“Panglima Polem itu bukan satu orang, seperti yang dipikirkan masyarakat selama ini. Panglima Polem I dan Panglima Polem III berjuang melawan Portugis. Sedangkan Panglima Polem IV sampai Panglima Polem X berjuang melawan Belanda...”
“SAYA sudah
tiga tahun menemani Panglima,” ungkap lelaki tua itu. “Itu saya lakukan
atas kerelaan dan keikhlasan hati saya. Tidak ada bayaran sedikit pun
yang saya terima dan saya tidak mengharapkan apa-apa,” lanjutnya.
Namanya
Teungku Abdullah. Rambutnya sudah memutih. Dari kaki sampai wajahnya
dipenuhi keriput. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemas pada sebidang kayu
yang jadi sekat tempat penyimpanan padi. Abdullah adalah penjaga arel
permakaman Panglima Polem.
“Meunoe
keuh meunyoe ka tuha, meusapeu hanjeut ta peubeut le (beginilah kalau
sudah tua, tidak bisa kerja apa-apa lagi),”sambung Abdullah dengan suara
parau. Ia mengenakan baju putih tua lengan panjang yang dilipat sebatas
siku dan celana abu-abu.
“Ka
lhee beuluen Abu saket, hana geujak sahoe (sudah tiga bulan Abu sakit,
beliau tidak ke mana-mana),” ujar Yusuf, sang cucu yang mendampinginya.
Usia
Abdullah 90 tahun. Suaranya pelan dan parau, sehingga beberapa kali apa
yang diucapkannya kurang jelas terdengar. Untuk berbicara dengannya pun
harus dengan nada tinggi, karena pendengarannya juga mulai terganggu.
“Hana
pah le londeungoe, beurayek bacut gata peugah hai neuk (pendengaran
saya sudah tidak pas lagi, yang besar sedikit ngomongnya nak),” kata
Abdullah.
Abdullah
tinggal di rumah sederhana. Atap rumbia, lantai bambu. Dinding rumah
terbuat dari anyaman pelepah rumbia. Rumah itu hanya terbagi dua bagian.
Satu untuk dapur, satunya lagi untuk kamar tidur. Rumah Abdullah tak
jauh dari areal pemakaman Panglima Polem.
SUARA jangkrik
hutan terdengar nyaring di areal permakaman. Letaknya di desa Lam Sie,
kecamatan Seulimum, Aceh Besar. Bukit-bukit kecil, pegunungan, dan
hamparan sawah yang membentang luas dengan padi mulai menguning
mengitari permakaman seluas setengah hektare ini.
Sebuah
balai merah muda terlihat dipenuhi dedaun gugur. Dekat pintu masuk
salah satu makam terdapat sumur dengan kedalaman sekitar 20 meter.
Ilalang dan semak tumbuh di sekeliling makam, mulai dari pintu masuk,
sampai ke dalam. Ini membuat tempat itu terkesan tak terawat.
Nisan-nisan tua kebanyakan tak bernama.
Di
depan permakaman terdapat dua pengumuman. Di beton bercat putih yang
mulai mengelupas itu tertulis “Komplek Pemakaman T. Panglima Polem”,
sedangkan di lempeng besi yang dipenuhi karat tertera peringatan:
“Dilarang menjarah atau merusak peninggalan sejarah purba kala.”
Seingat
Abdullah, makam Panglima Polem sudah ada sejak puluhan tahun lalu.
Sekitar tahun 1800-an. Awalnya makam itu dibangun secara sederhana,
layaknya permakaman lainnya. Beberapa tahun lalu pihak keluarga mulai
melakukan pembangunan kembali makam tersebut. Namun Abdullah tidak
mengetahui pasti siapa yang menjaga makam itu sebelum dia.
Ketika
sedang asyik bercerita, tiba-tiba Abdullah mencoba bangkit dan berdiri,
meskipun kakinya sudah tidak bisa digerakkan lagi.
“Hoe keu neuk jak Abu? (mau kemana Abu),” tanya Yusuf pada kakeknya.
“Lon grah, keu neuk cok ie (saya haus, mau ambil air),” ujar Abdullah.
“Neu duek hinan mantoeng, bah lon nyang cok. (duduk di situ saja, biar saya yang ambil),” sahut Yusuf.
Baru
saja Yusuf mau bergerak dari tempat duduknya, Sakdiyah keluar dari
ruangan sebelah sambil membawa segelas air putih untuk Abdullah. Rupanya
Sakdiyah mendengar ketika Abdullah, ayahnya, meminta air.
“Kakek
saya memang seperti itu, tidak pernah mau menyusahkan orang. Semuanya
mau dikerjakan sendiri. Terkadang saya iri padanya. Walaupun sudah tua
dan sakit seperti ini, tapi semangat kerjanya luar biasa,” kata Yusuf
dengan nada serius.
Menurut
Abdullah, ia tidak pernah menerima bantuan apa pun dari pemerintah
selama ia menjaga makam. Ia hanya memperoleh sedekah ala kadarnya dari
para peziarah makam.
“Dari situ saya beli beras atau setumpuk ikan,” kata Abdullah.
Biasanya,
hampir tiap minggu ada peziarah yang berkunjung ke makam tersebut. Di
antara mereka ada yang ingin melepas nazar (janji), maupun hanya sekedar
berziarah melihat-lihat tempat bersejarah.
Abdullah
masih berharap akan ada bantuan dari pemerintah agar permakaman itu
bisa lebih terawat. Alasannya, makam-makam tersebut adalah makam para
pahlawan yang telah berjasa terhadap kemerdekaan negara ini.
DARI permakaman
itu saya mengunjungi sebuah rumah di tengah kota Banda Aceh, tepatnya
di Lampineung, yang tampak begitu asri. Pepohonan dan bunga-bunga
memenuhi halaman.
Seorang
pria bersetelan sarung kotak-kotak merah hati dan kemeja warna senada
tersenyum ramah di teras rumah itu. Ia adalah Teuku Zainul Arifin
Panglima Polem. Desember nanti ia akan berusia 60 tahun. Ia anak
Panglima Polem X, Teuku Muhammad Ali, sekaligus cucu Panglima Polem IX,
Muhammad Daud.
“Kuburan
itu sudah ada sejak tahun 1800-an sejak dimakamkan Panglima Polem I
yang bernama Tengku Dibatee Timoh. Nama itu diberikan setelah beliau
meninggal, karena batu nisannya yang terus tumbuh. Makam beliau
berdekatan dengan makam besar Muhammad Daud,” tutur Arifin kepada saya.
Menurut
Arifin, makam tempat Panglima Polem Muhammad Daud disemayamkan dibangun
pemerintah Indonesia sekitar tahun 1970-an sebagai tanda penghormatan.
Di dekatnya juga ada makam ayah Arifin, Panglima Polem X, Muhammad Ali.
“Panglima
Polem itu bukan satu orang, seperti yang dipikirkan masyarakat selama
ini. Panglima Polem I dan Panglima Polem III berjuang melawan Portugis.
Sedangkan Panglima Polem IV sampai Panglima Polem X berjuang melawan
Belanda,” ujar Arifin.
Arifin menceritakan silsilah Panglima Polem kepada saya.
“Sultan
Iskandar Muda menikah dengan tiga perempuan. Dari istri pertama beliau
mempunyai dua orang anak. Si sulung bernama Meurah Pupok. Ia dihukum
mati karena dituduh berzinah,” kisah Arifin.
Kisah
Meurah Pupok berzinah telah lama beredar di kalangan warga Aceh, tetapi
kebenarannya masih diragukan. Belum ada bukti sejarah yang otentik
tentang peristiwa tersebut.
Anak
kedua Sultan bernama Sultanah Safiatuddin, yang menikah dengan Sultan
Iskandar Tani. Namun pernikahan Safiatuddin dengan Iskandar Tani tidak
menghasilkan keturunan.
Isteri
Sultan yang kedua bernama Puteri Kamaliah atau lebih dikenal Puteri
Pahang atau Putroe Phang. Ia puteri dari Kerajaan Pahang. Dari isteri
keduanya ini pun Sultan tidak dikaruniai keturunan. Isteri ketiga
Iskandar Muda bernama Nyak Meuligoe. Ia asal Lam Sie, Seulimum, Aceh
Besar.
Dari
isteri ketiga ini Sultan dikaruniai seorang putera bernama Tueku Imum
Itam Maharaja yang bergelar Teuku Dibatee Timoh. Ia juga dimakamkan di
permakaman Panglima Polem di Lam sie.
