Jumat, 17 Januari 2014

Hakim bin Hazam, Keteguhan Hati Seorang Sahabat

Nama lengkapnya Hakim bin Hazam bin Asad bin Abdul Gazi. Ia adalah keponakan Khadijah Al-Kubra, istri tercinta Rasulullah SAW. Sebelum dan setelah kenabian beliau, ia adalah teman akrab Rasulullah.

Sewaktu kaum Quraisy memboikot Rasulullah dan kaum Muslimin, Hakim tidak mau ikut-ikutan, karena menghormati Nabi. Ia baru masuk Islam ketika terjadi penaklukan kota Makkah dan terkenal sebagai orang yang banyak jasa dan dermanya.

Sejarah mencatat, dialah satu-satunya anak yang lahir dalam Ka'bah yang mulia. Pada suatu hari, ibunya yang sedang hamil tua masuk ke dalam Ka'bah bersama rombongan orang-orang sebayanya untuk melihat-lihat Baitullah itu. Hari itu Ka'bah dibuka untuk umum sesuai dengan ketentuan.

Ketika berada dalam Ka'bah, perut si ibu tiba-tiba terasa hendak melahirkan. Dia tidak sanggup lagi berjalan keluar Ka'bah. Seseorang lalu memberikan tikar kulit kepadanya, dan lahirlah bayi itu di atas tikar tersebut. Bayi itu adalah Hakim bin Hazam bin Khuwailid, yaitu anak laki-laki dari saudara Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid.

Hakim bin Hazam dibesarkan dalam keluarga keturunan bangsawan yang terhormat dan kaya raya. Oleh sebab itu, tidak heran kalau dia menjadi orang pandai, mulia, dan banyak berbakti. Dia diangkat menjadi kepala kaumnya dan diserahi urusan rifadah (lembaga yang menangani orang-orang yang kehabisan bekal ketika musim haji) di masa jahiliyah. Untuk itu dia banyak mengorbankan harta pribadinya.

Dia bijaksana dan bersahabat dekat dengan Rasulullah sebelum beliau menjadi Nabi. Sekalipun Hakim bin Hazam lebih tua sekitar lima tahun dari Nabi SAW, tetapi dia lebih suka berteman dan bergaul dengan beliau. Rasulullah mengimbanginya pula dengan kasih sayang dan persahabatan yang lebih akrab. Kemudian ditambah pula dengan hubungan kekeluargaan—karena Rasulullah mengawini bibi Hakim, Khadijah binti Khuwailid—hubungan di antara keduanya bertambah erat.

Walaupun hubungan persahabatan dan kekerabatan antara keduanya demikian erat, ternyata Hakim tidak segera masuk Islam dan mengakui kenabian Muhammad SAW. Namun masuk Islam sesudah pembebasan kota Makkah dari kekuasaan kafir Quraisy, kira-kira dua puluh tahun sesudah Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Orang-orang memperkirakan Hakim bin Hazam—yang dikaruniai Allah akal sehat dan pikiran tajam ditambah dengan hubungan kekeluargaan—serta persahabatan yang akrab dengan Rasulullah—akan menjadi mukmin pertama-tama yang membenarkan dakwah beliau, dan menerima ajarannya dengan spontan. Tetapi Allah berkehendak lain. Dan kehendak Allah jualah yang berlaku.

Setelah memeluk Islam dan merasakan nikmat iman, timbullah penyesalan mendalam di hati Hakim. Dia merasa umurnya hampir habis dalam kemusyrikan dan mendustakan Rasulullah.

Putranya pernah melihat dia menangis, lalu bertanya, "Mengapa ayah menangis?"

"Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan ayahmu menangis, hai anakku!" jawab Hakim. "Pertama, keterlambatan masuk Islam menyebabkan aku tertinggal berbuat banyak kebajikan. Seandainya aku nafkahkan emas sepenuh bumi, belum seberapa artinya dibandingkan dengan kebajikan yang mungkin aku peroleh dengan Islam. Kedua, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan dalam Perang Badar dan Uhud. Lalu aku berkata kepada diriku ketika itu, aku tidak lagi akan membantu kaum Quraisy memerangi Muhammad, dan tidak akan keluar dari kota Makkah. Tetapi aku senantiasa ditarik-tarik kaum Quraisy untuk membantu mereka. Ketiga, setiap aku hendak masuk Islam, aku lihat pemimpin-pemimpin Quraisy yang lebih tua tetap berpegang pada kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Lalu aku ikuti saja mereka secara fanatik."

Hakim melanjutkan, "Kini aku menyesal, mengapa aku tidak masuk Islam lebih dini. Yang mencelakakan kita tidak lain melainkan fanatik buta terhadap bapak-bapak dan orang-orang tua kita. Bagaimana aku tidak akan menangis karenanya, hai anakku?"

Rasulullah pun heran terhadap orang-orang yang berpikiran tajam dan berpengetahuan luas macam Hakim bin Hazam, tetapi menutupi diri untuk menerima Islam. Padahal dia dan golongan orang-orang yang seperti dirinya ingin segera masuk Islam.

Semalam sebelum memasuki kota Makkah, Rasulullah bersabda kepada para sahabat, "Di Makkah terdapat empat orang yang tidak suka kepada kemusyrikan, dan lebih cenderung kepada Islam."

"Siapa mereka itu, ya Rasulullah," tanya para sahabat.

"Mereka adalah Attab bin Usaid, Jubair bin Muth'im, Hakim bin Hazam, dan Suhail bin Amr. Maka dengan karunia Allah, mereka masuk Islam secara serentak," jawab Rasulullah .

Ketika Rasulullah masuk kota Makkah sebagai pemenang, beliau tidak ingin memperlakukan Hakim bin Hazam, melainkan dengan cara terhormat. Maka beliau perintahkan agar disampaikan beberapa pengumuman. "Siapa yang mengaku tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan mengaku bahwa Muhammad sesungguhnya hamba Allah dan Rasul-Nya, dia aman. Siapa yang duduk di Ka'bah, lalu meletakkan senjata, dia aman. Siapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman. Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke rumah Hakim bin Hazam, dia aman."

Rumah Hakim bin Hazam terletak di kota Makkah bagian bawah, sedang rumah Abu Sufyan bin Harb terletak di bagian atas kota Makkah. Hakim bin Hazam kemudian memeluk Islam dengan sepenuh hati, dengan iman yang mendarah daging di kalbunya. Dia bersumpah akan selalu menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah dan menghentikan bantuan dana kepada Quraisy untuk memenuhi kebutuhan Rasulullah dan para sahabat beliau. Hakim menepati sumpahnya dengan sungguh-sungguh.

Setelah masuk Islam, Hakim bin Hazam pergi menunaikan ibadah haji. Dia membawa seratus ekor unta yang diberinya pakaian kebesaran yang megah. Kemudian unta-unta itu disembelihnya sebagai kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Waktu haji tahun berikutnya, dia wukuf di Arafah beserta seratus orang hamba sahayanya. Masing-masing sahaya tergantung di lehernya sebuah kalung perak bertuliskan kalimat, "Bebas karena Allah Azza wa jalla, dari Hakim bin Hazam". Selesai menunaikan ibadah haji, semua budak itu dimerdekakan.

Ketika naik haji ketiga kalinya, Hakim bin Hazam mengurbankan seribu ekor biri-biri yang disembelihnya di Mina, untuk dimakan dagingnya oleh fakir miskin, guna mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Seusai Perang Hunain, Hakim bin Hazam meminta harta rampasan kepada Rasulullah, yang kemudian diberi oleh beliau. Kemudian ia meminta lagi, diberikan lagi oleh Rasulullah. Beliau lalu berkata kepada Hakim, "Sesungguhnya harta itu manis dan enak. Siapa yang mengambilnya dengan rasa syukur dan rasa cukup, dia akan diberi berkah dengan harta itu. Dan siapa yang mengambilnya dengan nafsu serakah, dia tidak akan mendapat berkah dengan harta itu. Bahkan dia seperti orang makan yang tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta atau menerima).”

Mendengar sabda Rasulullah tersebut, Hakim bin Hazam bersumpah, "Ya Rasulullah, demi Allah yang mengutus engkau dengan agama yang hak, aku berjanji tidak akan meminta-minta apa pun kepada siapa saja sesudah ini. Dan aku berjanji tidak akan mengambil sesuatu dari orang lain sampai aku berpisah dengan dunia."

Sumpah tersebut dipenuhi Hakim dengan sungguh-sungguh. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, dia disuruh agar mengambil gajinya dari Baitul Mal, tetapi dia tidak mengambilnya. Tatkala jabatan khalifah pindah kepada Umar bin Khathab, Hakim pun tidak mau mengambil gajinya setelah dipanggil beberapa kali.

Khalifah Umar mengumumkan di hadapan orang banyak, "Wahai kaum Muslimin, aku telah memanggil Hakim bin Hazam beberapa kali supaya mengambil gajinya dari Baitul Mal, tetapi dia tidak mengambilnya."

Demikianlah, sejak mendengar sabda Rasulullah itu, Hakim selamanya tidak mau mengambil sesuatu dari seseorang sampai dia meninggal.




Sumber

Hamzah bin Abdul Muthalib, Pemimpin Para Syuhada

Pada suatu hari Hamzah bin Abdul Muthalib keluar dari rumahnya sambil membawa busur dan anak panah untuk berburu. Sejak muda, paman Rasulullah ini memang hobi dan gemar berburu binatang.

Setelah hampir seharian menghabiskan waktunya di tempat perburuan tanpa mendapatkan hasil, ia pun beranjak pulang. Sebelum kembali ke rumahnya, ia lebih dulu mampir di Ka'bah untuk melakukan thawaf.

Sebelum sampai di Ka'bah, seorang budak perempuan milik Abdullah bin Jud'an At-Taimi menghampirinya seraya berkata,"Hai Abu Umarah, andai saja tadi pagi kau melihat apa yang dialami oleh keponakanmu, Muhammad bin Abdullah, niscaya kamu tidak akan membiarkannya. Ketahuilah, bahwa Abu Jahal bin Hisyam telah memaki dan menyakiti keponakanmu itu, hingga akhirnya ia mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya."

