Ketika pertanyaan seperti itu muncul saat seseorang bertanya atau hanya muncul dalam pikiran kita, mungkin beberapa diantara kita–termasuk penulis sendiri saat itu– akan menjawabnya dengan kata, iya!. Banjir Zaman Nabi Nuh itu memang terjadi di seluruh dunia. Banjir itu memusnahkan seluruh kehidupan yang ada di permukaan bumi saat itu. Kita meng-amini saja cerita-cerita seperti itu, tanpa mencoba untuk menelaah dan memikirkannya kembali kebenarannya. Dari mana sesungguhnya kisah seperti itu datang? Bagaimana Al-Qur’an –sebagai pedoman hidup yang pasti benar– meriwayatkannya. Dan lebih lanjut, mencoba membuktikannya dengan merujuk pada bukti-bukti ilmiah berdasarkan penemuan Ilmu Pengetahuan saat ini.
Ada sebuah artikel dari sebuah situs yang
saya kutipkan dibawah ini yang mungkin dapat menjawab semua
pertanyaan-pertanyan tadi dengan cukup baik. Semoga bermafaat!
Kaum atau bangsa pertama yang dibinasakan
secara massal oleh Allah adalah kaum Nabi Nuh. Allah memusnahkan mereka
dengan mendatangkan banjir besar yang menenggelamkan mereka. “Maka
mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang
yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta
(mata hatinya).” (QS Al-A’raaf ayat 64).
Menurut Perjanjian Lama, kitab suci orang
Yahudi dan Nasrani yang sudah tidak asli itu, banjir zaman Nabi Nuh itu
melanda seluruh dunia: Dan Tuhan melihat bahwa kejahatan manusia di
bumi adalah besar, dan bahwa setiap imajinasi dari pikiran-pikiran dalam
hatinya hanya perbuatan jahat. Dan ini menjadikan Allah menyesali bahwa
Dia telah menciptakan manusia di bumi, dan ini menyedihkan hati-Nya.
Dan Tuhan berkata, “Aku akan membinasakah manusia yang telah
Kuciptakan dari permukaan bumi, kedua jenis yang ada, manusia dan
binatang, dan segala yang merayap, dan unggas-unggas di udara, yang
mereka telah mengecewakan-Ku yang telah menciptakan mereka. Akan tetapi,
(Nabi) Nuh mendapatkan kasih sayang di mata Tuhan. (Kejadian, 6: 5-8).
Namun menurut penyelidikan para ahli,
banjir yang terjadi saat itu tidak melanda seluruh dunia, melainkan
hanya terjadi di daerah Mesopotamia (kini termasuk wilayah Iraq),
khususnya di daerah lembah antara sungai Eufrat dan sungai Tigris. Namun
karena lembah itu demikian luasnya sehingga ketika terjadi hujan super
lebat berhari-hari, meluaplah kedua sungai itu lalu airnya
menenggelamkan lembah di antara dua sungai tersebut. Demikian banyak
airnya sehingga lembah itu berubah seperti laut lalu menenggelamkan
seluruh ummat Nabi Nuh yang ingkar di lembah itu.
Pada tahun 1922 sampai 1934 Leonard
Woolley dari The British Museum dan University of Pensylvania mempimpin
sebuah penggalian arkeologis di tengah padang pasir antara Baghdad
dengan Teluk Persia. Di tempat yang diperkirakan dulunya pernah berdiri
sebuah kota bernama Ur, mereka melakukan penggalian.
Dari permukaan tanah hingga lima meter ke
bawah terdapat sebuah lapisan tanah yang berisi berbagai benda yang
terbuat dari perunggu dan perak. Ini benda-benda peninggalan bangsa
Sumeria yang diperkirakan hidup sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi.
Mereka bangsa yang telah dapat membuat benda dari logam.
Di bawah lapisan pertama itu mereka
menemukan sebuah lapisan kedua berisi deposit pasir dan tanah liat
setebal 2,5 meter. Pada lapisan itu masih terdapat sisa-sisa hewan laut
berukuran kecil.
Yang mengejutkan, di bawah lapisan pasir
dan tanah liat itu terdapat lapisan ketiga berisi benda-benda
rumahtangga yang terbuat dari tembikar. Tembikar itu dibuat oleh tangan
manusia. Tidak ditemukan benda logam satu pun di lapisan itu.
Diperkirakan benda-benda peninggalan masyarakat Sumeria kuno yang hidup
di Zaman Batu.
Diperkirakan oleh para ahli, lapisan
kedua itu adalah endapan lumpur akibat banjir yang terjadi pada zaman
Nabi Nuh. Banjir itu telah menenggelamkan masyarakat Sumeria kuno —yang
kemungkinan besar mereka adalah kaum Nabi Nuh— lalu lumpur yang terbawa
banjir itu menimbun sisa perabadan masyarakat tersebut. Berabad-abad,
atau puluhan abad kemudian setelah banjir berlalu, barulah hadir kembali
masyarakat baru di atas lapisan kedua itu, yakni masyarakat Sumeria
‘baru’ yang peradabannya jauh lebih maju daripada masyarakat Zaman Batu
yang tertimbun lumpur itu.
Penyelidikan arkeologis di beberapa
tempat mendapatkan keterangan, banjir melanda daerah yang memang sangat
luas, yakni membentang 600 km dari utara ke selatan dan 160 km dari
barat ke timur. Banjir itu telah menenggelamkan sedikitnya empat kota
masyarakat Sumeria kuno, yakni Ur, Erech, Shuruppak dan Kish.
Terbukti, banjir itu tidak melanda
seluruh dunia, tetapi hanya melanda wilayah yang didiami ummat Nabi Nuh.
Daerah lain yang bukan wilayah ummat Nabi Nuh tidak terlanda banjir.
Hasil penyelidikan para arkeolog tersebut dengan firman Allah dalam
Al-Quran, bahwa Ia hanya membinasakan masyarakat suatu negeri yang telah
diutus seorang Rasul kepada mereka, lalu mereka mengingkarinya. Negeri
lain tidak. “ Dan tidaklah Rabbmu membinasakan kota-kota sebelum Dia
mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota;
kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman. (Surat Al-Qashash ayat59)
Dalam Al-Quran diriwayatkan, Allah
memerintahkan Nabi Nuh untuk mengangkut masing-masing hewan sepasang
(jantan dan betina) ke dalam bahteranya: Hingga apabila perintah Kami
datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: ”Muatkanlah
ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan
betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan
terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman”. Dan tidak
beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (Surat Hud ayat 40).
Pertanyaan yang mungkin muncul, apakah
seluruh hewan di muka bumi ini dinaikkan ke perahu Nabi Nuh? Para ahli
kitab dari kalangan Kristen menafsirkan, seluruh hewan yang ada di muka
bumi, masing-masing sepasang, dinaikkan ke perahu Nabi Nuh. Sebab,
seperti dikatakan di awal, dalam kitab mereka dikatakan banjir terjadi
secara global. Jadi yang harus diselamatkan pun harus seluruh spesies
makhluk hidup yang ada di muka bumi ini.
Penafsiran seperti itu jelas
membingungkan mereka sendiri. Pertama, pengikut Nabi Nuh sangat sedikit
—karena kebanyakan mereka ingkar. Dengan tingkat ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat rendah serta personil mereka yang sangat sedikit,
bagaimana caranya mereka mengumpulkan ribuan atau ratusan ribu spesies
makhluk hidup yang ada di muka bumi ini?
Berarti harus ada pengikut Nabi Nuh yang
dikirim ke berbagai penjuru dunia, lalu membawa pulang ribuan spesies
yang mereka temui dengan bahtera yang sangat besar. Ada pengikut Nabi
Nuh yang dengan sebuah bahtera besar dikirim kutub utara dan selatan
untuk membawa sepasang beruang kutub, sepasang burung pelikan, sepasang
anjing laut dan berbagai hewan kutub lainnya, lalu semua itu dibawa
pulang negeri mereka.
Juga harus ada satu ekspedisi bahtera
yang dikirim ke benua Amerika untuk membawa sepasang bison, sepasang
harimau, sepasang beruang, sepasang ular anaconda, sepasang lintah,
sepasang ikan piranha, sepasang sapi, sepasang cheetah, sepasan kambing,
sepasang burung nasar, sepasang serigala, sepasang kutu anjing, serta
sepasang ribuan spesies hewan lainnya dari benua itu.
Berapa tahun yang mereka butuhkan untuk
dapat mengumpulkan semua hewan itu? Berapa banyak makanan hewan yang
harus mereka siapkan? Bagaimana mereka bisa membedakan kutu jantan dan
kutu betina? Ada berapa ribu kandang yang harus mereka siapkan di
bahtera agar para hewan itu tidak saling memangsa?
Setelah sekian bahtera itu kembali
pulang, ribuan atau ratusan ribu spesies hewan dari seluruh penjuru
dunia itu dimasukkan ke dalam satu bahtera Nabi Nuh. Bagaimana ratusan
ribu spesies dari berbagai penjuru dunia bisa bertahan hidup terpisah
dengan habitat alamiahnya hingga banjir surut? Apakah sementara itu
siklus rantai makanan berhenti berputar? Tidak mungkin!
Berbagai pertanyaan itu tidak akan dapat
dijawab dengan logis oleh mereka yang mendukung tafsiran banjir global
pada zaman Nabi Nuh.
Adapun Al-Quran tidak menyebut banjir
masa Nabi Nuh melanda seluruh dunia. Sebagaimana dijelaskan pada
berbagai ayat Al-Quran, adzab Allah hanya ditimpakan kepada kaum yang
zhalim yang mendustakan ajaran nabinya, tidak kepada kaum lain. Jadi
adzabnya pun hanya bersifat lokal atau regional.
Karenanya hewan yang diangkut Nabi Nuh
pun tidak berasal dari seluruh dunia, melainkan hanya hewan yang
terdapat di wilayah itu, khususnya hewan yang biasa dipelihara dan
diternakkan manusia, seperti sapi, kambing, kuda, unggas, unta dan
sejenisnya. Hewan-hewan itulah yang dibutuhkan Nabi Nuh dan pengikutnya
untuk menyangga kehidupan baru mereka pasca banjir besarSumber