Kerajaan Pasir dahulunya bernama kerajaan “Sadurangas”. Adapun asal-usul keturunan raja-raja Pasir ialah Kuripan (Amuntai sekarang), yang menurut ceritanya pada pertengahan abad ke XVI (kira-kira dalam tahun 1565) di daerah Kuripan ini mengalami pergolakan di kalangan pemerintahannya sendiri.
Pada
waktu itu Temenggung Duyung dan Temenggung Tukiu, dua
orang Panglima Kerajaan Kuripan yang menderita akibat
perang saudara di Rantau Panyaberangan, telah melarikan
diri ke daerah timur melalui desa Batu-Butok, dengan
membawa seorang bayi perempuan.
Bayi
kecil tersebut bukanlah diculik, akan tetapi dilarikan
dengan sengaja dalam suatu rencana yang telah diatur
sebelumnya. Sang bayi adalah puterinya Aria Manau (juga
merupakan salah seorang Panglima Kuripan), rekan
Temenggung Duyung sendiri, yang dengan susah payah
melalui rimba belantara akhirnya sampai juga ke bagian
Timur yang bernama “Sadurangas”, yang ketika itu
ternyata merupakan ”daerah tak bertuan”.
Setelah Aria Manau mengetahui bahwa puteri kesayangannya
telah diselamatkan ke Sadurangas, maka dengan segera
Panglima ini menyusul ke sana untuk menemui puterinya.
Setelah sekian lama berada di daerah tersebut, oleh
karena penduduk sekitar tidak mengenal namanya dan dari
mana asal-muasalnya maka penduduk sekitar lebih mengenal
Aria Manau dengan sebutan “Kakah Ukop” yang berarti
orang tua pemilik kerbau putih yang bernama Ukop. Karena
pada waktu itu Aria Manau memelihara kerbau putih
bernama Ukop, sedangkan istrinya sendiri oleh penduduk
sekitar dipanggil dengan sebutan “Itak Ukop” sedangkan
sang bayi dinamainya “Putri Betung”.
Kira-kira pada pertengahan tahun 1575 Masehi, Putri
Betung diangkat dan diakui oleh penduduk sekitar sebagai
raja pertama di Sadurangas (Pasir). Sebagai seorang raja
maka Putri Betung berhak menerima barang-barang kerajaan
berupa; ceret, tempat air, pinggan melawen, batil dari
tembaga ~barang-barang tersebut ada disimpan oleh Adjie
Lambat~, gong tembaga ada di Batu Butok, sumpitan akek,
kipas emas, sangkutan baju,
dan
sebuah peti dari batu yang berasal dari seseorang yang
ditemui “Kakah Ukop” dalam suatu pelayaran yang
mengharuskannya menyerahkan barang-barang tersebut
apabila di Pasir telah memiliki seorang raja.
Rakyat di daerah tersebut merasa berbahagia mempunyai
seorang raja putri yang selain arif bijaksana, tetapi
juga terkenal kecantikannya.
Setelah Putri Betung dewasa, Ia dikawinkan dengan
seorang raja dari tanah Jawa (Giri), bernama Pangeran
Indera Jaya, yang datang dengan kapal layar yang membawa
sebuah batu. Setelah perkawinan itu, maka batu yang
dibawanya dari Jawa (Giri) lalu dibongkarnya, sehingga
sampai sekarang batu tersebut masih tersimpan di Kampung
Pasir (Benua) yang lebih dikenal oleh penduduk sekitar
dengan sebutan “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan
orang.
Dari
perkawinan dengan Pangeran Indera Jaya, Putri Betung
memperoleh seorang putera yang diberinya nama Adjie
Patih dan seorang puteri yang diberinya nama Putri Adjie
Meter. Adjie Patih kemudian menjadi raja menggantikan
Putri Betung. Dari hasil perkawinannya, Adjie Patih
memperoleh seorang putera yang diberinya nama Adjie
Anum. Sedangkan saudaranya Adjie Patih yang bernama
Putri Adjie Meter menikah dengan seorang Arab keturunan
Ba’alwi dari Mempawah – Kalimantan Barat. Suami Putri
Adjie Meter inilah yang menyebarkan agama Islam di
daerah Pasir, kurang lebih 250 tahun yang lampau. Dari
hasil perkawinannya dengan seorang Arab inilah, Putri
Adjie Meter memperoleh dua orang anak yang diberinya
nama Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Salah seorang
anak Putri Adjie Meter yang bernama Putri Ratna Berana
ini kemudian dikawinkan dengan anaknya Adjie Patih yang
bernama Adjie Anum. Dari sinilah selanjutnya menurunkan
raja-raja Pasir hingga saat ini.
