Setelah
wafatnya Raja Kesari Warmadewa pada tahun Saka 837/915 maka Putra beliau
Sri Ugrasena Warmadewa menggantikan kedudukan sebagai Raja di Bali.
Beliau terkenal akan kebijaksanaannya dan kewibawaanya sehingga
menjadikan Pulau Bali aman dan sentaosa.
Para pendeta Siwa Budha dan Rsi, Empu, para agamawan datang dari pulau Jawa dan Hindu (India) semuanya bersama memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi dengan para dewa, tapi pemujaan disesuaikan dengan desa kala patra. Itu yang menyebabkan tepat disebut Bhinneka Tunggal Ika. Kerajaan berpusat di Singhamandawa didaerah sekitar Batur.
Selama masa pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari pajak sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan). Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang kemalaman.
Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942). Masa pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan masa pemerintahan Pu Sindok di Jawa Timur. Ada sebelas prasasti, semuanya berbahasa Bali Kuno, dikeluarkan oleh raja Ugrasena, yakni
Dengan alasan sama, bahkan desa Kundungan dan Silihan dibebaskan dari kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja juga berkenan menyelesaikan perselisihan antara para wajib pajak di wilayah perburuan dengan pegawai pemungut pajak, yakni dengan menetapkan kembali secara jelas jenis dan besar pajak yang mesti dibayar oleh penduduk . Berkaitan erat dengan aspek kehidupan beragama,
Raja Ugrasena memberikan izin kepada penduduk desa Haran dan Parcanigayan untuk memperluas pasanggrahan dan bangunan suci Hyang Api yang terletak di desanya masing-masing. Keberadaan penduduk desa Tamblingan sebagai jumpung Waisnawa ”sekte Waisnawa”, serta kaitannya dengan bangunan suci Hyang Tahinuni, juga mendapat perhatian raja. Prasasti Gobleg, Pura Batur A yang memuat hal itu teksnya tidak lengkap sehingga rincian ketetapan mengenai sekte tersebut tidak sepenuhnya dapat diketahui.
Dapat ditambahkan bahwa pada tahun 839 Saka (917), sebagaimana tercatat dalam prasasti Babahan I yang tersimpan di desa Babahan (Tabanan), raja Ugrasena mengadakan perjalanan ke Buwunan (sekarang Bubunan) dan ke Songan 10. Dalam kunjungan itu, raja memberikan izin kepada kakek (pitamaha), di Buwunan dan di Songan melaksanakan upacara bagi orang yang mati secara tidak wajar, jika saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan batas-batas wilayah pertapaan yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Sesudah beberapa lama Sri Aji Ugrasena bertahta di istana kerajaan akhirnya beliau wafat kembali kealam Sunya, pada tahun Saka 864/942 Masehi beliau dicandikan di Ermadatu. Beliau dikenal dengan sebutan sang ratu siddha dewata sang lumah di air madatu. Epitet ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra Warmadewa yang ditemukan di desa Kintamani.
Para pendeta Siwa Budha dan Rsi, Empu, para agamawan datang dari pulau Jawa dan Hindu (India) semuanya bersama memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi dengan para dewa, tapi pemujaan disesuaikan dengan desa kala patra. Itu yang menyebabkan tepat disebut Bhinneka Tunggal Ika. Kerajaan berpusat di Singhamandawa didaerah sekitar Batur.
Selama masa pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari pajak sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan). Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang kemalaman.
Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942). Masa pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan masa pemerintahan Pu Sindok di Jawa Timur. Ada sebelas prasasti, semuanya berbahasa Bali Kuno, dikeluarkan oleh raja Ugrasena, yakni
- Prasasti-prasasti Banjar Kayang (837 Saka),
- Prasasti Les,
- Pura Bale Agung (837 Saka),
- Babahan I (839 Saka),
- Sembiran AI (844 Saka),
- Pengotan AI (846 Saka),
- Batunya AI (855 Ska),
- Dausa,
- Pura Bukit Indrakila AI (857 Saka),
- Serai AI (858 Saka), Dausa,
- Pura Bukit Indrakila BI (864 Saka),
- Prasasti Tamblingan Pura Endek I (-), dan Gobleg,
- Pura Batur A.
Dengan alasan sama, bahkan desa Kundungan dan Silihan dibebaskan dari kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja juga berkenan menyelesaikan perselisihan antara para wajib pajak di wilayah perburuan dengan pegawai pemungut pajak, yakni dengan menetapkan kembali secara jelas jenis dan besar pajak yang mesti dibayar oleh penduduk . Berkaitan erat dengan aspek kehidupan beragama,
Raja Ugrasena memberikan izin kepada penduduk desa Haran dan Parcanigayan untuk memperluas pasanggrahan dan bangunan suci Hyang Api yang terletak di desanya masing-masing. Keberadaan penduduk desa Tamblingan sebagai jumpung Waisnawa ”sekte Waisnawa”, serta kaitannya dengan bangunan suci Hyang Tahinuni, juga mendapat perhatian raja. Prasasti Gobleg, Pura Batur A yang memuat hal itu teksnya tidak lengkap sehingga rincian ketetapan mengenai sekte tersebut tidak sepenuhnya dapat diketahui.
Dapat ditambahkan bahwa pada tahun 839 Saka (917), sebagaimana tercatat dalam prasasti Babahan I yang tersimpan di desa Babahan (Tabanan), raja Ugrasena mengadakan perjalanan ke Buwunan (sekarang Bubunan) dan ke Songan 10. Dalam kunjungan itu, raja memberikan izin kepada kakek (pitamaha), di Buwunan dan di Songan melaksanakan upacara bagi orang yang mati secara tidak wajar, jika saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan batas-batas wilayah pertapaan yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Sesudah beberapa lama Sri Aji Ugrasena bertahta di istana kerajaan akhirnya beliau wafat kembali kealam Sunya, pada tahun Saka 864/942 Masehi beliau dicandikan di Ermadatu. Beliau dikenal dengan sebutan sang ratu siddha dewata sang lumah di air madatu. Epitet ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra Warmadewa yang ditemukan di desa Kintamani.
(gambar kiri: Pemandian Tirta Empul)
Pada periode ini diketahui sejumlah raja yang pernah memerintah Bali, tetapi belum ditemukan nama ibu kota yang menjadi pusat pemerintahannya. Raja pertama pada periode ini adalah Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama-sama dengan permaisurinya, yaitu Sri Subhadrika Dharmadewi, tahun 877-889 Saka (955-967) Mereka menggantikan raja Ugrasena.
Beliau berhasil membagun pemandian suci Tirta Empul di Manukraya atau Manukaya, dekat Tampak Siring. Ditengah tengah masa pemerintahannya terdapat seorang raja lain yang memerintah yaitu Jayasinga Warmadewa/ Candrabaya Singa Warmadewa tahun 960 M. Diduga berkuasanya raja ini ditengah tengah pemerintahan Sri Haji Tabanendra Warmadewa adalah akibat perebutan kekuasaan yang kemudian dapat direbut kembali oleh Sri Haji Tabanendra Warmadewa.
Ada empat prasasti yang memuat pasangan gelar suami-istri itu, yakni
- Prasasti-prasasti Manik Liu AI (877 Saka),
- Manik Liu BI (877 Saka),
- Manik Liu C (877 Saka), dan
- Kintamani A (899 Saka)
Isi pokok prasasti Kintamani A, yang berkaitan dengan prasasti Kintamani B, telah disinggung di depan, yakni berkenaan dengan perintah Raja Tabanendra Warmadewa kepada sejumlah tokoh agar menangani pemnugaran pesanggarahan di Air Mih.
(gambar kiri: Pura Tirta Empul)
Dalam Prasasti Kintamani B disebutkan pula bahwa pasanggrahan di Dharmarupa merupakan cabang pasanggrahan di Air Mih. Dalam prasasti dikatakan bahwa raja Tabanendra, bersama-sama dengan permaisurinya, menyuruh sejumlah tokoh agar memugar atau memperluas pasanggarahan di Air Mih yang dibangun pada masa pemerintahan raja dengan epitet tersebut di atas Jika epitet itu memang benar untuk Raja Ugrasena setelah mangkat, maka tindakan raja dan permaisurinya tersebut di atas menunjukkan betapa hormatnya mereka kepada Ugrasena.
