Pembangunan Pura Dasar Gelgel
AWAL BERDIRI
Gelgel
adalah nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten daerah tingkat II
Klungkung. Dari Desa Samprangan, jaraknya tidak begitu jauh, hanya 17 km
menuju jurusan Timur. Letaknya tidak begitu jauh dari pantai Selatan
Bali dan di sebelah Timur mengalir Kali Unda yang airnya bersumber dari
lereng Gunung Agung yaitu mata air yang bernama Telaga Waja.
Ada tiga hal yang dapat diamati pada
proses perpindahan dari ibu kota dari Samprangan ke Sweca pura (Gelgel).
Pertama, proses perpindahan tersebut berjalan secara lancar dan Agra
Samprangan menerima kenyataan bahwa ia tidak mendapat dukungan lagi dari
pembesar kerajaan. Kedua, perpindahan pusat pemerintahan ini lebih
banyak dipertimbangkan atas dasar kebijaksanaan dalam bidang politik.
Ketiga, ada kemungkinan juga dipertimbangkan latar belakang komunikasi
dan transportasi.
STRUKTUR PEMERINTAHAN
Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi,
dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut
dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar
kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan
yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja.
Hubungan antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang
sudah merupakan suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam
menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan
yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari
pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam
masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari
putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh
yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama yang
berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.
SISTEM KEPEMIMPINAN
Golongan ksatria memegang pimpinan di
dalam pemerintahan. Hak golongan ksatria ini untuk memegang pemerintahan
dianggap sebagai karunia Tuhan, Brahmokta Widisastra memberikan
keterangan golongan ksatria lahir dari tugas khusus. Pekerjaan mereka
hanya memerintah, mengenal ilmu peperangan. Orang-orang yang memegang
jabatan di bawah raja merupakan keturunan para Arya yang menaklukkan
kerajaan Bali kuna. Secara turun temurun mereka memakai gelar "I Gusti"
atau "Arya" seperti Arya Kepakisan, I Gusti Kubon Tubuh, I Gusti Agung
Widia, I Gusti Agung Kaler Pranawa dan lain-lain.
Untuk
mengatur dan mengendalikan segala kelakuan dan kehidupan masyarakat
diperlukan adanya hukum. dalam masyarakat Majapahit berlaku hukum
tertulis dalam sebuah buku yang bernama Manawa Dharma Sastra sedangkan
di Bali dikenal buku yang berjudul Sang Hyang Agama.
KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Pengaruh
agama Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali sangat besar. Hampir semua
aspek kehidupannya dipancari oleh ajaran-ajaran agama Hindu sehingga
kehidupan masyarakatnya dapat dikatakan bersifat keagamaan atau sosial
religious.
Kepercayaan agama Hindu yang terpenting adalah kepercayaan yang disebut Sradha (lima keyakinan pokok) yang mencakup :
- Percaya
akan adanya satu Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa,
dalam bentuk konsep Tri Murti. Tri Murti mempunyai tiga wujud atau
manifestasi ialah : Brahma yang menciptakan, Wisnu memelihara dan Siwa
mempralina.
- Percaya terhadap konsep atman (roh abadi).
- Percaya terhadap punarbhawa (kelahiran kembali dari jiwa).
- Percaya terhadap hukum karmaphala (adanya buah dari setiap perbuatan).
- Percaya akan adanya moksa (kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali).
Pengaruh
kepercayaan dalam masyarakat juga amat besar. Salah satu wujud dari
pengaruh ini tampak dalam konsepsi dan aktifitas upacara yang muncul
dalam frekwensi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Bali, baik
upacara yang dilaksanakan oleh kelompok kerabat maupun oleh komunitas.
Keseluruhan jenis upacara di Bali digolongkan ke dalam lima macam yang
disebut Panca yadnya, yaitu :
- Dewa
Yadnya, merupakan upacara-upacara pada putra maupun Pura Keluarga, yang
ditujukan kepada para Dewa sebagai manifestasi Hyang Widhi.
- Rsi Yadnya, merupakan upacara yang berhubungan orang-orang suci yang berjasa dalam pembinaan agama Hindu.
- Pitra
Yadnya, merupakan upacara yang di tujukan kepada roh-roh leluhur,
meliputi upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur.
- Bhuta Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yaitu roh-roh di sekitar manusia yang dapat mengganggu.
- Manusa Yadnya, meliputi upacara daur hidup dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
BIDANG PENDIDIKAN, KESENIAN, KESUSASTRAAN
(Gambar kanan: Pura Dasar Gelgel)
Pendidikan ketika ini mempunyai corak yang
sesuai dengan masyarakat tradisional. Pendidikan dilakukan oleh
golongan elite atau inisiatif pribadi. Pendidikan yang menonjol pada
waktu itu adalah pendidikan keagamaan dan hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan kerajaan.
Orang-orang yang memberikan pendidikan
terdiri dari orang-orang Brahmana. Orang-orang yang memberikan pelajaran
disebut Sang Guru. Orang yang belajar disebut "sisya". Dalam proses
belajar di sebut "aguru" sedangkan proses memberikan pelajaran disebut
"asisia". Sebagai seorang sisya harus mentaati peraturan-peraturan yang
ketat.
Sejak runtuhnya
kerajaan Majapahit (1523 M) banyak warganya mengungsi ke Bali dengan
memindahkan segala yang dapat di bawa, termasuk seni dan budaya dengan
seni tarinya. Kemudian seni tari ini berkembang dengan suburnya terutama
zaman keemasan pemerintahan Dalem Batur Enggong (1460-1550). Hal in
disebabkan raja menaruh perhatian besar dan memberikan pengayoman
terhadap perkembangan kesenian khususnya seni tari di samping
pemerintahan yang aman dan tentram.
Dalam
masa Pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali, naskah-naskah lontar
banyak dibawa dari Jawa ke Bali. Kalau kiranya yang demikian tidak
terjadi, maka tidak akan banyak lagi yang tinggal dari kesusastraan Jawa
Kuna. Kebanyakan naskah lama kedapatan di Bali karena di Jawa naskah
Kuna kurang mendapat perhatian lagi karena masuknya Islam.
Pura Segening Gelgel
Setelah
Dalem Batur Enggong wafat digantikan oleh Dalem Sagening dari tahun
1380-1665 M. Pada masa ini muncul Pujangga, Pangeran Telaga di mana
tahun 1582 mengarang : 1. Amurwatembang, 2. Rangga Wuni, 3. Amerthamasa,
4. Gigateken, 5. Patal, 6. Sahawaji, 7. Rarengtaman, 8. Rarakedura, 9.
Kebo Dungkul, 10. Tepas dan 11. Kakansen. Sedangkan Kyai Pande Bhasa
mengarang : Cita Nathamarta, Rakkriyan Manguri mengarang :
Arjunapralabdha, Pandya Agra Wetan mengarang : Bali Sanghara.
Pura-pura yang dibangun atas petunjuk Dang Hyang Dwijendra adalah :
- Pura Purancak di Jembrana,
- Pura
Rambut Siwi di dekat desa Yeh Embang dibangun kembali atas petunjuk
beliau dan di sana disimpan potongan rambut Dang Hyang Dwijendra,
- Pura Pakendungan di desa Braban Tabanan, di sini disimpan keris beliau.
- Pura Sakti Mundeh dekat desa Kaba-kaba Tabanan.
- Pura Petitenget di pantai laut dekat desa Kerobokan (Badung) di sini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih) dan
- Pura
Dalem Gandhamayu yang terletak di desa Kamasan (Klungkung) di tempat
itu beliau menemukan bau harum sebagai isyarat dari Hyang widhi.
PEMERINTAHAN RAJA RAJA GELGEL
- DALEM KETUT NGULESIR ( 1320 - 1400 ) M
Merupakan raja pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih
kurang 20 tahun (tahun 1320-1400). Ada beberapa yang dapat diamati
selama masa pemerintahan raja Gelgel pertama, raja dikatakan berparas
sangat tampan ibarat Sanghyang Semara, serta memerintah dengan bijaksana
dan selalu berpegang pada Asta Brata.
(Gambar kanan: Pura Dasar Gelgel)
Dalem Ktut Ngulesir adalah seorang raja
yang adil, suka memberi penghargaan kepada orang yang berbuat baik,
serta tidak segan-segan menghukum mereka yang berbuat salah. Baginda
menganugrahkan suatu predikat tanda penghargaan wangsa "Sanghyang"
dengan sebutan "Sang" kepada masyarakat desa Pandak, di mana mereka
bermukim dahulu.
Pada
masa pemerintahan prabhu Hayam Wuruk yang mengadakan upacara Cradha dan
rapat besar, dihadiri pula oleh Dalem Ktut Ngulesir beserta semua
raja-raja di kawasan Nusantara. Kehadiran dengan tata kebesaran itu
menimbulkan kekaguman para raja yang lain serta masyarakat yang
menyaksikan. Beliau disertai oleh Patih Agung, Arya Patandakan, dan Kyai
Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh).
- DALEM BATUR ENGGONG ( 1460 - )
Dalem Batur Enggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan gelar Dalem
Batur Enggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan negara yang stabil. Hal
ini telah ditanamkan oleh almarhum Dalem Ktut Ngulesir, para mentri dan
pejabat-pejabat lainnya demi untuk kepentingan kerajaan.
Dalem
dapat mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam bidang
pemerintahan, sosial politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman
keemasannya. Jatuhnya Majapahit tahun 1520 M tidak membawa pengaruh
negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan sebaliknya sebagai suatu spirit
untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat utuh.
Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti Kepakisan yang
berkuasa di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil, bijaksana.
Setelah wafatnya Dalem Watur Enggong, maka menurut tradisi yang
berlaku, baginda digantikan oleh putra sulungnya yaitu I Dewa Pemayun,
yang selanjutnya disebut Dalem Bekung. Karena umurnya belum dewasa, maka
pemerintahannya dibantu oleh para paman dan Patih Agung. Para paman
yang membantu adalah : I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa
Pagedangan, I Dewa Anggungan dan I Dewa Bangli. Kelima orang itu adalah
putra I Dewa Tegal Besung saudara sepupu Dalem Waturenggong.
Dalem Sagening dinobatkan menjadi raja pada tahun 1580 M. Menggantikan
Dalem Bekung dalam suasana yang amat menyedihkan, dan Dalem Sagening
seorang raja yang amat bijaksana, cerdas, berani, berwibawa maka dalam
waktu yang singkat keamanan kerajaan Gelgel pulih kembali. Sebagai Patih
Agung adalah Kryan Agung Widia putra pangeran Manginte, sedangkan
adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan kedudukan Demung.
Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :
- I
Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan
jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen
Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai
Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.
-
I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis) beribu seorang ksatria
dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di
daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa
meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.
-
Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji, atas perintah Dalem di
tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di daerah itu, dibantu oleh
keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan Buleleng yang
kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.
-
Dalem Anom Pemahyun. Setelah Dalem Sagening wafat pada tahun 1665, maka
I Dewa Anom Pemahyun dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Dalem Anom
Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan
pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan pergantian para
pejabat yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.
- Dalem
Dimade. Setelah Dalem Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, maka I
Dewa Dimade dinobatkan menjadi susuhunan kerajaan Bali dengan gelar
Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang sabar, bijaksana dalam
mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung adalah Kyai
Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita
tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung.
Sebagai demung diangkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung adalah Kryan
Bebelod.
Kebesaran kerajaan Gelgel yang pernah dicapai kini hanya tinggal
kenang-kenangan di dalam sejarah. Setelah Dalem Dimade meninggalkan
istana Gelgel tahun 1686 M maka kekuasaan di pegang oleh Kryan Agung
Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali tidak lagi merupakan kesatuan di
bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali mengalami perpecahan di antara
para pemimpin, kemudian mucul kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat,
sehingga daerah kekuasaan Kryan Maruti tidak seluas daerah kekuasaan
kerajaan Gelgel yang dahulu.
Sumber