Sumber
=========================================================================
Asal Usul Bangsawan Pasir
Jauh di seberang sana, pada saat itu kerajaan Makasar sedang mencapai masa kejayaannya dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin sedang memperluas wilayah kerajaannya dengan menaklukan kerajaan Wajo-Bugis. Pada saat itu banyak diantara raja-raja dan keluarga bangsawan yang tidak mau takluk pada Sultan Hasanuddin melarikan diri dan berpindah ke Kalimantan Timur bersama-sama dengan rakyat yang setia kepadanya.
Dalam perpindahan tersebut, tidak jarang menemui
perselisihan dengan raja-raja di Kalimantan Timur yang
berakhir dengan peperangan dan pertempuran, seperti yang
terjadi di wilayah kerajaan Kutai dimana rombongan Bugis
yang dipimpin Daeng Sitebba yang lebih dikenal dengan
nama Pua Ado menyerang kerajaan Kutai di Kutai Lama.
Kejadian tersebut mengakibatkan peperangan sengit di
satu tempat yang bernama Bungka-bungka yang
mengakibatkan Ibu Kota kerajaan Kutai dipindahkan lebih
jauh masuk sungai Mahakam, yaitu Tenggarong sekarang.
Setelah peperangan antara Kutai dan Bugis berakhir, maka
oleh orang-orang Bugis di tempat tersebut didirikanlah
pemerintahan dimana Pua Ado dipilih sebagai kepala
pemerintahannya di daerah Samarinda (Samarinda
Seberang). Oleh karena pemerintahan Bugis tersebut hanya
dikendalikan oleh orang-orang pendatang, yaitu
orang-orang Bugis dan tidak ada salah seorang pun
bangsawan Kutai, maka oleh orang Kutai ibu kota
pemerintahan orang Bugis itu dinamakan Samarinda yang
berarti pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang
sesama rendahan.
Demikian pula di daerah kerajaan Pasir, rombongan Bugis
ini pun datang dan mendarat di satu tempat yang bernama
Tanjung Aru yang dipimpin oleh seorang anak bangsawan
yang bernama Andi Baso dan kemudian mereka mendirikan
kerajaan di daerah tersebut.
Oleh
karena kerajaan kecil ini mau tetap bersatu dan tunduk
dalam lingkungan kerajaan Pasir, maka tidak pernah
terjadi pertempuran antara Pasir dan Bugis.
Bahkan lebih diperkuat lagi dengan hubungan perkawinan
antar warga dan keluarga kerajaan dari kedua kerajaan
tersebut dan Kepala Pemerintahan di Tanjung Aru diberi
gelar Pangeran oleh kerajaan Pasir. Hal yang sama pula
terjadi di Tanah Bumbu dan Pegatan di masa pemerintahan
Sultan Sulaiman menjadi satu dalam lingkungan kerajaan
Pasir.
Di
dalam hubungan perkawinan antara raja-raja Bugis dan
raja-raja Pasir itu, maka terdapatlah seorang anak
bangsawan Bugis yang berketurunan Arab bernama Andi Taha
Alyrus kawin dengan seorang putri dari kerajaan Pasir
yang bernama Adjie Renik (anak dari Sultan Sulaiman).
Setelah menikah dengan putri dari kerajaan Pasir
tersebut, Andi Taha akhirnya diangkat menjadi Menteri
Kerajaan Pasir, dan diberi gelar Pangeran Syarif Taha.
Hasil hubungan perkawinan antara Putri Adjie Renik
dengan Pangeran Syarif Taha membuahkan seorang anak
bernama Syarifah Adjie Hamid Alsegaff, yang dikemudian
hari setelah dewasa diangkat juga menjadi Menteri
Kerajaan Pasir dengan gelar Pangeran Syarif Hamid
Alsegaff.
Demikianlah keturunan bangsawan Pasir mempunyai
percampuran darah antara Pasir, Bugis dan Arab. Hal
tersebut juga yang membawa percampuran adat istiadat
serta gelar-gelar dari ketiga golongan tersebut.
=================================================================================
Masa-Masa Penting Kesultanan Pasir
Berikut ini merupakan ringkasan sejarah beberapa Sultan atau Raja-raja yang pernah berkuasa atau memerintah Kerajaan Pasir (Sadurangas) di Kalimantan Timur yang riwayat hidupnya berkaitan erat dengan peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi dan masa-masa dimana kerajaan ini pernah berdiri dan jaya di bumi Borneo (Kalimantan).
Masa Pemerintahan Sultan Adam
Di
masa Sultan Adam inilah kerajaan Pasir mengadakan
perjanjian yang pertama dengan pihak Belanda yang
sifatnya hanya mengenai soal-soal hubungan perdagangan.
Setelah wafatnya Sultan Adam, berhubung anaknya yang
laki-laki masih belum ada yang besar, maka tampuk
pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri dengan
dinobatkan menjadi Sultan Sepuh.
Masa Pemerintahan Sultan Sepuh
Dalam masa pemerintahan Sultan Sepuh, pemerintahan dapat
berjalan baik sebagai mana di masa Sultan Adam sendiri.
Hanya setelah wafatnya Sultan Sepuh pada tahun 1870,
maka terjadi perebutan kekuasaan menjadi sultan yaitu
antara Adjie Mohammad Ali (putera dari Sultan Makhmud)
dengan Pangeran Abdurrachman (putera dari Sultan Adam).
Oleh karena Pangeran Abdurrachman lebih banyak disukai
oleh rakyat, maka Ia pun dinobatkan rakyat di Benua
untuk menjadi Sultan dari kerajaan Pasir. Sedangkan
Adjie Mohammad Ali yang kecewa dengan peristiwa tersebut
meminta bantuan kepada pihak Belanda sehingga Ia
dinobatkan menjadi Sultan di Muara Pasir.
Pecahnya Kerajaan Pasir
Sepeninggalnya Sultan Sepuh, karena terjadinya perebutan
kekuasaan menjadi sultan maka pada waktu itu terdapat
dua sultan di kerajaan Pasir, yaitu Sultan Abdurrachman
yang dinobatkan rakyat di Benua dan Sultan Adjie
Mohammad Ali yang dinobatkan Belanda di Muara Pasir.
Berhubung dengan keadaan ini maka selalu timbul
pertempuran kecil antara pengikut Sultan Adjie Mohammad
Ali dengan pengikut Sultan Abdrruchman. Dan pada
akhirnya pihak Sultan Adjie Mohammad Ali mendapat
kemenangan, dan Sultan Abdurrachman meninggal dunia
dengan tiba-tiba. Demikianlah pada tahun 1874
pemimpin-pemimpin dari pihak Sultan Abdurrachman yang
dikepalai oleh Saijid Taha Alsegaff bergelar Pangeran
Polisi ditangkap oleh alat kekuatan Sultan Adjie
Mohammad Ali, yaitu Belanda dan diasingkan ke Pulau
Laut.
Masa Pemerintahan Sultan Adjie Mohammad Ali
Akan
tetapi Sultan Adjie Mohammad Ali hanya sempat menjadi
sultan dari seluruh kerajaan Pasir hanya satu tahun
lamanya. Dengan cerdik busuk, pihak Belanda memfitnah
dengan mengatakan bahwa Sultan Adjie Mohammad Ali telah
merencanakan suatu pemberontakan terhadap Belanda.
Demikianlah pada akhirnya Sultan Adjie Mohammad Ali
sekeluarga dan sejumlah pengikutnya pada tahun 1876
ditangkap dan diasingkan ke Banjarmasin.
Masa Pemerintahan Transisi (Belanda)
Sementara Belanda mencoba memerintah langsung daerah
kerajaan Pasir, tetapi kenyataannya tidak dapat berjalan
dengan baik karena di mana-mana timbul pemberontakan dan
perlawanan terhadap Belanda. Rakyat Pasir berpendapat
haram hukumnya diperintah oleh orang kafir atau bukan
Islam. Setelah melihat keadaan yang demikian itu, maka
Belanda berusaha kembali mengaktifkan pemerintahan
kerajaan kembali untuk mengatasinya dengan jalan mencari
salah seorang keluarga raja yang dianggapnya mampu.
Demikianlah salah seorang keluarga raja keturunan Bugis
yang mempunyai pengaruh besar lagi hartawan bernama
Adjie Medje diangkat dan dinobatkan menjadi Sultan di
kerajaan Pasir dengan gelar Sultan Ibrahim Chaliludin.
Pro-kontra Pengangkatan Sultan Ibrahim Chaliludin
Mengenai pengakatan Sultan Ibrahim Chaliludin telah
mendapat reaksi dari sejumlah keluarga bangsawan Pasir,
oleh karena Sultan tersebut hanya turunan dari ibunya
sedangkan ayahnya bukanlah seorang sultan dan hanya
salah seorang turunan bangsawan Bugis dari Sulawesi yang
terkenal pemberani dan disegani oleh masyarakat yang
bernama Adjie Gapa. Akan tetapi walau pun mendapat
reaksi yang demikian, namun berkat kebijaksanaan Sultan
itu ditambah pula oleh banyak pengikutnya orang-orang
Bugis yang terkenal pemberani, segala reaksi yang
menyulitkan dapat diatasinya.
