Seorang calon presiden butuh dana hingga
Rp 3 triliun untuk mengikuti pemilihan presiden di Indonesia. Hal ini
karena capres sudah harus bergerak sebelum rangkaian kampanye yang
ditetapkan KPU. ”Dana yang dilaporkan ke KPU hanya Rp 300 miliar-Rp 500
miliar. Ini karena penghitungan dimulai sejak tahapan resmi KPU
dimulai”, kata Ketua Balitbang Partai Golkar Indra J Piliang di Jakarta,
Sabtu (25/1).
Dana triliunan rupiah itu digunakan
untuk membiayai perjalanan sosialisasi, relawan, logistik partai,
pertemuan dengan ormas, survei, dan iklan. ”Proporsi untuk iklan cukup
banyak karena bisa menjangkau seluruh Indonesia. Hanya turun ke lapangan
saja tidak akan efektif,” ujar Indra. (kompas.com, 26/1).
Menurut Pengamat politik dari Charta
Politika, Arya Fernandes, ada tiga faktor yang membuat biaya capres
makin mahal (inilah.com, 26/1). Pertama, adanya perubahan model kampanye
dengan pemilihan presiden secara langsung. Menurutnya, perubahan ini
membuat biaya politik sangat mahal. Yang diuntungkan orang-orang yang
punya duit banyak.
Faktor kedua, munculnya iklan di
televisi yang menjadi alat efektif untuk pengaruhi pemilih dan
jangkauannya yang luas. Arya mencontohkan, dana kampanye Obama (Presiden
AS) setelah 2008, sebanyak 54% habis di iklan. Menurutnya, di 2014
nanti, setengah dana capres juga akan habis di iklan.
Faktor ketiga, pergeseran politik yang
makin personal, maka orang makin butuh personal branding (pencitraan
personal). Semua itu butuh biaya. Biaya mahal juga dibutuhkan bagi siapa
saja yang maju dalam pemilu legislatif.
Mahalnya biaya capres bukan hanya
terjadi di negeri ini. Mahalnya biaya menjadi pemimpin bisa jadi
merupakan karakteristik sistem politik demokrasi. Di negara yang
demokrasinya dianggap lebih maju, biaya pencapresan juga sangat mahal.
Di Amerika Serikat misalnya, menurut Center for Responsive Politic (http://www.opensecrets.org/pres12/)
pada pemilu presiden 2012 lalu dana yang dibelanjakan oleh tim kampanye
Mitt Romney, calon dari Republik yang kalah mencapai US$ 1,238 miliar
atau sekitar Rp 12,38 triliun (1 US$= Rp 10.000). Sementara belanja tim
kampanye Obama mencapai US 1,107 miliar dolar atau sekitar Rp 11.07
triliun.
Sementara itu Politico melaporkan
bahwa ketua Federal Election Commission Ellen Weintraub mengumumkan
belanja pemilu di AS tahun 2012 mencapai US$ 7 miliar. Terdiri dari
total belanja kandidat US$ 3,2 miliar, belanja partai US$ 2 miliar dan
belanja grup luar (organisasi pendukung) US 2,1 miliar (http://www.motherjones.com/mojo/2013/02/2012-election-cost-7-billion-obama-romney).
Obama pada tahun 2008 membelanjakan US$
730 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun untuk menjadi presiden AS. Jumlah
itu dua kali jumlah yang dibelanjakan oleh George Bush pada tahun 2004
dan lebih dari 260 kali yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun
1860 (jika dihitung dengan dolar pada tahun 2011).
Biaya besar juga masih tetap dibutuhkan
untuk pencapresan di Perancis. Padahal biaya pencapresan di Perancis
dianggap sangat murah. Sebab belanja kampanye dibatasi oleh
Undang-undang, termasuk tidak boleh ada iklan di televisi dan setiap
kandidat diberi dana kampanye oleh negara sebesar 8 juta Euro. Meski
demikian, pada tahun 2007 Sarkozy untuk memenangi pemilu dan menjadi
presiden harus membelanjakan 21 juta Euro. Sementara lawannya seorang
sosialis Ségolène Royal membelanjakan 20 juta Euro (http://www.huffingtonpost.com/sophie-meunier/france-election-laws_b_1438456.html)
Kompensasi
Pertanyaannya, dari mana dana sebesar
itu? Dana sebesar itu sebagian bisa berasal dari kantong kandidat
sendiri. Sebagian lainnya berasal dari donor, baik perusahaan atau
individu, termasuk sumbangan kecil-kecil dari individu.
Ada pepatah, tidak ada makan siang
gratis. Semua donasi itu, terutama yang berasal dari perusahaan atau
individu kapitalis/pemilik modal, tentu tidak gratis, melainkan harus
diberi kompensasi baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hitungan
kapitalis, donasi itu merupakan investasi yang harus kembali beserta
keuntungan.
Kompensasi kepada para pemodal kampanye
itu bisa diberikan secara langsung dalam bentuk proyek-proyek. Karena
itulah, kenapa tak jarang terdengar atau terungkap adanya pengaturan
proyek untuk pihak-pihak tertentu baik di tingkat legislatif maupun
eksekutif.
Kompensasi juga bisa diberikan secara
tidak langsung. Yaitu dengan jalan dibuat kebijakan-kebijakan, peraturan
dan undang-undang yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kapitalis.
Contohnya, pemberian berbagai fasilitas fiskal, keringanan pajak, pajak
ditanggung negara, pembebasan bea, dan sebagainya. Atau kebijakan
pemberian konsesi pengusahaan tambang, hutan, perkebunan dan sebagainya.
Dan jika perlu peraturan diubah untuk mengakomodasinya. Bisa juga dalam
bentuk peraturan yang membuka jalan bagi investasi kapitalis secara
leluasa, seperti berbagai peraturan dan undang-undang liberal misal, UU
penanaman modal, UU Migas, UU kelistirikan, UU Minerba, UU pengadaan
tanah, UU SJSN dan BPJS, dan sebagainya.
Akibatnya, negara pun menjadi
korporatokrasi di mana pemerintahan dan pengaturan negara dilakukan
layaknya perusahaan. Hubungan rakyat dengan pemerintah tidak lagi
hubungan pelayanan dan ri’ayah, tetapi menjadi seperti hubungan dagang,
di mana pemerintah bertindak sebagai pedagang dan rakyat diposisikan
sebagai konsumen. Akibat lainnya, kekayaan alam yang semestinya menjadi
milik seluruh rakyat akhirnya diserahkan kepada swasta. Keuntungannya
lebih banyak untuk kemakmuran para kapitalis. Di sisi lain, berbagai
subsidi untuk rakyat pun dikurangi dan jika mungkin dihilangkan. Makin
besarnya biaya politik baik untuk capres maupun caleg, maka corak
korporatokrasi itu ke depan akan makin kental. Kepentingan rakyat akan
makin terpinggirkan.
Konsekuensi
Mahalnya biaya politik menjadi capres
dan caleg itu juga akan melahirkan konsekuensi berupa pengembalian modal
yang dikeluarkan oleh calon. Jika jalan legal yang ditempuh, maka akan
ada pelegalan agar penguasa dan politisi (anggota legislatif) memiliki
penghasilan legal yang besar. Setidaknya kecenderungan seperti itu telah
berkali-kali tampak. Misalnya dalam berbagai usulan agar gaji anggota
legislatif atau gaji pejabat termasuk presiden dinaikkan. Jika pun gaji
tidak naik, maka penghasilan yang bisa dibawa ke rumah oleh seorang
pejabat akan dibuat sebesar mungkin.
Saat ini, ternyata penghasilan gubernur
dan wakil gubernur bisa dibilang sangat besar dan semuanya legal menurut
peraturan yang ada. Hal itu bisa seperti yang dirilis oleh LSM Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang pendapatan yang
diterima gubernur dan wakil gubernur (wagub) dalam sebulan
(http://news.liputan6.com/read/761648/10-gubernur-gaji-tertinggi-jokowi-teratas-riau-terbuncit).