Lebih lanjut, hal itu dapat digunakan sebagai dasar pendapat yang menyatakan bahwa walaupun Sang Ratu Sri Ugrasena tidak secara eksplisit menggunakan bagian gelar warmadewa, baginda pun tergolong anggota dinasti Warmadewa.
SISTEM PEMERINTAHAN
Sistem pembagian Raja – Raja di Bali di dasarkan atas keturunan, biasanya pengganti Raja yang meninggal adalah putra laki – laki tua atau satu – satunya putra laki – laki yang lahir dari permaisuri yang berasal dari golongan bangsawan (Ksatria). Tetapi apabila putra mahkota pengganti Raja tersebut masih di bawah umur, biasanya diwakili oleh ibunya atau salah seorang bangsawannya yang di pilih pada penggawa pendanda istana.
Dalam menjalankan pemerintahan, Raja dibantu oleh pejabat pemerintah yang masing – masing menduduki fungsi tertentu. Raja di dampingi oleh sebuah Dewan Kerajaan yang di sebut Pasamuan Agung. Tugas Pokok dari Pasamuan Agung adalah memberikan nasihat dan pertimbangan para Raja dalam memecahkan masalah – masalah yang berhubungan dengan pemerintahan. Selain itu mereka juga di tugasi untuk mengurus hubungan dengan penguasa di luar Kerajaan
(gambar kiri: Pura Tirta Empul)
Raja juga dibantu oleh patih, Prebekel atau Pambekel dan penggawa – penggawa daerah. Penggawa – penggawa ini kedudukanya sama dengan kepala distrik.
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Setelah Wafat Raja Haji Tabanendra Warmadewa di candikan di Air Mandu
Sumber
4. Indrajayasingha Warmadewa (960 - 975 M)
Pengganti Tabanendra Warmadewa adalah raja Jayasingha Warmadewa. Raja ini dapat diketahui dari sebuah prasasti, yaitu prasasti Manukaya (882 Saka). Dalam prasasti itu dimuat perintah raja untuk memugar Tirtha di (Air) Mpul (sekarang Tirtha Empul di Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat derasnya aliran air.
Setelah pemugaran itu, diharapkan kedua telaga yang ada menjadi kuat dan bertahan lama. ). Dikatakan bahwa raja Jayasingha membangun dua pemandian di desa Manukraya, yang letaknya sekarang di dekat istana negara Tapak Siring. Hal yang menarik perhatian ialah ternyata prasasti Manukaya terbit pada masa pemerintahan Tabanendra Warmadewa bersama permaisurinya.
Masalah ini belum dapat dijelaskan dengan bukti-bukti yang akurat. Berkenaan dengan hal itu, L.C. Damais menegaskan bahwa pembacaan angka tahun 882 Saka sudah benar. Untuk sementara, yang dapat dikemukakan di sini ialah terbitnya “prasasti sisipan” itu tampaknya berlangsung dalam suasana damai, dalam arti tidak dilatarbelakangi oleh sifat permusuhan, peristiwa kudeta, atau semacamnya. Dugaan itu dikemukakan karena belum terdapat petunjuk adanya perselisihan internal di antara anggota dinasti yang telah berkuasa.
Sumber
5. Jayasadhu Warmadewa (975 - 983 M)
(gambar kiri: Raja Bali Menurut Rafless)
Pada tahun 897 Saka muncul raja yang bergelar Sang Ratu Sri Janasadhu Warmadewa. Gelar ini terbaca dalam prasasti Sembiran AII (897 Saka) (Brandes, 1889). Itulah satu-satunya prasasti atas nama baginda. Prasasti tersebut kembali mengenai desa Julah kuno. Menurut prasasti itu, penduduk Julah yang kembali dari pengungsiannya diizinkan memperbaharui isi prasastinya.
Selanjutnya, ketentuan dalam prasasti itu harus dipatuhi dan jangan diubah-ubah lagi. Dalam prasasti itu antara lain ditetapkan bahwa jika ada kuil, pekuburan, pancuran, permandian, prasada, dan jalan raya di wilayah itu mengalami kerusakan, supaya diperbaiki serta dibiayai secara bergilir oleh penduduk desa Julah, Indrapura, Buwundalm, dan Hiliran.