=================================================================================
Masa
Pemerintahan Sultan Ibrahim Chaliludin
Masuknya Partai Sarekat Islam di Kalimantan Timur
Meskipun setelah kejadian itu, Sultan Ibrahim Chaliludin
telah turun dari tahtanya dan tidak memerintah lagi,
namun rakyat Pasir masih tetap menganggapnya sebagai
raja dan dihormati sebagaimana biasanya. Demikianlah
pada tahun 1914 sewaktu Sarekat Islam (S.I.) berdiri di
Pasir, maka yang terpilih menjadi Presiden adalah Sultan
Ibrahim Chaliludin sendiri. Sedangkan para pengurus
lainnya, sejumlah besar terdiri dari bekas
pembesar-pembesar kerajaan. Perlu dicatat pula bahwa
sejak Sultan Ibrahim Chaliludin tidak memerintah lagi di
Pasir, maka sejak saat itu pula Ibu Kota Pemerintahan
Pasir berpindah dari Benua ke Tanah Grogot.
Masa Perjuangan Sultan Ibrahim Chaliludin
Masa
perjuangan Sultan Ibrahim Chaliludin dimulai pada
permulaan tahun 1915 ketika serombongan patroli Belanda
datang ke bagian Pasir Hulu menangkap seekor kerbau-luku
kepunyaan rakyat. Kerbau milik rakyat tersebut
dipotongnya oleh patroli Belanda dengan tidak memberikan
penggantian kerugian pada pemiliknya. Mengenai kejadian
tersebut maka oleh pemilik kerbau dilaporkan kepada
Sultan Ibrahim Chaliludin.
Oleh
karena Sultan pada saat itu sudah tidak berkuasa lagi,
maka Sultan menyampaikan protes kejadian itu pada pihak
Belanda karena Sultan Ibrahim Chaliludin sudah
menganggap kejadian ini merupakan suatu tindak perkosaan
terhadap rakyat dan bertentangan dengan hukum Islam.
Atas kejadian tersebutlah maka Sultan Ibrahim Chaliludin
memerintahkan kepada pemilik kerbau itu untuk datang
pada Pangeran Singa Maulana di Modang, Pasir Utara,
untuk meminta pertolongannya dan mengatur strategi
perlawanan terhadap tentara Belanda yang ada di Tanah
Grogot.
Perang Pasir atau
Pemberontakan Sarekat Islam (S.I.)
Demikianlah maka pada bulan Juli 1915, Pangeran Singa
Maulana memulai serangannya terhadap tangsi militer
pertahanan Belanda yang ada di Tanah Grogot. Kejadian
tersebut membuat korban yang tidak sedikit di pihak
Belanda. Sementara itu, Sultan dengan sikap berpura-pura
senantiasa selalu memperlihatkan sikap baik terhadap
tentara Belanda dan ada kalanya memberi bantuan. Tetapi
di lain pihak, sebagai Presiden Sarekat Islam, Sultan
Ibrahim Chaliludin menginstruksikan kepada segenap
anggota S.I. untuk mengadakan perang jihad terhadap
Belanda. Namun akhirnya pihak Belanda mengetahui, bahwa
bekas sultan inilah yang sebenarnya mengatur perlawanan
dengn kedok “Sarekat Islam”-nya. Secara diam-diam Sultan
Ibrahim mengorganisir “perang jihad” terhadap Belanda.
Perang
Pasir melawan Belanda berjalan selama 1,5 tahun lamanya
dan oleh pihak Belanda peperangan tersebut lebih dikenal
dengan sebutan “Pemberontakan S.I.” dimana secara
langsung dibawah pimpinan Sultan Ibrahim Chaliludin
sendiri yang mendapat bantuan dari permaisurinya yang
bernama Ratu Waroe (dikenal juga dengan sebutan Dayang
Ringgong). Dalam Perang Pasir atau Pemberontakan S.I.
itu, tidak sedikit Belanda menderita kerugian karena
dalam seminggu kira-kira satu gerobak sepatu Belanda
yang diangkut kembali dari pedalaman ke Tanah Grogot.
Terlebih lagi pertempuran rakyat Pasir dengan Belanda
semakin hebat dikala Pasir mendapat bantuan dari
orang-orang Banjar dari Hulu Sungai. Dalam Perang Pasir
ini, terkenal beberapa orang pahlawan yang sangat
ditakuti oleh pihak Belanda, yaitu selain dari Pangeran
Singa Maulana, juga terkenal nama-nama seperti Panglima
Sentik, Panglima Sebaya dan lain-lain yang senantiasa
tidak merasa takut-takut dan ngeri menyerbu tentara
Belanda walaupun hanya dengan mandau terhunus.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar