pemerintah kolonial. Apabila
sebelumnya, para bangsawan patuh kepada sultan akhirnya berubah
kepatuhannya kepada pemerintah kolonial. Bisa jadi, kondisi ini yang
disebut sebagai terjadinya pertukaran patron.
Ketika
Perang Banjar meledak, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1860
menghapuskan Kesultanan Banjar. Sejak saat itu, wilayah kesultanan
Banjar menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian,
Pemerintahan Hindia Belanda oleh banyak akhli disebut sebagai sebagai suatu beamstaat( negara birokrasi) yang bertopang kepada kuatnya gelembung birokrasi, bukan pada dinamika politik yang bermuara dari masyarakat Banjar.
Pemerintah Hindia Belanda dengan mesin birokrasinya yang modern berhasil meluluhlantakan birokrasi tradisional yang diselimuti oleh aura mitologi. Akan tetapi, Pemerintah
Hindia Belanda rupanya bersifat mendua dalam menerapkan sistem
pemerintah di negara jajahan. Kemenduan bersikap terlihat ketika ia
menerapkan sistem in derect rule. Konsep beamstaat bermuasal dari perkembangan pemikiran Barat yang berproses dari abad XV sampai abad XIX. Konsep beamstaat memanfaatkan aparat pemerintahan tradisional (kaum
bangsawan kesultanan) untuk dijadikan bagian dari birokrasi
Pemerintahan Hindia Belanda. Penerapan konsep beamstaat oleh pemerintah
Hindia Belanda oleh Umar Kayam almarhum disebut sebagai suatu proses
yang hakekatnya merupakan pergeseran konsep kosmologis dari manusia
Barat yang sekuler, rasional dan materialis.[25]
Negara
birokrasi Hindia Belanda merupakan hasil rekayasa budaya yang
diarsiteki oleh Belanda yang diterapkan kepada wilayah nusantara untuk
kepentingan politik dan ekonominya. Untuk mengisi kekosongan aparat yang
memiliki kapasitas bukan geneologis bagi negara birokrasinya ia
mendirikan sekolah sesuai dengan anjuran salah satu dari politik etis
yaitu pendidikan. Tentunya termasuk wilayah Kalimantan Selatan yang dalam administrasi Pemerintah Hindia Belanda disebut dengan sebutan Zuid- en Oostkust van Borneo didirikan
sekolah. Sekolah yang akan mencetak pegawai-pegawai rendahan untuk
kepentingan pemerintahan Hindia Belanda ataupun untuk kepentingan
pengusaha-pengusaha partikelir.
Pendidikan secara ideal tidak mengenal diskriminasi. Akan tetapi bagi pemerintahan Hindia Belanda sebagai
penguasa diskriminasi diperlukan sebagai pembeda antara kelas penguasa
dan yang dikuasai. Untuk merealisasi rencanyanya, maka pemerintahan
hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pembagian masyarakat menjadi tiga
bagian, yaitu orang Asing Barat, Asing Timur dan pribumi. Dapat
dikatakan, pembagian masyarakat dalam kelas ini merupakan awal dari
pencitraan bangsa kita yang majemuk yang direkayasa oleh kolonial.
Dalam relasi masyarakat majemuk biasanya terdapat kultur dominan yang berperan sebagai wadah pembauran. Tentunya predikat kultur dominan disandang
oleh penguasa yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Dalam konsep kultur
dominan ini, maka masyarakat dikonstruksi untuk mengakui, mematuhi,
menjiplak kebudayaan penguasa. Tentunya hal ini berlaku juga di
sekolah-sekolah pada masa itu.
Dominasi penguasa untuk membangun diskriminasi tidak hanya dilihat dari perbedaan warna kulit. Bahkan diskriminasi untuk sesama bumiputera di ruang pendidikan itupun digelar. Katakan saja, bumi putera oleh Pemerintah Hindia Belanda dibagi atas
3 katagori, katagori pertama, yaitu katagori A yang diperuntukan bagi
mereka yang menyandang predikat bangsawan, pejabat tinngi dan penguasa;
(2) katagori B, diperuntukan bagi mereka yang orang tuanya memperoleh pendidikan di MULO, sedangkan (3) katagori C mereka yang orang tua termasuk pegawai rendahan.
Di
Banjarmasin antara tahun 1875-1889 pemerintah kolonial telah mendirikan
sekolah kelas 2 yang diperuntukan untuk mencetak pegawai-pegawai
rendahan menjadi guru dan sekolah kelas 1 bagi anak-anak dari golongan
masyarakat atas dengan bahasa pengantar adalah bahasa Melayu. Sekolah
itu disebut dengan sekolah raja atau Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers.[26]
Kondisi
ini membuat tidak terjadinya dialog budaya, malah memunculkan relasi
penguasa dan yang dikuasai, akhirnya budaya Banjar mengalami kemandegan
kultural. Katakan saja, rekayasa budaya yang diintrodusir oleh kolonial
Belanda bukan suatu pembangunan untuk masyarakat akan tetapi untuk
kepentingan politik kekuasaan
Penutup
Perubahan kebudayaan dilalui melalui dua cara, yakni transformasi dan rekayasa.