Jika pertapaan di Dharmakuta diserang oleh perampok, supaya seluruh penduduk Julah keluar rumah lengkap dengan senjata untuk menolong pertapaan itu (kapwa ta ya turun tangga saha sanjata, tulungen to patapan di dharmakuta) Raja Janasadhu Warmadewa diganti oleh Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi
Sumber
6. Sri Wijaya Mahaderi (983 - 989 M)
(gambar kiri: Raja di Bali)
Pemerintahan kerajaan Bali selanjutnya dipimpin oleh seorang ratu. Ratu ini bergelar Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi dengan sistem pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan di Jawa.
Susunan dan nama – nama jabatan pemerintah yang biasa berlaku di Jawa di pergunakan di Bali. Beliau memerintah pada tahun 905 Saka atau 938. Beberapa ahli memperkirakan ratu ini adalah putri dari Mpu Sindok dari kerajaan Mataram Kuno. Raja di Bali
Satu-satunya prasasti sebagai sumber sejarah ratu ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Saka). Ratu ini memberi izin kepada penduduk desa Air Tabar, yang merupakan pamong kuil Indrapura di Bukittunggal di wilayah desa Air Tabar, untuk memperbaharui prasastinya (mabharin pandaksayan na). Ratu ini tidak menggunakan identitas dinasti Warmadewa.
Keadaan ini mengundang timbulnya sejumlah pendapat. Berdasarkan terpakainya kata Sri Wijaya dalam gelar sang ratu, P.V. van Stein Callenfels (1924 : 30) berpendapat bahwa kemungkinan ratu itu berasal dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan adanya perluasan kekuasaan Sriwijaya ke Bali. Pada tahun 1950, dalam artikelnya yang berjudul ”De Stamboom van Erlangga”, J.L. Moens menghubungkan ratu itu dengan kerajaan Jawa Timur .
Damais secara lebih tegas mengemukakan bahwa ratu itu adalah putri Pu Sindok yang bernama Sri Isana Tunggawijaya. Pendapatnya itu didasarkan pada adanya jabatan-jabatan wadihati, makudur, dan pangkaja yang disebutkan dalam prasasti ratu itu, di samping sejumlah jabatan tinggi yang telah lazim di Bali. Ketiga jabatan itu adalah khas Jawa
(gambar kiri: Peninggalan Kerajaan Bedulu)
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Ratu Sri Wijaya Mahadewi diduga mangkat pada tahun 911 Saka (989). Tampuk pemerintahan di Bali kemudian dipegang oleh pasangan Sri Gunapriyadharmapatni dan Sri Dharmodayana Warmadewa.
Sumber
7. Dharma Udayana Warmadewa (989 - 1011 M)
Beliau termasyur akan kewibawaan dan kebesarannya sebagai penguasa tunggal, dipuji dan dihormati oleh para pendeta dan para raja, sampai ke Pulau Jawa. Maka dari itu Baginda mempersunting putri raja dari Pulau Jawa yang sangat utama, putri Sri Makuta Wangsa Wardhani raja wanita yang bersuamikan Sri Makuta Wangsa Wardhana, Baginda berputra dua orang yang berparas cantik.
Yang tinggal di Jawa kawin dengan raja Kediri, yang bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa. Dan yang menikah ke Bali bergelar Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, Baginda yang menjadi jungjungan rakyat Bali.
Pada masa pemerintahan Udayana, hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Dikisahkan Baginda Maha Raja Sri Dharma Udhayana Warmadewa memerintah Pulau Bali bersama permaisuri, makin bertambah kewibawaan Baginda, oleh karena Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni bijaksana masyur di Nusantara. Dalam menjalankan roda pemerintahan beliau mendatangkan 4 orang rohaniawan dari Jawa Timur diantaranya :
- Mpu Semeru, merupakan penganut agama Siwa (tahun 999) M bertempat di Besakih selaku pemelihara Pura Hyang Putranjaya atau yang sekarang dikenal dengan nama Pura Ratu Pasek.
- Mpu Gana, merupakan penganut aliran Ganapatya (tahun 1000) M bertempat di Gelgel dimana sekarang dibangun Pura Dasar Buwana Gelgel.
- Mpu Kuturan, merupakan penganut Budha Mahayana, bertempat di Padangbai dimana sekarang berdiri Pura Silayukti.
- Mpu Gnijaya, merupakan penganut Brahmaisme (Tahun 1006) M bertempat di Gunung Lempuyang dimana sekarang dibangun Pura Lempuyang Madia.
(gambar kanan: Pura Samuan Tiga)
Sebelas orang Senapati Baginda yang besama-sama mengatur dan mengayomi Pulau Bali, ke sebelas Senapati itu diberikan imbalan sawah bukti. Adapun Senapati Kuturan, sawah bukti yang dihasilinya bertempat di perbatasan daerah Batuan. Pulau Bali aman dan sejahtera tidak ada perselisihan semua umat menekuni nyanyian keagamaan, demikian pula para Pendeta Siwa, Budha, Rsi dan para Ahli (Mpu), selalu melaksanakan Api Kurban (homa), mengucapkan Weda mantra, suara genta mengalun memuja kebesaran Sang Hyang Widhi serta para dewata.
Demikian pula bunyi-bunyian dibunyikan siang malam di tiap-tiap desa, dalam rangka upacara Dewa Yadnya pada masing-masing pura tak henti-hentinya. Dilengkapi dengan kidung dan membaca Lontar Kekawin.
(gambar kanan: Persembahyangan di Pura Samuan Tiga)
Terjadi banyak perubahan dalam berbagai bidang diantaranya penulisan prasasti tidak lagi mempergunakan bahasa Bali Kuno seperti yang sudah sudah tetapi memakai bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi. Di bidang keagamaan yang semula terdiri dari 9 sekte yang sering menimbulkan pertentang di masyarakat ditata kembali melalui pertemuan dengan kelompok Budha Mahayana, Siwa dan Bali Aga dengan sekte sektenya.
Hal ini diprakarsai oleh Mpu Kuturan yang menjabat sebagai Ketua Majelis Lembaga Tertinggi dalam pemerintahan Raja Udayana. Hasil pertemuan ini disetujui oleh semua pihak dan menghasilkan 5 kesepakatan antara lain :
- Menjadikan paham Trimurti/ Tri Sakti/ Tri Tunggal sebagai dasar keagamaan bagi semua paham dan aliran
- Mendirikan Pura Kayangan Tiga untuk setiap desa adat atau Pakraman.
- Di setiap rumah dibangun bangunan suci rong tiga atau yang dikenal dengan sanggah kemulan.
- Semua tanah pekarangan yang terletak di sekitar Desa dan pura Kayangan Tiga menjadi milik desa/ Pura Kahyangan Tiga dan tidak boleh diperjual belikan.
- Nama agama yang disepakati adalah Agama Siwa-Buda.
Itulah sebabnya maka tempat dilaksanakan pertemuan tersebut dinamakan Samuan Tiga, sedangkan Pura yang dibangun ditempat itu dinamakan Pura Samuan Tiga yang terletak di desa Bedahulu Gianyar.
BERBAGAI VERSI TENTANG UDAYANA
Menurut F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja. Kekacauan yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan sang putri yang dalam keadaan hamil itu melarikan diri ke Jawa dan melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayana yang kemudian menikah dengan Mahendradatta
Moens tidak setuju dengan hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom van Erlangga”yang terbit pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis Udayana. Pertama, Udayana yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara Isana (Sindok) dengan putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua, Udayana yanng merupakan putra Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan Ratnawati (selanjutnya disebut Udayana II). Udayana I tetap hidup di Jawa Timur dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di Jalatunda. Udayana II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali.
(gambar kiri: Peninggalan Bali Kuno)
Moens juga mengemukakan bahwa Mahendradatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua kalinya dengan Udayana II . Pada dasarnya, Goris menyetujui pendapat Moens tentang adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau menambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991) sebagai hasil, pernikahan Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah di Bali Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali. Tadi telah disinggung bahwa dalam prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan menikah dengan Udayana, seorang pangeran dari dinasti termasyhur. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana itu adalah Sri Dharmodayana Warmadewa.
agi pula, seperti telah diketahui, dinasti Warmadewa memang telah berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa, yaitu sejak tahun 835 Saka (914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya.
Berdasarkan kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu menegaskan kedinastian serta daerah asal Udayana yang memang sudah sangat dikenal pada waktu itu. Sebaliknya, sangat sukar dipahami bahwa seorang asing yang merupakan putra seorang pelarian, dapat diterima dengan mudah dalam jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa.
Lagi pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut, khususnya dari putra mahkota yang mempunyai hak sah atas takhta dan mahkota kerajaan Bali adalah hal yang mustahil. Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula keterangan-keterangan dalam prasasti Pucangan dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana, suami Gunapriyadharmapatni, adalah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom yang dikemukakan jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens. Telah dikatakan bahwa prasasti-prasasti pasangan ”suami-istri” itu terbit tahun 911-923 Saka (989-1001). Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka), Buwahan A (916 Saka), Sading A (923 Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II.
Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu. Dikatakan bahwa desa itu, yang telah disebutkan dalam prasasti Bebetin A (818 Saka), kembali mengalami perampokan sehingga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat lemah. Pasangan suami-istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah kewajiban kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diberikan juga kepada penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru).
Hal itu dapat diketahui dari prasasti Serai AII. Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu memuat izin pasangan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan yang terletak di pesisir Danau Batur untuk lepas dari desa induknya, yakni Kdisan. Desa Bwahan, yang tampaknya semakin berkembang, diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra i kawakannya).
Segala kewajiban supaya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa banyak penduduk desa itu terpaksa meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-tamu yang datang ke desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaan aman, penduduk desa Bantiran disuruh kembali ke desanya..
(gambar kanan: Iringan Putri Raja di Bali)
Hak dan kewajibannya diatur dan mereka diizinkan membuka lahan untuk memperluas sawah ladangnya. Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A . Rupanya Gunapriyadharmapatjni mangkat tidak lama sebelum tahun 933 Saka. Prasasti ini diberikan kepada desa Air Hawang (sekarang desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur.
Dalam prasasti itu disebutkan bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja Udayana dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba, yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu memenuhi pembayaran pajak-pajak serta cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut bergotong royong atau kerja bakti untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon pengurangan atau keringanan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa Air Hawang), raja mengutus Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang Acarya Bhacandra dan Senapati Kuturan, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya kemudian didiskusikan, dibahas, atau dianalisis dalam sidang paripurna para pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi lebih dari itu.
Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja menyetujui permohonan wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti mengenai proses persidangan itu berbunyi :
- “...tuwulwi ta sira kabaih mapupul, malapkna kinabehan, tan pingsan pingrwa, winantah winalik blah, hana pwantuk ning malapkna, an kasinggihan sapanghyang nikang anak thani, ...”
- Artinya : “... kemudian beliau sekalian berkumpul, bersidanng bersama-sama, tidak sekali dua kali, diperdebatkan dan dibahas, maka tercapailah hasil persidangan, yakni dipenuhinya hal-hal yang menjadi permohonan penduduk desa itu, ...”
Prasasti bertahun 929 Saka itulah yang terbit pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Penduduk setempat menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni sebutan untuk tokoh Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calonarang. Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah?
Mengenai hal ini, Goris berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu Baradah mengunjungi Bali untuk pertama kali. Kunjungan itu mungkin dalam kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran Anak Wungsu, atau kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung berpendapat bahwa Gunapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra bungsunya yaitu Anak Wungsu sehingga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun 929 Saka betul-betul mengenai urusan yang sangat penting .
AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Setelah lama Sri Dharmma Udhayana Warmmadewa sebagai penguasa tunggal, akhirnya Baginda wafat, pada tahun Saka 940/1018 Masehi. Jenazah Baginda dikebumikan di Banyuweka. Adapun Gunapriyadharmapatni setelah wafat dicandikan di Burwan. Beliau meninggalkan tiga orang putra, diantaranya
- Sri Aji Erlangga kawin ke Jawa Timur
- Sri Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stana Utunggadewa, berkuasa di Bali antara tahun Saka 944/1022 Masehi
- Adik terkecil bernama Sri Aji Anak Wungsu. beliau juga menganugrahkan prasasti pada tahun Saka 911/999 Masehi
Sumber