“Sebenarnya
Panglima Polem (Teuku Dibatee Timoh) dijagokan menggantikan Sultan.
Tapi karena ia merasa bukan anak dari istri pertama, ia membantu
adiknya, Safiatuddin untuk menjalankan pemerintahan. Karena itulah ada
embel-embel Polem di belakang nama Panglima, yang berarti Abang,” jelas
Arifin.
Teuku
Dibatee Timoh mempunyai seorang putera yang diberi nama Teuku Panglima
Polem Cut Sakti Lamcot (1675) atau Panglima Sagi XXII Mukim/Mangkubumi.
Kepada Cut Sakti Lamcot inilah gelar Panglima Polem pertama kali
diberikan. Setelah Cut Sakti Lamcot meninggal dunia, gelar Panglima
Polem diwariskan kepada keturunan selanjutnya, yaitu Sri Muda Perkasa
Teuku Panglima Polem Cut Lahat, Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem
Cut Kleung, Sri Muda Perkasa Panglima Polem Cut Ahmad (1845), Sri Muda
Perkasa Teuku Panglima Polem Mahmud Cut Banta (1879), Sri Muda Teuku
Panglima Polem Ibrahim Muda Raja Kuala (1896), dan Sri Muda Perkasa
Teuku Panglima Polem Muhammad Daud (1896-1936).
Gelar Panglima Polem diberikan kepada keturunan Panglima Polem yang cakap dan cerdas. Tidak harus anak lelaki pertama.
“Seperti
Panglima Polem II, yang bernama Teuku Muda Sakti, ia merupakan anak
kedua Panglima Polem I. Sebenarnya, sang kakak Teuku Muda Suara yang
menyandang gelar Panglima, tapi setelah dua bulan, gelar itu diberikan
kepada adiknya yang dianggap lebih mampu,” lanjut Arifin.
Arifin
kemudian berkisah tentang kakeknya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud.
Pada Januari 1891 ia diangkat sebagai Panglima Polem IX untuk
menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke
rahmatullah. Setelah pengangkatannya, dia diberi gelar Teuku Panglima
Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.
Dari
kesepuluh Panglima Polem tersebut, yang paling banyak dicatat sejarah
adalah perjuangan dan kehidupan Muhammad Daud. Fotonya banyak dipajang
di sekolah-sekolah dasar. Lelaki itu memakai meukeutop, topi khas Aceh,
baju putih, dan kacamata tebal-bundar seperti milik penyanyi pop Amerika
terkenal yang mati ditembak, John Lennon.
Meski begitu, kata Arifin, banyak data sejarah yang ditulis sejarawan Indonesia melenceng dari kenyataan sebenarnya.
“Seperti
adanya isu bahwa Panglima Polem (Muhammad Daud) menyerah kepada
Belanda. Padahal Panglima Polem tidak pernah menyerah melainkan mengatur
strategi baru untuk melawan Belanda.” Arifin menjelaskan tentang
perjuangan kakeknya.
Menurut
Arifin, pada tahun 1930-an sang kakek membangun komitmen dengan Belanda
di Lhokseumawe. Dalam pertemuan tersebut, Muhammad Daud menyatakan
tidak akan berperang gerilya. Hal itu disambut Belanda dengan penuh suka
cita. Sebenarnya itu merupakan taktik sang panglima yang hendak
berjuang lewat jalur pendidikan. Muhammad Daud kemudian mendirikan
Ma’had Iskandar Muda atau disingkat MIM.
Pada saat itu ia melihat kondisi masyarakat Aceh yang dianggapnya sudah tidak mengindahkan lagi nilai-nilai agama.
“Akhirnya
beliau turun gunung berhenti bergerilya. Pada tahun 1935 ia memanggil
kembali ulama Aceh yang bernama Abu Lam U dan Teuku Indrapuri yang
sedang berada di Malaysia untuk membenahi kembali masyarakat Aceh yang
sudah lupa daratan,” kisah Arifin dengan semangat.
“Gelar
Panglima Polem bukan sembarang diberikan, itu merupakan milik sah
keluarga dan keturunan Panglima Polem. Tapi setelah ayah saya, Panglima
Polem Muhammad Ali, gelar Panglima Polem hanya diletakkan di belakang
nama saja, karena kita bukan pahlawan hanya pewaris,” lanjutnya.
Dari
pernikahan Muhammad Daud dengan Teuku Ratna lahir seorang putra yang
dinamai Teuku Panglima Polem Muhammad Ali atau Panglima Sagi XXII Mukim.
Muhammad
Ali mempunyai dua orang istri, yaitu Teungku Putri dan Cut Nyak Bungsu.
Isterinya yang pertama berasal dari Keudah, Kuta Raja (sekarang Banda
Aceh). Dari Teuku Putri, ia dikaruniai empat anak. Mereka adalah Pocut
Asiah, Teuku Hasan (almarhum), Teuku Abdullah (almarhum), dan Teuku
Husni.
Cut
Nyak Bungsu yang berasal dari Padang Tiji, Pidie, memberinya empat anak
pula, yaitu Teuku Bachtiar Panglima Polem (almarhum), Teuku Iskandar
Panglima Polem, Teuku Zainul Arifin Panglima Polem dan Pocut Ernawati.
DALAM buku
Sumbangsih Aceh Bagi Republik yang disunting Teuku Mohammad Isa,
disebutkan bahwa Teuku Panglima Polem Muhammad Ali merupakan seorang
pahlawan Aceh yang telah berjuang sejak penjajahan Belanda sampai
Jepang.
Lelaki
kelahiran Lam Sie tahun 1905 ini sempat ditolak pemerintah Belanda
untuk menggantikan ayahandanya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud,
selaku Panglima Sagi (Panglima Sago) XXII Mukim. Namun, ia akhirnya sah
diangkat sebagai panglima sago pada pertengahan tahun 1941.
Pada
24 Februari 1942, Muhammad Ali memimpin serangan terhadap militer
Belanda di Seulimeum sebagai titik awal perlawanan untuk kemerdekaan di
Aceh Besar.
Di
tahun 1944 ia berhasil mengambil alih pemerintahan dari pihak Jepang.
Ia menjabat Asisten Residen Aceh dan Ketua Kemakmuran Karesidenan Aceh
pada Desember 1945.
Di
awal Juni 1948 presiden Soekarno berkunjung ke Aceh. Rakyat Aceh
menyambut kunjungan presiden pertama Indonesia itu dengan meriah. Pada
tanggal 17 Juni 1948, Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA)
mengadakan jamuan khusus untuk Soekarno di Hotel Aceh, Kuta Raja.
Dengan
nada sungguh-sungguh, Soekarno meminta rakyat Aceh membelikan dua
pesawat udara untuk Republik Indonesia atau RI. Pesawat udara tersebut
akan digunakan untuk menembus blokade udara total Belanda.
Tiba-tiba Haji Juned, wakil GASIDA, membisiki Muhammad Ali untuk menerima tantangan Soekarno itu.
Ia mengajukan dirinya menjadi ketua umum panitia pembelian dua pesawat terbang, yaitu Seulawah RI 01 dan Seulawah RI 02.
Minggu
pagi, 20 Juni 1948, bertempat di pendopo Keresidenan Aceh, diadakan
penyerahan secara simbolis dua pesawat tersebut kepada presiden
Soekarno. Penyerahan dilakukan langsung oleh Muhammad Ali atas nama
GASIDA sekaligus Residen Aceh dan Teuku Chiek Daudsyah, atas nama rakyat
Aceh. Masing-masing menyerahkan Seulawah RI 01 dan Seulawah RI 02.
“Untuk
pembelian pesawat udara Seulawah RI 01 dibeli dengan dana yang
dikumpulkan dari GASIDA. Satu lagi, Seulawah RI 02, dibeli dengan dana
yang dikumpulkan dari masyarakat Aceh. Setelah itu, baru diserahkan
dalam bentuk mata uang untuk pembelian pesawat tersebut,” kisah Arifin.
Menurut Arifin, setelah penyerahan tersebut rakyat Aceh sedikit kecewa.
“Masyarakat
Aceh menyumbang pada Soekarno untuk membeli dua pesawat. Namun yang
terbeli hanya satu, sedangkan untuk satunya lagi tidak tahu. Raib entah
ke mana,” kata Arifin.
Seulawah
RI 01 ini, oleh Wiweko, seorang perwira Angkatan Udara Republik
Indonesia atau AURI, dengan piawainya dikomersilkannya ke luar negeri,
tepatnya di Burma, selama masa agresi Belanda II. Seluruh keuntungan
usaha ini digunakan untuk membiayai kegiatan diplomat Indonesia di luar
negeri. Dengan berbekal Seulawah RI 01, Wiweko membangun perusahaan
penerbangan nasional Garuda Indonesia Airways.
“Sangkalan
sebagian orang Indonesia bahwa fakta Seulawah RI 01 dan RI 02 dan Aceh
sebagai daerah modal Republik Indonesia hanya mitos, perlu dikaji
ulang,” kata Arifin, tegas.
PADA 1958,
Muhammad Ali merasa tak ada lagi yang bisa dilakukannya di Aceh. Ruang
geraknya hanya di dalam kota, sedang kondisi di luar kota tidak aman.
Pasukan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menguasai Aceh.
“Ayah
memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. Untuk keamanannya, diurus Wakil
Perdana Menteri II Kabinet AA (sebutan pada waktu itu), Kyai Haji Idham
Khalid. Ayah saya diangkat menjadi penasehatnya dengan Surat Keputusan
Nomor 62/WKPM/X/1958,” ujar Arifin.
Sementara
itu Aceh sedang melakukan perdagangan dengan Penang, Malaysia. Dan
berkat bantuan Wakil Perdana Menteri II Idham Khalid, dengan izin
Menteri Perindustrian Ir. Inkiriwang, Muhammad Ali ditunjuk sebagai
salah satu distributor semen Padang untuk Sumatera Utara.
Suatu
malam di awal bulan Desember 1958, sewaktu Muhammad Ali sedang tidur
nyenyak bersama Jusuf Gading di Krekot Bunder, Jakarta, tiba-tiba
penginapan mereka digedor tentara. Setelah pintu dibuka, masuklah dua
perwira yang menanyakan Muhammad Ali. Mereka memintanya menyiapkan
pakaian untuk dibawa, karena ia akan ditahan.
Penahanan
itu berdasarkan surat perintah yang ditandatangani Kepala Staf Angkatan
Darat selaku Penguasa Perang Pusat waktu itu, Jenderal Abdul Haris
Nasution.
“Penangkapan
tersebut merupakan suatu kekeliruan dan ayah saya sama sekali tidak
merasa takut waktu itu, karena beliau merasa tidak bersalah. Beliau
yakin, setelah diperiksa, akan dibebaskan dan diperlakukan dengan baik
dan sopan,” tutur Arifin.
Muhammad
Ali dibawa ke Mampang I. Ini Markas Team Khusus SUAD I (sebutan untuk
tentara waktu itu). Tak berapa lama, kemenakannya yang bernama Tuanku
Husin bergabung dengannya di tahanan militer itu. Mereka menduga hal ini
terjadi atas permintaan Jenderal Nasution.
Usut
punya usut, rupanya penahanan ini berkaitan dengan pertemuan Muhammad
Ali dan sejumlah rekannya, termasuk Tuanku Husin, dengan menteri dalam
negeri. Pertemuan itu bertujuan agar tercapai perdamaian di Aceh yang
tengah dilanda pemberontakan DI/TII.. Rombongan ini juga berniat
menghadap presiden Soekarno.
Setelah ditahan di Mampang I, Muhammad Ali dibawa ke penjara Cipinang dan digolongkan sebagai tahanan politik.
“Setelah
ditahan setengah bulan, ayah saya dipanggil ke kantor penjara. Di sana
beliau difoto, diukur tinggi badan dan dibuat sidik jari. Seperti orang
yang berurusan karena perbuatan kriminal. Kemudian disuruh kembali ke
tempat dan tidak dilakukan apa-apa. Padahal dalam dalam perintah yang
ditandatangani Jenderal A.H. Nasution, ayah saya diperiksa dalam waktu
tiga kali dua puluh empat jam,” kisah Arifin.
Di
akhir Agustus 1959, status Muhammad Ali menjadi tahanan rumah. Ini
berdasarkan surat yang ditandatangani Jenderal Nasution dan Kapten
Soedharmono.
“Sebulan
setelah itu, status diubah menjadi tahanan kota. Selama tahanan kota,
setiap hari Kamis, beliau harus melapor ke Mampang I. Akhir tahun 1959,
ayah saya baru bebas dari semua status tahanan. Beliau ditangkap karena
dicurigai terlibat dalam pemberontakan DI/TII. Namun kecurigaan tersebut
tidak terbukti, karena ayah saya orang yang bersih dan ikhlas membela
negara,” kata Arifin.
Setelah
keluar dari penjara, saat pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Serikat Republik Indonesia atau MPRS RI tahun 1962, Muhammad Ali
diangkat jadi anggota selaku utusan daerah bersama-sama dengan anggota
lainnya.
“Tahun 1967, beliau diberhentikan secara hormat karena tidak terpilih lagi,” lanjut Arifin.
Namun
tanggal 1 Agustus 1968, Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Rakyat,
Kyai Haji Idham Khalid mengangkatnya sebagai Penasehat Bidang Khusus,
dengan keputusan Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat
No.32/Kpts/Kesra/VII/68.
MUHAMMAD Ali
jatuh miskin ketika kembali ke Aceh. Tak lama setelah kembali ke
kampung halaman, ia berusaha mengirim surat kepada menteri dalam negeri
dengan perantara gubernur Aceh Sumatera untuk memohon agar dirinya
diberikan tunjangan pensiun.
Ia
melampirkan semua besluit (surat keputusan), kecuali satu, besluit
pemberhentiannya sebagai bupati Pidie yang diperbantukan pada gubernur
Sumatera Utara. Surat itu hilang. Meski salinannya tidak dilampirkan,
tanggal dan nomor surat besluit tetap disebutkan.
“Dengan
perantaraan temannya di Jakarta, ayah saya menyuruh untuk mencari dalam
Arsip Departemen Dalam Negeri RI. Setelah ditemukan, ternyata bundel
arsip ayah saya berisi satu bon dan sebagian isi bundel tersebut telah
diambil oleh seorang pegawai dan pegawai tersebut telah meninggal dunia.
Karena kekurangan besluit pemberhentian itu, keputusan tentang
pensiunnya tidak dapat diberikan oleh menteri dalam negeri,” urai
Arifin.
Menurut
Arifin, pada 1962 Muhammad Ali pernah menerima sepucuk surat dari
Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah yang berisi tentang
penjelasan kesediaannya untuk diangkat kembali sebagai bupati Pidie.
Surat tersebut ditandatangani Kepala Seksi Sumatera Nusa Tenggara,
Suparko.
“Namun surat tersebut tidak diterima olah ayah saya, karena pada waktu itu beliau telah kembali ke Aceh,” ujar Arifin.
Akhirnya
Muhammad Ali membalas surat itu. Setelah mengisi daftar isian yang
dilampirkan dalam surat tersebut, yang masing-masing tiga rangkap.
Setelah mendapat pengesahan Panglima Kodam I, waktu itu Kolonel Nyak
Adam Kamil, Muhammad Ali berangkat kembali ke Jakarta untuk menjumpai
Suparko dan menyampaikan sendiri surat pengangkatannya.
Pada
waktu Suparko membaca daftar isian dalam kolom kedudukan terakhir saat
pemberontakan DI/TII, Suparko mengajukan beberapa pertanyaan kepada
Muhammad Ali.
“Bekerja
Aktif, menerima uang tunggu karena sakit dan turut memberontak.
Pertanyaan terhadap keterlibatan ayah saya sebagai pemberontak,
berkali-kali ditanyakan. Namun beliau menjawab dengan tegas dan bangga,
tidak pernah memberontak terhadap Pemerintah RI,” ujar Arifin.
Tapi entah mengapa, Suparko tetap memutuskan untuk tidak menyetujui memberikan uang pensiun kepada Muhammad Ali.
“Itulah
ketidakadilan, orang yang setia pada negara tidak diperhatikan, yang
tidak setia diperhatikan. Hal ini sama seperti Aceh sekarang, bagi
mereka yang dianggap memberontak diberikan bantuan, sedangkan masyarakat
yang hidup miskin dan berjasa pada negara, tidak mendapatkan apa-apa.
Sejarah selalu berulang,” kata Arifin, lagi.
Pada 6 Januari 1974 Muhammad Ali menghembuskan nafas terakhirnya tanpa pernah sepeser pun menerima uang pensiunnya.
Sumber