Masyakat
Banjar mengalami proses transformasi budaya dalam segala aspek melalui
proses waktu yang panjang. Transformasi yang paling elok adalah dialog
budaya antara masyarakat Pra- Banjar dengan Jawa dan Islam. Pada
akhirnya dialog budaya itu melahirkan dan memberikan identitas ke
Banjaran sebagai pembeda dengan sukubangsa lainnya yang memiliki sifat
mobil yang tinggi
Dalam sisi lain, kedatangan orang Belanda sebagai penguasa dengan kekuasaannya mengkonstruksi
budaya bagi masyarakat Banjar untuk kepentingan politik membuat
kemandagen budaya. Dalam arti lain, kebudayaan yang direkayasa oleh
pemerintah kolonial tidak boleh terulang, karena akan memunculkan ketumpulan kreativitas.
Kedepannya,
belajar dari pengalaman sejarah di atas maka perubahan kebudayaan
melalui rekayasa budaya untuk mengeksplotasi masyarakat oleh individu,
kelompok maupun negara dengan tujuan politisasi harus dikubur.
Catatan Kaki:
[1] Umar Kayam,1989, ” Transformasi Budaya
Kita” dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada
Ilmu-ilmu Humaniora, 2000. (Yogyakarta; Gadjah Mada University), hlm.183
[2] Ibid
[3] Kuntowijoyo,1997, Identitas Politik Umat Islam. (Bandung: Mizan},hlm.152-153
[4] Ibid
[5] Hans .J. Daeng,2000., Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan.Yogykarta: Pustaka Pelajar.
[6] Sumardjo Jakob, 2002, Arkeologi Budaya Indonesia. (Yogyakarta: Qalam)
[7] Lihat Fridolin Ukur, 1971, Tentang Jawab Suku Dayak. (Jakarta: Sekolah Tinggi Theologi), hlm.27-40
[8] A.A. Cence, 1928, De Kroniek van Bandjarmasin. Proefschrift. (Amsterdam: Mees Antpoort), hlm.147-148
[9] W.A.van Rees,1865., De Bandjarmasinsche Krigt van 1859-1863. (Arnhem: Thema),hlm.28-29
[10]
Tentang gelar dan fungsi aparat pemerintahan Negara Dipa dan Daha lihat
M. Suriansyah Ideham, dkk, 2007., Sejarah Banjar. (Banjarmasin: Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan). Lihat
juga Vida Pervaya Rasianti Kusmartono,2002,” Pemerintahan Early State
Negara Dipa di Kalimantan Tenggara” makalah dalam Pertemuan Ilmiah
Arkeologi IX dan Kongres IAAI 2002 di Kediri,23-27 2002:
[11] Anthony Reid, 1992., Asia Tenggara dalam Kurun Niaga tahun 1450-1686. (Jakarta: yayasan Obor),hlm.141
[12] Kuntowijoyo, 1997, op.cit, hlm.193
[13] Denys Lombard dan Claudine Salmon,1991. “ Islam Dan Ketionghoan” dalam Ilmu Humaniora Persembahan
bagi Prof. Dra. Siti Baroroh dan Prof. Dr. Sulastin Sutrisno Fakultas
sastra UGM 4-5 Maret 1991. (Jogyakarta: Gadjah Mada University Pers),
hlm.431-435
[14] Bernard Dorleans, 2006, Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI sampai Abad XX.(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia),hlm.23
[15] Ibid
[16]
Jean Gelman Taylor,2005,” Kostum dan Gender di Jawa Kolonial 1800-1940”
dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearrances trend,
Identitas, Kepentingan. (Yogyakarta: Lkis), hlm.134.
[17]Tentang Kedekatan Budaya Banjar dengan Islaml lihat Alfani Daud, 1997., Islam & Masyarakat Banjar. ( Jakarta: raja Grafindo Persada).
[18]Penjelasan tentang seni ukir Banjar lihat, Saleh, M. Idwar, 1978., Rumah daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Depdibud.
[19] H.J. De Graaf,1986, Puncak Kekuasaan Mataram. (Jakarta: Grafiti Pers)
[20] Kuntowijoyo,1987., Budaya dan masyarakat.(Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm.37.
[21]Karel A Steenbrink, 1984., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia pada Abad XIX.(Jakarta: Bulan Bintang), hlm.92-93.
[22] Suriansyah Ideham, dkk. Op.cit.,hlm.382.
[23] Kuntowijoyo,1997, op.cit hlm 153-154
[24] Umar Kayam, Op.cit., hlm.198-199
[25]Umar Kyam, op.cit., hlm.202
[26]Entang sekolah yang dibangun oleh pemerintah colonial Belanda di banjarmasin lihat Suriansyah Ideham,dkk, Op.cit., hlm.381
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar