Kebudayaan
C.W. Previte-Orton menulis dalam Cambridge Medieval History, menulis [25]
“ |
"Peradaban Saracen yang brilian di Spanyol Islam membuat orang-orang Moor, bahkan dalam masa terpuruknya negara-negara Taifa, sebagai orang-orang paling beradab di Barat." |
” |
Banyak suku, agama, dan ras hidup bersama-sama di Al-Andalus, dan
masing-masing menyumbang terhadap kemajuan intelektual di Andalus.
Buku-buku jauh lebih tersebar luas di Al-Andalus dibanding di negara
lainnya di Barat.[26] Sejarah intelektual Al-Andalus terlihat dari hasilnya berupa banyaknya ilmuwan Islam dan Yahudi.
Kemajuan intelektual Al-Andalus bermula dari perseturuan intelektual antara Bani Umayyah yang menguasai Al-Andalus, dengan Bani Abbasiyah yang berkuasa di Timur Tengah. Penguasa Umayyah berusaha memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota Al-Andalus seperti Kordoba, untuk mengalahkan ibukota Abbasiyah Baghdad.
Walaupun Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah saling bersaing, kedua
kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan antara kedua kekhalifahan ini
dengan bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran ide serta inovasi
dari waktu ke waktu.
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan, dan salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500.000 naskah.[27][28] Sebagai perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropa Kristen saat itu memiliki tak lebih dari 400 naskah, bahkan pada abad ke-14 Universitas Paris baru memiliki sekitar 2.000 buku.[27]
Perpustakaan, penyalin, penjual buku, pembuat kertas, dan
sekolah-sekolah di seluruh Al-Andalus menerbitkan sebanyak 60.000 buku
tiap tahunnya, termasuk risalah, puisi, polemik dan antologi.[27] Sebagai perbandingan, Spanyol modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya, menurut UNESCO.[29]
Filosofi
Filosofi Islam Andalus
Sejarawan Said Al-Andalusi menulis bahwa Khalifah Abdurrahman III (912-961) mengumpulkan sejumlah besar buku dan memberikan perlindungan bagi para ilmuwan yang mempelajari kedokteran dan "ilmu-ilmu kuno". Penggantinya Khalifah Al-Hakam II (Al-Mustansir), membangun sebuah universitas dan sejumlah perpustakaan di Kordoba. Kordoba menjadi salah satu pusat pembelajaran kedokteran dan filosofi terkemuka di dunia.
Namun ketika anak Al-Hakam II Hisyam II naik takhta (976), kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Al-Mansur bin Abi Amir.[30]
Ia merupakan tokoh agama yang tidak menyukai ilmu pengetahuan, sehingga
banyak buku yang dikumpulkan dengan susah payah oleh Al-Hakam II
dibakar di depan umum. Setelah kematian Al-Mansur pada 1002, filosofi di Al-Andalus bangkit kembali. Sejumlah cendikiawan terkenal bermunculan, termasuk Maslamah Al-Majriti (?-1008), seorang petualang berani yang menjelajahi daerah-daerah Islam dan daerah lain, dan tergabung dalam organisasi Ikhwan As-Shafa. Al-Majriti membantu penerjemahan karya Ptolemeus Almagest, membuat dan memperbaiki berbagai tabel astronomi, dan mempelopori geodesi serta triangulasi.[31]
Murid Al-Majriti yang terkenal adalah Abu Hakam Al-Kirmani,[32] yang kemudian menjadi guru bagi filsuf dan dokter terkemuka Ibnu Bajjah (Avempace), yang melahirkan magnum opus berjudul Tadbir al-Mutawahhid.
Tokoh utama lainnya adalah Ibnu Thufail, penduduk asli Wadi 'Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut pada tahun 1185. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hayy bin Yaqzhan.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Qurthubah. Ia lahir pada tahun 1126 dan meninggal tahun 1198. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayatul Mujtahid.
Ibnu Rusyd: filsuf, dokter, dan ilmuwan Muslim terkemuka dari Al-Andalus.
Filosofi dan kebudayaan Yahudi
Dengan adanya toleransi terhadap Yahudi di Al-Andalus, dan mundurnya pusat kebudayaan Yahudi di Babilonia, Al-Andalus menjadi pusat pemikiran-pemikiran intelektual Yahudi. Penulis-penulis seperti Judah Halevi (1086-1145) dan Dunash ben Labrat (920-990)
memiliki sumbangan terhadap kehidupan Al-Andalus, dan lebih penting
lagi memberikan sumbangan bagi perkembangan filosofi Yahudi. Puncak dari
filsafat Yahudi adalah pemikir Yahudi asal Al-Andalus Maimonides (1135-1205), yang menerbitkan karya-karyanya di Maroko dan Mesir, karena menghindari dinasti Muwahidun yang berkuasa dengan keras di Al-Andalus. Ia mengarang buku Panduan bagi yang Bingung, dan memperbaharui hukum Yahudi, sehingga dijuluki "Musa baru" (nama depan Maimonides sendiri adalah Moses/Musa).[14]
Maimonides, filsuf dan dokter Yahudi terkenal dari Al-Andalus
Kedokteran
Dokter dan tabib dari Al-Andalus memiliki sumbangan yang penting bagi bidang kedokteran, termasuk anatomi dan fisiologi. Di antaranya adalah Abul Qasim Az-Zahrawi (Abulcasis), "bapak ilmu bedah modern",[33] yang menuliskan Kitab at-Tashrif, buku penting dalam kedokteran dan ilmu bedah. At-Tashrif merupakan ensiklopedia yang terdiri dari 30 volume, yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa Latin dan digunakan dalam sekolah kedokteran di kebudayaan Eropa maupun Islam selama berabad-abad.
Lukisan dari peralatan kedokteran pada masa Al-Andalus.
(Bersambung)