Usai mendengarkan panjang lebar peristiwa yang dialami oleh keponakannya, Hamzah terdiam sambil menundukkan kepalanya sejenak. Ia kemudian membawa busur dan anak panahnya, kemudian bergegas menuju Ka'bah dan berharap dapat bertemu Abu Jahal di sana.

Sampai di Ka'bah ia melihat Abu Jahal dan beberapa pembesar Quraisy sedang berbincang-bincang. Dengan tenang Hamzah mendekati Abu Jahal. Lalu dengan gerakan yang cepat ia lepaskan busur panahnya dan dihantamkan ke kepala Abu Jahal berkali-kali hingga jatuh tersungkur. Darah segar mengucur deras dari dahinya.

"Mengapa kamu memaki dan mencederai Muhammad, padahal aku telah menganut agamanya dan meyakini apa yang dikatakannya? Sekarang, coba ulangi kembali makian dan cercaanmu itu kepadaku jika kamu berani!" bentak Hamzah kepada Abu Jahal.

Dalam beberapa saat, orang-orang yang berada di sekitar Ka'bah lupa akan penghinaan yang baru saja menimpa pemimpin mereka. Mereka begitu terpesona oleh kata-kata yang keluar dari mulut Hamzah yang menyatakan bahwa ia telah menganut dan menjadi pengikut Muhammad.

Tiba-tiba beberapa orang dari Bani Makhzum bangkit untuk melawan Hamzah dan menolong Abu Jahal. Tetapi Abu Jahal melarang dan mencegahnya seraya berkata,"Biarkanlah Abu Umarah melampiaskan amarahnya kepadaku. Karena tadi pagi, aku telah memaki dan mencerca keponakannya dengan kata-kata yang tidak pantas."

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah seorang yang mempunyai otak yang cerdas dan pendirian yang kuat. Ia adalah paman Nabi dan saudara sepersusuannya. Dia memeluk Islam pada tahun kedua kenabian. Ia juga hijrah bersama Rasulullah SAW dan ikut dalam perang Badar. Pada Perang Uhud syahid dan Rasulullah menjulukinya dengan "Asadullah" (Singa Allah) dan menyebutnya "Sayidus Syuhada" (Penghulu atau Pemimpin Para Syuhada).


Ketika sampai di rumah, ia duduk terbaring sambil menghilangkan rasa lelahnya dan membawanya berpikir serta merenungkan peristiwa yang baru saja dialaminya.

Sementara itu, Abu Jahal yang telah mengetahui bahwa Hamzah telah berdiri dalam barisan kaum Muslimin berpendapat, perang antara kaum kafir Quraisy dengan kaum Muslimin sudah tidak dapat dielakkan lagi.

Oleh sebab itu, ia mulai menghasut dan memprovokasi orang-orang Quraisy untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Rasulullah dan pengikutnya. Bagaimanapun Hamzah tidak dapat membendung kekerasan yang dilakukan kaum Quraisy terhadap para sahabat yang lemah. Akan tetapi harus diakui, bahwa keislamannya telah menjadi perisai dan benteng pelindung bagi kaum Muslimin lainnya.

Lebih dari itu menjadi daya tarik tersendiri bagi kabilah-kabilah Arab yang ada di sekitar Jazirah Arab untuk lebih mengetahui agama Islam lebih mendalam. Sejak memeluk islam, Hamzah telah berniat untuk membaktikan segala keperwiraan, keperkasaan, dan juga jiwa raganya untuk kepentingan dakwah Islam.

Pada Perang Badar, Rasulullah menunjuk Hamzah sebagai salah seorang komandan perang. Ia dan Ali bin Abi Thalib menunjukkan keberanian dan keperkasaannya yang luar biasa dalam mempertahankan kemuliaan agama Islam. Akhirnya, kaum Muslimin berhasil memenangkan perang tersebut secara gilang gemilang.

Kaum kafir Quraisy tidak mau menelan kekalahan begitu saja, maka mereka mulai mempersiapkan diri dan menghimpun segala kekuatan untuk menuntut balas. Akhirnya, tibalah saatnya Perang Uhud di mana kaum kafir Quraisy disertai beberapa kafilah Arab lainnya bersekutu untuk menghancurkan kaum Muslimin. Sasaran utama perang itu adalah Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

Seorang budak bernama Washyi bin Harb diperintahkan oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb, untuk membunuh Hamzah. Wahsyi dijanjikan akan dimerdekakan dan mendapat imbalan yang besar pula jika berhasil menunaikan tugasnya.

Akhirnya, setelah terus-menerus mengintai Hamzah, Wahsyi melempar tombaknya dari belakang yang akhirnya mengenai pinggang bagian bawah Hamzah hingga tembus ke bagian muka di antara dua pahanya. Tak lama kemudian, Hamzah wafat sebai syahid.

Usai sudah peperangan, Rasulullah dan para sahabatnya bersama-sama memeriksa jasad dan tubuh para syuhada yang gugur. Sejenak beliau berhenti, menyaksikan dan membisu seraya air mata menetes di kedua belah pipinya. Tidak sedikitpun terlintas di benak beliau bahwa moral bangsa arab telah merosot sedemikian rupa, hingga dengan teganya berbuat keji dan kejam terhadap jasad Hamzah. Dengan keji mereka telah merusak jasad dan merobek dada Hamzah dan mengambil hatinya.

Kemudian Rasulullah mendekati jasad Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib, Singa Allah, Seraya berkata,"Tak pernah aku menderita sebagaimana yang kurasakan saat ini. Dan tidak ada suasana apa pun yang lebih menyakitkan diriku daripada suasana sekarang ini."

Setelah itu, Rasulullah dan kaum Muslimin menyalatkan jenazah Hamzah dan para syuhada lainnya satu per satu.

Ibnu Atsir dalam kitab Usud Al-Ghabah, mengatakan dalam Perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy. Sampai pada suatu saat ia tergelincir sehingga terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya, dan pada saat itu ia langsung ditombak dan dirobek perutnya. Lalu hatinya dikeluarkan oleh Hindun kemudian dikunyahnya. Namun Hindun memuntahkannya kembali karena bisa menelannya.

Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib, Beliau sangat marah dan Allah menurunkan firmannya: "Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (QS An-Nahl: 126)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq Sirah-nya, bahwa Ummayyah bin Khalaf bertanya pada
Abdurahman bin Auf, "Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?"

"Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib," jawab Abdurrahman bin Auf.

"Dialah yang membuat kekalahan kepada kami," ujar Khalaf.

Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang disamping Rasulullah dengan memegang dua bilah pedang.

Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah SAW melihat Hamzah terbunuh, maka beliau menagis.



Sumber

Habib bin Zaid, Keteguhan Hati Pembela Rasul

Habib bin Zaid dibesarkan dalam sebuah rumah yang penuh keharuman iman di setiap sudutnya, di lingkungan keluarga yang melambangkan pengorbanan.

Ayah Habib, Zaid bin Ashim, adalah salah seorang dari rombongan Yatsrib yang pertama-tama masuk Islam. Zaid termasuk Kelompok 70 orang yang melakukan baiat dengan Rasulullah di Aqabah. Bersama Zaid bin Ashim turut pula di baiat istri dan dua orang putranya.

Ibu Habib, Ummu Amarah Nasibah Al-Maziniyah, merupakan wanita pertama yang memanggul senjata untuk mempertahankan agama Allah dan membela Nabi Muhammad SAW.

Saudaranya, Abdullah bin Zaid, adalah pemuda yang mempertaruhkan lehernya sebagai tebusan dalam Perang Uhud, untuk melindungi Rasul yang mulia. Tak heran jika Rasulullah berdoa bagi keluarga tersebut, "Semoga Allah melimpahkan barakah dan rahmat-Nya bagi kalian sekeluarga."

Cahaya iman telah menyinari hati Habib bin Zaid sejak dia masih muda belia, sehingga melekat kokoh di hatinya. Allah telah menakdirkannya bersama-sama ibu, bapak, bibi, dan saudaranya pergi ke Makkah, turun beserta Kelompok 70 untuk melakukan baiat dengan Rasulullah SAW dan melukis sejarah.

Habib bin Zaid mengulurkan tangannya yang kecil kepada Rasulullah sambil mengucapkan sumpah setia pada malam gelap gulita di Aqabah. Maka sejak hari itu, dia lebih mencintai Rasulullah daripada ayah bundanya sendiri. Dan Islam lebih mahal baginya daripada dirinya sendiri.

Habib bin Zaid tidak turut berperang dalam Perang Badar, karena ketika itu dia masih kecil. Begitu pula dalam Perang Uhud, dia belum memperoleh kehormatan untuk ikut ambil bagian, karena dia belum kuat memanggul senjata. Tetapi setelah kedua peperangan itu, dia selalu ikut berperang mengikuti Rasulullah SAW, dan bertugas sebagai pemegang bendera perang yang dibanggakan.

Pengalaman-pengalaman perang yang dialami Habib bagaimana pun besar dan mengejutkannya, pada hakikatnya tiada lain ialah merupakan proses mematangkan mental Habib untuk menghadapi peristiwa yang sungguh mengguncangkan hati, seperti terguncangnya miliaran kaum Muslimin sejak masa kenabian hingga masa kita sekarang.

Pada tahun ke-9 Hijriyah, tiang-tiang Islam telah kuat tertancap dalam di Jazirah Arab. Jamaah dari seluruh pelosok Arab berdatangan ke Yatsrib menemui Rasulullah SAW, masuk Islam di hadapan beliau, dan berjanji (baiat) patuh dan setia.

Di antara mereka terdapat pula rombongan Bani Hanifah dari Najd. Mereka menambatkan unta-untanya di pinggir kota Madinah, dijaga oleh beberapa orang kawannya. Seorang di antara penjaga ini bernama Musailamah bin Habib Al-Hanafy. Para utusan yang tidak bertugas menjaga kendaraan, pergi menghadap Rasulullah SAW. Di hadapan beliau mereka menyatakan masuk Islam beserta kaumnya. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan ramah tamah. Bahkan beliau memerintahkan supaya memberi hadiah bagi mereka dan bagi kawan-kawannya yang tidak turut hadir, karena bertugas menjaga kendaraan.

Tidak berapa lama setelah para utusan Bani Hanifah ini sampai di kampung mereka, Najd, Musailamah bin Habib Al-Hanafy murtad dari Islam. Dia berpidato di hadapan orang banyak menyatakan dirinya Nabi dan Rasul Allah. Dia mengatakan bahwa Allah mengutusnya menjadi Nabi untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus Muhammad bin Abdullah untuk kaum Quraisy. Bani Hanifah menerima pernyataan Musailamah tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi yang terpenting di antaranya ialah karena fanatik kesukuan.

Seorang dari pendukungnya berkata, "Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah sungguh bohong. Tetapi kebohongan orang Rabi’ah (Musailamah) lebih saya sukai dari pada kebenaran orang Mudhar (Muhammad)."

Tatkala pengikut Musailamah bertambah banyak dan kuat, dia mengirim surat kepada Rasulullah: "Teriring salam untuk Anda. Adapun sesudah itu... Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi sekutu Anda. Separuh bumi ini adalah untuk kami, dan separuh lagi untuk kaum Quraisy. Tetapi kaum Quraisy berbuat keterlaluan."

Surat tersebut diantar oleh dua orang utusan Musailamah kepada Rasulullah SAW. Selesai membaca surat itu, Rasulullah bertanya kepada keduanya, “Bagaimana pendapat kalian (mengenai pernyataan Musailamah ini)?"

"Kami sependapat dengan Musilamah!" jawab mereka ketus.

Rasulullah bersabda, "Demi Allah, seandainya tidak dilarang membunuh para utusan, sesungguhnya kupenggal leher kalian."

Rasulullah membalas surat Musailamah sebagai berikut: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah pembohong. Keselamatan hanyalah bagi siapa yang mengikuti petunjuk (yang benar). Adapun sesudah itu... Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah, Dialah yang berhak mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendakinya.
Kemenangan adalah bagi orang-orang yang takwa."

Surat balasan tersebut dikirimkan melalui kedua utusan Musailamah. Musailamah bertambah jahat, dan kejahatannya semakin meluas. Rasulullah mengirim surat lagi kepada Musailamah, memperingatkan supaya dia menghentikan segala kegiatannya yang menyesatkan itu. Beliau menunjuk Habib bin Zaid, untuk mengantarkan surat tersebut kepada Musailamah. Ketika itu Habib masih muda belia. Tetapi dia pemuda mukmin yang beriman kuat, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Habib bin Zaid berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya dengan penuh semangat, tanpa merasa lelah dan membuang-buang waktu. Akhirnya sampailah dia ke perkampungan Najd. Maka diberikannya surat Rasulullah itu langsung kepada Musailamah.

Ketika membaca surat tersebut, dada Musailamah turun naik karena iri dan dengki. Mukanya memerah disaput kemurkaan. Lalu diperintahkannya kepada pengawal supaya mengikat Habib bin Zaid.

Keesokan harinya, Musailamah muncul di majelisnya diiringkan para pembesar dan pengikutnya. Dia menyatakan majelis terbuka untuk orang banyak. Ia kemudian memerintahkan agar Habib bin Zaid diseret ke hadapannya. Habib masuk ke dalam majelis dalam keadaan terbelenggu, dan berjalan tertatih-tatih karena beratnya belenggu yang dibawanya.

Habib bin Zaid berdiri di tengah-tengah orang banyak dengan kepala tegak, kokoh dan kuat.

Musailamah bertanya kepadanya, "Apakah kamu mengaku Muhammad itu Rasulullah?"

“Ya, benar! Aku mengakui Muhammad sesungguhnya Rasulullah!” jawab Habib tegas.

Musailamah terdiam karena marah. “Apakah kamu mengakui, aku sebagai Rasulullah?" tanya Musailamah lagi.

Habib bin Zaid menjawab dengan nada menghina dan menyakitkan hati. "Agaknya telingaku tuli. Aku tidak pernah mendengar yang begitu."

Wajah Musailamah berubah. Bibirnya gemeretak karena marah. Lalu katanya kepada algojo, "Potong tubuhnya sepotong!"

Algojo menghampiri Habib bin Zaid, lalu dipotongnya bagian tubuh Habib, dan potongan itu menggelinding di tanah.

Musailamah bertanya kembali, "Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah?"

Jawab Habib, "Ya, aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”

"Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?"

"Telah kukatakan kepadamu, telingaku tuli mendengar ucapanmu itu!"

Musailamah kembali menyuruh algojo memotong bagian lain tubuh Habib, dan potongannya jatuh di dekat potongan yang pertama. Orang banyak terbelalak melihat keteguhan hati Habib yang nekat menentang sang nabi palsu.

Musailamah terus bertanya, dan algojo terus pula memotong-motong tubuh Habib berkali-kali sesuai dengan perintah Musailamah. Walaupun begitu, bibir Habib tetap berujar, "Aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!"

Separuh tubuh Habib telah terpotong-potong dan potongannya berserakan di tanah. Separuhnya lagi bagaikan onggokan daging yang bicara. Akhirnya, jiwa Habib melayang menemui Tuhannya. Kedua bibirnya senantiasa mengucapkan bahwa ia hanya mengakuai Muhammad SAW—yang telah ia baiat pada malam Aqabah—sebagai Rasulullah.

Setelah berita kematian Habib bin Zaid disampaikan orang kepada ibunya, Nasibah bin Maziniyah, ia hanya berucap, "Seperti itu pulalah aku harus membuat perhitungan dengan Musailamah Al-Kadzdzab. Dan kepada Allah jua aku berserah diri. Anakku Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah SAW sejak kecil. Sumpah itu dipenuhinya ketika dia muda belia. Seandainya Allah memungkinkanku, akan kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya."

Beberapa lama kemudian, setelah kematian Habib bin Zaid, tibalah hari yang dinanti-nantikan Nasibah. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq mengerahkan kaum Muslimin memerangi nabi-nabi palsu, termasuk Musailamah Al-Kadzdzab. Kaum Muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah. Dalam pasukan itu terdapat Nasibah Al-Maziniyah dan putranya, Abdullah bin Zaid.

Ketika perang di Yamamah itu telah berkecamuk, Nasibah membelah barisan demi barisan musuh bagaikan seekor singa, sambil berteriak, "Di mana musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!"

Ketika Nasibah menemukan Musailamah, sang nabi palsu ternyata telah pulang ke akhirat, tewas tersungkur di medan pertempuran tubuh bermandi darahnya sendiri. Tidak lama kemudian, Nasibah pun gugur sebagai syahidah.





Sumber

Hudzaifah Ibnul Yaman, Pemegang Rahasia Rasulullah

Hudzaifah Ibnul Yaman lahir di rumah tangga Muslim, dipelihara dan dibesarkan dalam pangkuan kedua orang tuanya yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama.

Oleh sebab itu, Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam Perang Badar.

Dalam Perang Uhud, Hudzaifah ikut memerangi kaum kafir bersama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam perang itu, Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya syahid oleh pedang kaum Muslimin sendiri, bukan kaum musyrikin. Kaum Muslimin tidak mengetahui jika Al-Yaman adalah bagian dari mereka, sehingga mereka membunuhnya dalam perang.

Rasulullah menilai dalam pribadi Hudzaifah Ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan yang menonjol. Pertama, cerdas, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat memegang rahasia, dan berdisiplin tinggi, sehingga tidak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.

Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat. Untuk menghadapi kesulitan ini, Rasulullah memercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman—dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang.

Dengan memercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin. Karena inilah, Hudzaifah Ibnul Yaman digelari oleh para sahabat dengan "Shahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah).

Pada puncak Perang Khandaq, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya. Beliau mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat.

"Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti. Dan laporkan kepadaku segera!" perintah beliau.

Hudzaifah pun bangun dan berangkat dengan takutan dan menahan dingin yang sangat menusuk. Maka, Rasulullah berdoa, "Ya Allah, lindungilah dia, dari depan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah."

"Demi Allah, sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa," tutur Hudzaifah.

Tatkala ia memalingkan diri dari Rasulullah, beliau memanggilnya dan berkata, "Hai Hudzaifah, sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali kepadaku!"

"Saya siap, ya Rasulullah," jawab Hudzaifah.

Hudzaifah pun pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Ia berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah anggota pasukan mereka. Belum lama berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando.

"Hai, pasukan Quraisy, dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!"

Mendengar ucapan Abu Sufyan, Hudzaifah segera memegang tangan orang yang di sampingnya seraya bertanya, "Siapa kamu?"

Jawabnya, "Aku si Fulan, anak si Fulan."

Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, "Hai, pasukan Quraisy. Demi Tuhan, sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu, berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat."

Selesai berkata demikian, Abu Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangnya melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, tentu ia akan membunuh Abu Sufyan dengan pedangnya.

Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekali pun. Bahkan Khalifah Umar bin Khathtab, jika ada orang Muslim yang meninggal, dia bertanya, "Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu?" Jika mereka menjawab, "Ada," Umar turut menyalatkannya.

Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik, "Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang munafik?"

"Ada seorang," jawab Hudzaifah.

"Tolong tunjukkan kepadaku siapa?" kata Umar.

Hudzaifah menjawab, "Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya."

Walau demikian, amat sedikit orang yang mengetahui bahwa Hudzaifah Ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Nahawand, Dainawar, Hamadzan, dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi kaum Muslimin dari genggaman kekuasaan Persia. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushaf Alquran, sesudah kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum Muslimin.

Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya pada tengah malam. Hudzaifah bertanya kepada mereka,"Pukul berapa sekarang?"

Mereka menjawab, "Sudah dekat Subuh."

Hudzaifah berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka."

Ia bertanya kembali, "Adakah kalian membawa kafan?"

Mereka menjawab, "Ada."

Hudzaifah berkata, "Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan jika aku tidak baik dalam pandangan Allah, Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku."

Sesudah itu dia berdoa kepada Allah, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih suka fakir daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku lebih suka mati daripada hidup."

Sesudah berdoa demikian, ruhnya pun pergi menghadap Ilahi. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya.



Sumber

Ikrimah bin Abu Jahal

Ikrimah bin `Amr al-Makhzoumi (Arab: عكرمة بن عمرو المخزومي) adalah Sahabat Nabi Muhammad yang juga anak dari Abu Jahal. Ia adalah salah satu dari pemimpin Quraisy ketika terjadi Pembebasan Mekkah. Setelah pembebasan Mekkah pada tahun 630 M, beliau memeluk agama Islam.
Dalam kepemimpinan Abu Bakar, Ikrimah ikut dalam pertempuran menaklukan Musailamah al-Kazzab. Ia juga ikut dalam pertempuran Yarmuk melawan tentara Romawi dan mati syahid dalam pertempuran itu.

Sumber

Ikrimah bin Abu Jahal, Mukmin Muhajir dan Mujahid

Ikrimah berusia 30 tahun ketika Rasulullah mulai menyampaikan dawah Islam secara terbuka. Ia adalah seorang bangsawan Quraisy yang dihormati, kaya, dan berasal dari keturunan ningrat. Kalaulah tidak terhalang oleh sikap ayahnya yang sangat keras menentang Islam, agaknya ia telah masuk Islam lebih awal, sebagaimana putra-putra Makkah yang berpandangan luas dan maju, seperti Saad bin Abi Waqqash dan Mush’ab bin Umair.

Ikrimah dikenal sebagai pemuda Quraisy yang gagah berani dan seorang penunggang kuda yang mahir. Ia memusuhi Rasulullah hanya karena didorong oleh sikap keras ayahnya yang sangat membenci beliau. Oleh sebab itu, Ikrimah turut memusuhi Rasulullah lebih keras lagi dan menganiaya para sahabat lebih kejam dan bengis, untuk menyenangkan hati ayahnya.

Sejak kematian ayahnya dalam Perang Badar, sikap dan pandangan Ikrimah terhadap kaum Muslimin berubah. Kalau dulu ia memusuhi kaum Muslimin lantaran untuk menyenangkan hati ayahnya, maka kini ia memusuhi Rasulullah dan para sahabatnya karena dendam atas kematian ayahnya. Dan dendam itu ia lampiaskan dalam Perang Uhud.

Ketika Perang Khandaq meletus, kaum musyrikin Quraisy mengepung kota Madinah selama berhari-hari. Ikrimah bin Abu Jahal tak sabar dengan pengepungan yang membosankan itu. Lalu ia nekad menyerbu benteng kaum Muslimin. Usahanya sia-sia, bahkan merugikannya hingga ia lari terbirit-birit di bawah hujan panah kaum Muslimin.

Ketika Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), kaum Quraisy memutuskan tidak akan menghalangi Rasulullah dan kaum Muslimin masuk kota Makkah. Tapi Ikrimah dan beberapa orang pengikutnya tak mengindahkan keputusan itu. Mereka menyerang pasukan besar kaum Muslimin. Namun serangan itu dapat dipatahkan oleh Panglima Khalid bin Walid. Ikrimah melarikan diri ke Yaman lantaran takut dihukum mati oleh Rasulullah.

Ummu Hakim, istri Ikrimah, menemui Rasulullah untuk meminta ampunan. Rasulullah memenuhi permohonan itu. Maka Ummu Hakim pun berangkat menyusul Ikrimah. Setelah bertemu dengan Ikrimah di tempat pengasingannya, Ummu Hakim membujuk suaminya agar mau kembali ke Makkah. Ummu Hakim juga mengabarkan bahwa Rasulullah telah mengampuni dan memaafkannya.

Ketika Ikrimah dan istrinya hampir tiba di kota Makkah, Rasulullah berkata kepada para sahabat, "Ikrimah bin Abu Jahal akan datang ke tengah-tengah kalian sebagai Mukmin dan Muhajir. Karena itu, janganlah kalian memaki ayahnya. Sebab memaki orang yang sudah meninggal berarti menyakiti orang yang hidup. Padahal makian itu tidak terdengar oleh orang yang sudah meninggal."

Ketika Ikrimah dan istrinya memasuki majelis Rasulullah, beliau menyambutnya dengan gembira. Ketika Rasulullah duduk kembali, Ikrimah duduk pula di hadapan beliau dan mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda keislamannya. Setelah itu, Ikrimah memohon kepada Rasulullah untuk mendoakannya agar Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahannya yang telah lalu. Rasulullah pun memenuhi permintaan Ikrimah itu.

Maka wajah Ikrimah pun berseri-seri. Kemudian ia berkata, "Demi Allah, ya Rasulullah. Tak satu sen pun dana yang telah saya keluarkan untuk memberantas agama Allah di masa lalu, melainkan mulai saat ini akan saya tebus dengan dengan mengorbankan hartaku berlipat ganda untuk menegakkan agama Allah. Dan tak seorang pun kaum Muslimin yang telah gugur di tanganku, melainkan akan kutebus dengan membunuh kaum musyrikin berlipat ganda, demi untuk menegakkan agama Allah."

Sejak itu, Ikrimah menggabungkan diri ke dalam barisan dakwah sebagai anggota pasukan berkuda yang cekatan dan gagah berani di medan perang. Disamping itu, Ikrimah juga menjadi seorang ahli ibadah dan pembaca Alquran yang tekun di masjid.

Ketika terjadi Perang Yarmuk, Ikrimah maju berperang seperti kesetanan. Melihat tindakan nekat itu, Khalid bin Walid, yang menjadi panglima pasukan segera mengejar, "Ikrimah, kamu jangan bodoh! Kembali! Kematianmu adalah kerugian besar bagi kaum Muslimin."

Namun Ikrimah tidak mempedulikan peringatan tersebut. "Biarkan saja, ya Khalid. Biarkan aku menebus dosa-dosaku yang telah lalu. Aku telah memerangi Rasulullah di beberapa medan peperangan. Pantaskah setelah masuk Islam, aku lari dari tentara Romawi ini? Tidak, sesekali tidak!" Kemudian dia berteriak, "Siapakah yang berani mati bersamaku?"

Beberapa orang segera melompat ke samping Ikrimah, kemudian menerjang ke depan, menghalau pasukan lawan yang terus maju. Akhirnya, walau korban berjatuhan, mereka berhasil memukul mundur pasukan Romawi dengan kemenangan yang gemilang.

Di akhir pertempuran, di bumi Yarmuk berjejer tiga mujahid Muslim yang terkapar dalam keadaan kritis. Mereka menderita luka yang sangat parah; Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan Ikrimah bin Abu Jahal.

Al-Harits meminta air minum. Ketika air didekatkan ke mulutnya, ia melihat Ikrimah dalam keadaan seperti yang ia alami. "Berikan dulu kepada Ikrimah," kata Al-Harits.

Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, ia melihat Ayyasy menengok kepadanya. "Berikan dulu kepada Ayyasy!" ujarnya.

Ketika air minum didekatkan ke mulut Ayyasy, dia telah meninggal. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan Ikrimah, namun keduanya pun telah meninggal pula.




Sumber

Muawiyah bin Abu Sufyan

Masa kekuasaan 661680
Dinobatkan 661
Dilantik 661
Nama lengkap Muawiyah bin Abu Sufyan
Pendahulu Ali
Pewaris Yazid I
Pengganti Yazid I
Anak Yazid I
Wangsa Bani Abdus Syams
Dinasti Bani Umayyah
Ayah Abu Sufyan
Ibu Hindun binti Utbah

Muawiyah bin Abu Sufyan (602680; umur 77–78 tahun; bahasa Arab: معاوية بن أبي سفيان) bergelar Muawiyah I adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah.
Muawiyah diakui oleh kalangan Sunni sebagai salah seorang Sahabat Nabi, walaupun keislamannya baru dilakukan setelah Mekkah ditaklukkan. Kalangan Syi'ah sampai saat ini tidak mengakui Muawiyah sebagai khalifah dan Sahabat Nabi, karena dianggap telah menyimpang setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Ia diakui sebagai khalifah sejak Hasan bin Ali, yang selama beberapa bulan menggantikan ayahnya sebagai khalifah, berbai'at padanya. Dia menjabat sebagai khalifah mulai tahun 661 (umur 58–59 tahun) sampai dengan 680.
Terjadinya Perang Shiffin makin memperkokoh posisi Muawiyah dan melemahkan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, walaupun secara militer ia dapat dikalahkan. Hal ini adalah karena keunggulan saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa Al Asy'ari (kubu Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash, Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan ulung.




Sumber

Abu Sufyan & Amru bin Ash

1. Abu Sufyan

Shakhr bin Harb (bahasa Arab: صخر بن حرب; atau lebih dikenal dengan panggilannya Abu Sufyan bin Harb (bahasa Arab: أبو سفيان بن حرب) adalah salah seorang pemimpin utama Bani Quraisy di Mekkah yang sangat menentang Muhammad, akan tetapi di kemudian hari memeluk agama Islam. Keturunan Abu Sufyan kemudian mendirikan dinasti Umayyah yang memerintah dunia Islam antara tahun 661–750.

Penentangan terhadap Islam

Abu Sufyan adalah kepala suku Bani Abdu Syams, salah satu dari cabang suku Quraisy. Ia adalah salah satu pemimpin utama Quraisy dan orang terpandang di Mekkah. Bagi Abu Sufyan, Muhammad dan kaum muslim dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan sosial Mekkah, dan seseorang yang bertujuan untuk kekuasaan politik serta berpaling dari dewa-dewa Quraisy.
Kekerasan yang terjadi membuat sekelompok muslim Mekkah hijrah ke Habsyah untuk memperoleh perlindungan, dan putrinya yang bernama Ramlah binti Abu Sufyan adalah termasuk salah seorang diantaranya.

Konflik militer

Setelah Muhammad hijrah Madinah pada tahun 622, kaum Quraisy menyita barang-barang yang kaum muslim yang tinggalkan. Dari Madinah, kaum muslim kemudian mulai menyerang kafilah-kafilah Quraisy yang berdagang dari Suriah ke Mekkah.
Pada tahun 624, Abu Sufyan memimpin sebuah kafilah. Sebuah pasukan muslim ketika itu berusaha untuk mencegatnya, namun ia berhasil meminta bantuan dari Quraisy di Mekkah. Ini adalah penyebab terjadinya Pertempuran Badar, yang kemudian berakhir dengan kemenangan kaum muslim. Di lain pihak, Abu Sufyan berhasil membawa kafilahnya pulang dengan selamat ke Mekkah. Kematian beberapa pemimpin Quraisy dalam pertempuran tersebut menyebabkan Abu Sufyan menjadi pemimpin utama Mekkah.
Abu Sufyan selanjutnya berperan sebagai pemimpin militer Mekkah dalam peperangan melawan Madinah, antara lain dalam Pertempuran Uhud tahun 625 dan Pertempuran Khandaq tahun 627, tetapi tidak berhasil mencapai kemenangan yang menentukan. Akhirnya kedua pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata dengan Perjanjian Hudaibiyyah tahun 628, yang memungkinkan umat Islam untuk melakukan ziarah ke Ka'bah.

Penaklukan Mekkah

Ketika gencatan senjata tersebut dilanggar oleh suku-suku sekutu Quraisy pada tahun 630, Muhammad kemudian menggerakkan pasukan Muslim untuk menaklukkan Mekkah. Abu Sufyan yang kini merasa bahwa Quraisy sudah tidak cukup kuat untuk dapat menghalangi kaum muslim, melakukan perjalanan ke Madinah dan berusaha untuk mengembalikan perjanjian tersebut. Tidak ada kesepakatan yang berhasil dicapai antara kedua belah pihak, dan Abu Sufyan kembali ke Mekkah dengan tangan kosong. Abu Sufyan masih beberapa kali lagi melakukan perjalanan antara Mekkah dan Madinah untuk mengupayakan terjadinya penyelesaian damai.[1] Ketika penaklukan Mekkah pada akhirnya terjadi, upaya-upaya tersebut membuahkan hasil tidak adanya peperangan atau pertumpahan darah di Mekkah.

Kehidupan selanjutnya

Setelah penaklukan Mekkah, Abu Sufyan menjadi salah seorang panglima perang kaum muslim dalam peperangan selanjutnya. Dalam Pengepungan Tha'if, ia kehilangan sebelah matanya. Abu Sufyan sedang bertugas di Najran ketika Muhammad meninggal pada tahun 632. Abu Sufyan juga berperang dalam Pertempuran Yarmuk tahun 636, dimana ia kehilangan mata keduanya.[2][3]
Abu Sufyan meninggal dunia tahun 650 di Madinah pada usia sembilan puluh tahun. Utsman bin Affan yang telah menjadi khalifah ketiga di 644 dan merupakan kerabat Abu Sufyan adalah yang memimpin doa bagi penguburannya.

Peninggalan

Di kemudian hari, Muawiyah putra Abu Sufyan berhasil mendirikan dinasti Umayyah, yaitu dinasti muslim pertama yang memerintah dunia Islam selama seabad, antara tahun 661-750. Muawiyah berperang melawan Ali bin Abi Thalib, sementara putranya Yazid bin Muawiyah terlibat peperangan yang akhirnya menyebabkan syahidnya Husain bin Ali. Kaum Syi'ah memandang Abu Sufyan sebagai seorang munafik yang memeluk Islam hanya setelah penaklukan Mekkah, dan penyusup di kalangan umat Islam.[4]

Referensi

  1. ^ John Glubb, The Life and Times of Muhammad, Lanham 1998, p. 304-310.
  2. ^ Ibn al-Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, p. 393.
  3. ^ http://www.sahaba.net/modules.php?name=News&file=article&sid=62
  4. ^ www.al-islam.org

Sumber

2. Amru bin Ash

Amru bin Ash bin Wa'il bin Hisyam (583-664) (Arab:عمرو بن العاص) atau lebih dikenal dengan nama Amru bin Ash adalah Sahabat Nabi Muhammad.

Biografi

Pada awalnya Beliau pernah mengambil bagian dalam peperangan menetang Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim. Ia masuk Islam bersama Khalid bin Walid. Enam bulan setelah masuk Islam, beliau bersama Rasulullah SAW menaklukan Mekkah dalam peristiwa Fathul Mekkah. Ia adalah panglima perang yang bijak dalam mengatur strategi perang.
Beliau adalah panglima perang yang menaklukan Baitul Maqdis dan Mesir dari cengkraman Romawi. Ia kemudian dilantik sebagai gubernur Mesir oleh Umar bin Khattab, tetapi kemudian dipecat oleh Khalifah Usman bin Affan. Selanjutnya Muawiyah bin Abu Sufyan melantik kembali beliau menjadi gubernur Mesir. Panglima Amru mengerahkan tentara yang al-Quran menjujung diujung tombak, ia menggunakan cara ini dalam pertempuran dengan Ali bin Abi Thalib agar Ali bin Abi Thalib menghentikan serangan.



Sumber

Ekspedisi Tabuk

Ekspedisi Tabuk (atau Perang Tabuk/Pertempuran Tabuk), adalah ekspedisi yang dilakukan umat Islam pimpinan Muhammad pada 630 M atau 9 H, ke Tabuk, yang sekarang terletak di wilayah Arab Saudi barat laut.

Latar Belakang

Pada September 629, pasukan Islam gagal mengalahkan pasukan Bizantium (Romawi Timur) dalam pertempuran Mu'tah. Banyak yang menganggap hal ini sebagai tanda melemahnya kekuatan umat Islam, dan memancing beberapa kabilah Arab menyerang umat Muslim di Madinah. Pada musim panas tahun 630, umat Muslim mendengar kabar bahwa Bizantium dan sekutu Ghassaniyah-nya telah menyiapkan pasukan besar untuk menginvasi Hijaz dengan kekuatan sekitar 40.000-100.000 orang.
Di lain pihak, Kaisar Bizantium Heraclius menganggap bahwa kekuasaan kaum Muslimin di Jazirah Arab berkembang dengan pesat, dan daerah Arab harus segera ditaklukkan sebelum orang-orang Muslim menjadi terlalu kuat dan dapat menimbulkan masalah bagi Bizantium.

Ekspedisi

Untuk melindungi umat Islam di Madinah, Muhammad memutuskan untuk melakukan aksi preventif, dan menyiapkan pasukan. Hal ini disulitkan dengan adanya kelaparan di tanah Arab dan kurangnya kas umat Muslimin. Namun, Muhammad berhasil mengumpulkan pasukan yang terdiri dari 30.000 orang, jumlah pasukan terbanyak yang pernah dimiliki umat Islam.
Setelah sampai di Tabuk, umat Islam tidak menemukan pasukan Bizantium ataupun sekutunya. Menurut sumber-sumber Muslim, mereka menarik diri ke utara setelah mendengar kedatangannya pasukan Muhammad. Namun tidak ada sumber non-Muslim yang mengkonfirmasi hal ini. Pasukan Muslim berada di Tabuk selama 10 hari. Ekspedisi ini dimanfaatkan Muhammad untuk mengunjungi kabilah-kabilah yang ada di sekitar Tabuk. Hasilnya, banyak kabilah Arab yang sejak itu tidak lagi mematuhi Kekaisaran Bizantium, dan berpihak kepada Muhammad dan umat Islam. Muhammad juga berhasil mengumpulkan pajak dari kabilah-kabilah tersebut.
Saat hendak pulang dari Tabuk, rombongan Muhammad didatangi oleh para pendeta Kristen di Lembah Sinai. Muhammad berdiskusi dengan mereka, dan terjadi perjanjian yang mirip dengan Piagam Madinah bagi kaum Yahudi. Piagam ini berisi perdamaian antara umat Islam dan umat Kristen di daerah tersebut.
Muhammad akhirnya kembali ke Madinah setelah 30 hari meninggalkannya. Umat Islam maupun Kekaisaran Bizantium tidak menderita korban dari peristiwa ini, karena pertempuran tidak pernah terjadi.




Sumber

Pengepungan Tha'if

Pengepungan Tha'if terjadi pada 630 M, saat kaum Muslimin pimpinan Muhammad mengasingkan dan mengepung kota Tha'if, yang dikuasai oleh suku Hawazin dan Tsaqif, yang dikalahkan dalam pertempuran Hunain. Penduduk Tha'if berhasil bertahan dari pengepungan ini, dan baru masuk Islam menyatakan kesetiaannya pada Muhammad setelah Ekspedisi Tabuk (630 M).[1] Salah seorang kepala suku Tha'if Urwah bin Mas'ud tidak ada pada saat pengepungan ini, dan nantinya ia-lah yang memimpin kaumnya masuk Islam.

Pertempuran

Sedikit sekali yang diketahui mengenai jalannya pengepungan ini. Namun, dalam pengepungan ini diketahui bahwa Abu Sufyan, yang bertempur di pihak muslim, kehilangan salah satu matanya. Ketika Muhammad bertanya kepadanya "Yang manakah yang engkau lebih inginkan, sebuah mata di surga, atau aku berdoa kepada Allah agar matamu dikembalikan sekarang?" Abu Sufyan menjawab ia lebih memilih sebuah mata di surga. Nantinya, ia kehilangan matanya yang lain pada Pertempuran Yarmuk (636 M).

Hasil

Sekalipun pengepungan ini berakhir dengan kegagalan, tak berapa lama setelah pengepungan ini para penduduk Tha'if (Bani Tsaqif) akhirnya masuk Islam, tepatnya setelah ekspedisi Tabuk.[1].



Sumber

Pertempuran Hunain

Tanggal 630 M (8 H)
Lokasi Hunain, dekat Tha'if di Jazirah Arab barat daya
Hasil Kemenangan Muslim
Pihak yang terlibat
Muslim,
Quraisy Mekkah
Badui dari suku Hawazin, Tsaqif, dan sekutunya[1]
Komandan
Muhammad,
Ali bin Abi Thalib
Malik bin Auf
Duraid bin Simma
Kekuatan
10,000 Muslim Madinah[2]
2,000 muallaf Mekkah
12,000[2]
Korban
12 tewas[rujukan?] 70 tewas
6.000 ditawan[1]

Pertempuran Hunain adalah pertempuran antara Muhammad dan pengikutnya melawan kaum Badui dari suku Hawazin dan Tsaqif pada tahun 630 M atau 8 H, di sebuah pada salah satu jalan dari Mekkah ke Thaif. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan telak bagi kaum Muslimin, yang juga berhasil memperoleh rampasan perang yang banyak. Pertempuran Hunain merupakan salah satu pertempuran yang disebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu surat At-Taubah 25-26.[3]

Latar belakang

Suku Hawazin dan para sekutunya dari suku Tsaqif mulai menyiapkan pasukan mereka ketika mengetahui bahwa Nabi Muhammad dan tentaranya berangkat dari Madinah menuju Mekah, yang ketika itu masih dikuasai kaum kafir Quraisy. Persekutuan kaum Badui dari suku Hawazin dan Tsaqif berniat akan menyerang pasukan Nabi Muhammad ketika sedang mengepung Mekkah. Namun, penaklukan Mekkah berjalan cepat dan damai. Nabi Muhammad pun mengetahui maksud suku Hawazin dan Tsaqif, dan memerintahkan pasukan beliau bergerak menuju Hawazin dengan kekuatan 12.000 orang, terdiri dari 10.000 Muslim yang turut serta dalam penaklukan Mekkah, ditanbah 2.000 orang Quraisy Mekkah yang baru masuk Islam.[3] Hal ini terjadi sekitar dua minggu setelah penaklukan Mekkah,[4] atau empat minggu setelah Nabi Muhammad meninggalkan Madinah.[5] Pasukan kaum Badui terdiri dari suku Hawazin, Tsaqif, bani Hilal, bani Nashr, dan bani Jasyam.[1]

Jalannya pertempuran

Saat pasukan muslim bergerak menuju daerah Hawazin, pemimpin kaum Badui Malik bin Auf al-Nasri menyergap mereka di lembah sempit yang bernama Hunain. Kaum Badui menyerang dari ketinggian, menggunakan batu dan panah, mengejutkan kaum Muslimin dan menyulitkan organisasi serangan kaum Muslimin. Pasukan Muslim mulai mundur dalam kekacauan, dan tampaknya akan menderita kekalahan. Pemimpin Quraisy Abu Sufyan yang ketika itu baru masuk Islam, mengejek dan berkata "Kaum Muslimin akan lari hingga ke pantai".
Pada saat kritis ini, sepupu Nabi Muhammad Ali bin Abi Thalib dibantu pamannya Abbas mengumpulkan kembali pasukan yang melarikan diri, dan organisasi kaum Muslimin mulai terbentuk kembali.[1] Hal ini juga dibantu dengan sempitnya medan pertempuran, yang menguntungkan kaum Muslimin sebagai pihak bertahan. Pada saat ini, seorang pembawa bendera dari kaum Badui menantang pertarungan satu-lawan-satu. Ali menerima tantangan ini dan berhasil mengalahkannya.[1] Nabi Muhammad lalu memerintahkan serangan umum, dan kaum Badui mulai melarikan diri dalam dua kelompok. Kelompok pertama nantinya akan kembali berperang melawan kaum Muslim dalam pertempuran Autas, dan sisanya mengungsi ke Thaif, dan nantinya akan dikepung oleh kaum Muslim.

Kelanjutan

Pasukan muslim berhasil menangkap keluarga dan harta benda dari suku Hawazin, yang dibawa oleh Malik bin Aus ke medan pertempuran. Rampasan perang ini termasuk 6.000 tawanan, 24.000 unta, 40.000 kambing, serta 4.000 waqih perak (1 waqih = 213 gram perak).[1]
Pertempuran ini mendemonstrasikan keahlian Ali bin Abi Thalib dalam mengorganisir pasukan dalam keadaan terjepit. Pertempuran ini juga menunjukkan kemurahan hati kaum Muslimin, yang memperlakukan tawanan dengan baik dan membebaskan 600 diantaranya secara cuma-cuma. Sisa tawanan ditahan dalam rumah-rumah khusus hingga berakhirnya Pengepungan Thaif.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g The battle of Hunayn 8 (A.H.)
  2. ^ a b Chapter 8: The Battle of Hunain - The Sword of Allah
  3. ^ a b Lammens, H. and Abd al-Hafez Kamal. "Hunayn". In P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam Online Edition. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912.
  4. ^ http://www.witness-pioneer.org/vil/Books/MG_FMS/CHAPTER7.html
  5. ^ http://www.alislam.org/library/books/muhammad_seal_of_the_prophets/chapter_13.html



Sumber

Setelah Pembebasan Mekkah

Periode ketika Muhammad di Madinah yang dimulai dengan Pembebasan Mekkah tahun 630 dan berakhir dengan meninggalnya Muhammad pada tahun 632.

Sejarah

Peristiwa merupakan terusan dari Muhammad di Madinah

630

Pembebasan Mekkah

Mekkah dibebaskan oleh pihak Muslim pada tahun 630. Pada tahun 628, Quraisy dan Muslim dari Madinah menandatangani Perjanjian Hudaybiyah. Meskipun hubungan yang lebih baik terjadi antara Mekkah dan Madinah setelah penandatanganan Perjanjian Hudaybiyah, 10 tahun gencatan senjata dirusak oleh Quraisy, dengan sekutunya Bani Bakr, menyerang Bani Khuza'ah yang merupakan sekutu Muslim. Abu Sufyan, kepala suku Quraisy di Mekkah, pergi ke Madinah untuk memperbaiki perjanjian yang telah dirusak itu, tetapi Muhammad menolak, Abu Sufyan pun pulang dengan tangan kosong. Dengan kekuatan 10.000 pasukan Muslim pergi ke Mekkah dimana pada akhirnya menyerah dengan damai. Muhammad bermurah hati kepada rakyat Mekah,dan memerintahkan penghancuran berhala di sekitar dan di dalam Ka'bah saja.

Perang Hunain

Perang Autas

Pengepungan Tha'if

631

Perang Tabuk

Ghassanids

Tsaqif masuk Islam

Terjadi pada tahun 631 atau 632.

632

Haji Wada'

Haji Wada' berarti haji terakhir, merupakan haji pertama dan terakhir kalinya untuk Muhammad. Peristiwa ini diikuti oleh lebih dari 100.000 muslim saat itu, dimana Muhammad bergerak dari Madinah melewati jalan yang disebut Jalur Para Nabi menuju ke Mekkah untuk menjalankan ritual haji.

16 Maret — Ghadir Khum

Khum adalah suatu lembah sungai kering di antara Mekkah dan Madinah, riwayat menyebutkan bahwa pada tanggal 18 Djulhijjah atau 16 Maret, setelah Haji Wada', Nabi mengumpulkan seluruh umat muslim di tempat ini untuk menerima wahyu dari Allah yang terakhir, sekaligus menurut kalangan Syi'ah, pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pengganti Nabi.

Kamis, 4 Juni — Wasiat Muhammad

Kesehatan Muhammad menurun drastis, puncaknya pada hari Kamis. Muhammad memanggil para sahabatnya dan mengumumkan bahwa ia ingin menulis wasiat, ia meminta alat-alat tulis untuk menulis pernyataan yang akan "menghindarkan Bangsa Muslim dari kesesatan sampai akhir zaman". Orang pertama yang menjawab adalah Umar, berkata bahwa tidak diperlukan lagi wasiat, dan menyatakan bahwa Muhammad sakit dan ummat telah memiliki al-Qur'an yang cukup untuk mereka.

Sabtu, 6 Juni — Ekspedisi Usamah bin Zaid

Sebelumnya Muhammad mengirim ekspedisi melawan Kekaisaran Byzantium (Roma) yang menghasilkan apa yang kita ketahui dalam Perang Mu'tah. Pemimpin ekspedisi tersebut adalah Zaid bin Haritsah, sebelumnya anak angkat Nabi. Zaid syahid dalam ekspedisi tersebut.
Hari Sabtu sebelum meningalnya, Muhammad memerintahkan kepada Umar, Abu Bakar, Utsman dan lainnya ikut dalam pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid, anak dari Zaid bin Haritsah, untuk menghadapi pasukan Byzantium di Syria.
Ali dan mereka yang berasal dari Bani Hasyim diperintahkan untuk tetap di Madinah. Umar memprotes keputusan ini, menyebabkan Muhammad melarang mereka untuk meninggalkan pasukan Usamah. Mereka pergi, tetapi berdiam di luar Madinah dan kembali esok harinya.

Senin, 8 Juni — meninggal

Muhammad meninggal pada hari Senin, tanggal 8 Juni 632

Peristiwa berikut

Peristiwa ini kemudian dilanjutkan dengan Suksesi Muhammad.




Sumber

PEMBEBASAN MEKAH 2

Tetapi  Muhammad,  tetapi  Nabi,  tetapi  Rasulullah, bukanlah
manusia yang mengenal permusuhan, atau yang akan membangkitkan
permusuhan  di kalangan umat manusia! Dia bukan seorang tiran,
bukan mau menunjukkan sebagai orang yang berkuasa. Tuhan telah
memberi keringanan kepadanya dalam menghadapi musuh, dan dalam
kemampuannya itu ia memberi pengampunan.  Dengan  itu,  kepada
seluruh  dunia  dan  semua  generasi  ia telah memberi teladan
tentang  kebaikan  dan  keteguhan  menepati   janji,   tentang
kebebasan jiwa yang belum pernah dicapai oleh siapa pun!

Apabila   Muhammad   kemudian   memasuki   Ka'bah,  dilihatnya
dinding-dinding   Ka'bah   sudah    penuh    dilukis    dengan
gambar-gambar  malaikat dan para nabi. Dilihatnya lbrahim yang
dilukiskan   sedang   memegang   azlam6   yang   diperundikan,
dilihatnya sebuah patung burung dara dari kayu. Dihancurkannya
patung itu dengan  tangannya  sendiri  dan  dicampakkannya  ke
tanah.  Ketika  melihat  gambar  Ibrahim  agak  lama  Muhammad
memandangnya, lalu katanya: Mudah-mudahan  Tuhan  membinasakan
mereka!  Orang tua kita digambarkan mengundi dengan azlam! Apa
hubungannya Ibrahim dengan azlam'? Ibrahim bukan orang Yahudi,
juga bukan orang Nasrani. Tetapi ia adalah seorang hanif (yang
murni imannya), yang menyerahkan diri kepada Allah  dan  bukan
termasuk   orang-orang   yang  mempersekutukan  Tuhan.  Sedang
malaikat-malaikat  yang   dilukiskan   sebagai   wanita-wanita
cantik,  gambar-gambar itu oleh Muhammad disangkal samasekali,
sebab  malaikat-malaikat  itu  bukan   laki-laki   dan   bukan
perempuan.  Lalu  diperintahkannya  supaya  gambar-gambar  itu
dihancurkan. Berhala-berhala sekeliling Ka'bah  yang  disembah
oleh  Quraisy  selain  Allah, telah dilekatkan dengan timah di
sekeliling Ka'bah. Demikian juga  berhala  Hubal  yang  berada
didalamnya.  Dengan tongkat di tangan Muhammad menunjuk kepada
berhala-berhala itu semua seraya berkata:

"Dan katakanlah : yang benar itu sudah datang, dan yang  palsu
segera  menghilang;  sebab  kepalsuan  itu pasti akan lenyap."
(Qur'an, 17: 81)
 
Berhala-berhala itu kemudian disungkurkan dan dengan  demikian
Rumah   Suci   itu   dapat   dibersihkan.  Pada  hari  pertama
dibebaskannya mereka itu, Muhammad telah  dapat  menyelesaikan
apa  yang  dianjurkannya  sejak  duapuluh  tahun itu, dan yang
telah ditentang oleh Mekah dengan mati-matian.  Dihancurkannya
berhala-berhala  dan  dihapuskannya paganisma dalam Rumah Suci
itu  disaksikan   oleh   Quraisy   sendiri.   Mereka   melihat
berhala-berhala   yang   mereka   sembah   dan  disembah  oleh
nenek-moyang  mereka  itu  samasekali  tidak   dapat   memberi
kebaikan atau bahaya buat mereka sendiri.

Pihak  Anshar  dari  Medinah  telah menyaksikan semua kejadian
itu. Mereka melihat Muhammad yang berdoa di atas gunung Shafa.
Terbayang   oleh   mereka   sekarang   bahwa   ia  pasti  akan
meninggalkan Medinah dan kembali  ke  tempat  tumpah  darahnya
semula  yang  kini  telah dibukakan Tuhan. Mereka berkata satu
sama lain: "Menurut pendapat kamu,  adakah  Rasulullah  s.a.w.
akan  menetap di negerinya sendiri?" Mungkin kekuatiran mereka
itu beralasan sekali. Ini adalah Rasulullah, dan di Mekah  ini
Rumah Suci Baitullah dan di Mekah ini pula Mesjid Suci.
 
Tetapi setelah selesai berdoa Muhammad bertanya kepada mereka:
Apa  yang  mereka  katakan  itu.  Setelah  diketahuinya   akan
kekuatiran  mereka  yang  mereka  sampaikan  dengan  agak maju
mundur itu, ia  berkata:  "Berlindunglah  kita  kepada  Allah!
Hidup  dan  matiku  akan  bersama  kamu."  Dengan itu ia telah
memberikan teladan kepada orang tentang keteguhannya  memegang
janji    pada    Ikrar   'Aqaba   serta   kesetiannya   kepada
sahabat-sahabatnya  yang  seiring   sepenanggungan   di   kala
menderita,  teladan  yang  takkan  dapat  dilupakan, baik oleh
tanah air, oleh penduduk atau pun  oleh  Mekah  sebagai  Tanah
Suci.
 
                              ***
 
Setelah  berhala-berhala  itu  dibersihkan  dari  Ka'bah, Nabi
menyuruh Bilal menyerukan azan dari atas Ka'bah.  Sesudah  itu
orang  melakukan sembahyang bersama dan Muhammad sebagai imam.
Sejak  saat  itu,  sampai  masa  kita  sekarang  ini,   selama
empatbelas    abad,    tiada   pernah   terputus   Bilal   dan
pengganti-pengganti Bilal terus  menyerukan  azan,  lima  kali
setiap  hari,  dari  atas mesjid Mekah. Sejak saat itu, selama
empatbelas abad  sudah,  kaum  Muslimin  menunaikan  kewajiban
salat   kepada   Allah   dan   selawat  kepada  Rasul,  dengan
menghadapkan wajah, kalbu dan  seluruh  pikiran  kepada  Allah
semata,  dengan  menghadap  Rumah  Suci  ini,  yang  pada hari
pembebasannya  itu  oleh  Muhammad  telah   dibersihkan   dari
patung-patung dan berhala-berhala.
 
Atas  apa  yang  telah  terjadi  itu baru sekarang Quraisy mau
menerima, dan mereka pun sudah  yakin  pula  akan  pengampunan
yang  telah  diberikan  Muhammad kepada mereka. Mereka melihat
Muhammad dan Muslimin yang ada di sekitarnya  sekarang  dengan
mata  penuh takjub bercampur cemas dan hati-hati sekali. Namun
sungguhpun  begitu  ada  sekelompok   manusia   terdiri   dari
tujuhbelas   orang,  oleh  Muhammad  telah  dikecualikan  dari
pengampunannya itu. Sejak ia memasuki Mekah, sudah dikeluarkan
perintah  supaya  mereka  itu,  golongan laki-lakinya dibunuh,
meskipun mereka sudah berlindung  ke  tirai  Ka'bah.  Diantara
mereka  itu ada yang bersembunyi dan ada pula yang sudah lari.
Keputusan Muhammad supaya mereka dibunuh bukan  didorong  oleh
rasa  dengki atau karena marah kepada mereka, melainkan karena
kejahatan-kejahatan besar yang mereka lakukan. Ia tidak pernah
mengenal rasa dengki. Diantara mereka itu terdapat Abdullah b.
Abi's-Sarh, orang yang dulu sudah masuk Islam  dan  menuliskan
wahyu,  kemudian  berbalik  murtad  menjadi  musyrik  di pihak
Quraisy dengan menggembor-gemborkan bahwa dia telah memalsukan
wahyu  itu  waktu  ia  menuliskannya. Juga Abdullah b. Khatal,
yang dulu sudah masuk Islam kemudian sesudah ia membunuh salah
seorang  bekas  budak ia berbalik menjadi musyrik dan menyuruh
kedua  budaknya  yang  perempuan  -  Fartana  dan  temannya  -
menyanyi-nyanyi  mengejek  Muhammad.  Dia  dan kedua orang itu
juga dijatuhi hukuman mati. Di samping  itu  'Ikrimah  b.  Abi
Jahl,  orang  yang  paling  keras  memusuhi  Muhammad dan kaum
Muslimin dan sampai waktu Khalid bin'l-Walid  datang  memasuki
Mekah  dari  jurusan  bawah  itu  pun  tiada henti-hentinya ia
mengadakan permusuhan.
 
Sesudah  memasuki  Mekah  pun  Muhammad   sudah   mengeluarkan
perintah  jangan  sampai  ada pertumpahan darah dan jangan ada
seorang pun yang dibunuh,  kecuali  kelompok  itu  saja.  Oleh
karena  itu, mereka suami isteri lalu menyembunyikan diri, ada
pula yang  lari.  Tetapi  setelah  keadaan  kembali  aman  dan
tenteram,  dan  orang melihat betapa Rasulullah berlapang dada
dan memberikan pengampunan yang begitu  besar  kepada  mereka,
ada beberapa orang sahabat yang minta supaya mereka yang sudah
dijatuhi hukuman mati itu juga diberi pengampunan.  Usman  bin
'Affan   -  yang  masih  saudara  susuan  dengan  Abdullah  b.
Abi's-Sarh -  juga  datang  kepada  Nabi,  memintakan  jaminan
pengampunan.  Seketika  lamanya  Nabi  diam. Kemudian katanya:
"Ya" Dan dia pun diampuni. Sedang Umm Hakim (bint'l-Harith  b.
Hisyam)   telah   pula   memintakan  kepada  Muhammad  jaminan
pengampuhan buat suaminya, 'Ikrima b. Abi Jahl yang telah lari
ke  Yaman.  Dia  ini  pun  diampuni. Wanita itu kemudian pergi
menyusul  suaminya  dan  dibawanya  kembali  menghadap   Nabi.
Demikian  juga  Muhammad  telah  memaafkan  Shafwan b. Umayya,
orang yang telah menemani 'Ikrima lari ke jurusan laut  dengan
tujuan hendak ke Yaman. Kedua orang itu dibawa kembali tatkala
perahu yang hendak membawa mereka sudah siap  akan  berangkat.
Juga  Hindun,  isteri  Abu  Sufyan,  yang telah mengunyah hati
Hamzah - paman Rasul sesudah gugur dalam perang Uhud  -  telah
dimaafkan,  disamping  orang-orang  lain  yang  tadinya  sudah
dihukum mati, semuanya dimaafkan. Yang  dibunuh  hanya  empat,
yaitu  Huwairith  yang  telah  menggangu  Zainab  puteri  Nabi
sepulangnya dari Mekah ke Medinah, serta dua orang yang  sudah
masuk   Islam   lalu  melakukan  kejahatan  dengan  mengadakan
pembunuhan di Medinah dan kemudian  melarikan  diri  ke  Mekah
berbalik  meninggalkan  agamanya menjadi musyrik dan dua orang
budak perempuan Ibn Khatal, yang selalu mengganggu Nabi dengan
nyanyian-nyanyiannya.  Yang  seorang dari mereka ini lari, dan
yang seorang lagi diberi pengampunan.

Keesokan harinya setelah hari  pembebasan  itu  ada  seseorang
dari  pihak  Hudhail  yang masih musyrik oleh Khuza'a dibunuh.
Nabi marah sekali karena perbuatan itu, dan  dalam  khotbahnya
di hadapan orang banyak ia berkata:
 
"Wahai  manusia  sekalian!  Allah  telah  menjadikan Mekah ini
tanah suci sejak Ia menciptakan langit dan bumi. Ia suci sejak
pertama,  kedua  dan  ketiga,  sampai hari kiamat. Oleh karena
itu, orang yang beriman kepada Allah dan kepada Hari  Kemudian
tidak  dibenarkan  mengadakan  pertumpahan darah atau menebang
pohon di tempat ini. Tidak dibenarkan kepada siapa pun sebelum
aku,  dan  tidak  dibenarkan kepada siapa pun sesudah aku ini.
Juga aku pun tidak dibenarkan marah kepada penghuni daerah ini
hanya  untuk  saat  ini  saja,  kemudian  ia kembali dihormati
seperti  sebelum  itu.   Hendaklah   kamu   yang   hadir   ini
memberitahukan  kepada  yang tidak hadir. Kalau ada orang yang
mengatakan kepadamu bahwa Rasulullah telah berperang di tempat
ini,  katakanlah  bahwa Allah telah membolehkan hal itu kepada
RasulNya, tapi tidak kepada kamu sekalian,  wahai  orang-orang
Khuza'a!  Lepaskanlah tangan kamu dari pembunuhan, sebab sudah
terlalu banyak; itu pun kalau ada gunanya.  Kalau  kamu  sudah
membunuh   orang,   tentu   aku  juga  yang  akan  menebusnya.
Barangsiapa  ada  yang  dibunuh  sesudah  ucapanku  ini;  maka
keluarganya  dapat  memilih  satu  dari  dua pertimbangan ini:
kalau mereka  mau,  dapat  menuntut  darah  pembunuhnya;  atau
dengan jalan diat."
 
Sesudah itu kemudian ia mendiat (memampas) keluarga orang yang
dibunuh oleh Khuza'a itu. Dengan khotbah  itu  serta  sikapnya
yang  begitu  lapang  dada  dan  suka memaafkan, hati penduduk
telah begitu tertarik kepada Muhammad  yang  tadinya  di  luar
dugaan  mereka. Dengan demikian pula orang telah beramai-ramai
masuk Islam.
 
"Barangsiapa beriman kepada Allah  dan  Hari  Kemudian  setiap
berhala   dalam   rumahnya  hendaknya  dihancurkan,"  demikian
kemudian suara orang menyerukan.
 
Kemudian  dikirimnya  serombongan  orang  dari  Khuza'a  untuk
memperbaiki tiang-tiang sekitar Tanah Suci itu, suatu hal yang
menunjukkan betapa besar penduduk Mekah itu menghormati tempat
ini,  dan  yang  menambah  pula  kecintaan  mereka  kepadanya.
Setelah diberitahukan  bahwa  mereka  adalah  masyarakat  yang
patut  dicintai  dan  bahwa  ia  tidak  akan  membiarkan  atau
meninggalkan  mereka,   kalau   tidak   karena   mereka   yang
mengusirnya, kecintaan mereka terasa makin besar kepadanya.
 
Ketika  itu Abu Bakr datang membawa ayahnya - yang dulu pernah
mendaki gunung Abu Qubais  waktu  ada  pasukan  berkuda  -  ke
hadapan Nabi. Melihat orang itu Muhammad berkata:
 
"Kenapa  orang  tua ini tidak tinggal saja di rumah; biar saya
yang datang kesana."
 
"Rasulullah," kata Abu Bakr, "sudah pada  tempatnya  dia  yang
datang kepadamu daripada engkau yang mendatanginya."
 
Orang  tua itu oleh Nabi dipersilakan duduk dan dielus-elusnya
dadanya; kemudian katanya:
 
"Sudilah menerima Islam."
 
Kemudian ia pun menyatakan diri masuk Islam dan menjadi  orang
Islam  yang baik. Akhlak Nabi yang tinggi dan cemerlang inilah
yang banyak menawan  hati  bangsa  itu.  Bangsa  yang  tadinya
begitu   keras   melawan   Muhammad,  sekarang  mereka  sangat
mencintai dan menghormatinya. Kini  orang-orang  Quraisy  itu,
laki-laki  dan  perempuan, sudah menerima Islam dan sudah pula
memberikan ikrarnya.
 
Limabelas hari Muhammad tinggal  di  Mekah.  Selama  itu  pula
keadaan  Mekah  dibangunnya  dan  penduduk diajarnya mendalami
hukum agama. Dan selama itu pula regu-regu  dakwah  dikirimkan
untuk  mengajarkan  Islam,  bukan  untuk  berperang, dan untuk
menghancurkan berhala-berhala tanpa pertumpahan darah.  Khalid
bin'l-Walid   waktu   itu  sudah  berangkat  ke  Nakhla  untuk
menghancurkan 'Uzza - berhala  Banu  Syaiban.  Tetapi  setelah
berhala  itu  dihancurkan dan Khalid berada di Jadhima, begitu
mereka melihatnya, mereka pun segera mengangkat senjata.  Oleh
Khalid  mereka  diminta supaya meletakkan senjata, orang semua
sudah masuk Islam. Salah seorang  dari  Banu  Jadhima  berkata
kepada  golongannya:  "Hai  Banu  Jadhima!  Celaka  kamu!  Itu
Khalid. Sesudah perletakan  senjata  tentu  kita  ditawan  dan
sesudah penawanan potong leher."
 
Tetapi golongannya itu menjawab:
 
"Maksudmu  kita akan menumpahkan darah kita? Orang semua sudah
masuk Islam, perang sudah tidak ada, orang sudah aman."
 
Sesudah itu terjadi perletakan senjata. Ketika  itulah  dengan
perintah Khalid mereka dibelenggu, kemudian dibawai pedang dan
sebagian mereka ada yang dibunuh.
 
Apabila kemudian berita itu sampai kepada Nabi  ia  mengangkat
tangan ke langit seraya berdoa:
 
"Allahumma  ya  Allah! Aku bermohon kepadaMu lepas tangan dari
apa yang telah diperbuat oleh Khalid bin'l-Walid itu."
 
Sesudah itu Ali b. Abi Talib yang diutus dengan pesan:
 
"Pergilah kepada mereka dan lihat  bagaimana  keadaan  mereka.
Cara-cara jahiliah harus kauletakkan di bawah telapak kakimu."
 
Ali  segera  berangkat  dengan  membawa  harta  yang oleh Nabi
diserahkan kepadanya.  Sesampainya  di  tempat  itu  diat  dan
pampasan  sebagai  tebusan  darah  dan  harta-benda yang telah
dirusak, diserahkan  kepada  mereka,  sehingga  semua  tebusan
darah  dan  pampasan  harta-benda  itu  selesai  dilaksanakan.
Sedang uang selebihnya yang  diserahkan  Rasulullah  kepadanya
itu, semua diserahkan juga kepada mereka, untuk menjaga maksud
Rasulullah, kalau-kalau ada yang belum diketahuinya.
 
Dalam waktu dua minggu selama Muhammad tinggal di Mekah  semua
jejak  paganisma  sudah dapat dibersihkan. Jabatan dalam Rumah
Suci yang sudah pindah kepada  Islam  sampai  pada  waktu  itu
ialah kunci Ka'bah, yang oleh Nabi diserahkan kepada Uthman b.
Talha dan sesudah dia kepada anak-anaknya,  yang  tidak  boleh
berpindah  tangan,  dan  barangsiapa  mengambilnya  orang  itu
aniaya adanya. Sedang pengurusan Air Zamzam pada musim haji di
tangan pamannya Abbas.
 
Dengan  demikian seluruh Mekah sudah beriman, panji dan menara
tauhid sudah menjulang tinggi dan  selama  berabad-abad  dunia
sudah pula disinari cahayanya yang berkilauan.
 
Catatan kaki:
 
 1 Sejauh empat farsakh dan Mekah.
   
 2 Beberapa penulis sejarah Nabi berpendapat, bahwa
   Abbas menemui pasukan itu di Rabiqh. Yang lain
   mengatakan, bahwa ia pergi ke Medinah sebelum ada
   keputusan membebaskan Mekah. kemudian ia berangkat
   bersama-sama pasukan pembebas itu. Tetapi banyak orang
   membantah sumber ini dan diduga itu dibuat untuk
   menyenangkan hati dinasti Abbasiya, yang penulisannya
   pertama dilakukan pada masa mereka. Alasan ini mereka
   perkuat bahwa Abbas - yang membela saudara sepupunya
   selama di Mekah itu - tidak juga menganut agamanya,
   sebab Abbas adalah seorang pedagang dan juga
   menjalankan riba, dikuatirkan Islam akan mengganggu
   perdagangannya. Ditambah lagi, bahwa dialah orang
   pertama yang akan dijumpai oleh Abu Sufyan untuk diajak
   bicara mengenai perpanjangan perjanjian Hudaibiya,
   mengingat ia belum seberapa lama meninggalkan Mekah.
   
 3 Sebangsa keledai, turunan kuda dengan keledai. Di
   sini baghla, bagal betina (A).
   
 4 Lihat halaman 326.
   
 5 Asalnya: mihjan sebatang tongkat yang hulunya
   berkeluk.
   
 6 Al-azlam (jamak zalam dan zulam) yaitu qid-h (atau
   anak panah tanpa kepala dan bulu) suatu kebiasaan yang
   berlaku pada zaman jahiliah. Pada anak panah itu
   tertulis kata perintah dan larangan: "kerjakan!" dan
   "Jangan dikerjakan!" Benda itu dimasukkan orang ke
   dalam sebuah tabung. Apabila orang hendak melakukan
   perjalanan, perkawinan atau sesuatu yang penting
   lainnya, ia memasukkan tangannya kedalam tabung itu
   setelah diperkenankan dan dikocok, dan sebuah zalam
   dicabutnya. Kalau yang keluar berisi "perintah" ia
   boleh terus melaksanakan; kalau yang keluar berisi
   "larangan" ia harus membatalkan maksudnya. Mengundi
   dengan anak panah ini ialah guna mengetahui baik
   buruknya nasib seseorang.



Sumber

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.