Untuk
mengikuti arus masyarakat yang menunggu keyakinan baru. Majapahit lalu
menganut agama campuran antara Syiwa dan Budha. Rakyat memusatkan
penyembahan terhadap raja-raja melalui candi-candi. Dengan timbulnya
bencana demi bencana yang tak kunjung habis, maka rakyat pun habis
kepercayaannya kepada Raja sebagai Dewa pelindung. Bahkan mereka
menganggap raja adalah Batara Kala, sang pembasmi. Mereka mencari dewata
yang lain, dewa penyelamat yang dahulu pernah turun menjelma sebagai
Ken Arok dari titisan Dewa Brahma, dan Airlangga titisan sang Wisnu.
Harapan itu tertuju ke Medang Kamulan di
Kediri, sebuah kerajaan yang diperintah oleh Dahanapura, masih keluarga
Majapahit. Kerajaan ini mengagungkan Wisnu, malah meneetapkannya sebagai
agama negara. Rakyat memimpin munculnya sang raja penyembah Wisnu itu.
Tahun 1474 M raja Medang Kamulan
berikutnya yang bernama Girindrawardhana menyerang Majapahit. Tahun 1478
M, dalam pertempuran di Jingga, Majapahit disikat habis dan diduduki.
Kejatuhan ini diabadikan dalam candra sengkala yang berbunyi Sirna
Hilang Kertaning Bumi.
Raja penghabisan Majapahit, Bhre
Kertabhumi atau Prabu Bhrawijaya V yang tidak kuat lagi melawan,
akhirnya menyatakan takluk kepada rakyat Kediri, Keling atau Medang
Kamulan itu.
Pangeran Jimbun, dan Raden Patah, yang
waktu itu menjadi bupati di Demak, sangat terperanjat mendengar berita
ini. Ia adalah putra Brawijaya V dari istri putri Cina yang bernama
Retno Subanci. Ia dilahirkan di Palembang, dan sejak kecil ikut
abangnya, Aria Damar, yang setelah masuk islam nantinya bernama Aria
Abdillah atau Aria Dillah.
Pada tahun 1475 M, sesudah ia diberi
hadiah Demak oleh anaknya, ia mendirikan pesantren di Glagah Wangi
seperti yang disiasatkan oleh gurunya, Sunan Ampel. Kelak pesantren ini
akan menjadi pusat kerajaan Demak dengan nama Bintaro Demak.
Sebagai anak yang berbakti, Raden Patah
merasa terpanggil untuk berkorban apa saja demi ayahnya. Sebab agamanya
mengajarkan bahwa kebaktian kepada orang tua itu adalah wajib meskipun
orang tuanya berlainan agama. Maka penyerahan Brawijaya V kepada
Girindrawardhana dirundingkan dengan para wali. Ditetapkan dalam
musyawarah itu untuk mengutus Sunan Kalijaga dan Raden Patah supaya
menghadap Prabu Bhrawijaya V. mereka mengusulkan agar Majapahit
membatalkan niat takluknya kepada Girindrawardhana. Di samping itu, demi
berjaga-jaga menghadapi situasi yang paling gawat, dimintakan kepada
Raja untuk mengangkat putranya sendiri, Raden Patah, sebagai Sultan
Demak. Juga disarankan agar para wali diizinkan mengajarkan islam kepada
rakyat Majapahit dengan harapana rakyat akan terbangun jiwanya oleh
semangat jihad yang terdapat di dalam islam untuk melawan penjajah.
Sayang, usul-usul ini ditolak ayahnya
yang sudah lemah itu. Bahkan Prabu Brawijaya melarikan diri secara
diam-diam ke Gunung Lawu untuk mencari Mukhswa atas anjuran
punakawannya, Naya Genggong dan Sabdo Palon, yang di dalam hatinya
berkecamuk dendam kepada islam dan umatnya. Sementara itu, dengan
sombongnya Girindrawardhana memasuki Majapahit dan memindahkan
mahligainya ke sana. Maka ia menyandang gelar Prabu Brawijaya VI.
Menyaksikan kesewenang-wenangan ini
habislah kesabaran Demak. Raden Patah bangkit menyiapkan angkatan
perangnya. Digempurnya Majapahit dengan semangat Allahu Akbar. Namun,
baru pada tahun 1518 M Demak berhasil mengokohkan kekuasaannya sesudah
Prabu Brawijaya VII dapat dibinasakan oleh Pati Unus putra Raden Patah,
menjelang ayahnya itu wafat.
Maka, perputaran sejarahpun berbalik
kembali. Majapahit akhirnya runtuh juga karena beberapa sebab. Di
antaranya beberapa pokok adalah sebab-sebab geologis, yaitu meletusnya
Gunung Kelud serta bencana-bencana alam lainnya. Juga karena kian
tersebarnya ajaran baru yang membatasi feodalisme dan pemujaan terhadap
raja sebagai penjelmaan dewa, ajaran yang menyejajarkan budak dengan
raja, yaitu agama islam. Lebih hebat lagi adalah akibat peperangna
antara pangeran dan bangsawan untuk saling memperebutkan kekuasaan.
Islam berusaha membela wibawa Majapahit
yang telah berjasa menciptakan kejayaan Nusantara. Tetapi, takdir
menghendaki lain karena para kawula Majapahit sendiri telah menyerah
kepada nasib.
Sumber: 30 Kisah Teladan
Oleh K.H. Abdurrahman Arroisi