1. Aji Batara Agung Dewa Sakti
Aji Batara Agung Dewa Sakti adalah pendiri, sekaligus Maharaja dari Kerajaan Kutai Kartanegara yang memerintah dari tahun 1300 hingga 1325. Ia merupakan putera dari Patinggi Jahitan-Laya.Ia mendirikan kerajaannya di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara)
Menikah pertama kali dengan Aji Putri Karang Melenu, anak dari Punggawa Besar, Patinggi dari Hulu-Dusan, dan kedua kalinya dengan Putri Junjung Buwih (menenggelamkan dirinya sendiri).
Raja meninggal pada tahun 1325, tenggelam di Sungai Mahakam.
Memiliki seorang anak yang kemudian menjadi Maharaja Kutai Kertanegara yaitu Aji Batara Agung Paduka Nira.
Sumber
=======================================================================
2. Puteri Junjung Buih
Puteri Junjung Buih adalah seorang Raja Puteri dari Kerajaan Negara Dipa menurut Hikayat Banjar. Puteri ini berasal dari unsur etnis pribumi Kalimantan. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan biasanya mengaku sebagai keturunan dari puteri pribumi ini. Puteri Junjung Buih merupakan anak dari Ngabehi Hileer[1] dan merupakan saudara angkat Lambung Mangkurat yang diperolehnya ketika "balampah" (bahasa Banjar : bertapa) yang muncul sebagai wanita dewasa dari dalam buih di sungai. Raja puteri ini kemudian menikah dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit. Salah seorang anak mereka yaitu Pangeran Aria Dewangga menikah dengan Putri Kabuwaringin, puteri dari Lambung Mangkurat (unsur pendiri negeri), kemudian mereka berdualah yang menurunkan raja-raja dari Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan Negara Daha hingga Kesultanan Banjar dan Kepangeranan Kotawaringin.[2][3][4]Menurut mitologi rakyat pesisir Kalimantan seorang raja haruslah keturunan raja puteri ini sehingga raja-raja Kalimantan mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Beberapa kerajaan di Kalimantan Barat juga mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Dalam tradisi Kerajaan Kutai, Putri Junjung Buih/Putri Junjung Buyah merupakan isteri kedua dari Aji Batara Agung Dewa Sakti Raja Kutai Kartanegara ke-1.
Menurut Drg Marthin Bayer, Puteri Junjung Buih adalah sama dengan Kameloh Putak Janjulen Karangan yang dikenal dalam masyarakat Dayak. Puteri Lela Menchanai yang berasal dari Jawa (tahun 1524), adalah permaisuri Sultan Bolkiah dari Brunei menurut legenda suku Kedayan dipercaya berasal dari buih lautan (mirip cerita Putri Junjung Buih yang keluar dari buih di sungai).
Dalam Perang Banjar, salah seorang puteri dari Panembahan Muda Aling yang bernama Saranti diberi gelar Poetri Djoendjoeng Boewih.[5]
Catatan kaki
- ^ Poetri Djoendjoeng Boewih (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1866). Notulen van de Directievergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. hlm. 148.
- ^ Poetri Djoendjoeng Boeih (Belanda) (1860)Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. hlm. 94.
- ^ Poetri Djoendjoeng Boeih (Belanda) (1867)De tijdspiegel. Fuhri. hlm. 152.
- ^ Putri Junjung Buih (Inggris) R. Soekmono (1995). The Javanese Candi: function and meaning. Volume 17. Studies in Asian art and archaeology. BRILL. hlm. 19. ISBN 9004102159.ISBN 9789004102156
- ^ Poetri Djoendjoeng Boewih (Belanda) Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863. D. A. Thieme. hlm. 44.
Sumber
=========================================================================
3. Tranformasi dan Rekayasa Budaya Di Banua Banjar
Pengantar
I
Perubahan
merupakan suatu keharusan dalam hidup manusia, begitu kata orang bijak.
Dalam kajian ilmu sosial dan humaniora kata pengiring dari perubahan
begitu beragam. Katakan saja, perubahan sosial, perubahan politik,
perubahan tingkah laku, dan perubahan budaya, terkadang tertulis juga
kata transformasi seperti transformasi sosial, transformasi politik dan
transformasi budaya. Mungkin kita menduga, bahwa ada kesamaan arti dari
kata perubahan dan kata transformai. Bisa jadi kata perubahan dan transformasi masing mempunyai difinisi sendiri. Saya teringat Almarhum Umar Kayam dalam orasi ilmiahnya, ia berpendapat, bahwa transformasi diandaikannya sebagai suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan. Transformasi ini dapat dibayangkan melalui
suatu proses bertahap dan panjang tetapi dapat pula sebagai suatu titik
balik yang sangat cepat, begitulah kata Umar Kayam.[1] Kayam juga memberikan contoh tentang model transformasi
dialektika Hegel dan Marx. Hematnya proses dialektika Hegel adalah
dialektika spritual yang diilhami oleh spirit untuk mencapai titik
transformasi akhir dari _Sang Spirit yang absolut, sedangkan Marx sang
murid Hegel membayangkan, bahwa transformasi untuk mencapai masyarakat
tanpa kelas yang ajeg harus melalui suatu pertentang-an
kelas yang berebut penguasaan alat produksi. Selain Hegel dan Marx,
Kayam juga mengusung type idealnya dari Marx Weber. Bagi Weber untuk
memahami transformasi masyarakat kapitalis, kita tidak perlu
memahaminya sebagai suatu sintesa, tesa, atau antitesa, melainkan
memahaminya melalui type ideal yang sengaja diciptakan sebagai suatu
model dan paradigma. [2]
Pandangan
di atas tentang transformasi yang dikutip dari Umar Kayam semakin
difahami, ketika saya membaca sebuah tulisan tentang perubahan
kebudayaan dari almarhum Kuntowijoyo. Hematnya perubahan kebudayaan yang
secara alami disebut transformasi, sedangkan perubahan yang dibuat
(artifisial) disebut rekayasa.[3] Merujuk pandangan dari Kuntowijoyo tentang perubahan
kebudayaan maka dalam tulisan ini akan memuat transformasi dan rekayasa
budaya yang terjadi di Banua kita dalam kacamata sejarah.
Transformasi Jawa
Membaca
Hikayat Banjar (HB), memberikan informasi tentang siapa yang menjadi
agen perubahan di Banua kita. Kedatangan rombongan Empu Jatmika
mengisyaratkan, muasal terjadinya dialog budaya lokal dan Jawa.
Rombongan Emput Jatmika dengan membawa budayanya membenarkan, bahwa
kebudayaan dapat dipengaruhi faktor proksimitas ( kedekatan geografis).[4]
Dalam konteks tulisan ini, bahwa Empu Jatmika yang merupakan salah
seorang dari nenek moyang kita begitu cerdik dalam menentukan pilihan
dalam memanfaatkan geografis untuk perjalanan sebaran
budayanya. Tidak diketahui dengan bahasa apa mereka berkomunikasi dengan
penduduk lokal, faktanya terjadi keluwesan dalam berkomunikasi. Begitu
juga masyarakat lokal dengan kelenturan bersikapnya mampu membangun
komunikasi budaya dengan cerdik.
Proses
dialog budaya antara Jawa dan lokal dibangun melalui simbol
terbentuknya Negara Dipa, perkawinan putri Junjung Bui dengan Pangeran
Suryanata, candi agung, pakaian, regalia-regalia, dan gelar-gelar.
Simbol-simbol itu menerangkan keberterimaan masyarakat lokal melakukan dialog budaya, yang didalamnya terdapat dialog agama nenek moyang lokal dengan Hindu-Budha Jawa, dan diterimanya ideom-ideom
budaya Jawa dengan cantik. Dalam arti lain, bahwa bukan terjadi proses
Jawanisasi melainkan pra- Banjarisasi atau dalam konteks yang lebih jauh
adalah proses Indonesasi.
Mari
kita simak cerita dibalik kedatangan Empu Jatmika dengan rombongannya
dan perkawinan Putri Junjung Buih dengan Pangeran Suryanata. Bagaimanapun
tidak keberadaan Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata tidak dapat
dilacak secara emperik melainkan melalui suatu mitos. Ilmu pengetahuan
tentang mitos disebut mitologi. Melalui mitologi diperoleh suatu
kerangka acuan yang memungkinkan manusia memberi tempat kepada beragam
kesan dan pengalaman yang telah diperolehnya selama hidup.[5]
Katakan saja, kedatangan Empu
Jatmika ke area Kalimantan Selatan telah memperkenalkan ke penduduk
lokal tentang sebuah negara dengan perangkatnya. Sebuah negara tentunya
memerlukan tetangga,akhirnya negara baru itu mampu membangun jaringan
relasi dengan negara lain. Dalam sisi lain, Empu Jatmika menyadari,
bahwa dirinya tidak ditakdirkan bukan untuk menjadi raja ditambah ia
bukan penduduk asli dan tentunya tidak berhak atas tahta yang
dibangunnya sendiri. Empu Jatmika hanya memposisikan diri sebagai raja
sementara, sampai penduduk asli yang dianggap mempunyai kapasitas
sebagai pemimpin ditemukannya. Akhirnya kita ketahui, penduduk lokal itu
bernama Putri Junjung Buih kelak ia menikah dengan Pangeran Suryanata
seorang pangeran yang berasal dari Jawa.
Cerita
di atas mengisyaratkan akan penerimaan kenyataan tentang merembesnya
peradaban Jawa dan bersiap berdialog dengan budaya lokal. Katakan saja
penapsiran warna kuning. Warna kuning di Banjar dianggap memiliki unsur
magis yang dekat dengan kata keramat. Pemaknaan keramat dari warna
kuning dapat dilacak dari mitos tentang munculnya Putri Junjung Buih
dan Pangeran Suryanata. Diceritakan, ketika Putri Junjung Buih muncul
dari buih air, ia memakai kain sutera kuning, baju kuning, berkemben
warna kuning dan berkerudung warna kuning. Begitu juga, ketika Pangeran
Suryanata untuk pertama kali menampakan dirinya pada alam nyata dengan
memakai kain sutera berwarna kuning. Seperti kita ketahui, Putri Junjung
Buih dan Pangeran Suryanata merupakan tokoh yang diyakini sebagai
manusia super human yang dimunculkan di bumi untuk menjadi raja. Warna
kuning di Kalimantan Selatan sampai saat ini oleh sebagian besar
masyarakat Banjar dianggap sebagai warna yang keramat.
Pernikahan
Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata apabila dicermati merupakan
suatu refleksi kemenduaan yang selalu beroposisi dalam keyakinan agama
lokal (primordial). Dalam agama lokal di Indonesia,secara insani Tuhan
diyakini keberadaannya, akan tetapi manusia tidak dapat berkomunikasi
dengan Tuhan. Keberadaan Tuhan dapat ditangkap melalui gejala alam yang
berpengaruh terhadap kehidupan manusia, misalnya langit dan bumi,
matahari, bulan, dan bintang-bintang. Manusia berada di bawah yang
mereka akrabi, sedangkan di atas ada langit beserta isinya mereka tidak
kenal dan mistrius. Dan akhirnya muncul konsep dualisme keberadaan,
langit sebagai dunia atas yang absolut dan tidak dikenal, sedangkan bumi
adalah dunia bawah yang mereka akrabi dan memberikan rona kehidupan
bagi manusia.
Pola
relasi kesatuan bagi masyarakat pra sejarah di Indonesia dapat digapai
melalui dua cara, yaitu peperangan dan perkawinan. Dampak peperangan
adalah kematian ke dua belah fihak yang berseteru, akan tetapi akan
muncul kehidupan yang baru. Sementara perkawinan dunia atas dan bawah
(manusia) akan memunculkan keberagaman ciptaan yang berguna bagi
manusia.[6]
Perkawinan dalam
konsep di atas, tampaknya dapat menjelaskan tentang makna dibalik
pernikahan Pangeran Suryanata yang berarti raja dari segala raja
matahari dengan Putri Junjung Buih yang berarti putri bunga berasal
dari air yang dijadikan raja. Di dalam agama Kaharingan diyakini bahwa
alam atas dikuasai oleh Tuhan yang mempunyai empat nama yang salah satu
namanya adalah Bungai atau Tinggang adalah nama burung sakti berkelamin jantan, sedangkan sebagai penguasa alam bawah nama Tuhan disebut sebagai Bawin Jata Balawang yang berarti wanita Jata berpintukan permata.[7] Dalam kata lain, perkawinan Putri Junjung Buih dan
Pangeran Suryanata adalah suatu penyatuan antara dunia atas dan bawah
yang akan membawa keharmonisan dan keselamatan sampai jauh ke generasi
berikutnya. Sisi lain lagi, dapat dikatakan pernikahan Pangeran
Suryanata dengan Putri Junjung Buih adalah
simbol suatu proses dialektika antara agama lokal dengan agama Hindu.
Pernikahan ini pula, merupakan bagaimana arifnya nenek moyang kita
menginformasikan masuk, dan diterimanya peradaban Jawa dengan elok.
Tidak mengherankan ideom jawa dapat ditemukan di banua kita. Sebut saja
kata ulun yang dalam bahasa Jawa kuno adalah pikulun untuk menyebut para
dewa. A.A. Cence juga menuliskan, bahwa Negara Dipa dan
Daha memiliki pusaka-pusaka yang berasal dari Jawa (Majapahit), yaitu:
mahkota kerajaan, gamelan yang bernama Larasati, gong yang bernama si
Rambut Peradah, canang bernama si Macan Papatuk, tombak bernama si
Panutus dan keris bernama si Masagirang dan Jokopiturun. [8] Rees
juga menambahkan, ia menyebutkan pusaka lain yang dimiliki istana
yaitu: singgasana emas, payung kerajaan, beberapa keris di antaranya
bernama Baru Lembah dan Naga Salira dengan sarungnya yang terbalut emas
dan gagangnya bertahtakan berlian, sebilah pedang, lima buah tombak,
kain langgundi, beberapa buah perisai yang terbuat dari emas dan perak
serta seperangkat gamelan. [9]
Begitu juga nama-nama dan gelar para aparat yang menduduki
fungsi-fungsi tertentu dalam birokrasi Negara Dipa dan Daha merupakan
pengaruh dari Jawa (Majapahit) sehingga terdapat kesamaan.[10]
Penerimaan
ideom Jawa itu diperkuat dalam HB yang menganjurkan untuk menuruti
adatnya Orang Jawa. Akan tetapi, kata menuruti disini jangan disamakan
dengan penjiplakan atau plagiator, sebab dialog budaya berbeda dengan
relasi kekuasaan yang dikontruksi sebagai penguasa dan yang dikuasai,
melainkan kesetaraan budaya dari peserta dialog. Katakan
saja, keberadaan Candi Agung yang Hindu dan Candi Laras yang Budha
merupakan contoh nyata tentang bagaimana lokal dengan kearifannya
membelai peradaban dari Jawa.
Proses
Banjarisasi masih berlanjut ketika agama Islam yang dibawa oleh Khatib
Dayan pada abad XVI masuk ke Banua kita. Dalam HB disebut-sebut, Khatib
Dayan memimpin serdadu Jawa datang ke Kalimantan Selatan.
Kembali kita coba merenungkan tentang ini, informasi ini bisa
ditafsirkan, bahwa budaya Jawa datang ke Kalimantan Selatan dengan
paksaan. Apabila tapsiran ini diyakini maka tidak terjadi proses dialog
budaya dan tidak terjadi proses Indonisasi. Tetapi informasi yang
diberikan oleh HB, kita tapsirkan berbeda dengan yang saya sebutkan maka
cerita akan lebih cantik. Bukankah kata Khatib adalah sebutan untuk
sebutan para guru. Dalam arti lain, bahwa Guru Dayan datang ke
Kalimantan selatan diiringi oleh guru-guru agama Islam lainnya untuk
mengajarkan agama Islam di kalimantan Selatan.Dalam arti lain, Khatib Dayan
bukan seorang panglima perang, sebab dalam tradisi Jawa pemimimpin
perang harus bergelar Temanggung dengan memakai kata yuda. Misalnya
Temanggung Wirayuda atau Sarayuda. Ha ini berarti, masuknya agama Islam
ke Kalimantan Selatan bukan oleh suatu ekspedisi militer, melainkan
disebarkan oleh para guru-guru agama Islam. Ini yang disebut sebagai
suatu transformasi.
Kemudian
transformasi dalam skala besar terjadi, ketika Pangeran Samudra
memenangkan perang tanding melawan sang paman bernama Pangeran
Temanggung. Perang tanding ini apabila diteropong dari agama lokal
merupakan pola relasi dari kesatuan, bahwa kehidupan baru akan muncul
setelah melalui jalan peperangan. Pilihan duel oleh kedua tokoh sejarah
juga menarik untuk disimak. Menurut Anthony Reid, [11]Orang
Asia Tenggara khususnya orang Indonesia, banyak memiliki reputasi dalam
keberanian individual. Tujuan peperangan bagi orang Indonesia adalah
untuk meningkatkan jumlah tenaga manusia bukan untuk membuang nyawa
dengan sia-sia dalam suatu peperangan. Perang tanding yang digelar oleh
kedua tokoh itu, merupakan bagian dari ritus dan persiapan fisik bagi si pemenang untuk menjadi pemimpin yang diberkati oleh Tuhan.
Pasca
kemenangannya, Raden Samudra memindahkan penduduk Daha ke Banjarmasin.
Perpindahan ini merupakan manifestasi dari tujuan perang, yaitu merekrut
jumlah penduduk dan pengukuhannya Raden Samudra sebagai pemimpin mereka
yang baru. Pembauran penduduk di Banjarmasin yang terdiri dari orang
Daha, Melayu, Dayak dan Jawa pada dasarnya merupakan suatu gambaran
tentang bersatunya beragam kelompok manusia menjadi suatu kelompok
masyarakat yang baru yaitu. Orang Banjar.
Ketika Raden Samudra ditasbihkan untuk menjadi sultan pertama di Kesultanan Banjarmasin dan Islam dijadikan sebagai agama negara maka babakan Banjarisasi mulai terbangun. Fenomena ini mem-perlihatkan, apa kata Kuntowijyo, bahwa Islam telah membentuk civic culture [12]atau
budaya bernegara, solidarity, kontrol sosial dan ideologi jihad. Budaya
bernegara yang dimaksud oleh Kuntowijoyo, dapat dilacak keberadaannya
di Kesultanan Banjar, yaitu berlakunya Undang-Undang Sultan Adam.
Membincangkan solidaritas masyarakat Banjar tentunya muaranya berada
pada konsep bubuhan sebagai suatu ikatan sosial. Ikatan bubuhan
sebagai wadah kekeluargaan yang luas tampaknya lebih mengedepankan
ikatan kekerabatan dan sifatnya sangat terbuka bagi seseorang untuk
masuk ke dalam bubuhan ini. Fungsi dari bubuhan adalah memberikan rasa
aman fisik maupun non fisik bagi anggotanya. Barakatan
(kebersamaan) menjadi pilar penopang dari bangunan suatu bubuhan.
Barakatan dapat dianalogikan dengan prinsif equality. Akan
tetapi kebersamaan tidak melulu bersifat profan melainkan ruhnya
menetes dan merembes menghujam jantung sanubari yang kemudian
direfleksikan ke dalam nilai-nilai dan norma-norma sosial yang oleh para
pakar ilmu sosial disebuit folkways. Adapun ideologi jihad kelak muncul
pada gerakan sosial-gerakan sosial yang menjadi bagian dari Perang
Banjarmasin yang berakhir pada awal abad XX.
Kembali
pada awal diskusi tentang Islam, akhirnya agama Islam dijadikan pedoman
bagi kehidupan oleh orang Banjar akhirnya memunculkan dan mengentalkan identitas ke-Banjaran. Identitas ke-Banjaran muncul dan ada dalam
suatu interaksi sebagai pembeda atau penanda dengan golongan sosial
lainnya. Interaksi itu semakin nampak ketika kesultanan Banjarmasin dan
masyarakat baru, yaitu masyarakat Banjar yang mobile dengan budaya
pesisirnya semakin eksis dalam dunia perdagangan internasional. Sebagai
masyarakat baru yang mobilitas tinggi dengan basis ekonominya dari
perdagangan, Banjarmasin sebagai kota bandar mulai didatanggi oleh
beragam suku bangsa maupun bangsa dari luar nusantara. Cina, Arab,
Parsi, bahkan Eropa singgah di kota ini menjadikannya sebagai kota
kosmopolit. Kehadiran mereka dengan membawa budayanya masing memperkaya
wacana masyarakat Banjar yang baru ini. Bagaimana Orang Cina diterima
oleh masyarakat Banjar, sampai sekarang masih dapat kita lihat. Katakan
saja, hubungan orang Cina dan masyarakat Banjar tidak pernah ditandai
dengan konflik seperti kebanyakan di daerah Jawa pada beberapa tahun
kebelakang. Padahal dalam catatan sejarah seperti yang dikumpulkan oleh
Slamet Mulyana yang kemudian tidak terlalu disalahkan oleh
Denys Lombard, bahwa ada hubungan yang harmonis antara Orang jawa
dengan Orang Cina, bahkan banyak juga Orang Cina menjadi penyebar agama
Islam.[13] Kita kembali ke tanah Banjar, tidak
jarang wanita-wanita Cina nikah dengan Orang Banjar dan akhirnya
memeluk agama Islam. Bahkan makanan yang merupakan bagian dari budaya
Cina, yaitu mie baso pada masa ini telah merambah ke seluruh pelosok,
walaupun penjualnya bukan Orang Cina melainkan penduduk lokal.
Menarik untu disimak tentang pakaian. Pakaian tidak hanya dilihat dari fungsinya sebagai penutup tubuh. Dalam pakaian
terdapat ekspresi identitas pemakainya. Apabila kita mencermati gambar
orang dahulu maka yang tampak adalah seseorang memakai kain persegi
panjang yang dililitkan untuk menutupi sekitar bagian bawah tubuh baik
kaum pria maupun wanitanya. Status sipemakainya akan
tampak dari kualitas bahan kain yang dipakainya, corak dan perhiasan
yang menjadi penyertanya. Sukar bagi saya untuk menarasikan pakaian
Orang Banjar dahulu. Sebagai analogi saya kutip perjalanan Francois de
Vitre ke Aceh pada abad XVII ke Aceh, ia menceritakan, bahwa kaum
bangsawan dan pedagang menggunakan katun atau sutera yang dililitkan pada tubuh hingga lutut dengan lengan yang juga lebar dan terbuka dibagian depan.[14] Kaum wanita umumnya menggunakan kain katun dari pinggang hingga lutut dan sepotong kain lain untuk bagian dada hingga pinggang.[15]
Pemberitaan
Francois di atas, memberi keterangan bahwa pakaian di Indonesia sudah
mulai berkembang. Perkembangan pakaian dapat ditelusuri dari tulisan
Jean Gelman Taylor. Jean berujar, bahwa sejak abad XIII
pakaian laki-laki maupun perempuan telah berkembang dengan cara yang
berbeda dari mulai bahan sampai warna-warna yang dianggap
serasi sesuai dengan jenis kelaminnya. Pakaian pria berkembang untuk
menutupi lekuk tubuh tanpa harus membatasi gerakannya dengan warna yang
lebih sederhana, kebalikannya pakaian perempuan terus menerus berkreasi untuk menciptakan keindahan dengan warna-warna yang menyolok walaupun harus membatasi gerak fisiknya.[16]
Penceritaan Francois dan pendapat Jean dapat dipakai untuk menjelaskan
perkembangan pakaian dari zaman Junjung Buih dan perkembangan Negara
Dipa sebagai sebuah kerajaan yang membangun relasi antar negara. Contoh
kongkrit tentang pakaian lilitan kain yang digunakan perempuan Banjar
sekitar abad XIII sisanya masih terrefleksiakan pada masa sekarang yaitu
busana pernikahan wanita Banjar.
Di atas telah diwartakan, bahwa agama Islam telah membangun civic culture
dalam Kesultanan Banjar. Katakan saja, dalam ajaran Islam telah
diputuskan tentang apa yang boleh dipakai dan yang tidak boleh.
Pemakaian pakaian muslim pada masa zaman kesultanan
fenomena masih banyak kita jumpai pada masa kekinian. Pakaian muslim
kaum pria baik masa kesultanan maupun kekinian pada dasarnya meniru
pakaian Arab. Dalam fakta sejarah, pakaian muslim, yaitu jubah panjang
berwarna putih dan sorban dikepala selalu dipakai oleh pemuka-pemuka
perlawanan terhadap pemerintahan kolonial pada babakan Perang Banjar
dalam abad XIX. Contoh serupa dari luar Banjar adalah busana
Pangeran Diponogoro, Kyai Mojo, Sentot dari Jawan, Imam Bonjol dan kaum
wahabi lainnya dari tanah Minangkabau, Tengku Umar, Teuku Cik Di Tiro
dari Aceh, dan aktivis-aktivis para Kiai dari tatar Sunda dalam memimpin
gerakan sosial seperti yang digambarkan oleh almarhum begawan sejarah
Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya memperkuat anggapan busana Islam gaya Arab dapat disamakan dengan pakaian perang Islam. Terkadang orang Belanda ataupun orang awam
pada masa kekinian mencitrakan pakaian muslim identik dengan ketaatan
beragama ataupun simbol pertentangan terhadap keputusan yang terlalu
bersifat keduniawian. Menarik disimak, pada masyarakat
Banjar baik yang berada di Banjarmasin, Martapura dan wilayah Hulu
Sungai, banyak kita temukan orang berpakain jubah ke Islaman atau ke
Araban, akan tetapi pemakainya tidak dapat kita identikan dengan pemeluk
agama Islam radikal seperti kebanyakan yang terjadi di Jawa. Atau
pakaian Islam model ini diidentikan dengan kebangkitan Islam seperti
yang digalaukan oleh banyak negara di Eropa Barat maupun Amerika.
Pada
masa kekinian, pakaian muslim tidak melulu seperti pakaian jubah Arab,
akan tetapi memakai sarung, ataupun celana dengan bajunya teluk belangga
ataupun baju kokonya. Baju gamis koko merupakan fenomena yang menarik
juga. Sebab koko adalah sebutan kaka untuk Orang Cina. Dalam kata lain baju gamis yang populer juga diadopsi dari pakaian orang Cina.
Dialog Islam dan budaya Banjar juga terlihat pada seni ukir yang banyak menghiasi rumah-rumah Banjar.[17] Dalam agama Islam tampaknya ada pelarangan untuk menggambarkan mahluk-mahluk hidup, khususnya binatang. Pelarangan itu, tidak membuat seniman ukir Banjar
mandeg tanpa bisa berkreasi. Lingkungan flora berbentuk buah, bunga,
sulur dan batang di sekitarnya mengilhami seniman ukir Banjar untuk
berkarya. Perenungan pencarian alternatif untuk berkarya
sesuai dengan anjuran agama dilakukan dan ditemukan jalan keluarnya.
Pada akhirnya para seniman ukir Banjar mampu berkarya untuk
membangun seni ukir dan seni khias. Katakan saja nama-nama seperti
sungkul tiang tangga, tatah kandang rasi, tatah tataban, tatah tawing
halat, tatah atas lalongkang,dan tanah sampayan.[18]
Transformasi
budaya di Banjar dengan Jawapun masih terus berlanjut. Bahkan De Graaf
menyebut, bahwa budaya Melayu yang dekat dengan Jawa adalah budaya
Banjar.[19]
Katakan saja, gelar-gelar yang dipakai oleh sultan-sultan Banjar
merupakan contoh yang tampak karena tertulis dalam laporan-laporan
kolonial, yaitu sultan, susuhunan, panembahan dan khalifah merupakan
contoh dari persoalan itu.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar