Mangkunegara VI
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VI (1896-1916) bernama kecil BRM. Suyitno atau KPA. Dayaningrat, adalah adik dari Mangkunegara V dan memerintah di Mangkunegaran sebelum kemudian digantikan oleh keponakannya, Mangkunegara VII. Lahir 1 Maret 1857, ayahnya adalah Mangkunegara IV dan ibundanya adalah RAy. Dunuk, putri dari Mangkunegara III.
Mangkunegara V tidak digantikan oleh putranya langsung karena
puteranya belum mencapai kematangan untuk berkuasa. Menurut KPH.
Gondosuputro, tampilnya Mangkunegara VI sebagai penguasa menggantikan
kakaknya adalah pesan dari ayahandanya Mangkunegara IV yang disampaikan oleh ibundanya RAy. Dunuk agar Mangkunegara V penerusnya adalah yang berasal dari Mangkunegara IV.
Kontroversial Pergantian Tahta
Pergantian tahta dari Mangkunegara V ke adiknya yang kemudian
bergelar Mangkunegara VI menyisakan sejumlah pertanyaan, namun jalannya
pemerintahan Kadipaten tetap menjadi pertaruhan yang besar dan seakan
akan mengalahkan persoalan persoalan yang menurut ukuran Jawa adalah
yang prinsipial. Mangkunegara V yang menderita sakit akibat terjatuh
dari kuda di hutan kutu Wonogiri berkelanjutan dengan wafatnya sang
Adipati.
Sang Adipati tidak digantikan oleh puteranya tetapi oleh adiknya yang
tidak memiliki hak atas tahta, justru membuat sejarah baru dalam sistem
pergantian kekuasaan di Mangkunegaran. Berbagai argumen dapat diajukan
untuk menjawab keganjilan tetapi konsep kekuasaan bahwa pemerintahan
Praja Mangkunegaran tidak boleh kosong merupakan senjata yang paling
piawai untuk meniadakan ketidakpuasan.
Tampil Sebagai Penguasa
Mangkunegara VI mulai bertahta pada
tanggal 21 November 1896, dan selanjutnya tampil sebagai penguasa yang
membawa pembaharuan dan perubahan. Berbeda dengan kakaknya Mangkunegara V yang mengedepankan Kesenian,
Mangkunegara VI lebih mengedepankan keuangan dan ekonomi sehingga kas
kerajaan yang di zaman kakaknya memerintah hampir kosong oleh
Mangkunegara VI digemukkan kembali. Segala macam kebutuhan yang
menghisap keuangan dan tidak terlalu utama disingkirkan untuk efisiensi.
Keuangan Mangkunegaran
pada masa itu sedang jatuh akibat kurang tertibnya manajemen
pengelolaan dalam bisnisnya. Di samping itu, harga gula di pasaran dunia
juga sedang jatuh karena mendapat pesaing baru dari Brasil. Pada masa
Mangkunegara VI ini, utang kerajaan yang ditinggalkan pendahulunya dapat
dilunasi.
Mangkunegara VI juga mempelopori model penampilan dengan pemotongan
rambut yang pendek dengan memotong rambutnya sendiri dan semua pejabat
serta kawula diwajibkan untuk tidak memelihara rambut panjang bagi laki
laki. Sembah sungkem kepada atasan juga diubah tidak berkali-kali,
tetapi cukup tiga kali. Ikatan dengan Kasunanan yang mewajibkan
Mangkunegara harus menghadap setiap persidangan kerajaan diputus
sehingga Mangkunegaran selain otonom juga menjadi pesaing semakin serius
dalam memperebutkan hegemoni kebudayaan di Jawa.
Sebelum Mangkunegara VI bertahta, sistem pertemuan dengan duduk
dilantai dan pada masa pemerintahannya diubah dengan sistem duduk di
kursi dan hal ini adalah yang pertama kali sejak Mangkunegaran berdiri.
Mangkunegara VI pulalah yang memberi izin bagi kerabat pura untuk
memeluk agama Kristen.
Perekonomian Mangkunegaran
Terhitung 1 Juni 1899 semua kepengurusan perusahaan perusahaan Mangkunegaran kembali lagi ke Praja Mangkunegaran dengan pengendali langsung oleh Mangkunegara VI
yang memisahkan antara keuangan perusahaan dan keuangan kerajaan.
Akibat dari kebijakan penguasa Mangkunegaran ini, semua perusahaan
berada dalam kontrol seorang superintenden
(Wasino, 2008) dan campur tangan residen Belanda dalam keuangan
perusahaan berakhir. Sektor-sektor ekonomi pedesaan tradisional diubah
menjadi modern dengan jalan memperbanyak perkebunan dengan ditanami
kopi, nila, tebu, atau gula di wilayah Praja (Lombard, 1996). Kondisi wilayah Mangkunegaran yang agraris difungsikan dan dikelola dengan prinsip keteraturan warisan ayahnya.
Konflik antara Residen dengan Mangkunegara VI sering terjadi dalam
tarik ulur karena pihak Mangkunegaran yang memiliki otonomi pengaturan
menolak campur tangan Residen. Residen Surakarta Van Wijk melakukan
intervensi dengan cara pihak Mangkunegaran diwajibkan untuk konsultasi
dalam melakukan anggaran keuangan kerajaan. Disamping itu Mangkunegara
VI juga pernah melakukan penyitaan terhadap Nederlandsch-Indische
Spoorweg Maatschappij (perusahaan kereta api swasta Belanda), yang tidak
mampu membayar pajak untuk tanah-tanah yang disewanya.
Politik Dan Kebijakan Pemerintahan
1. Politik Ikat Pinggang
Politik ikat pinggang menerangkan pada maksud bahwa demi
menyelamatkan Mangkunegaran dari keterpurukan dan kebangkrutan sebagai
suatu kadipaten, maka efisiensi penggunaan keuangan diupayakan untuk
ditekan sedemikian rupa sehingga keterpurukan yang mengancam pada
kebangkrutan dapat diatasi.
2. Kebijakan Praja
Kebijakan yang diterapkan sehubungan dengan target memperoleh kembali
perolehan yang memadai menyebabkan sang penguasa memperoleh predikat
sebagai penguasa dan pedagang (Tempo, 16 Mei 1987), hal mana yang
demikian ini kemudian hari ditiru dan diikuti oleh Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Yogyakarta. Dari aktivitas penguasa yang juga berperan
sebagai seorang saudagar di kalangan Jawa sering terungkap istilah ndoro Bakulan.
Semua tanah di wilayah Mangkunegaran dicabut dari tradisi dan
dijadikan perkebunan-perkebunan yang menghasilkan di pasaran dunia.
3. Kebijakan Dalam Reorganisasi Legiun
Jabatan Komandan Utama Legiun Mangkunegaran
secara otomatis berada di tangan Mangkunegara yang sedang bertahta
dengan pangkat Kolonel. Di bawah Komandan Utama adalah Wakil Komandan
yang pada waktu itu dijabat oleh KPH Gondosuputra. Perampingan
organisasi untuk kesesuaian anggaran dijalankan oleh Mangkunegara VI
dengan menghapus jabatan Wakil Komandan. KPH Gondosuputra, oleh
Mangkunegara VI diberhentikan dengan hormat sebagai pensiunan Letnan
Kolonel Wakil Komandan Legiun Mangkunegaran
4. Sewa Tanah
Sewa tanah yang dijalankan oleh penguasa Mangkunegaran yang keenam
adalah sewa tanah di Banjarsari, Surakarta. Tanah ini disewakan kepada
bangsa Belanda untuk digunakan sebagai pemukiman elit. Dengan tumbuhnya
pemukiman elit, tanah di Banjarsari menjadi Villa park yang menghasilkan
pemasukan finansial bagi praja.
Keamanan Wilayah
Para gerombolan kecu-bandit yang telah lama beroperasi di wilayah
Mangkunegaran dan sekitarnya, mulai berhitung ulang dengan tampilnya
raja ke enam di Mangkunegaran. Raja yang digosipkan kikir/pelit dalam
keuangan ini, terhadap kelompok hitam menghadapinya dengan tangan besi.
Para Polisi Praja yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap keamanan
tidak tanggung-tanggung kena sanksi oleh sang raja bila sampai kalah
menghadapi para gerombolan tersebut. Kekalahan para penjaga keamanan
wilayah merupakan suatu petaka yang meresahkan karena selain menjarah
harta benda, para berandal-kecu-bandit juga melakukan pembunuhan dan
perkosaan.
Operasi polisional bersama dengan Kasunanan di perbatasan tidak
jarang berakhir dengan konfliknya Mangkunegara VI dengan Residen
Surakarta karena pihak Residen yang menjadi polisional di Kasunanan
tidak bersungguh hati memberantas sehingga kawanan perampok/berandal
yang lari di perbatasan wilayah begitu masuk Kasunanan sudah dapat
ditengarai bakal membikin kerusuhan kembali karena tidak ada tindakan
menghukumnya.
Pasca perang Jawa 1830 dengan menjamurnya perluasan perkebunan, para berandal/kecu/perampok
lokal yang kecewa semakin tumbuh berkembang di wilayah kerajaan dan
kadipaten.Dalam masa ini dikenal jenis bandit bandit pedesaan sebagai kecu dan koyok (Suara Merdeka, 2009). Kecu
adalah sebutan yang mengacu pada sekawanan orang yang beroperasi
menjarah secara paksa korban dengan penyiksaan dan pembunuhan, sedangkan
koyok mengacu pada pengertian kecu tetapi jumlah orangnya terbatas/sedikit (Suhartono, 1995).
Pada tahun 1872 di wilayah Mangkunegaran tercatat ada 24 peristiwa yang dilakukan oleh para kecu dan koyok
(Wasino, 2008). Bila dalam setahun terjadi 24 kriminalitas maka bisa
dihitung dalam rata rata setiap bulan terjadi dua kali kejadian
kriminalitas kejahatan perampasan dan pembunuhan. Puncak kegeraman
Mangkunegara VI terjadi ketika sekawanan kecu pada 15 November 1883,
mengamuk dan membunuh istri tua seorang bekel di Desa Kretek, Sragen.
Mangkunegara VI langsung tunjuk hidung bahwa polisi praja kurang
bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas kerajaan (Suara Merdeka,
2009).
Kesenian Wayang Wong
Mangkunegara VI bersama permaisuri.
Kesenian wayang wong sebagai seni pertunjukkan secara tradisi dikembangkan oleh Mangkunegara I yang bertahta 1757-1795. Sebagai seni pertunjukan kraton, kesenian wayang wong secara tradisi mulai dari Mangkunegara I
oleh penerusnya ditradisikan secara turun temurun menjadi suatu model
pembelajaran yang bernilai pesan, pengetahuan dan juga sosial disamping
hiburan.
Pada saat Mangkunegara VI memegang tampuk di Mangkunegaran, kondisi
keuangan sedang krisis dan kerajaan terjerembab dalam utang kepada
Belanda. Terhadap krisis yang melanda kerajaan ini, para Mangkunegara
sudah belajar dari kakek moyangnya dan tidak akan mengulang untuk jatuh
di jalan yang sama.
Kesenian wayang wong yang sudah menjadi tradisi seni kraton oleh sang
adipati dikurangi aktivitasnya. Pengurangan ini bukan berarti mematikan
karena kesenian wayang wong yang dikembangkan oleh Gan Kam tidak
dihambat apalagi dilarang perkembangannya. Gan Kam adalah keturunan
Cina yang memiliki hubungan kedekatan dengan dinasti Mangkunegaran. Pada
zaman Mangkunegara V,
Gan Kam berhasil melobi sang adipati untuk diizinkan membawa keluar
kesenian wayang wong keluar tembok istana untuk dipasarkan supaya seni
pertunjukan ini dapat dinikmati sebagai pertunjukan oleh masyarakat
secara massal atau umum.
Antara penyelamatan tradisi seni wayang wong yang dilakukan oleh Gan
Kam dengan pemerintahan Mangkunegara VI yang sedang bertahta, disini
dapat dikatakan memenuhi kesepakatan untuk suatu penyelamatan. Gan Kam
melakukan tindakan menyelamatkan kesenian wayang wong yang dirintis oleh
Pangeran Sambernyawa,
dan Mangkunegara VI melakukan tindakan penyelamatan kerajaan yang
didirikan dan dirintis oleh Pangeran Sambernyawa. Kesenian wayang wong
yang membutuhkan pembiayaan dengan penyelamatan itu maka dana yang
seharusnya dikeluarkan menjadi bisa dialihkan untuk kepentingan
kerajaan. Pada satu sisi seni tradisi itu meski tidak dibiayai oleh
kerajaan masih tetap hidup dalam keberlangsungannya.
Dengan demikian sejalan dengan pembangunan kembali ekonomi
Mangkunegaran tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pada zaman
Mangkunegara VI perkembangan kesenian tradisi kraton wayang wong menjadi
musnah. Kesenian ini dengan keluar dari tembok keraton justru semakin
mendapat tempat di hati masyarakat sebagai seni pertunjukan bergengsi.
Perkembangan wayang wong yang sudah keluar tembok Istana
Mangkunegaran ini semakin mendapat dorongan pengembangannya dalam zaman
pemerintahan Mangkunegara VII dan melebar sampai Kasunanan dan Kasultanan. Di Kasunanan, Sunan Pakubuwana X
(1893-1939) berprakarsa menggelar pertunjukan di Balekambang, Taman
Sriwedari, dan Pasar Malam di Alun-alun Surakarta. Di Kasultanan
Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana VII (1877-1921) mempergelarkan pertunjukan wayang wong untuk tontonan kerabat keraton.
Wayang wong yang bermula dari Mangkunegaran ini dalam waktu yang
bersamaan dengan merosotnya keuangan Mangkunegaran justru mendapat
tempat dan jalan menembus keraton lain dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
Prestasi Kerja
Sebagai raja yang dihadapkan pada keterpurukan kerajaan yang terancam
bangkrut, Mangkunegara VI telah menorehkan beberapa prestasi bagi
keberlangsungan Praja Mangkunegaran yang antara lain sangat tidak
berlebihan disebutkan sebagai berikut:
1. Mangkunegara VI berhasil dalam melaksanakan reformasi
praja dari situasi bangkrut karena tenggelam dalam utang kepada
kerajaan Belanda menjadi terlunasinya utang kerajaan bahkan mencapai
nilai surplus (Suryo Danisworo, Hendri Tanjung, 2004). Stabilitas
perekonomian kerajaan menjadi meningkat sehingga standar hidup
masyarakat mulai membaik kembali. Imbasnya, pasar-pasar baru bermunculan
disekitar perkebunan.
2. Membangun kembali kekuatan Legiun Mangkunegaran dengan pendanaan
yang lebih dari cukup sehingga kekuatan korps yang sempat berkurang
menjadi kuat kembali seperti sedia kala.
3. Menciptakan iklim pluralisme di Praja Mangkunegaran dengan mengizinkan para kerabat memeluk Kristen yang kemudian akan dilanjutkan dalam masa pemerintahan Mangkunegara VII.
4. Keberhasilannya memulihkan keuangan dan perekonomian Mangkunegaran
tidak lepas dari prinsip prinsip manajemen Jawa yang diajarkan oleh
ayahnya Mangkunegara IV yaitu adanya keteraturan dalam hidup, keteraturan berusaha dan keteraturan dalam bekerja.
Dengan demikian, Mangkunegara VI berjasa dalam memperkenalkan kembali
prinsip-prinsip manajemen Jawa buah karya ayahnya dan diterapkan dalam
mengatasi kebangkrutan Praja.
5. Mangkunegara VI adalah penegak keuangan dinasti Mangkunegaran (Tempo, 16 Mei 1987)
6. Menciptakan kesenian wayang pada, yaitu kesenian dengan pertunjukan semalam suntuk menjadi empat jam tanpa penyimpangan isi cerita (Reksa Pustaka 1978: 7).
7. Secara resmi, Mangkunegara VI dengan tegas menentang dan melarang
pemujaan di tempat-tempat keramat yang menjadi kedok tempat skandal dan
prostitusi (Sartono dan Alex Sudewa, 1998).
Peninggalan Mangkunegara VI
Pada masa pemerintahannya, Mangkunegara VI memberikan peninggalan yang sampai sekarang sering dikunjungi para wisata yaitu Pemandian Sapta Tirta. Sumber air pablengan
di pemandian ini memiliki tujuh macam sumber alami yang letaknya sangat
berdekatan yaitu: Air Hangat, Air Dingin, Air Hidup, Air Mati, Air
Soda, Air Bleng, dan Air Urus Urus.
Mengundurkan diri Sebagai Penguasa
Pemerintahannya yang tampil dengan banyak perubahan dan anti Belanda
berkesudahan dengan ketegangan dan tragis. Mangkunegara VI memiliki
putera dan putri: KPA. Suyono Handayaningrat dan BRAy. Suwasti
Hatmosurono. Ketika Mangkunegara VI berkehendak menjadikan putranya
sebagai calon pengganti beliau di-veto oleh kelompok kerabat
Pangeran dan Belanda. Akhirnya Mangkunegara VI mengundurkan diri dan
bermukim di Surabaya. Mangkunegara VI adalah satu-satunya raja di
Mangkunegaran yang mengundurkan diri atas kehendak sendiri (Media
Komunikasi Keluarga Ex-HIK Yogyakarta, 1987). Dalam kesaksian Partini
dikatakan bahwa Mangkunegara VI pada bulan 11 Januari 1916 mengundurkan
diri secara diam-diam dan berangkat dengan seluruh keluarganya menuju
Surabaya ( Singgih, Pamoentjak, Roswitha, 1986)
Di Surabaya,
putra dan menantu Mangkunegara VI yaitu KPA. Suyono Handayaningrat dan
RMP. Hatmosurono aktif dalam pergerakan Budi Utomo dan bersama dengan
Dr. Sutomo mendirikan partai politik bernama Parindra.
Ketika wafat Mangkunegara VI tidak disemayamkan di Astana Mangadeg atau Astana Girilayu melainkan di Astana Utoro Nayu, Surakarta. Di Mangkunegaran yang bertahta selanjutnya adalah keponakannya yaitu RMA. Suryasuparta sebagai Mangkunegara VII. Mangkunegara VI memilih Surabaya
sebagai tempat tinggal di hari tuanya serta untuk mempersiapkan putra
dan menantunya melanjutkan konsep tata negara yang tidak dapat
dilaksanakan melalui sebuah Kadipaten.
Sumber