Berdirinya Ponorogo.
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan
Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari
Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara. Raden Kudha
Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja
Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi
Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.
Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi
inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha
Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan
nama Ponorogo. Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan
Shri Gitarja.
Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan
harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang
dengan Majapahit. Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab
tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur
Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini
disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari
kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden
Bathara Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan
tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad,
bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang
Ksatria sejati.
Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati
gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak
menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara
Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita
itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat
persembunyian Raden Bathara Katong.
Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker
karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik.
Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak
Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an
Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses
langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden
Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan
melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker.
Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan
yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker. Dan ternyata,
Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.
Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong
harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong
harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia
harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki
Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah
membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu sudah
berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk
mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri.
Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja
Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu.
Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus
mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan
teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki
Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu. Bila semua sudah mulus
berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus
sesegera mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan
tempur tambahan.
Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!
Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng
Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.
Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh
dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka
politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan
niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta
menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan
Sura Handaka. (Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang
menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok
Suromenggolo : Damar Shashangka). Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala
berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka
tidak. Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk
kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara
simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris
Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada
Raden Bathara Katong.
Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal)
dan Rawe berarti Tegak ( Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan
yang tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil
diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken
Gendhini. Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui
semuanya.
Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam,
dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng
Mirah, atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur
ke Majapahit. Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu
Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru. Majapahit
dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak
ketiga bermain disana! Ironis sekali.
Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa
kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton,
bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya
diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu,
beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!
Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui
oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama
Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh
pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap
menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh
berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan
Majapahit.
Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus
bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata,
melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah.
Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil
dihancurkan!
Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria
sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah mencatatnya!
Alam telah merekamnya!
Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya
berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki
Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya
Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih,
bukannya bersuka cita.
Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus
saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena
disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria
yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan
militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan
Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!
Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat
pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya
menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah
berhasil menjadi Kadipaten Islam.
Kubu Abangan
Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang
sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga,
mati-matian membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali
mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada
mendirikan sebuah Negara Islam.
Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya
Teja adalah keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya
Ranggalawe yang berhasil memimpin pasukan Majapahit mengalahkan pasukan
Tiongkok Mongolia yang hendak menguasai Jawa ( Adipati Arya Ranggalawe
adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan
Majapahit.)
Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak
kandung beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan
kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat,
Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain ( seperti yang telah saya tulis
pada bagian pertama : Damar Shashangka ).
Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut
Sunan Kalijaga, sering terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak
Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan
Lamongan, Sunan Majagung (sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung),
Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.
Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.
Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar,
beliau adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau
sangat-sangat tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang merencanakan
berdirinya Negara Islam Jawa.
Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan
keluar dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari
Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai
seorang Mufti.
Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.
Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan
Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap
sangat membahayakan Islam. Semua dinamika ini, terus diamati oleh
intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak
dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten.
Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya.
Tapi Prabhu Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.
Keturunan di Pengging
Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan
dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang
sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi
Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat jelas
disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan
menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang
permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah
menjadi Negara Islam.
Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan
militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana
yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut Majapahit dengan cara
pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa dikuasai
oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih
bisa berjalan.
Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan.
Dari hasil perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang
anak. Yang sulung seorang putri, dinikahkan dengan Adipati
Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging (sekitar daerah Solo,
Jawa Tengah sekarang), putra kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa
di Madura, dan yang ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di
Istana. (Kelak, Raden Gugur inilah yang terkenal dengan julukan Sunan
Lawu, dipercaya sebagai penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak
didaerah Magetan, hingga sekarang : Damar Shashangka.)
Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak
tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden
Lembu Peteng yang mau memeluk Islam. Dari pernikahan putri sulung Dewi
Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah dua orang putra,
Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya juga tidak tertarik memeluk
Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan
menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi (didaerah Jogjakarta
sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau masih ada
dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.
Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai
Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain
adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat
limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris sah tahta
Majapahit.
Kebo Kenanga lantas dikenal dengan Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang
satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama
tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi
tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara
Shiva Buddha dan Islam.
Namun kedekatan mereka ini disalah artikan oleh ulama-ulama radikal
yang masih melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar
dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Dan
konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeh Siti Jenar
yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng
Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang
benar bahwa beliau lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak
ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah. Dan juga, Ki
Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti Jenar
hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti ini, tidak akan
bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging
dan Syeh Siti Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setelah
Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam, dua orang sahabat
ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun
Ki Ageng Pengging gugur karena korban kepicikan.
Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai
sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang
sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya
tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi masyarakat Jawa, walaupun
tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-terangan.
Ironis.
Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa.
Yaitu Mas Karebet atau Jaka Tngkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang
setelah Demak hancur dengan gelar Sultan Adiwijaya.
(Bersambung)
Oleh: Tatang M. Amirin
Hampir dalam banyak tulisan selalu disebutkan bahwa Majaphit hancur karena diserang oleh Demak, dan juga dikaitkan dengan “Budha” dihancurkan oleh “Islam.” Bahkan, ada tulisan yang menyebutkan bahwa orang Islam itu kejam. Anak (Islam) saja “wajib” membunuh “orang tuanya” yang “kafir” (Hindu). Raden Patah (Islam, anak Brawijaya) wajib membinasakan orang tuanya (Brawijaya) karena orang tuanya “masih kafir.” Itu antara lain kata Darmogandhul.
Nah, terkait dengan itu, ada baiknya tulisan berikut disimak dengan jernih, dengan logika keilmuan yang disertai bukti-bukti “peninggalan sejarah,” bukan sekedar dari naskah-naskah yang ditulis kemudian yang berbasis ceritera dari orang-orang ke orang-orang (tutur-tinular). Artinya, tulisan ini pun tetap bisa menjuadi “hipotesis.”
Ini tulisan dimaksud, dinukil dari Wapedia ["Wiki: Girindrawardhana"]
Brawijaya adalah nama raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Nama ini sangat populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti. Oleh karena itu perlu diselidiki dari mana asalnya para pengarang babad dan serat memperoleh nama tersebut. Nama Brawijaya diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, yang merupakan singkatan dari Bhatara Wijaya. Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, sedangkan Dayo bermakna Daha. Dari prasasti Jiyu diketahui bahwa Daha diperintah oleh Dyah Ranawijaya pada tahun 1486. Dengan kata lain, Brawijaya alias Bhatara Wijaya adalah nama lain dari Dyah Ranawijaya. Identifikasi Brawijaya raja terakhir Majapahit dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga diduga sebagai raja Majapahit. Kerajaan Dayo adalah ejaan Portugis untuk Daha, yang saat itu menjadi ibu kota Majapahit. Menurut Babad Sengkala pada tahun 1527 Daha akhirnya dikalahkan oleh Kesultanan Demak.
Ingatan masyarakat Jawa tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha tahun 1527 bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhra Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “ditempatkan” sebagai Brawijaya yang pemerintahannya berakhir tahun 1478. Akibatnya pula, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre Kertabhumi, yaitu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebut bahwa Bhre Kertabhumi juga bergelar Brawijaya. Lebih lanjut tentang identifikasi Brawijaya, bisa dilihat dalam artikel Bhre Kertabhumi dan Kertawijaya
Naskah babad dan serat tidak mengisahkan lagi adanya perang antara Majapahit dan Demak sesudah tahun 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan kronik Cina kuil Sam Po Kong, perang antara Demak melawan Majapahit terjadi lebih dari satu kali. Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Yang dimaksud dengan bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis di Malaka. Jin Bun pun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat istrinya adalah adik Jin Bun. Perang ini juga terdapat dalam catatan Portugis. Pasukan Majapahit dipimpin seorang bupati muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Selain itu Majapahit juga menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan ini gagal di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan gelar Kyai Mutalim Jagalpati. Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin putranya yang bernama Pangeran Sabrang Lor sampai tahun 1521. Selanjutnya yang naik takhta adalah Sultan Trenggana adik Pangeran Sabrang Lor. Menurut kronik Cina, pergantian takhta ini dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis. Perang antara Majapahit dan Demak pun meletus kembali. Perang terjadi tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit. Perang terakhir terjadi tahun 1527. Pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus putra Sunan Ngudung, yang juga menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen adipati Terung ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus. Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang menjadi pemimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Sultan Trenggana), yang bernama Toh A Bo.
Dari berita di atas diketahui adanya dua tokoh muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah putra Arya Damar. Ibunya juga menjadi ibu Raden Patah. Dengan kata lain, Raden Kusen adalah paman Sultan Trenggana raja Demak saat itu. Raden Kusen pernah belajar agama Islam pada Sunan Ampel, pemuka Wali Sanga. Dalam perang di atas, ia justru memihak Majapahit.
Berita ini membuktikan kalau perang antara Demak melawan Majapahit bukanlah perang antara agama Islam melawan Hindu sebagaimana yang sering dibayangkan orang, melainkan perang yang dilandasi kepentingan politik antara Sultan Trenggana melawan Dyah Ranawijaya demi memperebutkan kekuasaan atas pulau Jawa. Menurut kronik Cina, Pa-bu-ta-la meninggal dunia tahun 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana. Peristiwa kekalahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya ini menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Majapahit. Para pengikutnya yang menolak kekuasaan Demak memilih pindah ke pulau Bali.
Hampir dalam banyak tulisan selalu disebutkan bahwa Majaphit hancur karena diserang oleh Demak, dan juga dikaitkan dengan “Budha” dihancurkan oleh “Islam.” Bahkan, ada tulisan yang menyebutkan bahwa orang Islam itu kejam. Anak (Islam) saja “wajib” membunuh “orang tuanya” yang “kafir” (Hindu). Raden Patah (Islam, anak Brawijaya) wajib membinasakan orang tuanya (Brawijaya) karena orang tuanya “masih kafir.” Itu antara lain kata Darmogandhul.
Nah, terkait dengan itu, ada baiknya tulisan berikut disimak dengan jernih, dengan logika keilmuan yang disertai bukti-bukti “peninggalan sejarah,” bukan sekedar dari naskah-naskah yang ditulis kemudian yang berbasis ceritera dari orang-orang ke orang-orang (tutur-tinular). Artinya, tulisan ini pun tetap bisa menjuadi “hipotesis.”
Ini tulisan dimaksud, dinukil dari Wapedia ["Wiki: Girindrawardhana"]
Brawijaya adalah nama raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Nama ini sangat populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti. Oleh karena itu perlu diselidiki dari mana asalnya para pengarang babad dan serat memperoleh nama tersebut. Nama Brawijaya diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, yang merupakan singkatan dari Bhatara Wijaya. Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, sedangkan Dayo bermakna Daha. Dari prasasti Jiyu diketahui bahwa Daha diperintah oleh Dyah Ranawijaya pada tahun 1486. Dengan kata lain, Brawijaya alias Bhatara Wijaya adalah nama lain dari Dyah Ranawijaya. Identifikasi Brawijaya raja terakhir Majapahit dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga diduga sebagai raja Majapahit. Kerajaan Dayo adalah ejaan Portugis untuk Daha, yang saat itu menjadi ibu kota Majapahit. Menurut Babad Sengkala pada tahun 1527 Daha akhirnya dikalahkan oleh Kesultanan Demak.
Ingatan masyarakat Jawa tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha tahun 1527 bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhra Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “ditempatkan” sebagai Brawijaya yang pemerintahannya berakhir tahun 1478. Akibatnya pula, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre Kertabhumi, yaitu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebut bahwa Bhre Kertabhumi juga bergelar Brawijaya. Lebih lanjut tentang identifikasi Brawijaya, bisa dilihat dalam artikel Bhre Kertabhumi dan Kertawijaya
3. Pengangkatan Ranawijaya menurut Kronik Cina
Pemerintahan Bhre Kertabhumi tidak meninggalkan bukti prasasti, juga tidak diceritakan secara tegas dalam Pararaton. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong ditemukan adanya raja Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Pada tahun 1478 Kung-ta-bu-mi dikalahkan putranya sendiri bernama Jin Bun, yang lahir dari selir Cina. Jin Bun ini identik dengan Panembahan Jimbun alias Raden Patah pendiri Kesultanan Demak. Setelah itu, Majapahit menjadi bawahan Demak. Jin Bun mengangkat seorang Cina muslim sebagai bupati bernama Nyoo Lay Wa. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa mati akibat unjuk rasa kaum pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat bupati baru di Majapahit, seorang pribumi bernama Pa-bu-ta-la yang juga menantu Kung-ta-bu-mi. Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Tidak diketahui dengan pasti dari mana sumber sejarah yang digunakan oleh penulis kronik Cina tersebut.4. Hubungan Ranawijaya dengan Bhre Kertabhumi
Menurut kronik Cina di atas, Ranawijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai raja bawahan Demak. Pendapat lain mengatakan, Ranawijaya menjadi raja Majapahit atas usahanya sendiri, yaitu dengan cara mengalahkan Bhre Kertabhumi tahun 1478, demi membalas kekalahan ayahnya, yaitu Suraprabhawa. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Petak yang menyebutkan kalau keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit5. Perang Majapahit dan Demak
Pada umumnya, perang antara Majapahit dan Demak dalam naskah-naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu tahun 1478. Perang ini terkenal sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah, tetapi cerita ini cenderung bertentangan dengan fakta sejarah yang diperkuat oleh prasasti petak dan prasasti Jiyu bahwa Brawijaya dijatuhkan oleh Girindrawardhana pada tahun 1478. Jadi sesungguhnya terjadi adalah perang antara Demak dan Daha untuk memperebutkan hegomoni sebagai penerus Majapahit.Naskah babad dan serat tidak mengisahkan lagi adanya perang antara Majapahit dan Demak sesudah tahun 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan kronik Cina kuil Sam Po Kong, perang antara Demak melawan Majapahit terjadi lebih dari satu kali. Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Yang dimaksud dengan bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis di Malaka. Jin Bun pun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat istrinya adalah adik Jin Bun. Perang ini juga terdapat dalam catatan Portugis. Pasukan Majapahit dipimpin seorang bupati muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Selain itu Majapahit juga menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan ini gagal di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan gelar Kyai Mutalim Jagalpati. Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin putranya yang bernama Pangeran Sabrang Lor sampai tahun 1521. Selanjutnya yang naik takhta adalah Sultan Trenggana adik Pangeran Sabrang Lor. Menurut kronik Cina, pergantian takhta ini dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis. Perang antara Majapahit dan Demak pun meletus kembali. Perang terjadi tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit. Perang terakhir terjadi tahun 1527. Pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus putra Sunan Ngudung, yang juga menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen adipati Terung ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus. Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang menjadi pemimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Sultan Trenggana), yang bernama Toh A Bo.
Dari berita di atas diketahui adanya dua tokoh muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah putra Arya Damar. Ibunya juga menjadi ibu Raden Patah. Dengan kata lain, Raden Kusen adalah paman Sultan Trenggana raja Demak saat itu. Raden Kusen pernah belajar agama Islam pada Sunan Ampel, pemuka Wali Sanga. Dalam perang di atas, ia justru memihak Majapahit.
Berita ini membuktikan kalau perang antara Demak melawan Majapahit bukanlah perang antara agama Islam melawan Hindu sebagaimana yang sering dibayangkan orang, melainkan perang yang dilandasi kepentingan politik antara Sultan Trenggana melawan Dyah Ranawijaya demi memperebutkan kekuasaan atas pulau Jawa. Menurut kronik Cina, Pa-bu-ta-la meninggal dunia tahun 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana. Peristiwa kekalahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya ini menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Majapahit. Para pengikutnya yang menolak kekuasaan Demak memilih pindah ke pulau Bali.