C. BUGIS PAGATAN
Bugis Pagatan adalah salah satu suku bangsa yang
ada di Kalimantan Selatan yang sejak pertengahan abad 18 telah bermukim
serta mengembagkan peradaban dan persekutuan di Pagatan (Kalimantan
Selatan) yang terletak bagian Tenggara kepulauan Kalimantan. Suku Bugis
yang pertama kali membangun Pagatan kemudian mengembangkan peradapan dan
persekutuannya dulunya berasal dari Wajo (Sulawesi Selatan), Matulada
(1985) menjelaskan suku bangsa Bugis dan Makasar sejak dulu terkenal
sebagai salah satu bangsa yang suka mengembara mengarungi samudera
sehinga dikenal sebagai pelaut tangguh dan ulung. Dengan perahu layar
pinisi dan lambo mereka dapat mengarungi samudera Nusantara, ke Barat
sampai ke Madagaskar, ke Timur samapi Irian dan Australia. Oleh karena
itulah dihampir pantai dan pelabuhan laut dikepulauan Nusantara terdapat
perkampungan Bugis. Mereka pada umumnya menetap dan menjadi penduduk
daerah itu sambil mengembangkan adat istiadat persekutuan mereka.
Terdapat sekarang ini suku Bugis Pagatan di Kalimantan Selatan, suku
Bugis Johor di Malaysia, suku Bugis Pasir dan Kutai di Kalimantan
Timur, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut Matulada (1985) menjelaskan
disamping menjadi pelaut dan nelayan suku Bugis juga mengenal pertanian
(Tani) dan Perkebunan (Dare) semenjak dahulu. Tanah-tanah persawahan
yang subur yang dikenal sebagai lumbung pada di Sulawesi Selatan adalah
terdapat dinegeri-negeri Bugis itu. Seperti Sidenreng, Penrang, dan
Wajo. Bahkan orang Bugis Wajo orang wajo juga terkenal sebagai pedagang
yang ulet, sampai dengan jaman sekarang orang di Sulawesi percaya bahwa
pedagang-pedangan Bugis yang banyak berhasil dalam perniagaannya,
niscaya mempunyai titisan darah Bugis Wajo.
Berkaitan dengan hal
tersebut diatas tersebut tiga orang Bangsawan Bugis dari Wajo dan
pengikutnya melakukan pelayaran dari Selat Makasar menuju kepulauan
Kalimantan. Tiga orang saudagara yang masing masing membawa perahu layar
beserta rombongannya adalah. Pua Janggo, La Pagala, dan Puanna Dekke
sesampainya di Kalimantan Pua Janggo dan La Pagala masing-masing mampir
di Tanggarong dan Pasir, sementara Puanna Dekke terus melakukan
pelayaran menelusuri selat Pulau Laut menuju Laut Jawa. Akan tetapi
sebelum keluar Laut Jawa Perahu Puanna Dekke dihadang badai yang
dahsyat, sehingga ia berlindung di Muara Sungai Kukusan (Muara Pagatan).
Badai yang dahsyat belum juga reda Puanne Dekke akhirnya membatalkan
niat menuju laut jawa, kemudian malah tertarik untuk menyelusuri
perairan sungai Kukusan.
Selama dalam pelayaran menyelusuri sungai
Kukusan dia tidak melihat orang melakukan aktivitas dibantaran sungai
atau melihat perkampungan pada hal waktu pelayaran sudah cukup lama.
Tiba pada suatu tempat dia melihat sekelompok orang dibantaran sungai
sedang mengambil rotan, kemudian dia menghampiri dan bertanya tempat apa
nama daerah ini, orang tadi menjawab wilayah ini hutan rotan biasa kami
ditempat ini melakukan pekerjaan pemagatan artinya mengambil dan
mengumpulkan rotan.
Puanna Dekke tertarik atas tempat pemagatan
tersebut dan berniat akan membangun perkampungan diwilayah ini. Tempat
pemagatan walaupun hanya ditumbuhi hutan belantara bukan berarti tidak
bertuan, akhirnya Puanna Dekke berusaha mencari tahu bahwa wilayah yang
diinginkan tersebut ternyata masuk dalam kekuasaan Raja Banjar. Dalam
catatan lontara Kapitan Latone (ditulis, 21 Agustus 1868) Setelah Punna
Dekke( J.C. Nagtegaal menyebutnya Poewono Deka, 12 : 1939) Daerah yang
menarik hatinya itu dibuka itu adalah termasuk wilayah kerajaan Banjar,
maka dia pergi menemui sultan Banjarmasin.
Sebagai seorang pemimpin
Matoa Dagang ( Zainal Abidin, 57 : 1983) tidak sulit buat Punna Dekke
berlayar hingga bersandar ke Bandarmasih. Kemudian Puanna Dekke meghadap
Panembahan Batu untuk mengutarakan keinginannya. Panembahan Batu
kemudian memberikan restu dan ijin utuk membangun pemukiman sebagaimana
yang dimaksud. (Lontara Latone) tertulis bahwa pada saat mohon ijin
kepada panembahan, ditegaskan kepada Puanna Dekke untuk kesanggupnya
menanamkan investasi untuk biaya pembangunan pemukiman baru di atas
lahan hutan belantara tersebut, kemudian Puanna Dekke juga dapat
menjamin keamanan perairan di Muara Pagatan yang selama ini sering
digunakan para bajak laut untuk merompak di Selat Pulaut. Apabila kedua
hal tersebut dapat diujudkan maka daerah yang diinginkankan silahkan
untuk ditempat sebagai perkampungan warga orang Bugis yang dikemudian
hari dapat dijaga dan diwariskan kepada anak cucu Puanna Dekke.
Kehormatan yang diberikan Panembahan ini yang kemudian menjadi semangat
bagi pembagunan pemukiman baru, sampai akhirnya menjadi sebuah Kampung
oleh Puanna Dekke memberinama Kampoung Pegatan ( asal kata dari tempat
pemagatan). Kampoeng Pagatan dalam tatanan Puanna Dekke berkembangan
sebagai salah satu Bandar yang strategis yang diapit oleh Laut Jawa dan
di Belah oleh Sungai Kukusan (Sekarang Sungai Kusan), sehingga cepat
mengalami kemajuan sebagai salah satu bandar yang penting di wilayah
Kerajaan Banjar.
Kemudian Puanna Dekke mengundang saudaranya Pua
Janggo dan La Pagala untuk membicarakan pemimpin mengatur pemerintahan
internal di kampoeng Pagatan. Dalam perundingan tiga bersaudara ini
akhirnya menyiapkan Hasan Panggawa sebagai calon raja Pagatan, Hasan
Panggewa sendiri ketika itu masih berumur belia termasuk keturunan salah
seorang raja Kampiri di Wajo.
D. KERAJAAN PAGATAN 1961- 1912 M.
Nagtegaal (1983) menjelaskan bahwa pertengahan abad ke 18 datanglah
pedagang Bugis dari Wajo (Sulawesi Selatan) bernama Poewono Deka, dan
atas izin Sultan Banjarmasin kemudian mendirikan kerajaan Pagatan. J.C.
Noorlander (190: 1983) menjelaskan dari gelar-gelar yang digunakan
raja-raja Banjar ternyata yang bergelar Penambahan Batu (Sultan
Banjarmasin) adalah Nata Alam atau Panembahan Kaharuddin Halilullah yang
memerintah tahun 1761-1801. Maka berdasarkan data tersebutlah dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa kerajaan Pagatan didirikan setelah tahun
1761.
Dengan terjalin hubungan baik Puanna Dekke dengan
Panembahan Batu, dimana kepercayaan yang telah diberikan Panembahan
kepada Puanna Dekke selalu ia jaga dengan baik, sehingga dalam mengatur
Kerajaan Pagatan secara politis masuk dalam kedaulatan Kerajaan Banjar.
Oleh karena itu kedudukan Kerajaan Pagatan hanya memiliki hak otonomi
pengaturan pemerintahan kedalam, sebagaimana juga kerajaan-kerajaan
kecil ketika itu yang tetap berada di bawah kedaulatan kerajaan yang
lebih besar. Sebagai mana juga Kerajaan Banjar merupakan kerajaan besar
yang ada di Nusantara pada saat itu berfungsi sebagai pelindung terhadap
Kerajaan Pagatan.
Kerajaan Pagatan yang muncul pada pada
pertengahan abad ke 18. yang diperkirakan berlangsung dari tahun 1861
sampai dengan 1912. Selama satu setengah abad terbagi 4 empat priode
system pemerintah, yaitu :
1. Priode ke I Pra Kerajaan di Pimpin
Puanna Dekke sebagai pendiri kerajaan Pagatan, dengan mengerahkan
seluruh daya upaya beserta pengikutnya membabat hutan belantar, kemudian
jadilah pemukiman baru yang kemudian diberi nama Kampoeng Pegatang,
selanjutnya Puanna Dekke mempersiapkan cucunya untuk jadi Pemimpin
kerajaan Pagatan. Sementara Puanna Dekke yang dikenal pendiri Kerajaan
Pagatan tidak mau jadi Raja.
2. Priode ke II Puanna Dekke
Memproklamirkan kerajaan Pagatan, dengan menobatkan cucunya bernama La
Panggewa sebagai raja pertama di Kerajaan Pagatan.diperkirakan
berlangsung dari tahun 1761-1861.
3. Priode ke II Kerajaan
Pagatan mengalami perluasan wilayah kekuasaan dengan bergabung kerajaan
Kusan, sehingga menjadi Kerajaan Pagatan Kusan. Berlangsung dari tahun
1861 – 1908.
4. Priode ke IV. Kerajaan Pagatan Kusan pada tahun
1908-1912 M telah mengalami perubahan pemerintahaan, kalau sebelumnya
beerdaulat terhadap kerajaan Banjar, maka sejak tanggal, 1 Juli 1908
diserahkan kepada pemerintahan Hinda Belanda.
Andi Syaiful (1993)
berpendapat bahwa kerajaan Pagatan diperkirakan berlangsung dari tahun
1761- 1912. dan Raja Pagatan yang pertama adalah bernama Hasan
Pangewa/La Panggewa Kapitan Laut Pulo (Nategaal, 12-14) menjelaskan
beberapa orang raja telah memerintahan Pagatan. Setelah pemerintahan
Hasan Pangewa. dalam lontara
E. RAJA-RAJA PAGATAN
1. Hasan Penggewa Raja Pagatan I (1761-1838)
Hasan
Pengewa/ La Penggewa adalah Raja Pagatan yang pertama beliau cucu dari
Punna Dekke pendiri Kerajaan Pagata. La Panggewa masih keturunan dari
Raja Kampiri (Wajo), sejak kecil diboyong Puanne Dekke dari kampiri ke
Pagatan, bahkan konon di Pagatanlah La Panggewa di khitan kemudian
dinobatkan menjadi Raja Pagatan yang pertama. Mengingat umurnya masih
belia maka untuk mengatur pemerintahan untuk sementara dipercayakan
kepada pamannya Raja Bolo, sambil mendidik dan membimbing La Pangewa
untuk bisa menjadi pemimpin dan mengatur pemerintahan setelah dewasa,
atas gembelengan Puanna Dekke dan Raja Bolo La Pengewa menjadi orang
perkasa.
Pada suatu peristiwa La Penggewa diutus oleh Raja Bolo untuk
menghadap Raja Banjar dalam rangka menyampaikan bahwa selama ini dialur
muara sungai Barito para perahu layar saudagar mengalami kesulitan
untuk masuk berlayar ke Bandarmasih karena sering digangu oleh para
bajak laut yang mengacaukan muara sungai tersebut. Kemudian oleh
Panambahan menyambut baik kedatangan La Panggewa Cucu Puanna Dekke,
serta diberikanlah kepercayaan La Panggewa memimpin laskar untuk
mengusir para bajak laut di Muara Sungai Barito tersebut, atas
kehormatan yang dipercayakan Panembahan tidak disia-siakan La Penggewa
dan berhasil mengusir perompak tersebut dan lari berpindah ke Biajao.
Atas keberhasilan La penggewa inilah kemudian Panembahan menganugerahkan
gelar kehormatan kepada La Penggewa sebagai Kapitan Laut Pulo. Atas
kesetiaan Puanne Dekke mengutus cucunya oleh Penambahan mengegaskan
kembali kepada Kapitan Laut Pulo bahwa sabwa Pagatan yang telah dibangun
Puanne Dekke dipersilahkan untuk dikuasai dan dikemudian hari
dipersilahkan untuk diwariskan kepada keturunan Puanna Dekke.
Sekembalinya dari kerajaan Banjar La Penggwa oleh Puanna Dekke dan Raja
Bolo menyerahkan segala hak La Penggewa untuk memimpin dan mengatur
pemerintahan kerajaan Pagatan tahun 1800, kemudian La Penggewa Kapitan
Laut Pulo wafat tahun 1838 digantikan oleh putranya bernama Abdul Rahim.
2. Arung Pallewange Raja Pagatan II ( Tahun 1838 – 1855)
Abdul
Rahim bin Hasan Pengewa dinobatkan menjadi raja Pagatan II pada tanggal
19 Juli 1838 kemudian bergelar Arung Pallewange, selama 26 tahun
berkuasa kemudian wafat pada tanggal, 28 April 1855. selanjutnya
digantikan oleh putranya Abdul Karim. Dalam catatan lontara bahwa
keturunan Abdul Rahim ini kemudian yang banyak memimpin kerajaan
Pagatan,
3. Arung La Mattunru Raja Pagatan III (Tahun 1855-1871)
Abdul
Karim Bin Abdul Rahim dinobatkan menjadi raja Pagatan III tahun 1855
dan bergelar Arung La Mattunru, pada masa pemerintahannya terjadi
perluasan wilayah kerajaan Pagatan dengan bergabung kerajaan Kusan tahun
1861, sehingga menjadi kerajaan Pagatan – Kusan. Kemudian Arung La
Mattunru wafat tahun 1871 digantikan oleh putranya Abdul Djabbar.
4. Arung La Makkaraw Raja Pagatan IV (Tahun 1871-1875)
Abdul
Djabbar Bin Abdul Karim dinobatkan jadi raja Pagatan tahun 1871 dan
bergelar Arung La Makkaraw tidak lama berkuasa kemudian wafat tahun
1875, karena Arung La Makkaraw tidak mempunyai keturunan maka digantikan
oleh Daeng Mankkaw putri dari Arung Pallewange.
5. Ratu Daeng Mankkaw Raja Pagatan V (Tahun 1875-1883)
Daeng
Mankkaw Binti Abdul Rahim adalah raja Pagatan V yang dinobatkan menjadi
raja tahun 1875 kemudian bergelar Ratu Daeng Mankkaw. Pada masa
pemerintahan Ratu daeng Mankkaw didampingi oleh suaminya Pengeran Muda
Aribillah. salah seorang raja Kerajaan Tanah Bumbu sebuah kerajaan kecil
yang berada disebelah Utara Kerajaan Pagatan. Pengeran Muda Aribillah
merupakan cucu dari Sultan Banjar Tamjidillah I yang telah mengadakan
ikatan perkawinan dengan Ratu Daeng Makkao dari ikatan perkawinan inilah
kemudian lahir Andi Tangkung dan Andi Sallo (Abdul Rahim).
Ratu
Daeng Mankkaw wafat tahun 1883. Sementara anaknya bernama Abdul Rahim
belum dewasa maka untuk pemerintahan kerajaan Pagatan dipercayakan
kepada Kolonial Belanda, sementara pemangku kerajaan dipercayakan kepada
kakaknya Andi Tangkung
6. Andi Tangkung Raja Pagatan VI ( Tahun 1883-1893)
Andi
Tangkung memangku jabatan kerajaan Pagatan bergelar Petta Ratu yang
berlansung sejak tahun 1883 dan berahir tahun 1893. Kemudian digantikan
oleh Abdul Rahim.
7. Arung Abdul Rahim Raja Pagatan VII (Tahun 1893-1908)
Andi
Sallo bergelar Arung Abdul Rahim naik tahta tahun 1893 dan berahir
pada tanggal, 16 Juli 1908. Pada masa akhir kekuasaan Arung Abdul Rahim
telah terjadi kemelut dalam kerajaan Pagatan Kusan. Peristiwa tersebut
berawal perseteruan antara dua saudara antara Andi Sallo dan Andi
Tangkung. Andi Tangkung mempersiapkan putranya bernama Andi Iwang
sebagai penganti Arung Abdul Rahim pemangku kerajaan Pagatan Kusan,
sementara juga Andi Sallo juga mempersiapkan putranya bernama Andi
Kacong untuk mengantikan dirinya sebagai pemangku kerajaan Pagatan
Kusan. Mencermati komplik internal ini akhirnya setahun sebelum wafatnya
Arung Abdul Rahim, yakni pada tanggal, 20 April 1907. Arung Abdul Rahim
mengeluarkan suatu pernyataan bahwa kerajaan Pagatan dan Kusan
diserahkan kepada pemerintahan kolonial Belanda. Maka setelah empat
tahun (1908-1912) pelaksanaan pemerintahan kerajaan Pagatan dan Kusan di
bawah suatu kerapatan (zelfbestuusraad), terhitung tanggal, 1 Juli 1912
kerajaan Pagatan dan Kusan dilebur dalam pemerintahan langsung Hindia
Belanda (Nategaal: 1983).
F. KERAJAAN KUSAN
Keberadaan
Kerajaan Kusan diletarbalakang berbagai peristiwa bersejerah, berawal
dari peristiwa terjadinya perahara perebutan kekekusaan dalam
dilingkungan keluarga Kerajaan Kayu Tangi sekitar tahun 1785. Yaitu
ketika Sultan Tahmidubillah (Pengeran Muhammad) berkuasa di Kerajaan
Kayu Tangi beliu mempunyai lima (5) orang anak satu perempuan dan empat
laki-laki- yaitu:
1. Putri Lawiah,
2. Pangeran Abdullah,
3. Pangeran Rahmat,
4. Pangeran Amir,
5. Gusti Kusin.
Sekitar
Tahun 1785 Sultan Tahmidubillah wafat, sebelum meninggal sultan telah
berwasiat bahwa yang akan mengantikan nantinya memimpin Kerajaan Kayu
Tangi adalah Putera ke Duanya yaitu Pengeran Abdullah. Mengingat ketika
sultan wafat pengeran Abdullah belum cukup umur untuk dapat memimpin
kerajaan Kayau Tangi, maka untuk mengisi kekosongan pemerintahan
dipercayakan kepada Pangeran Nata Mangkubumi, Pangeran Mangkumi sendiri
adalah suami dari Putri Talwiah kakak Pangeran Abdullah. Ketika Pengeran
Nata Mangkubumi berkuasaa di Kerajaan Kayu Tangi kemudian mengeluarkan
suatu pernyataan, bahwa dialah selamanya akan berkuasa di Kerajaan Kayu
Tangi dan tidak akan menyerahkan kekuasaan pada pangeran Abdullah
sebagai pewaris kerajaan. Sering dengan pernyataan tersebut terjadilah
prahara dilingkungan kerajaan Kayu Tangi diiringan dengan peristiwa
mengemparkan dengan meninggal secara tidak wajar Pangeran Abdullah dan
Pangeran Rahmat. Untuk mempertahaan kekuasaannya Nata Mangkubumi
melakukan persekutuan dengan Belanda.
Dengan peristiwa tersebut di
atas maka Pangeran Amir sebagai pewaris Kerajaan Kayu Tangi merasa
terancam keselamatanya kemudian secara diam-diam meninggalkan Karajaan
Kayu Tangi, menyeberang menyelusuri hutan menuju Kusan (Tanah Bumbu).
Kemudian diwilayah kusaan akhirnya Pengeran
Amir menyusun kekuatan
dengan mendirikan Kerajaan Kusan tahun 1786, biliau sendiri dinobatkan
sebagai raja Kusan dan bergelar Raja Kusan I.
Setelah merasa cukup
mempunyai kekuatan serta dibantu dengan kekuatan Kerajaan Pagatan yang
berdekatan dengan wilayah kekuasaan Kerajaan Kusan. Pada tahun 1787
Pangeran Amir salah seorang putera mahkota yang disingkirkan datang
menyerang Kerajaan Kayu Tangi dengan kekuatan 3000 lakskar. Pangeran
Nata Negara (Nata Mangkubumi), raja yang menduduki tahta kerajaan Banjar
(Kayu Tangi) pada waktu itu, amat takut lalu meminta bantuan Kompeni,
Residen Walbeck mengirimkan bantuan balatentara dibawah pimpinan Kapten
Christaffel Hofman. Sehingga atas persekutuan kerajaan Banjar dan
Kompeni tersebut dapat mematahkan perlawanan balas dendam Pangeran Amir.
Kemudian dengan kekalahan tersebut Pangeraman Amir ditawan selanjutnya
dibuang di Ceylon pada tahun 1789.
Dengan kekalahan Pangeran Amir
maka kekuasaan pemerintahan Kerajaan Kusan akhirnya diserahakan kepada
Pangeran Musa adik Sultan Adam. Pangeran Musa menjadi Raja Kusan II,
didampingi isterinya Ratu Salamah anak dari Sultan Sulaeman Raja Kayu
Tangi II. Dari perkawinan Pangeran Musa dan Ratu Salamah dianugerahi
keturunan sebanyak 7 orang yaitu. Pangeran Bendahara, Pangeran Panji,
Pangeran Abdul Kadir, Pangeran Kasuma Indera, Pangeran Muhammad Nafis
Pangeran Jaya Sumitra, dan Pangeran Saputra.
Kemudian Raja Kusan II
wafat digantikan oleh puteranya Pangeran Muhammad Nafis bergelar Raja
Kusan III, Pengeran Muhammad Nafis merupakan salah satu Raja Kusan yang
sangat kherismatik dan berpengaruh karena disamping sebagai Raja biliau
juga adalah seorang Ulama. Pada tahun 1840 Raja Kusan III wafat maka
yang mengantikan adalah adiknya Pangeran Jaya Sumitra sebagai Raja Kusan
IV sementara untuk jabatan mangkubumi Raja Kusan IV mempercayakan
kepada saudaranya Pangeran Abdul Kadir.
Saat meletusnya Perang Banjar
pada tahun 1859 dibawah kepemimpinan Pangeran Antasari yang telah
berhasil menggalang kekuatan dengan pemuka-pemuka masyarakat diwilayah
kedaulatan Kerajaan Banjar yang akan menentang Belanda yang telah
merusak dan menginjak-injak aturan tatacara dan kehormatan Sultan
Banjar. Seruan Pangeran Antasari ini didengar dan dipatuhi masyarakat
banjar termasuk Pangeran Jaya Sumitra dan Adiknya yang mendukung seruan
Pengeran Antasari. Dukungan Pengeran Jaya Sumitra terhadap Pangeran
Antasari tercium Belanda, untuk menghindari penangkapan Belanda terhadap
dirinya maka Pengeran Jaya Sumitra dan Keluarga pindah ke Salino,
sementara pemerintahan kerajaan Kusan diserahkan kepada Arung Abdul
Rahim Raja Pagatan. Pada saat ini Kerajaan Pagatan menjadi Kerajaan
Pagatan dan Kusan.
(Bersambung)
Senin, 20 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar