Jejak Yahudi Di Madinah
Oleh: Asep Sobari Lc.
1. Seputar Terminologi Yahudi Dan Bani Isra’il
Yahudi dan Bani Isra’il merupakan kata yang selalu digunakan pada
periode Sirah untuk menyebut para pengikut ajaran Taurat. Meskipun
tampak menonjolkan aspek keagamaan, tapi sebenarnya ada perbedaan
mendasar antara keduanya. Bahkan, pemaknaan Yahudi sendiri tidak
bersifat baku, melainkan mengalami perkembangan yang cukup radikal
mengikuti fasefase sejarah yang dilalui oleh salah satu rumpun bangsa
Semit ini.
Pada dasarnya, kata Yahudi merupakan penisbatan yang memiliki sifat
hubungan darah, yakni keturunan Yahuda (Yahudza) bin Ya`qub. Dari garis
keturunan inilah lahir Dawud as. dan Sulaiman as. yang merupakan simbol
kebesaran bangsa ini sepanjang masa. Kebanggaan Yahudi adalah kata yang
dinisbatkan kepada Yahuda, salah seorang putera Nabi Ya`qub as.
2. Masyarakat Yahudi di Hijaz Sebelum Islam
Tidak banyak sumber sejarah yang menjelaskan asalusul keberadaan
Yahudi di wilayah Hijaz yang meliputi Mekah, Madinah, Thaif, Khaibar,
Fadak, Taima dan sekitarnya. Sumber sejarah yang ada, terbatas pada
beberapa catatan sejarawan muslim, yang berarti penulisannya dilakukan
setelah kedatangan Islam. Sementara catatan sejarah sebelum Islam, bisa
dikatakan sangat langka. Itupun terbatas pada ungkapan para penyair
dalam puisipuisi mereka. Alhasil, permulaan kedatangan masyarakat
Yahudi ke Hijaz tidak dapat dipastikan, karena tidak didukung data dan
fakta yang memadai.
Namun berbagai indikator menunjukkan, keberadaan masyarakat Yahudi di
tanah Hijaz sudah berlangsung sejak lama. Kondisi politik yang tidak di
stabil di Palestina sejak penyerangan Babilonia hingga Romawi, mendesak
masyarakat Yahudi mencari perlindungan bahkan pemukiman baru di
pelbagai daerah, terutama daerahdaerah yang memiliki hubungan langsung
dengan Palestina, seperti Hijaz. Selain faktor politik di Palestina,
kesuburan tanah di beberapa wilayah Hijaz, seperti Yatsrib (Madinah),
Khaibar, Taima, Wadi alQura dan Fadak, mendorong masyarakat Yahudi
untuk menjadikannya sebagai alternatif pemukiman baru bagi mereka (Jawad
Ali : 3675).
a. Aspek Sosial Politik
Di pemukiman baru tersebut, masyarakat Yahudi hidup berdampingan
dengan pribumi yang telah lebih dulu tinggal di tempat itu. Kondisi ini
memaksa mereka melakukan penyesuaian dengan budaya dan tradisi lokal.
Meskipun di Madinah, Khaibar dan Wadi alQuran, mereka berhasil
mendominasi berbagai aspek kehidupan tapi mereka tetap tidak dapat
menghindari tuntutan-tuntutan pragmatis di tempat baru. Cara berpakaian
dan nama mengikuti tradisi Arab. Samuel bin Yazid, Zubair bin Batha,
Sallam bin Misykam, Huyay bin Akhthab, adalah namanama tokoh Bani
Qainuqa` dan Bani Nadhir. Komunikasi sehariharipun menggunakan bahasa
Arab, meskipun masih ada pengaruh aksen Ibrani. Bahkan sebagian dari
kalangan Yahudi dikenal pandai berpuisi dalam bahasa Arab, diantaranya
adalah Ka`b bin Sa`d alQurazhi, Sarah al Qurazhiyah, Rabi` bin Abi
alHuqaiq dan Ka`b bin Asyraf (Jawad Ali: 3738).
Tidak hanya bahasa dan budaya, pernikahan antara etnik Bani Israil
dan Arab juga tidak dapat dihindari. Ka`b bin Asyraf adalah contohnya.
Menurut salah satu riwayat, ayahnya adalah keturunan Arab Thai’
sedangkan ibunya berdarah asli Bani Israil. Jawad Ali memberi alasan,
perkawinan silang antar etnik ini dapat terjadi karena –antara lain—
sejumlah orang Arab memeluk agama Yahudi.
Ketika masyarakat Yahudi tiba di Madinah, sejumlah kabilah Arab kecil
telah mendiami kota tersebut. Namun demikian, klanklan besar Yahudi,
seperti Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa` berhasil menempati
tempattempat strategis. Daerah `Awali (Wadi Mudzainib), Wadi Mahzur
dan Wadi Buthhan yang merupakan sumber air di Madinah, berhasil
dikuasai. Selain tanah, mereka juga menguasai perdagangan.
Pasar Bani
Qainuqa` menjadi pasar paling ramai dan lengkap, sekaligus jantung
perekonomian Madinah.
Sejak kedatangan Aus dan Khazraj, dua klan Arab berasal dari Azd
(Yaman), dominasi Yahudi di Madinah mulai pudar. Aus dan Khazraj
berhasil menggeser posisi Yahudi meskipun tidak dapat menguasai
daerahdaerah subur yang menjadi pemukiman dan kebun mereka.
Kehadiran Aus dan Khazraj yang mengancam hegemoni dan stabilitas
masyarakat Yahudi tidak disikapi secara konfrontatif. Masyarakat Yahudi
lebih mengutamakan perlindungan internal dengan membangun
bangunan-bangunan kokoh di daerah pemukimannya dalam bentuk benteng,
atham (semi benteng) dan ratij (rumah berdinding tanah liat). AsSamhudi
–dalam kitab Wafa’ alWafa—menyatakan terdapat lebih dari 59 atham dan
ratij milik Yahudi di Madinah.
Di dalam batas lingkungan eksklusif itulah, masyarakat Yahudi
melakukan segala aktivitas yang terkait antara sesama mereka, sehingga
kondisinya mirip dengan komunitas Ghetto yang identik dengan budaya
masyarakat Yahudi di seluruh penjuru dunia semasa diaspora.
Dalam berhubungan dengan komunitas lain di Madinah, masyarakat Yahudi
tampaknya lebih bersikap pragmatis. Perpecahan di kalangan internal
Yahudi mendorong mereka untuk membangun aliansi dengan masyarakat Arab
guna memperkuat posisinya. Bani Qainuqa` beraliansi dengan Khazraj,
sedangkan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah beraliansi dengan Aus
(alSyarif: 267).
Perpecahan internal Yahudi bukan sematamata strategi jitu mereka
untuk memecah belah kekuatan Aus dan Khazraj yang menjadi rival mereka.
Sekalipun secara tidak langsung, tujuan tersebut tercapai. Pada
kenyataannya, klan-klan Yahudi itu memang pecah, terutama setelah
menapaki puncak kekuasaan di Madinah. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah
memandang status mereka lebih terhormat daripada Bani Qainuqa`. Kedua
klan Yahudi tersebut berasal dari garis keturunan alKahin (Cohen),
keturunan Nabi Harun as yang dikenal relijius dan sangat terhormat (Ibn
Hisyam: 2/202).
b. Aspek Ekonomi
Sejak sebelum kedatangan Aus dan Khazraj hingga masa Islam. Yahudi
Madinah tetap menguasai perekonomian kota tersebut. Bani Nadhir dan Bani
Quraizhah menguasai tanahtanah tersubur, sedangkan Bani Qainuqa`
mengusai pasar terbesar. Kemahiran masyarakat Yahudi dalam bercocok
tanam yang diwarisi dari Palestina juga mereka terapkan. Begitu juga
kelihaian membuat perhiasan, pakaian, baju perang, senjata, alat alat
pertanian dan profesi lainnya semakin mengokohkan dominasi mereka atas
perekonomian Madinah.
Perdagangan valuta dan praktik riba juga dikenal luas di Madinah.
Dalam hal ini, tokoh tokoh Yahudi dan Arab memainkan peran yang sama.
Bunga riba yang dibebankan kepada peminjam kadang-kadang lebih besar
dari jumlah utang, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan memicu
banyak konflik (alSyarif: 301302).
Hubungan dagang para saudagar Yahudi Madinah dan Khaibar terjalin
dengan baik. Letak Madinah sebagai transit kafilah-kafilah dagang
Quraisy yang bertolak menuju pasar-pasar besar di Gaza dan Syam tentu
dimanfaatkan dengan baik oleh para pedagang domestik Madinah. Begitu
juga Khaibar yang terletak di persimpangan jalan dagang kafilah-kafilah
Ghathafan dan beberapa kabilah Najed lainnya.
3. Aspek Pendidikan dan Keagamaan
Lingkungan eksklusif masyarakat Yahudi di Madinah menjadi tempat
ideal untuk mengembangkan pendidikan dan tradisi keagamaan. Lembaga
pendidikan Yahudi di Madinah dikenal dengan nama Bait alMidras yang
berasal dari bahasa Ibrani, Midrash, yang berarti kajian dan penjelasan
teksteks keagamaan. Tampaknya, Midras juga berfungsi sebagai tempat
ibadah dan pertemuan penting untuk membahas masalah masalah agama
(Jawad Ali: 4876).
Meskipun orangorang Yahudi tidak tertarik menyebarkan agama, tapi
bukan berarti tidak ada orang Arab yang memeluk Yahudi. Kondisi sosial
yang majemuk, kebutuhan pragmatis yang berkaitan dengan ekonomi dan
keamanan, serta faktor-faktor lainnya, membuat orang-orang Yahudi
berkepentingan dengan adanya orang-orang Arab yang memeluk agama
mereka. Namun perlu dicatat, pilihan memeluk agama Yahudi ini dilakukan
oleh individuindividu dan tidak ada fakta yang menyebutkan perpindahan
agama secara masif yang dilakukan oleh satu kabilah Arab secara
bersamasama (al Syarif: 248).
4. Hubungan Yahudi dengan Masyarakat Muslim
a. Apakah Rasulullah saw. Berhubungan dengan Penganut Yahudi di Mekah?
Banyak ayat AlQur’an yang menyinggung Bani Isra’il dan agama Yahudi.
Kedudukan mereka sebagai Ahl alKitab menjadi sorotan tersendiri,
karena sepatutnya merekalah orang yang lebih cepat menerima ajaran
AlQur’an yang merupakan penerus dan membenarkan ajaran asli Taurat.
Persinggungan wacana yang dikembangkan dalam AlQur’an mendahului kontak
fisik antara Rasulullah saw. dan kaum muslimin dengan masyarakat
Yahudi. Meskipun sulit dipungkiri adanya sejumlah saudagar Yahudi yang
berdagang ke Mekah dan tinggal disana untuk urusan berbisnis, namun
tidak ada fakta yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah
berhubungan dengan mereka, terlebih lagi dalam masalah agama.
Kabar tentang masayarakat Yahudi tentu diketahui, bahkan dikuasai
dengan baik oleh Rasulullah saw. Selain cepat atau lambat, pasti akan
berhubungan dengan penganut Taurat tersebut, harapan Rasulullah saw.
untuk menemukan alternatif pusat dakwah Islam selain Mekah, mendesak
beliau untuk mengetahui lebih detail kondisi masyarakat masyarakat di
sekitarnya, termasuk Madinah.
Karena itu, saat menemui sekelompok pemuda Khazraj di Mina,
pertanyaan pertama yang beliau sampaikan adalah, “Apakah kalian
orang-orang yang beraliansi dengan Yahudi?”. (Ibn Hisyam: 428).
Tampaknya beliau sudah sangat menguasai seluk beluk karakter sosial
Madinah, termasuk hubungan Aus dan Khazraj dengan klanklan Yahudi yang
tinggal berdampingan dengan mereka itu.
b. Dakwah Rasulullah saw. kepada Masyarakat Yahudi
Hubungan dakwah Rasulullah saw. dengan Yahudi Madinah terjalin sejak
dini. Riwayat Bukhari dan Ibn Ishaq mengisyaratkan kedatangan Abdullah
bin Salam, seorang ulama Yahudi Bani Qainuqa`, dan keputusannya memeluk
Islam terjadi hanya beberapa saat setelah beliau menetap di Madinah.
Peristiwa ini pula yang memicu undangan Rasulullah saw. kepada
masyarakat Yahudi untuk mengajak mereka memeluk Islam dan menjadikan
Abdullah bin Salam sebagai bukti pembenarannya (alMubarakfuri: 140).
c. Piagam Madinah; Konsepsi Konstitusi Islam untuk Masyarakat Plural
Kedatangan Rasulullah saw. ke Madinah secara langsung menjadi
penguasa baru di kota tersebut, karena Aus dan Khazraj, dua klan Arab
yang mendominasi Madinah, adalah pihak yang mengundang sekaligus
mengangkat beliau sebagai pemimpin. Latar belakang masyarakat Madinah
yang sangat majemuk, karena terdiri dari beberapa etnik Arab dan Yahudi
mendesak adanya peraturan umum yang mengatur kehidupan bersama dengan
baik. Disinilah letak pentingnya Piagam Madinah yang ditetapkan oleh
Rasulullah saw. berdasarkan kaedah dan prinsip Islam. Hal ini juga
membuktikan, ajaran Islam dapat mengatur kepentingan bersama masyarakat
muslim dan non muslim, tanpa harus menghilangkan karakter khas
masingmasing, terutama agama.
AlMubarakfuri merangkum beberapa bagian pasal Piagam Madinah yang
mengatur hubungan masyarakat Muslim dengan Yahudi seperti berikut,
1. Yahudi Bani `Auf merupakan satu komunitas bersama masyarakat
Mu’min. Orangorang Yahudi berhak menjalankan agama mereka dan
orangorang muslim berhak menjalankan agama mereka…begitu juga klanklan
Yahudi lainnya diluar Bani `Auf.
2. Masyarakat Yahudi harus menanggung biaya hidupnya sendiri dan
orangorang muslim juga harus menanggung biaya hidupnya sendiri.
3. Masyarakat Yahudi dan Muslim harus saling bahu membahu melawan musuh yang menyerang pihak yang menandatangani Piagam ini.
4. Mereka juga harus saling memberi saran dan nasihat dalam kebaikan, tapi tidak demikian dalam kejahatan.
5. Siapa pun yang dizalami maka wajib ditolong.
6. Masyarakat Yahudi dan Mu’min harus bersatu padu ketika diserang musuh.
7. Jika terjadi perselisihan atau pertikaian antara pihakpihak yang
menyepakati Piagam ini, sehingga khawatir akan merusak hubungan, maka
keputusannya harus dikembalikan kepada hukum Allah azza wa jalla dan
Muhammad, utusan Allah saw.
8. Siapa pun tidak boleh memberi suaka (perlindungan) kepada Quraisy dan pendukungnya
5. Pengkhianatan dan Konspirasi Yahudi
Dipandang dari sudut mana pun, bagi masyarakat Yahudi, kedatangan Rasulullah saw.
dan kaum muslimin ke Madinah tidak menguntungkan. Keharmonisan Aus
dan Khazraj
adalah ancaman terbesar sejak lama, apalagi ditambah pihak ketiga yang menjadi
kekuatan baru yang semakin merekatkan hubungan mereka. Masyarakat Yahudi tidak
pernah dapat menghapus trauma kehadiran pihak asing yang bertentangan dengan
kepentingan mereka. Eksistensi Yahudi di Madinah benarbenar diambang
kehancuran.
Terlebih lagi, masyarakat Muhajirin Mekah adalah pedagangpedagang handal. Sejak
harihari pertama kedatangannya, Abdurrahman bin `Auf telah menunjukkan
kepiawaian
dalam meraih keuntungan di pasar Bani Qainuqa` (Bukhari: no. 1908). Seiring dengan
perjalanan waktu, Usman bin `Affan, Zubair bin `Awwam dan namanama populer
lainnya dalam kancah perdagangan Arab masa itu menjadi
pesaingpesaing baru bagi pedagang Yahudi.
Persaingan di pasar diperparah dengan kehadiran aturanaturan baru dalam segala
transaksi ekonomi yang dibuat oleh Rasulullah saw. Larangan menipu, menimbun,
menjual khamr dan praktik riba, adalah diantara yang semakin mengekang
sistem ‘pasar
bebas’ yang berkembang sebelumnya. Khamr (arak) merupakan komoditi yang sangat
potensial bagi masyarakat Yahudi. Selain menjajakan arak lokal, mereka biasa
mengimpornya dari Syam.
Semua faktor di atas, selain tentu saja
keyakinan dan agama, meningkatkan ketegangan antara Yahudi dan kaum
muslimin. Beberapa fakta membuktikan adanya usaha individu
ataupun kolektif kelompok Yahudi untuk memicu perselisihan hingga perang besar
besaran.
a. Benih-benih Pengkhianatan
Ibn Ishaq meriwayatkan, Syas bin Qais, seorang sesepuh Yahudi melewati sekelompok
pemuda Aus dan Khazraj yang sedang berkumpul. Mereka terlibat perbincangan yang
hangat dan akrab. Pemandangan ini membakar hati Syas, maka
segera ia suruh seorang
pemuda Yahudi untuk ikut dalam pembicaraan tersebut dengan mengingatkan mereka
kepada peristiwa kelam di masa lalu, perang Bu`ats yang telah menelan korban tokoh
tokoh besar Aus dan Khazraj.
Kehangatan segera berubah menjadi ketegangan. Kedua kelompok Anshar
tersebut nyaris
saja baku hantam, bahkan terlibat pertumpahan darah, jika saja Rasulullah saw. tidak
segera datang dan melerai. (Ibn Hisyam: 553554).
Kasus Ka`b bin Asyraf, tokoh terkemuka Bani
Nadhir, merupakan model paling krusial penaburan benih pengkhiantan
dalam skala individu. Kelihaian menggubah puisi, media
propaganda paling efektif masa itu, menempatkan Ka`b dalam posisi yang sangat
membahayakan. Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar, Ka`b
menunjukkan permusuhannya secara terbuka. Ia segera pergi ke Mekah untuk
mengucapkan simpati dan bela sungkawa atas terbunuhnya
pembesarpembesar Quraisy
di Badar dalam rangakaian puisi yang menyayat hati. Tidak cukup disitu, ia juga
mengobarkan semangat Quraisy untuk segera melupakan kekalahan dan menyiapkan
pembalasan yang jauh lebih hebat (alShallabi: 2/5658).
b. Konspirasi Yahudi
Bani Qainuqa` adalah klan Yahudi yang lebih dulu menunjukkan aksi pengkhianatan
kolektif terhadap kesepakatan Piagam Madinah. Kemenangan kaum muslimin di Badar
membuka mata mereka, bahwa kekuatan dan dominasi kaum muslimin di Madinah
menjadi kenyataan. Bagi Bani Qainuqa`, ketergantungan ekonomi kepada mekanisme
pasar yang mereka kuasai tidak lagi menggairahkan seperti dahulu.
Tampaknya benih pengkhiantan kolektif Bani Qainuqa` telah tercium oleh Rasulullah
saw. Menurut Abu Dawud, beberapa saat setelah kembali dari Badar, Rasulullah saw.
mengumpulkan Bani Qainuqa` di pasar mereka untuk memberi peringatan.
Namun juru bicara Bani Qainuqa` malah menjawab, “Hai Muhammad! Jangan
pernah merasa bangga
hanya karena berhasil membunuh segelintir orangorang Quraisy yang tidak pandai
berperang itu. Seandainya kami yang menjadi lawanmu, engkau baru akan
tahu, kamilah tandinganmu yang sebenarnya. Dan, engkau tidak akan banyak
berkutik melawan kami”. (alMubarakfuri: 226)
Sebatas perlawanan verbal, Rasulullah saw. hanya melihatnya sebagai indikator
pengkhianatan.
Tapi setelah terjadi kasus pelecehan wanita muslim di pasar Bani
Qainuqa` yang disusul dengan pembunuhan lelaki muslim yang membelanya,
Rasulullah saw. mengepung Bani Qainuqa` lalu mengusir mereka dari
Madinah.
Pembunuhan Ka`b bin Asyraf dan pengusiran Bani Qainuqa` dari Madinah cukup
meredam gejolak pengkhianatan klan Yahudi lainnya. Tapi kekalahan kaum muslimin
dalam perang Uhud dan tragedi Bi’r Ma`unah menumbuhkan kepercayaan diri Yahudi.
Bani Nadhir, klan yang paling kuat saat itu, berkhianat. Diawali dengan memberi
perlindungan kepada Abu Sufyan saat melakukan oprasi militer (Perang Sawiq) ke
Madinah (Ibn Ishaq: 108).
Pelanggaran terhadap salah satu pasal Piagam Madinah tersebut disusul dengan
pelanggaran lain. Bani Nadhir tidak bersedia menanggung biaya diyat (denda
pembunuhan) yang seharusnya dipikul bersama. Bahkan lebih jauh lagi, mereka
menyusun rencana pembunuhan Nabi saw. (al`Umari: 146). Rencana busuk itupun
terbongkar, sehingga Rasulullah saw. segera mengumumkan ultimatum
pengusiran Bani
Nadhir dari Madinah.
Mulanya Bani Nadhir berusaha bertahan karena Abdullah bin Ubay,
pemimpin kelompok
Munafik menjanjikan bantuan (alMubarakfuri: 280), tapi kemudian menyerah dan
terpaksa meninggalkan Madinah setelah dikepung selama 15 hari. Pada
dasarnya, mereka
diusir ke Syam, tapi sejumlah tokoh penting Bani Nadhir seperti Huyay bin Akhthab,
Salam bin Abi alHuqaiq dan Kinanah bin Rabi` memutar haluan menuju
Khaibar, koloni Yahudi terkuat di Hijaz. (alUmari: 149).
c. Kelihaian Lobi Yahudi; Kasus Perang Ahzab
Ahzab adalah aliansi sejumlah klan Arab besar yang meliputi Quraisy, Ahbasy,
Ghathafan bersama sekutunya. Mereka melakukan kesepakatan dengan Yahudi untuk
menyerang Madinah. Perang Ahzab yang mencatat rekor fantastik dalam sejarah
peperangan Arab saat itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai bukti
kelihaian lobi Yahudi. Para sejarawan mengungkapkan, provokator perang
Ahzab adalah sebuah tim kecil yang dibentuk di Khaibar dan dipimpin
oleh kalangan elit Bani Nadhir, yaitu Sallam bin Abi alHuqaiq, Huyay
bin Akhthab, Kinanah bin Rabi`, Haudzah bin Qais dan Abu `Ammar
(alShallabi: 2/256). Pembentukan tim ini tentu disetujui oleh tokohtokoh Yahudi
Khaibar sendiri dengan target yang sangat besar, menggalang kekuatan
Arab dalam satu pasukan terpadu untuk menyerang Madinah.
Sasaran tim yang paling realistis adalah dua kabilah Arab, Quraisy
dan Ghathafan. Selain
merupakan kabilah besar dan memiliki sekutu yang loyal, keduanya memiliki
kepentingan langsung dengan Madinah. Menggalang dukungan Quraisy tentu lebih
mudah, karena permusuhan mereka dengan Madinah sudah cukup menjadi pemicu
utama. Tapi para provokator ini menambahkan dukungan moral yang
tidak kecil, yakni memberi pengakuan bahwa agama Quraisy lebih baik
daripada agama Muhammad saw.
Allah swt. mengecam pragmatisme murahan Yahudi ini dalam surah alNisa’: 5152:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orangorang yang diberi bagian dari Al kitab?
Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orangorang Kafir
(musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orangorang yang
beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah,
niscaya kamu sekalikali tidak akan memperoleh penolong baginya”.
Sedangkan untuk meraih dukungan Ghathafan, tim Yahudi melakukan kontrak
kesepakatan dengan kabilah besar Najed tersebut dalam dua pasal yang saling
menguntungkan; 1). Ghthafan harus menghimpun pasukan sebanyak 6000 orang; 2).
Yahudi akan membayar klanklan Ghathafan yang bergabung dalam pasukan tersebut
dengan seluruh hasil panen kurma Khaibar dalam setahun (alShallabi:
2/257).
Lobi Yahudi ini berhasil dengan
gemilang. Kabilahkabilah Arab yang telah melakukan
kesepakatan itu berdatangan ke Madinah dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki.
Tidak tanggungtanggung, jumlah mereka mencapai 10.000 pasukan. Jumlah yang
disebut alMubarakfuri sebagai catatan rekor fantastis dalam sejarah kemiliteran Arab
pada masa itu.
Merasa tidak cukup dengan menggalang kekuatan Arab. Huyay bin Akhthab berusaha
keras membujuk klan Yahudi terakhir yang masih berada di Madinah dan mentaati
kesepakatan Piagam Madinah, Bani Quraizhah, untuk mendukung logistik Ahzab dan
menggerogoti kekuatan Madinah dari dalam. Lobi inipun akhirnya berhasil. Quraizhah
berkhianat, sehingga Madinah semakin terjepit (alMubarakfuri:
293). Namun dengan
strategi yang jitu dan pertolongan Allah swt., akhirnya kaum muslimin berhasil keluar
dari medan perang sebagai pemenang.
Dengan pengkhianatan Bani Quraizhah, habislah kekuatan Yahudi di Madinah.
Rasulullah saw. menghukum meraka sebagai pengkhianat perang, semua lakilaki Bani
Quraizhah yang terlibat perang dipancung, anakanak dan wanita ditawan, dan harta
benda mereka dirampas (alMubarakfuri: 301).
Setelah itu, kekuatan Yahudi yang signifikan hanya tersisa
di Khaibar. Di tempat inilah
tersimpan potensi ancaman yang tidak dapat diremehkan. Selain menjdai rahim yang
melahirkan provokasi Ahzab, Khaibar memiliki bentengbenteng yang kuat
dan letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalan yang
menghubungkan daerah timur dan selatan Jazirah Arab.
Rasulullah saw. harus konsentrasi penuh guna melumpuhkan kekuatan Khaibar.
Gencatan senjata yang disepakati dengan Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah pada
tahun 6H menjadi momentum yang sangat tepat. Beberapa saat setelah itu Rasulullah
saw. langsung melancarkan serangan besarbesaran ke Khaibar dan menang.
Masyarakat Yahudi Khaibar yang kebanyakannya petani tidak diusir dari
daerah tersebut, melainkan
diizinkan tinggal untuk mengelola kebunkebun Khaibar dan berbagi hasil dengan para
pemilik barunya, kaum muslimin.
PENUTUP
Demikianlah sekelumit gambaran kehidupan masyarakat Yahudi, terutama di Madinah,
dan persentuhan mereka dengan kaum muslimin pada permulaan sejarah Islam.
Penyimpangan dari ajaran Taurat yang mengkristal dalam nilai dan sistem yang
mendasari kehidupan sosial, ekonomi dan politik, berakibat pada penolakan mereka
terhadap ajaran Islam.
Namun demikian, bukan berarti seluruh masyarakat Yahudi menolak Islam. Sejarah
mencatat bebarapa individu Yahudi memeluk Islam saat itu. Diantaranya Abdullah bin
Salam dan keluarganya dari Bani Qainuqa`(Ibn Hisyam: 516) 1 ; Yamin bin
`Amr dan Abu
Sa`d bin Wahb dari Bani Nadhir (al`Umari: 149); dan `Athiyyah alQurazhi,
Abdurrahman bin Zubair bin Batha, Rifa`ah bin Samuel dan beberapa orang lagi dari
Bani Quraizhah (alMubarakfuri: 302).
Rujukan
- AlQur’an alKarim
- Shahih alBukhari [alMaktabah alSyamilah]
- Ibn Hisyam, alSirah alNabawiyyah [alMaktabah alSyamilah]
- Ali, Jawad, alMufashshal fi Tarikh alArab Qabl alIslam [alMaktabah alSyamilah]
- AlSyarif, Ahmad Ibrahim, Makkah wa alMadinah fi alJahiliyyah wa `Ahd alRasul saw. [alMaktabah alSyamilah]
- Al`Umari, Akram Dhiya’, alMujtama` alMadani fi `Ahd alNubuwwah [al
- Maktabah alSyamilah]
- AlMubarakfuri, Shafiy alRahman, alRahiq alMakhtum, Dar alSalamRiyadh, 1418 H
- AlShallabi, Ali Muhammad, alSirah alNabawiyyah; `Ardh Waqa’i` wa Tahlil Ahdats, Dar Ibn KatsirBeirut, 1425 H/2004