Ahad
pagi, 18 Mei 2008, sekitar 350 undangan memadati ballroom Hotel Bintang,
Balikpapan. Mereka yang terdiri dari para perwakilan guru dan utusan
sekolah tingkat SLTP dan SLTA se-Balikpapan, perwakilan serikat pekerja,
tokoh masyarakat dan alim ulama, menghadiri acara Diskusi Panel yang
digelar oleh HTI Balikpapan dalam rangka momentum seabad kebangkitan
nasional.
Forum
ini menghadirkan Mas’ud Sujadi, SE – pakar ekonomi Kaltim – sebagai
pembicara pertama, Ir. Moh. Topan – pengamat sejarah – sebagai pembicara
kedua, dan Ir. Muklas dari HTI Balikpapan sebagai pembicara ketiga.
Sebagai panelis adalah H. Mukhtar dari perwakilan pengusaha Balikpapan,
H. Sugiyanto selaku pimpinan sebuah institusi pendidikan tinggi swasta
di Balikpapan mewakili kalangan akademisi dan Ir. Tri Budi Lestari yang
merupakan IT Manager dari salah satu perusahaan migas terbesar di
Indonesia.
Pengkaburan Sejarah Dan Marginalisasi Islam
Sejarah
itu ibarat ingatan, apa jadinya manusia tanpa ingatan ? Statement
kritis yang dikutip dari Ahmad Mansyur Suryanegara, salah seorang pakar
sejarah Indonesia, mengawali sesi pertama diskusi yang diisi dengan
kajian kritis atas sejarah kebangkitan Indonesia, yang menampilkan Ir
Moh Topan, pengamat sekaligus peneliti sejarah. Manusia tanpa ingatan
yang benar akan kebingungan dengan masa lalunya dan kehilangan potensi
besar yang mungkin dimilikinya. Ibarat sesosok manusia yang memendam
harta berlimpah untuk tujuh turunan, namun tidak mengetahui dimanakah ia
menyimpannya, bahkan tak pernah mengingat apakah ia memiliki kekayaan
sebanyak itu.
Demikian
pula halnya dengan sebuah bangsa tanpa sejarah yang benar. Pesona
gemilang bangsa tersebut di masa lalu bisa jadi tak terbaca oleh
generasi sesudahnya. Rahasia
sukses dan tahapan perjuangan yang dulu dirintis oleh para pendahulu
kita mungkin tak bisa lagi ditelusuri jejaknya. Inilah target
pengkaburan sejarah bangsa yang dilakukan oleh kaum kuffar, yang saat
ini produknya masih terus dipelajari dan menjadi acuan bagi pengajaran
sejarah di sekolah-sekolah. Walhasil, generasi masa kini yang menelan
sejarah keliru tersebut tidak lagi memiliki kebanggaan sekaligus panutan
yang benar, hingga akhirnya menjadi generasi ompong yang tidak punya
nyali untuk memperjuangkan sesuatu yang hakiki.
Ir
Moh. Topan mencontohkan mengenai penetapan awal masuknya Islam ke
Indonesia. Teori pertama yang berasal dari Snouck Horgrounye
menyimpulkan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 melalui
pedagang Gujarat. Teori kedua menyatakan bahwa Islam datang pada abad
yang sama, namun dibawa oleh orang Persia dengan alasan bahwa ada
kesamaan kultur peringatan 10 Muharam. Kedua teori ini yang dipakai
dalam penulisan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Padahal, Gujarat
dan Persia adalah berpaham Syi’ah, sementara Islam pertama kali masuk di
Samudera Pasai yang berpaham Ahlus sunnah wal jama’ah. Teori ketiga
yang dikemukakan Ibnu Batutah justru tidak populer, dimana Islam datang
pada abad ke-7, didukung fakta adanya perkampungan Arab Islam di
Sumatera serta pernikahan yang telah terjadi dengan warga setempat. Hal
ini menunjukkan upaya De-Islamisasi (mendahulukan yang tidak bersimbol
Islam). Pembuat sejarah berupaya menanamkan bahwa yang mewarnai
peradaban Indonesia adalah Hindu – Budha, padahal dari waktu awal
masuknya hampir bersamaan (sama-sama abad ke-7). Dengan mengeset sejarah
masuknya Hindu – Budha pada abad ke-7 dan Islam baru masuk 6 abad
kemudian (abad ke-13) menunjukkan upaya pengkaburan sejarah untuk
meminimalisasi peran Islam dalam sejarah Indonesia.
Pemateri
pertama juga menunjukkan upaya pemusnahan data sejarah yang dilakukan
oleh penjajah. Aksi pembakaran 70 jilid hikayat dan karya intelektual
ulama di Riau hingga Kelantan dituliskan oleh Abdullah bin Abdul Kadir
Al Mansyi. Raffles juga merampas 300 judul hikayat karya para ulama saat
itu. Atas intruksi Kardinal Gemenis, Portugis dan Spanyol juga
melakukan pembakaran atas karya klasik umat Islam. Dengan pemusnahan
data sejarah ini, para penjajah seakan melenyapkan ingatan bangsa
jajahannya dan menggantinya dengan ingatan palsu yang dibuatnya sendiri
sesuai dengan keinginannya.
Pemutarbalikan
sejarah juga dilakukan dengan banyak cara. Diantaranya pembunuhan
karakter, yang bisa kita lihat dengan jelas pada kasus Pangeran
Diponegoro. Dalam buku sejarah, perjuangan Diponegoro dituliskan sebagai
pemberontakan (konotasi negatif) dimana motivasinya adalah lantaran
makam leluhurnya terkena proyek gusuran jalan raya. Cara lain adalah
dengan pengalihan (penyelewengan) tujuan, seperti kita baca dalam
penulisan sejarah tentang Kartini. Perjuangan Kartini digambarkan
sebagai upaya penyamarataan derajat antara pria dan wanita (emansipasi).
Upaya R.A. Kartini untuk mengentaskan wanita dari jahiliyah kepada
Islam, serta upaya beliau mengkaji tafsir Al-Qur’an, mengkritik
kebebasan wanita barat dsb, justru tidak pernah diangkat, seakan-akan
perjuangan beliau tanpa ruh Islam sama sekali.
Dipilihnya
Budi Utomo (20 Mei 1908) sebagai tonggak kebangkitan Indonesia dan
bukan Sarikat Islam yang berdiri lebih awal (16 Oktober 1905) juga
merupakan bagian dari desain sejarah yang dikehendaki oleh penjajah.
Selain lebih awal tahun berdirinya, Sarikat Islam yang non-cooperative
(tidak mau bekerja sama dengan penjajah) juga memiliki keanggotaan yang
jauh lebih luas dengan 18 cabang di seluruh Indonesia yang anggotanya
telah mencapai 2 juta orang lebih di tahun 1919. Namun politisasi
sejarah telah membuat peran Sarikat Islam dikalahkan, yang berarti juga
meminggirkan peran Islam dalam proses sejarah kebangkitan bangsa ini.
Diakhir
paparannya, pembicara pertama mengakui bahwa Hizbut Tahrir adalah yang
pertama dan satu-satunya diantara sekian banyak harakah dakwah yang
peduli pada sejarah Indonesia dan yang berusaha meluruskan upaya
pembelokan sejarah yang sengaja dilakukan oleh pihak barat.
Pembodohan Sistematis terhadap Umat
Mas’ud
Sujadi, SE, GM Koperasi Kilang Mandiri PT Pertamina Balikpapan, yang
menjadi pembicara kedua menyoroti fakta riil bangsa ini dalam kurun 100
tahun yang terus menunggu kebangkitannya. Berbagai pembodohan yang
dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya dikupas tuntas dan
menelanjangi kebusukan para pemimpin negara ini yang tak henti-hentinya
berkoar-koar mendengungkan kebangkitan sementara rakyatnya sedang
tertatih menuju kebangkrutan.
Penghematan
anggaran 25 triliun dari subsidi BBM yang katanya banyak menguntungkan
orang kaya, sehingga selayaknya subsidi bagi orang kaya dihapuskan.
Padahal mereka dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang menikmati
subsidi itu baik secara langsung (dengan memakai BBM) ataupun tidak
langsung (melalui dampak kenaikan harga BBM terhadap harga kebutuhan
pokok) merupakan pihak yang paling banyak dirugikan. Inflasi dalam
triwulan pertama saja sudah melebihi 4%. Daya beli masyarakat dipastikan
akan makin turun. Sebaliknya, subsidi yang jelas hanya ditujukan bagi
orang kaya (konglomerat) saja dalam bentuk bantuan dana likuiditas untuk
perbankan justru dipertahankan. Padahal, negaralah yang harus membayar
trilyunan bunganya dari pos anggaran yang ada.
Contoh
lain adalah penyajian angka pendapatan perkapita yang sangat
menyesatkan. Angka pendapatan rata-rata seolah-olah mencerminkan
kemakmuran yang makin baik, padahal terjadi ketimpangan yang sangat jauh
antara mereka yang berpendapatan ekstra lebih dengan mereka yang
berpendapatan minim. Kekayaan para konglomerat cenderung naik tiap tahun
secara fantastik, tercermin dari naiknya kriteria jumlah kekayaan pada
daftar rangking orang terkaya di dunia. Sementara fakir miskin cenderung
memiliki penghasilan yang tetap, padahal harga kebutuhan hidup
cenderung makin naik. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin,
dan nilai rataan kedua golongan ini menghasilkan angka semu pertumbuhan
pendapatan yang sepintas terlihat besar.
Pembodohan
lain nampak jelas pada upaya meredam gejolak kenaikan harga BBM melalui
BLT (bantuan langsung tunai). Standard pemberian BLT sangat meragukan.
Orang miskin yang terkena dampak BBM, termasuk orang miskin baru,
jumlahnya mencapai hampir separuh dari penduduk negeri. Sementara BLT
hanya diberikan pada kurang dari 10% penduduk dengan mengacu pada data
yang lama. Di sisi lain, cost yang ditanggung rakyat jumlahnya jauh
lebih besar dari apa yang diterima melalui BLT. Upaya ini jelas seperti
menggarami air laut, tidak berdampak signifikan dan sia-sia saja.
Wajarlah
dengan berbagai pembodohan seperti ini, kebangkitan tak jua datang
meskipun diperingati (secara seremonial) setiap tahunnya. Rakyat makin
terpuruk dan tak berdaya dalam cengkeraman kapitalisme global yang
menjajah di semua lini.
Di
akhir paparannya, pembicara kedua mendukung upaya Hizbut Tahrir untuk
merealisasikan penyatuan umat Islam sedunia. Suatu hal yang sangat
mungkin dilakukan, sebagaimana masyarakat Uni Eropa bisa menyatukan mata
uang mereka. Asalkan ada komitmen yang kuat, bukan mustahil konsep
khilafah yang ditawarkan Hizbut Tahrir akan segera menjadi kenyataan.
Meraih Kebangkitan Hakiki
Pembicara
ketiga, Ir Muklas, menanggapi pertanyaan sebagian besar peserta diskusi
yang kebanyakan berlatar belakang guru yang risau dengan kenyataan
sistem pembelajaran di sekolah. Apa yang mereka yakini kebenarannya,
termasuk setelah mengikuti diskusi panel ini, berbeda dengan materi yang
harus mereka sampaikan berdasarkan kurikulum, terkadang berbenturan dan
menimbulkan kebingungan.
Ir.
Muklas mencontohkan, di pelajaran pertama seorang siswa belajar agama
Islam, dan diajarkan mengenai kebenaran Islam (sesungguhnya agama disisi
Alloh SWT hanyalah Islam). Namun di pelajaran kedua ketika belajar
PPKN, diajarkan bahwa semua agama benar. Paradoks ini memang membuat
siswa memiliki pemahaman yang ambigu, namun demikianlah kenyataannya
dalam sistem yang berlaku sekarang.
Ir.
Muklas juga mengulas fakta keterpurukan ekonomi. Saat harga minyak
melambung, harusnya Indonesia diuntungkan. Namun pada kenyataannya
justru negara ini dibuat kelimpungan, sementara investor asing menari
kegirangan. Ujung-ujungnya, alam semesta yang tidak dikelola berdasarkan
aturan Alloh SWT menjadi penyebab kekacauan yang terjadi.
Resep
jitu yang beliau tawarkan adalah dengan mengubah sistem jahiliyah yang
merusak dan menggantinya dengan sistem Islam yang memberi kehidupan.
Dicontohkan sebuah rumah yang atapnya bocor dan kemasukan air hujan.
Meskipun lantai dibersihkan / dipel, ember penampung disediakan
disana-sini, namun selama atap yang bocor tidak diperbaiki maka
selamanya rumah akan kemasukan air hujan. Demikian pula bangsa ini.
Tambal sulam disana sini tidak akan membawa bangsa ini dari keterpurukan
menuju kebangkitan, selama sistem yang menyebabkan kerusakan tidak
segera diganti.
Tak
ada jalan lain untuk mengubah sistem kufur yang ada saat ini menjadi
sistem Islam selain hanya dengan bangkit untuk berdakwah demi
melanjutkan kehidupan Islam melalui diterapkannya syariah dan
ditegakkannya Daulah. Hanya dengan cara itu umat ini akan bangkit dengan
kebangkitan yang hakiki. Karena itu HTI menyerukan kepada segenap
elemen masyarakat untuk berjuang dalam jalan dakwah dan mensinergikan
kekuatan umat Islam dalam barisan yang kokoh demi terwujudnya izzul
islam wal muslimin (/muqi)
Sumber