Menurut Knowledge Manager Fitra Hadi
Prayitno, penghasilan gubernur dan wagub yang besar, datang dari gaji
pokok yang dilipatgandakan. Hal itu sesuai PP Nomor 69 Tahun 2010, dan
tunjangan operasional berdasarkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP
no 109 Tahun 2000. Makin besar PAD, penghasilan gubernur dan wagub akan
makin besar. Data FITRA itu menyebutkan diantaranya penghasilan
perbulan Gub. DKI Jakarta Rp 1,759 miliar dan Wagub Rp 1,740 miliar;
Gubernur Jabar Rp 710,026 juta dan Wagub Rp 691,546 juta; Gubernur Jatim
Rp 670,843 juta dan Wagub Rp 655,723 juta. Angka itu adalah angka
penghasilan berasal dari gaji, tunjangan dan pendapatan lainnya sesuai
peraturan.
Konsekuensi dari mahalnya biaya politik
itu, ke depan akan bisa disaksikan dibuatnya peraturan dan UU yang
memberikan gaji, tunjangan, fasilitas dan penghasilan yang makin besar
untuk penguasa dan anggota legislatif. Para penguasa dan politisi
akhirnya tidak lagi berperan sebagaimana seharusnya yaitu sebagai
pemelihara dan pelayan umat, tetapi justru menjadi tuan bagi rakyat dan
rakyat diposisikan sebagai pelayan. Padahal peran penguasa adalah
memelihara dan mengatur urusan-urusan rakyat. Kepentingan dan
kelaslahatan rakyat haruslah dikedepankan dan diutamakan, bukan
kepentingan pribadi. Rasul saw bersabda:
«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
“Dan seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Konsekuensi lain dari mahalnya biaya
politik itu, adalah terjadinya korupsi, kolusi, manipulasi dan
sejenisnya, untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Sudah menjadi
anekdot bahwa dalam lima tahun menjabat, dua tahun awal untuk
mengembalikan modal dan dua tahun terakhir untuk mengumpulkan modal bagi
proses politik berikutnya. Dalam Islam hal itu adalah haram dan
dilarang keras, bahkan pelakunya diancam tidak akan masuk surga. Rasul
saw bersabda:
«مَا مِنْ
عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ
غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba diserahi
Allah mengurus urusan rakyat, dia mati dan pada hari kematiannya ia
menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan baginya surga (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Wahai Kaum Muslimin
Semua itu akan berujung pada terjadi
kerusakan akibat kebijakan, peraturan dan perundangan yang bercorak
liberal kapitalistik berlandaskan ideologi sekuler. Juga akibat perilaku
buruk dan merusak yang dilakukan oleh para penguasa, pejabat dan
politisi.
Tidak ada jalan untuk memperbaiki dan
menyelamat masyarakat dari semua kerusakan itu kecuali dengan kembali
kepada petunjuk dan aturan yang diturunkan oleh Allah yang Maha
Bijaksana. Dan itu tidak lain adalah dengan menerapkan syariah secara
total di bawah naungan sistem politik yang digariskan oleh Islam yaitu
Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.[]
Komentar:
Kepala PPATK M Yusuf mengatakan
transaksi mencurigakan di partai politik meningkat 20-25 persen
menjelang pelaksanaan pemilu. (Republika, 28/1)
- Itu terjadi akibat sistem politik yang berbiaya mahal. Itu adalah awal dari persekongkolan politisi-pemodal dan menguatnya korporatokrasi. Itulah salah satu sumber kebobrokan sistem poltiim demokrasi.
- Akibatnya, kepentingan rakyat terpinggirkan dan sumber daya kekayaan milik rakyat diserahkan kepada swasta. Rakyat tinggal gigit jari.
- Hanya dengan sistem politik Islam dalam naungan khilafah saja, penguasa, pejabat dan politisi akan benar-benar memperhatikan urusan rakyat; dan kekayaan milik rakyat benar-benar untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
Sumber