Saya mau tanya nih apa bener islam sudah berkembang di nusantara
sejak zaman Rasulullah berarti pada zaman majapahit sudah ada komunitas
muslim dong, karena menurut kakek saya dia orang asli tuban, bahwa pada
waktu pemberontakan (ansich) ronggolawe didalam laskarnya ada kira-kira
10 orang muslim asli tuban yang terbantai oleh prajurit majapahit
disungai bersama ronggolawe walupun ronggolawe itu orang hindu,
mengingat tuban adalah bandar internasional waktu itu jadi gak menutup
kemungkinan dijajaran prajurit majapahit juga ada yang muslimkah? kakek
saya cerita dulu ada lembar lontarnya tapi rusak pada waktu ada
penjarahan jepang di desanya mohon penjelasanya pak, terima kasih
sebelumnya. Jazakallah
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh,
Islam masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 M yang berarti saat
Rasulullah SAW masih hidup di Jazirah Arab. Buktinya adalah sebuah kota
kecil di pesisir Barat Sumatera Utara, Barat daya Medan, bernama Barus.
Sampai sekarang, sejarah mencatat jika Barus adalah kota tertua di
Nusantara. Barus adalah kota internasional yang sejak zaman sebelum
masehi, sebelum Nabi Isa a.s. lahir, diketahui telah mengekspor kapur
wangi (kapur Barus) ke Mesir untuk digunakan sebagai bahan pembalseman
mumi para raja dan pangeran Mesir (Firaun).
Sedangkan Majapahit baru berdiri di akhir abad ke-13 M, dengan
meruntuhkan Kerajaan Singosari, yang berarti enam abad setelah Islam
menyinari Nusantara.
Walau Islam telah menyinari Barus diabad ke-7 M, namun catatan Islam
tertua di Tanah Jawa sampai hari ini masih merujuk pada batu nisan
Fatimah Binti Maimun yang ditemukan di Leran, Gresik, Jawa Timur, pada
1082. Sejumlah petilasan di pusat kerajaan Majapahit, Trowulan, juga
telah ditulis dalam bahasa Arab (SQ. Fatini: Islam Comes to Malaysia; Singapore, MSRI, 1963). Ini berarti sebelum Majapahit berdiri di Trowulan, sudah ada penduduk beragama Islam di sana.
Sedangkan menurut catatan indonesianis asal Monash University-
Australia, MC. Ricklefs dalam “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004”
(h.30-31) disebutkan jika batu nisan Trowulan terdapat angka pahatan
1368. ”Batu nisan ini berhias ayat-ayat Qur’an… Batu-batu Jawa Timur itu
mengesankan bahwa beberapa elit Jawa telah memeluk Islam pada saat
kerajaan Majapahit yang beragama Hindu-Budha itu sedang jaya-jayanya.”
Ricklefs juga menulis, “…sudah ada bangsawan-bangsawan yang beragama
Islam di istana Majapahit pada abad XIV” (h.37). Kerajaan Majapahit
berdiri pada tanggal 10 November 1293 saat Raden Wijaya dinobatkan
sebagai raja pertama dengan nama resmi Prabu Kertarajasa Jayawardhana.
Ronggolawe sendiri adalah orang yang sangat berjasa di dalam
berdirinya Majapahit. Namun oleh pembesar Majapahit, akibat fitnah yang
dilancarkan Mahapatih Halayudha, Ronggolawe yang sangat menjunjung
tinggi kebenaran dan keadilan—sebab itu dia menolak pengangkatan Nambi
yang dianggapnya tidak lebih berjasa ketimbang beberapa rekannya sebagai
salah satu pembesar kerajaan, dianggap sebagai pemberontak dan
diperangi.
Tuban sejak sebelum Majapahit berdiri merupakan kota pelabuhan di
mana semua pedagang dari berbagai negara dan agama bertemu. Islam telah
bersinar di Tuban sejak lama. Sebab itu jika dikatakan adakah
orang-orang Islam yang menjadi pengikut Ronggolawe, maka hal itu bukan
kemustahilan. Apalagi di masyarakat Tuban telah lama tertanam adanya
kisah tentang Brandal Lokajaya yang kemudian menjadi Sunan Kalijaga,
salah seorang penyebar Islam di Tanah Jawa.
Dan adakah orang-orang Islam yang menjadi anggota pasukan kerajaan
Majapahit? Ini juga bukan kemustahilan mengingat sejarawan Ricklefs
berkeyakinan jika sebagian pembesar dan bangsawan Majapahit telah
memeluk Islam ketika Majapahit masih berdiri.
Sejarah Islam di negeri ini memang sangat besar dan gemilang.
Sayangnya, arus reformasi sepertinya tidak perduli dengan semua ini.
Menjadi tugas kita semualah untuk mengungkap dan meluruskan sejarah ini
agar anak cucu kita bisa bangga menjadi Muslim Indonesia.
Wallahu alam bishawab.
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.
Sumber
Sabtu, 22 Februari 2014
Pengangkatan Khulafaur Rasyidin
Posted By:
Unknown
on 06.10
Oleh: Irhamni Rofiun
Menurut Said Hawwa sebagaimana dikutip oleh Muhammad Herry, hanya ada satu prosedur legal pengangkatan khalifah, yaitu dengan pemilihan yang dilakukan oleh para tokoh yang mewakili umat (ahlul halli wal ‘aqdi) dan kesanggupan yang dinyatakan oleh orang-orang yang dipilih untuk menjadi khalifah. Inilah yang disebut kontrak sosial. Dan kontrak sosial tidak akan sempurna kecuali dengan al-ijab (penyerahan tanggung jawab) dan al-qabul (penerimaan tanggung jawab).
Al-ijab dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi yang merupakan proses pemilihan khalifah. Sedangkan al-qabul datang dari pihak orang yang terpilih untuk menjadi khalifah.
Inilah yang terjadi di zaman Khulafa Rasyidin, zaman setelah wafatnya Rasulullah saw… Untuk itu marilah kita telusuri secara singkat sejarah terpilihnya empat khalifah pasca Nabi Muhammad saw.
Abu Bakar ash-Shiddiq RA
Pasca meninggalnya Rasulullah SAW, kaum Anshar (penduduk asli Madinah), berkumpul di Saqifah bani Saa’idah. Bukan sekadar berkumpul, tapi mereka sedang mendulang dukungan kepada Sa’ad bin Ubaidah RA sebagai pimpinan, menggantikan Nabi. Peristiwa tersebut didengar oleh Umar bin Khaththab. Umar lalu memberitahukan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Lalu, Umar dan Abu Bakar mengajak Abu Ubaidah RA menuju ke Saqifah bani Saa’idah.
Sesampainya di sana, jumlah umat semakin banyak, dan di depan umat itulah Abu Bakar berpidato agar umat memilih Umar atau Abu Ubaidah. Tapi keduanya menolaknya. Bahkan Umar dan Abu Ubaidah bersepakat untuk membaiat Abu Bakar. Belum juga mereka menjabat tangan Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad yang berasal dari kaum Anshar, menjabat tangan Abu Bakar dan langsung membaiatnya. Dari sini lalu khalayak membaiat Abu Bakar, baik dari kalangan Anshar, Muhajirin, dan tokoh Islam lainnya. Abu Bakar tidak lagi sanggup menolak amanah yang diberikan umat kepadanya.
Umar bin Khaththab RA
Tatkala Abu Bakar ash-Shiddiq merasakan ajalnya sudah dekat, ia mengundang para sahabat untuk membahas siapa penggantinya. Abu Bakar juga menulis surat yang ditujukan kepada khalayak, yang menjelaskan atas apa pilihannya itu. Abu Bakar menjatuhkan pilihannya kepada Umar bin Khaththab. “Tapi, kepada para sahabat, Abu Bakar berkata, ‘Saya menjatuhkan pilihan kepada Umar, tapi Umar bebas menentukan sikap’.”
Rupanya, umat juga bersetuju dengan Abu Bakar. Lalu, kepada Umar, Abu Bakar berpesan, “Sepeninggalku nanti, aku mengangkatmu sebagai penggantiku…” ucap Abu Bakar pada Umar bin Khaththab.
“Aku sama sekali tak memerlukan jabatan khalifah itu,” Umar menolak.
Tapi, atas desakan Abu Bakar dan dengan argumentasi yang membawa misi Ilahi, Umar luluh dan menerimanya. Sepeninggal Abu Bakar, ketika Umar dilantik jadi khalifah, ia justru menangis. Orang-orang pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis menerima jabatan ini?”
“Aku ini keras, banyak orang yang takut padaku. Kalau aku nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan?”
Tiba-tiba, muncullah seorang Arab Badui dengan menghunus pedangnya, seraya berkata, “Aku, akulah yang mengingatkanmu dengan pedang ini.”
“Alhamdulillah,” puji Umar pada Ilahi, karena masih ada orang yang mau dan berani mengingatkannya bila ia melakukan kesalahan.
Utsman bin Affan RA
Sebagaimana tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Umar tidak mau menunjuk penggantinya. Kepada para sahabat, dia berpesan, “Hendaklah kalian meminta pertimbangan pada sekelompok orang yang oleh Rasulullah SAW pernah disebut sebagai calon penghuni surga. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib RA, Utsman bin Affan RA, Abdurrahman bin Auf RA, Zubair bin al-Awwam RA, Sa’ad bin Abi Waqqash RA dan Thalhah bin Sa’ad Ubaidillah RA.
Hendaklah engkau memilih salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin. Dan bila sudah terpilih, maka dukunglah dan bantulah pemimpin itu dengan baik.”
Ketika Umar meninggal dunia, para sahabat berkumpul di rumah Aisyah RA, kecuali Thalhah yang sedang berada di luar kota. Mereka pun bermusyawarah, siapa sebaiknya yang patut menggantikan Umar. Di tengah membicarakan mekanismenya, Abdurrahman angkat bicara, “Siapa di antara kalian yang mengundurkan diri dari pencalonan ini, maka dia berhak menentukan siapa pengganti Khalifah Umar.” Tak seorang pun yang berkomentar. Maka, Abdurrahman berinisiatif mengundurkan diri. Yang lain berjanji akan tetap bersama Abdurrahman, dan menerima apa yang akan diputuskannya.
Meski sudah mendapat mandat dari para calon ahli surga, Abdurrahman tak mau gegabah untuk memutuskan siapa yang mesti dipilih sebagai khalifah. Selama tiga hari tiga malam Abdurrahman mendatangi berbagai komponen masyarakat untuk didengar aspirasinya.
Pada hari ketiga, barulah Abdurrahman memutuskan Utsman sebagai pengganti Umar. Abdurrahman membaiat Utsman, diikuti oleh para sahabat lainnya, termasuk mereka yang disebut-sebut oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga.
Ali bin Abi Thalib RA
Akhir hayat Utsman juga sama dengan yang dialami oleh Umar bin Khaththab, dibunuh oleh seseorang yang tak menyukai Islam terus berjaya. Sepeninggal Utsman, Ali didatangi oleh kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka bersepakat untuk membaiat Ali. Tapi Ali menolaknya, karena ia memang tidak berambisi untuk menduduki jabatan duniawi. Tak ada pilihan, tak ada tokoh sekaliber dia. Umat pun terus mendesak. Akhirnya Ali luluh, dan berucap, “Baiklah, kalau begitu kita lakukan di masjid saja.” Dan Ali, dibaiat di dalam masjid.
Wallahu a’lam.
Sumber
Menurut Said Hawwa sebagaimana dikutip oleh Muhammad Herry, hanya ada satu prosedur legal pengangkatan khalifah, yaitu dengan pemilihan yang dilakukan oleh para tokoh yang mewakili umat (ahlul halli wal ‘aqdi) dan kesanggupan yang dinyatakan oleh orang-orang yang dipilih untuk menjadi khalifah. Inilah yang disebut kontrak sosial. Dan kontrak sosial tidak akan sempurna kecuali dengan al-ijab (penyerahan tanggung jawab) dan al-qabul (penerimaan tanggung jawab).
Al-ijab dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi yang merupakan proses pemilihan khalifah. Sedangkan al-qabul datang dari pihak orang yang terpilih untuk menjadi khalifah.
Inilah yang terjadi di zaman Khulafa Rasyidin, zaman setelah wafatnya Rasulullah saw… Untuk itu marilah kita telusuri secara singkat sejarah terpilihnya empat khalifah pasca Nabi Muhammad saw.
Abu Bakar ash-Shiddiq RA
Pasca meninggalnya Rasulullah SAW, kaum Anshar (penduduk asli Madinah), berkumpul di Saqifah bani Saa’idah. Bukan sekadar berkumpul, tapi mereka sedang mendulang dukungan kepada Sa’ad bin Ubaidah RA sebagai pimpinan, menggantikan Nabi. Peristiwa tersebut didengar oleh Umar bin Khaththab. Umar lalu memberitahukan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Lalu, Umar dan Abu Bakar mengajak Abu Ubaidah RA menuju ke Saqifah bani Saa’idah.
Sesampainya di sana, jumlah umat semakin banyak, dan di depan umat itulah Abu Bakar berpidato agar umat memilih Umar atau Abu Ubaidah. Tapi keduanya menolaknya. Bahkan Umar dan Abu Ubaidah bersepakat untuk membaiat Abu Bakar. Belum juga mereka menjabat tangan Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad yang berasal dari kaum Anshar, menjabat tangan Abu Bakar dan langsung membaiatnya. Dari sini lalu khalayak membaiat Abu Bakar, baik dari kalangan Anshar, Muhajirin, dan tokoh Islam lainnya. Abu Bakar tidak lagi sanggup menolak amanah yang diberikan umat kepadanya.
Umar bin Khaththab RA
Tatkala Abu Bakar ash-Shiddiq merasakan ajalnya sudah dekat, ia mengundang para sahabat untuk membahas siapa penggantinya. Abu Bakar juga menulis surat yang ditujukan kepada khalayak, yang menjelaskan atas apa pilihannya itu. Abu Bakar menjatuhkan pilihannya kepada Umar bin Khaththab. “Tapi, kepada para sahabat, Abu Bakar berkata, ‘Saya menjatuhkan pilihan kepada Umar, tapi Umar bebas menentukan sikap’.”
Rupanya, umat juga bersetuju dengan Abu Bakar. Lalu, kepada Umar, Abu Bakar berpesan, “Sepeninggalku nanti, aku mengangkatmu sebagai penggantiku…” ucap Abu Bakar pada Umar bin Khaththab.
“Aku sama sekali tak memerlukan jabatan khalifah itu,” Umar menolak.
Tapi, atas desakan Abu Bakar dan dengan argumentasi yang membawa misi Ilahi, Umar luluh dan menerimanya. Sepeninggal Abu Bakar, ketika Umar dilantik jadi khalifah, ia justru menangis. Orang-orang pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis menerima jabatan ini?”
“Aku ini keras, banyak orang yang takut padaku. Kalau aku nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan?”
Tiba-tiba, muncullah seorang Arab Badui dengan menghunus pedangnya, seraya berkata, “Aku, akulah yang mengingatkanmu dengan pedang ini.”
“Alhamdulillah,” puji Umar pada Ilahi, karena masih ada orang yang mau dan berani mengingatkannya bila ia melakukan kesalahan.
Utsman bin Affan RA
Sebagaimana tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Umar tidak mau menunjuk penggantinya. Kepada para sahabat, dia berpesan, “Hendaklah kalian meminta pertimbangan pada sekelompok orang yang oleh Rasulullah SAW pernah disebut sebagai calon penghuni surga. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib RA, Utsman bin Affan RA, Abdurrahman bin Auf RA, Zubair bin al-Awwam RA, Sa’ad bin Abi Waqqash RA dan Thalhah bin Sa’ad Ubaidillah RA.
Hendaklah engkau memilih salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin. Dan bila sudah terpilih, maka dukunglah dan bantulah pemimpin itu dengan baik.”
Ketika Umar meninggal dunia, para sahabat berkumpul di rumah Aisyah RA, kecuali Thalhah yang sedang berada di luar kota. Mereka pun bermusyawarah, siapa sebaiknya yang patut menggantikan Umar. Di tengah membicarakan mekanismenya, Abdurrahman angkat bicara, “Siapa di antara kalian yang mengundurkan diri dari pencalonan ini, maka dia berhak menentukan siapa pengganti Khalifah Umar.” Tak seorang pun yang berkomentar. Maka, Abdurrahman berinisiatif mengundurkan diri. Yang lain berjanji akan tetap bersama Abdurrahman, dan menerima apa yang akan diputuskannya.
Meski sudah mendapat mandat dari para calon ahli surga, Abdurrahman tak mau gegabah untuk memutuskan siapa yang mesti dipilih sebagai khalifah. Selama tiga hari tiga malam Abdurrahman mendatangi berbagai komponen masyarakat untuk didengar aspirasinya.
Pada hari ketiga, barulah Abdurrahman memutuskan Utsman sebagai pengganti Umar. Abdurrahman membaiat Utsman, diikuti oleh para sahabat lainnya, termasuk mereka yang disebut-sebut oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga.
Ali bin Abi Thalib RA
Akhir hayat Utsman juga sama dengan yang dialami oleh Umar bin Khaththab, dibunuh oleh seseorang yang tak menyukai Islam terus berjaya. Sepeninggal Utsman, Ali didatangi oleh kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka bersepakat untuk membaiat Ali. Tapi Ali menolaknya, karena ia memang tidak berambisi untuk menduduki jabatan duniawi. Tak ada pilihan, tak ada tokoh sekaliber dia. Umat pun terus mendesak. Akhirnya Ali luluh, dan berucap, “Baiklah, kalau begitu kita lakukan di masjid saja.” Dan Ali, dibaiat di dalam masjid.
Wallahu a’lam.
Sumber
Abu Mihjan si Pemabuk
Posted By:
Unknown
on 06.01
Oleh: Farid Nu'man Hasan
Apa yang kau anggap atas dirimu sendiri? Begitu banyakkah dosa dan noda? Ketahuilah, setiap manusia –siapa pun dia- juga memiliki kesalahan, dan sebaik-baik manusia yang membuat kesalahan adalah yang mau bertaubat. Mari jadilah yang terbaik…
Apa yang menghalangimu membela agamamu? Apa yang merintangimu beramal demi kejayaan Islam dan kaum muslimin? Dosa, noda, dan maksiat itu? Ketahuilah, jika kau diam saja, tidak beramal karena merasa belum pantas berjuang, masih jauh dari sempurna, maka daftar noda dan maksiat itu semakin bertambah. Itulah tipu daya setan atas anak Adam, mereka menghalangi manusia dari berjuang dan hidup bersama para pejuang, dengan menciptakan keraguan di dalam hati manusia dengan menjadikan dosa-dosanya sebagai alasan.
Hilangkan keraguanmu, karena Rabbmu yang Maha Pengampun telah berfirman:
Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan keburukan-keburukan. (QS. Hud: 114)
Hilangkan pula kebimbanganmu, karena kekasih hati tercinta, Nabi-Nya yang mulia –Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- telah bersabda:
Ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik, niscaya itu akan menghapuskannya. (HR. At Tirmidzi No. 1987, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21354, 21403, 21487, 21536, 21988, 22059, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 296, 297, 298, juga Al Mu’jam Ash Shaghir No. 530, Ad Darimi No. 2833, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 178, katanya: “Shahih, sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.” Disepakati oleh Imam Adz DZahabi dalam At Talkhish. Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Al Albani menghasankannya dalam kitab mereka masing-masing)
Tidak usah berkecil hati dan jangan putus asa, sungguh agama mulia ini pernah dimenangkan oleh orang mulianya dan para fajir (pelaku dosa)nya. Semuanya mengambil bagian dalam gerbong caravan pejuang Islam. Imam Al Bukhari telah membuat Bab dalam kitab Shahihnya, Innallaha Yu’ayyidu Ad Diin bir Rajul Al Faajir (Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya melalui seseorang yang fajir). Ya, kadang ada pelaku maksiat, seorang fajir, justru dia melakukan aksi-aksi nushrah (pertolongan) terhadap agamanya, dibanding laki-laki yang shalih. Semoga aksi-aksi nushrah tersebut bisa merubahnya dari perilaku buruknya, dan dia bisa mengambil pelajaran darinya sampai dia berubah menjadi orang shalih yang berjihad, bukan lagi orang fajir yang berjihad.
Abu Mihjan
Kukisahkan kepadamu tentang Abu Mihjan Radhiallahu ‘Anhu. Ditulis dengan tinta emas para ulama Islam, di antaranya Imam Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala pada Bab Sirah Umar Al Faruq. (2/448. Darul Hadits, Kairo), juga Usudul Ghabah-nya Imam Ibnul Atsir. (6/271. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Beliau adalah seorang laki-laki yang sangat sulit menahan diri dari khamr (minuman keras). Beliau sering dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk diterapkan hukum cambuk (Jild) padanya karena perbuatannya itu. Bahkan Ibnu Jarir menyebutkan Abu Mihjan tujuh kali dihukum cambuk. Tetapi, dia adalah seorang laki-laki yang sangat mencintai jihad, perindu syahid, dan hatinya gelisah jika tidak andil dalam aksi-aksi jihad para sahabat nabi Radhiallahu ‘Anhum.
Hingga datanglah perang Al Qadisiyah yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqash Radhiallahu ‘Anhu melawan Persia, pada masa pemerintahan Khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu. Abu Mihjan ikut andil di dalamnya, dia tampil gagah berani bahkan termasuk yang paling bersemangat dan banyak membunuh musuh. Tetapi, saat itu dia dikalahkan keinginannya untuk meminum khamr, akhirnya dia pun meminumnya. Maka, Sa’ad bin Abi Waqash menghukumnya dengan memenjarakannya serta melarangnya untuk ikut jihad.
Di dalam penjara, dia sangat sedih karena tidak bisa bersama para mujahidin. Apalagi dari dalam penjara dia mendengar suara dentingan pedang dan teriakan serunya peperangan, hatinya teriris, ingin sekali dia membantu kaum muslimin melawan Persia yang Majusi. Hal ini diketahui oleh istri Sa’ad bin Abi Waqash yang bernama Salma, dia sangat iba melihat penderitaan Abu Mihjan, menderita karena tidak dapat ikut berjihad, menderita karena tidak bisa berbuat untuk agamanya! Maka, tanpa sepengetahuan Sa’ad -yang saat itu sedang sakit, dan dia memimpin pasukan melalui pembaringannya, serta mengatur strategi di atasnya- Beliau membebaskan Abu Mihjan untuk dapat bergabung dengan para mujahidin. Abu Mihjan meminta kepada Salma kudanya Sa’ad yaitu Balqa dan juga senjatanya. Beliau berjanji, jika masih hidup akan mengembalikan kuda dan senjata itu, dan kembali pula ke penjara. Sebaliknya jika wafat memang itulah yang dia cita-citakan.
Abu Mihjan berangkat ke medan tempur dengan wajah tertutup kain sehingga tidak seorang pun yang mengenalnya. Dia masuk turun ke medan jihad dengan gesit dan gagah berani. Sehingga Sa’ad memperhatikannya dari kamar tempatnya berbaring karena sakit dan dia takjub kepadanya, dan mengatakan: “Seandainya aku tidak tahu bahwa Abu Mihjan ada di penjara, maka aku katakan orang itu pastilah Abu Mihjan. Seandainya aku tidak tahu di mana pula si Balqa, maka aku katakan kuda itu adalah Balqa.”
Sa’ad bin Abi Waqash bertanya kepada istrinya, dan istrinya menceritakan apa yang terjadi sebenarnya pada Abu Mihjan, sehingga lahirlah rasa iba dari Sa’ad kepada Abu Mihjan.
Perang usai, dan kaum muslimin menang gilang gemilang. Abi Mihjan kembali ke penjara, dan dia sendiri yang memborgol kakinya, sebagaimana janjinya. Sa’ad bin Waqash Radhiallahu ‘Anhu mendatanginya dan membuka borgol tersebut, lalu berkata:
Kami tidak akan mencambukmu karena khamr selamanya. Abu Mihjan menjawab: “Dan Aku, Demi Allah, tidak akan lagi meminum khamr selamanya!”
Sangat sulit bagi kita mengikuti dan menyamai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan para sahabat nabi yang mulia, Radhiallahu ‘Anhum. Tetapi, paling tidak kita masih bisa seperti Abu Mihjan, walau dia pelaku maksiat namun masih memiliki ghirah kepada perjuangan agamanya, dan ikut hadir dalam deretan nama-nama pahlawan Islam. Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam deretan para pejuang agama-Nya, mengikhlaskan, dan memberikan karunia syahadah kepada kita. Amin.
Wallahu A’lam.
Sumber
Apa yang kau anggap atas dirimu sendiri? Begitu banyakkah dosa dan noda? Ketahuilah, setiap manusia –siapa pun dia- juga memiliki kesalahan, dan sebaik-baik manusia yang membuat kesalahan adalah yang mau bertaubat. Mari jadilah yang terbaik…
Apa yang menghalangimu membela agamamu? Apa yang merintangimu beramal demi kejayaan Islam dan kaum muslimin? Dosa, noda, dan maksiat itu? Ketahuilah, jika kau diam saja, tidak beramal karena merasa belum pantas berjuang, masih jauh dari sempurna, maka daftar noda dan maksiat itu semakin bertambah. Itulah tipu daya setan atas anak Adam, mereka menghalangi manusia dari berjuang dan hidup bersama para pejuang, dengan menciptakan keraguan di dalam hati manusia dengan menjadikan dosa-dosanya sebagai alasan.
Hilangkan keraguanmu, karena Rabbmu yang Maha Pengampun telah berfirman:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan keburukan-keburukan. (QS. Hud: 114)
Hilangkan pula kebimbanganmu, karena kekasih hati tercinta, Nabi-Nya yang mulia –Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- telah bersabda:
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
Ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik, niscaya itu akan menghapuskannya. (HR. At Tirmidzi No. 1987, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21354, 21403, 21487, 21536, 21988, 22059, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 296, 297, 298, juga Al Mu’jam Ash Shaghir No. 530, Ad Darimi No. 2833, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 178, katanya: “Shahih, sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim.” Disepakati oleh Imam Adz DZahabi dalam At Talkhish. Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Al Albani menghasankannya dalam kitab mereka masing-masing)
Tidak usah berkecil hati dan jangan putus asa, sungguh agama mulia ini pernah dimenangkan oleh orang mulianya dan para fajir (pelaku dosa)nya. Semuanya mengambil bagian dalam gerbong caravan pejuang Islam. Imam Al Bukhari telah membuat Bab dalam kitab Shahihnya, Innallaha Yu’ayyidu Ad Diin bir Rajul Al Faajir (Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya melalui seseorang yang fajir). Ya, kadang ada pelaku maksiat, seorang fajir, justru dia melakukan aksi-aksi nushrah (pertolongan) terhadap agamanya, dibanding laki-laki yang shalih. Semoga aksi-aksi nushrah tersebut bisa merubahnya dari perilaku buruknya, dan dia bisa mengambil pelajaran darinya sampai dia berubah menjadi orang shalih yang berjihad, bukan lagi orang fajir yang berjihad.
Abu Mihjan
Kukisahkan kepadamu tentang Abu Mihjan Radhiallahu ‘Anhu. Ditulis dengan tinta emas para ulama Islam, di antaranya Imam Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala pada Bab Sirah Umar Al Faruq. (2/448. Darul Hadits, Kairo), juga Usudul Ghabah-nya Imam Ibnul Atsir. (6/271. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Beliau adalah seorang laki-laki yang sangat sulit menahan diri dari khamr (minuman keras). Beliau sering dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk diterapkan hukum cambuk (Jild) padanya karena perbuatannya itu. Bahkan Ibnu Jarir menyebutkan Abu Mihjan tujuh kali dihukum cambuk. Tetapi, dia adalah seorang laki-laki yang sangat mencintai jihad, perindu syahid, dan hatinya gelisah jika tidak andil dalam aksi-aksi jihad para sahabat nabi Radhiallahu ‘Anhum.
Hingga datanglah perang Al Qadisiyah yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqash Radhiallahu ‘Anhu melawan Persia, pada masa pemerintahan Khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu. Abu Mihjan ikut andil di dalamnya, dia tampil gagah berani bahkan termasuk yang paling bersemangat dan banyak membunuh musuh. Tetapi, saat itu dia dikalahkan keinginannya untuk meminum khamr, akhirnya dia pun meminumnya. Maka, Sa’ad bin Abi Waqash menghukumnya dengan memenjarakannya serta melarangnya untuk ikut jihad.
Di dalam penjara, dia sangat sedih karena tidak bisa bersama para mujahidin. Apalagi dari dalam penjara dia mendengar suara dentingan pedang dan teriakan serunya peperangan, hatinya teriris, ingin sekali dia membantu kaum muslimin melawan Persia yang Majusi. Hal ini diketahui oleh istri Sa’ad bin Abi Waqash yang bernama Salma, dia sangat iba melihat penderitaan Abu Mihjan, menderita karena tidak dapat ikut berjihad, menderita karena tidak bisa berbuat untuk agamanya! Maka, tanpa sepengetahuan Sa’ad -yang saat itu sedang sakit, dan dia memimpin pasukan melalui pembaringannya, serta mengatur strategi di atasnya- Beliau membebaskan Abu Mihjan untuk dapat bergabung dengan para mujahidin. Abu Mihjan meminta kepada Salma kudanya Sa’ad yaitu Balqa dan juga senjatanya. Beliau berjanji, jika masih hidup akan mengembalikan kuda dan senjata itu, dan kembali pula ke penjara. Sebaliknya jika wafat memang itulah yang dia cita-citakan.
Abu Mihjan berangkat ke medan tempur dengan wajah tertutup kain sehingga tidak seorang pun yang mengenalnya. Dia masuk turun ke medan jihad dengan gesit dan gagah berani. Sehingga Sa’ad memperhatikannya dari kamar tempatnya berbaring karena sakit dan dia takjub kepadanya, dan mengatakan: “Seandainya aku tidak tahu bahwa Abu Mihjan ada di penjara, maka aku katakan orang itu pastilah Abu Mihjan. Seandainya aku tidak tahu di mana pula si Balqa, maka aku katakan kuda itu adalah Balqa.”
Sa’ad bin Abi Waqash bertanya kepada istrinya, dan istrinya menceritakan apa yang terjadi sebenarnya pada Abu Mihjan, sehingga lahirlah rasa iba dari Sa’ad kepada Abu Mihjan.
Perang usai, dan kaum muslimin menang gilang gemilang. Abi Mihjan kembali ke penjara, dan dia sendiri yang memborgol kakinya, sebagaimana janjinya. Sa’ad bin Waqash Radhiallahu ‘Anhu mendatanginya dan membuka borgol tersebut, lalu berkata:
لا نجلدك على خمر أبدا فقال: وأنا والله لا أشربها أبدا
Kami tidak akan mencambukmu karena khamr selamanya. Abu Mihjan menjawab: “Dan Aku, Demi Allah, tidak akan lagi meminum khamr selamanya!”
Sangat sulit bagi kita mengikuti dan menyamai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan para sahabat nabi yang mulia, Radhiallahu ‘Anhum. Tetapi, paling tidak kita masih bisa seperti Abu Mihjan, walau dia pelaku maksiat namun masih memiliki ghirah kepada perjuangan agamanya, dan ikut hadir dalam deretan nama-nama pahlawan Islam. Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam deretan para pejuang agama-Nya, mengikhlaskan, dan memberikan karunia syahadah kepada kita. Amin.
Wallahu A’lam.
Sumber
Salman al-Farisi
Posted By:
Unknown
on 05.41
Aku berasal dari Persia, tepatnya Ashfahan. Ayahku adalah seorang
yang kaya-raya dan ternama. Aku orang yang paling dicintainya di dunia
ini. Bahkan saking cintanya, aku tidak pernah diperbolehkan keluar dari
rumah. Aku penganut agama Majusi yang sangat taat. Aku mengabdi kepada
api, tidak pernah aku membiarkannya redup barang sebentar.
Perjalanan hidupku sangat panjang dan berliku hingga aku bisa seperti ini sekarang. Perjalanan itu bermula pada suatu pagi. Pagi itu ayahku sibuk hingga tidak bisa menengok kebunnya yang luas. Aku diminta untuk menengoknya. Kebun itu berada cukup jauh dari rumah.
Di tengah perjalanan, aku melewati sebuah gereja. Kudengar sayup-sayup suara jamaah gereja yang sedang khusyuk berdoa dan memuji tuhan mereka. Suara pujian dan doa mereka demikian indah. Dalam hati aku berpikir, agama ini jauh lebih baik daripada agama yang kuanut. Aku pun segera mampir ke sumber suara itu. Aku masuk untuk melihat barang sejenak apa yang mereka lakukan. Kekagumanku semakin bertambah ketika kulihat mereka berdoa. Aku sempat bertanya pada seseorang di sana, “Dari mana asal agama ini?” Dia menjawab, “Dari negeri Syam.”
Setelah beberapa saat berada di dalamnya, berat rasanya beranjak dari tempat itu. Kuhabiskan pagi, siang, hingga sore hari itu di dalam gereja. Aku pulang tanpa sempat lagi menengok kebun.
Sesampainya di rumah, aku baru mengetahui bahwa ayahku sepanjang hari berkeliling-keliling mencariku. Dia bertanya, “Kemana saja engkau, sesore ini baru pulang?” Aku menjawab, “Aku tadi melewati sebuah gereja. Di dalamnya banyak orang yang sedang berdoa. Aku pergi melihat mereka, dan aku sangat tertarik dengan agama mereka. Agama itu lebih baik dari agama kita. Karena senang, aku baru pulang ketika hari sudah sore.”
Ayahku berkata, “Anakku, agama yang baru kau lihat tidak sebaik yang kau kira. Agamamu dan nenek moyangmu jauh lebih baik.” Aku pun bersikeras bahwa agama mereka lebih baik. Akhirnya ayahku marah. Aku kembali dikurungnya di rumah.
Selama dikurung, aku selalu merenung tentang agama itu. Aku sempatkan mengirim pesan kepada orang yang kutemui di gereja itu. Kukatakan, “Kalau ada rombongan yang datang dari negeri Syam, tolong beritahu aku.”
Selang beberapa waktu datang, serombongan orang Syam. Lalu beberapa orang gereja pun datang ke rumahku untuk memberitahukan hal tersebut. Kukatakan kepada mereka, “Nanti kalau mereka akan kembali ke negeri mereka, tolong beritahu aku.”
Singkat cerita, datanglah orang memberitahukan bahwa orang-orang Syam itu akan segera kembali ke negeri mereka. Aku segera mencari cara agar bisa keluar dari rumah. Setelah berhasil keluar, aku segera bergabung dengan rombongan yang akan pergi ke Syam tersebut. Berhari-hari kulalui perjalanan ke Syam. Sesampainya di sana, kutanyakan kepada mereka, “Siapakah orang yang paling luas pengetahuannya tentang agama ini?” Mereka menjawab, “Uskup.”
Segera aku mendatanginya dan berkata kepadanya, “Aku ingin masuk agama ini. Oleh karena itu, aku akan selalu bersamamu dan mengabdi di gereja, sehingga aku bisa belajar agama ini.” Dia menjawab, “Masuklah.” Hanya beberapa waktu bersamanya, aku sudah mengetahui bahwa dia adalah orang yang jahat. Dia memerintahkan orang lain untuk membayar sedekah. Sedangkan sedekah-sedekah itu diambil dan disimpannya untuk diri sendiri. Dia tidak memberikannya kepada orang-orang miskin. Hingga harta yang terkumpul mencapai tujuh buah kotak berisi emas dan perak. Aku sangat membencinya karena kejahatan itu.
Setelah beberapa tahun bersamanya, Uskup itu meninggal dunia. Orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburkannya. Kukatakan kepada mereka, “Sebenarnya Uskup ini adalah orang yang jahat. Dia menyuruh kalian membayar sedekah, sedang sedekah itu dikumpulkannya untuk diri sendiri.” Mereka tidak percaya dengan perkataanku, “Mana buktinya?” Maka aku segera tunjukkan tempat disimpannya emas dan perak itu. Mereka sangat terkejut dan langsung berkata, “Selamanya kami tidak akan menguburkannya.” Mereka kemudian menyalib jenazah Uskup itu, lalu melemparinya dengan batu.
Orang-orang Nasrani kemudian memilih Uskup yang baru. Kulihat Uskup pengganti itu adalah orang yang baik. Dia orang yang rajin beribadah dan sangat zuhud kepada harta dunia. Aku sangat menghormati dan mencintainya. Aku hidup bersamanya beberapa waktu, sampai saat datang ajal kepadanya. Saat itu kukatakan, “Selama ini aku hidup bersamamu, mencintaimu lebih dari cintaku kepada yang lain. Sekarang aku lihat ajalmu sudah dekat. Katakanlah kepada siapa lagi aku berguru sepeninggalmu?” Beliau menjawab, “Anakku, demi Allah saat ini sudah sangat jarang orang yang mengamalkan agama seperti kita. Orang-orang yang benar sudah meninggal; yang tersisa adalah orang-orang yang sudah rusak dan mengubah agama mereka. Hanya ada satu orang yang mengamalkan agama seperti kita, yaitu seorang Nasrani di kota Al-Maushil. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana.”
Aku pun segera pergi ke kota Al-Maushil. Aku menemui orang yang dimaksud guruku itu. Kukatakan kepadanya, “Saat meninggal, guruku berwasiat agar aku menemui dan berguru kepadamu.” Dia menjawab, “Baiklah. Tinggallah bersamaku.” Aku lihat dia seorang yang baik. Persis dengan guru keduaku. Namun tak lama aku tinggal bersamanya, dia pun sakit dan meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia, aku bertanya kepadanya, “Wahai guruku, dulu guruku yang kedua berwasiat kepadaku untuk belajar kepadamu. Sekarang engkau sudah sakit parah. Kalau engkau meninggal, ke manakah hendaknya aku berguru lagi?” Dia menjawab, “Aku hanya mengetahui satu orang yang mengamalkan agama seperti kita. Dia tinggal di kota Nashibin. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana, dan tinggallah bersamanya.”
Setelah guruku meninggal dunia dan dikuburkan, aku segera pergi ke Nashibin untuk menemui orang yang ditunjuk tersebut. Setelah kKukatakan maksud kedatanganku, dia pun mempersilahkaku tinggal bersamanya. Aku hidup bersamanya beberapa waktu, karena dia pun kemudian meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia, kembali kutanyakan tentang guru berikutnya. Dia menunjuk seorang Nasrani di kota Amuriah, sebuah propinsi Romawi.
Aku belajar di Amuriah beberapa saat, karena guru baruku pun meninggal dunia. Di akhir kehidupannya, dia berpesan, “Sekarang memang sudah sangat sedikit orang yang baik dalam mengamalkan agamanya. Tapi jangan khawatir, sudah hampir tiba masa diutusnya seorang nabi baru. Dia akan diutus di negeri Arab. Karena mendapatkan pertentangan dari kaumnya, dia akan hijrah ke sebuah negeri yang diapit dua gunung berbatu hitam. Di tengah dua gunung tersebut adalah lahan perkebunan kurma yang sangat subur. Nabi itu mempunyai tanda-tanda yang bisa kau gunakan untuk mengenalinya; dia tidak mau makan harta sedakah, tapi mau makan harta hadiah, dan di punggungnya ada sebuah tanda kenabian.”
Begitu mendengar kisah itu, aku merasa sangat rindu bertemu dengan nabi itu. Aku berharap bisa segera pergi ke negeri Arab. Maka ketika datang rombongan pedagang dari negeri Arab, aku langsung menemui mereka. Kukatakan kepada mereka, “Bolehkah aku ikut ke negeri kalian? Imbalannya, aku akan memberi kalian hewan-hewan ternakku.” Mereka pun menerima. Namun di tengah perjalanan, mereka berkhianat. Mereka menjualku kepada seorang Yahudi. Mulai saat itu aku menjadi seorang budak. Dia membawaku ke tempat tinggalnya untuk hidup dan mengabdi kepadanya. Dia tinggal di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon kurma. Dalam hati, aku berharap bahwa tempat itu adalah tempat yang dimaksud oleh guruku. Bahwa nabi baru itu akan berhijrah ke sana.
Sehari-hari aku sibuk dengan banyak pekerjaan seorang budak. Aku tidak banyak mendengar kabar dunia luar. Termasuk kabar yang tersiar di Mekah tentang seseorang yang mengaku sebagai nabi. Saat yang kutunggu-tunggu itu rupanya sudah tiba. Saat itu aku sedang bekerja di atas pohon kurma, sedangkan tuanku berada di bawah. Ketika datang seseorang mengabarkan bahwa nabi itu telah tiba, aku hampir terjatuh saking kaget dan bahagianya. Kutanyakan kepada tuanku, “Benarkah nabi itu telah tiba?” Tuanku marah dan menamparku, “Apa urusanmu dengan datangnya nabi itu? Ayo, lanjutkan kerjamu.” Aku menjawab, “Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja.”
Baru sebentar nabi itu datang, aku sudah ingin segera menemuinya. Saat itu aku sudah memiliki kurma. Aku ingin memberikan kurma itu kepada nabi baru itu. Aku menemuinya yang saat itu masih berada di Quba’, belum sampai ke Madinah. Kukatakan kepadanya, “Aku mendengar bahwa engkau adalah orang yang baik. Engkau juga mempunyai banyak teman yang sangat membutuhkan bantuan. Aku ingin mensedekahkan kurma-kurma ini.” Aku meletakkan kurma-kurma itu di hadapannya, tapi beliau malah berkata kepada para sahabatnya, “Makanlah kurma-kurma ini.” Sedangkan beliau sendiri tidak makan sedikitpun. Dalam hati aku berkata, “Salah satu tanda kenabiannya sudah kubuktikan.”
Selang beberapa hari, nabi itu melanjutkan perjalanan ke Madinah. Aku mengumpulkan kurma lagi untuk diberikan kepadanya, “Kemarin aku melihat engkau tidak berkenan memakan sedekah. Sekarang aku ingin memberimu kurma-kurma ini sebagai hadiah.” Mendengar hal itu, beliau pun memakannya. Dalam hati aku berkata, “Sudah dua tanda kenabiannya yang kulihat.”
Suatu hari, ada seorang penduduk Madinah yang meninggal dunia. Kulihat nabi itu ikut mengantarnya ke kuburan Baqi’ul Gharqad. Beliau menutupi tubuhnya dengan dua selendang dari kain yang sangat kasar. Aku menemui dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah itu aku mundur ke arah belakang beliau. Aku bermaksud menunggu kainnya tersingkap hingga bisa kulihat tanda kenabian yang tertulis di punggung beliau. Seakan merasakan hal tersebut, beliau langsung menyingkap kainnya sehingga dengan sangat jelas kulihat tanda kenabian itu di punggungnya. Aku menangis sejadi-jadinya, dan langsung memeluk dan mencium beliau. Akhirnya kutemui juga nabi yang selama ini kutunggu-tunggu dan kucari-cari.
Langsung terbayang dalam benakku saat aku meninggalkan ayah yang sangat mencintaiku. Saat aku hidup berpindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain di negeri-negeri yang berjauhan. Saat kehilangan harta-hartaku. Saat aku dihinakan menjadi seorang budak yang diperjual-belikan, yang dipaksa bekerja bagaikan hewan ternak. Namun rasanya, semua itu hilang begitu saja ketika kubuktikan bahwa orang yang ada di depanku adalah nabi yang selama ini aku cari dan tunggu.
Sekarang aku menjadi salah seorang sahabatnya. Aku sangat mencintainya, seperti perasaan seluruh pengikutnya. Beliau adalah pemimpin agung yang sangat menyayangi kami. Karena sayangnya, beliau meminta untuk segera menebus diri agar tidak lagi menjadi seorang budak. Beliau membantuku mengumpulkan harta untuk tebusan. Sekarang aku seorang Muslim yang Merdeka. Seorang sahabat Rasulullah saw. Aku kini dikenal dengan nama Salman Al-Farisi. Di atas adalah foto kuburan beliau di Irak.
Sumber
Perjalanan hidupku sangat panjang dan berliku hingga aku bisa seperti ini sekarang. Perjalanan itu bermula pada suatu pagi. Pagi itu ayahku sibuk hingga tidak bisa menengok kebunnya yang luas. Aku diminta untuk menengoknya. Kebun itu berada cukup jauh dari rumah.
Di tengah perjalanan, aku melewati sebuah gereja. Kudengar sayup-sayup suara jamaah gereja yang sedang khusyuk berdoa dan memuji tuhan mereka. Suara pujian dan doa mereka demikian indah. Dalam hati aku berpikir, agama ini jauh lebih baik daripada agama yang kuanut. Aku pun segera mampir ke sumber suara itu. Aku masuk untuk melihat barang sejenak apa yang mereka lakukan. Kekagumanku semakin bertambah ketika kulihat mereka berdoa. Aku sempat bertanya pada seseorang di sana, “Dari mana asal agama ini?” Dia menjawab, “Dari negeri Syam.”
Setelah beberapa saat berada di dalamnya, berat rasanya beranjak dari tempat itu. Kuhabiskan pagi, siang, hingga sore hari itu di dalam gereja. Aku pulang tanpa sempat lagi menengok kebun.
Sesampainya di rumah, aku baru mengetahui bahwa ayahku sepanjang hari berkeliling-keliling mencariku. Dia bertanya, “Kemana saja engkau, sesore ini baru pulang?” Aku menjawab, “Aku tadi melewati sebuah gereja. Di dalamnya banyak orang yang sedang berdoa. Aku pergi melihat mereka, dan aku sangat tertarik dengan agama mereka. Agama itu lebih baik dari agama kita. Karena senang, aku baru pulang ketika hari sudah sore.”
Ayahku berkata, “Anakku, agama yang baru kau lihat tidak sebaik yang kau kira. Agamamu dan nenek moyangmu jauh lebih baik.” Aku pun bersikeras bahwa agama mereka lebih baik. Akhirnya ayahku marah. Aku kembali dikurungnya di rumah.
Selama dikurung, aku selalu merenung tentang agama itu. Aku sempatkan mengirim pesan kepada orang yang kutemui di gereja itu. Kukatakan, “Kalau ada rombongan yang datang dari negeri Syam, tolong beritahu aku.”
Selang beberapa waktu datang, serombongan orang Syam. Lalu beberapa orang gereja pun datang ke rumahku untuk memberitahukan hal tersebut. Kukatakan kepada mereka, “Nanti kalau mereka akan kembali ke negeri mereka, tolong beritahu aku.”
Singkat cerita, datanglah orang memberitahukan bahwa orang-orang Syam itu akan segera kembali ke negeri mereka. Aku segera mencari cara agar bisa keluar dari rumah. Setelah berhasil keluar, aku segera bergabung dengan rombongan yang akan pergi ke Syam tersebut. Berhari-hari kulalui perjalanan ke Syam. Sesampainya di sana, kutanyakan kepada mereka, “Siapakah orang yang paling luas pengetahuannya tentang agama ini?” Mereka menjawab, “Uskup.”
Segera aku mendatanginya dan berkata kepadanya, “Aku ingin masuk agama ini. Oleh karena itu, aku akan selalu bersamamu dan mengabdi di gereja, sehingga aku bisa belajar agama ini.” Dia menjawab, “Masuklah.” Hanya beberapa waktu bersamanya, aku sudah mengetahui bahwa dia adalah orang yang jahat. Dia memerintahkan orang lain untuk membayar sedekah. Sedangkan sedekah-sedekah itu diambil dan disimpannya untuk diri sendiri. Dia tidak memberikannya kepada orang-orang miskin. Hingga harta yang terkumpul mencapai tujuh buah kotak berisi emas dan perak. Aku sangat membencinya karena kejahatan itu.
Setelah beberapa tahun bersamanya, Uskup itu meninggal dunia. Orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburkannya. Kukatakan kepada mereka, “Sebenarnya Uskup ini adalah orang yang jahat. Dia menyuruh kalian membayar sedekah, sedang sedekah itu dikumpulkannya untuk diri sendiri.” Mereka tidak percaya dengan perkataanku, “Mana buktinya?” Maka aku segera tunjukkan tempat disimpannya emas dan perak itu. Mereka sangat terkejut dan langsung berkata, “Selamanya kami tidak akan menguburkannya.” Mereka kemudian menyalib jenazah Uskup itu, lalu melemparinya dengan batu.
Orang-orang Nasrani kemudian memilih Uskup yang baru. Kulihat Uskup pengganti itu adalah orang yang baik. Dia orang yang rajin beribadah dan sangat zuhud kepada harta dunia. Aku sangat menghormati dan mencintainya. Aku hidup bersamanya beberapa waktu, sampai saat datang ajal kepadanya. Saat itu kukatakan, “Selama ini aku hidup bersamamu, mencintaimu lebih dari cintaku kepada yang lain. Sekarang aku lihat ajalmu sudah dekat. Katakanlah kepada siapa lagi aku berguru sepeninggalmu?” Beliau menjawab, “Anakku, demi Allah saat ini sudah sangat jarang orang yang mengamalkan agama seperti kita. Orang-orang yang benar sudah meninggal; yang tersisa adalah orang-orang yang sudah rusak dan mengubah agama mereka. Hanya ada satu orang yang mengamalkan agama seperti kita, yaitu seorang Nasrani di kota Al-Maushil. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana.”
Aku pun segera pergi ke kota Al-Maushil. Aku menemui orang yang dimaksud guruku itu. Kukatakan kepadanya, “Saat meninggal, guruku berwasiat agar aku menemui dan berguru kepadamu.” Dia menjawab, “Baiklah. Tinggallah bersamaku.” Aku lihat dia seorang yang baik. Persis dengan guru keduaku. Namun tak lama aku tinggal bersamanya, dia pun sakit dan meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia, aku bertanya kepadanya, “Wahai guruku, dulu guruku yang kedua berwasiat kepadaku untuk belajar kepadamu. Sekarang engkau sudah sakit parah. Kalau engkau meninggal, ke manakah hendaknya aku berguru lagi?” Dia menjawab, “Aku hanya mengetahui satu orang yang mengamalkan agama seperti kita. Dia tinggal di kota Nashibin. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana, dan tinggallah bersamanya.”
Setelah guruku meninggal dunia dan dikuburkan, aku segera pergi ke Nashibin untuk menemui orang yang ditunjuk tersebut. Setelah kKukatakan maksud kedatanganku, dia pun mempersilahkaku tinggal bersamanya. Aku hidup bersamanya beberapa waktu, karena dia pun kemudian meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia, kembali kutanyakan tentang guru berikutnya. Dia menunjuk seorang Nasrani di kota Amuriah, sebuah propinsi Romawi.
Aku belajar di Amuriah beberapa saat, karena guru baruku pun meninggal dunia. Di akhir kehidupannya, dia berpesan, “Sekarang memang sudah sangat sedikit orang yang baik dalam mengamalkan agamanya. Tapi jangan khawatir, sudah hampir tiba masa diutusnya seorang nabi baru. Dia akan diutus di negeri Arab. Karena mendapatkan pertentangan dari kaumnya, dia akan hijrah ke sebuah negeri yang diapit dua gunung berbatu hitam. Di tengah dua gunung tersebut adalah lahan perkebunan kurma yang sangat subur. Nabi itu mempunyai tanda-tanda yang bisa kau gunakan untuk mengenalinya; dia tidak mau makan harta sedakah, tapi mau makan harta hadiah, dan di punggungnya ada sebuah tanda kenabian.”
Begitu mendengar kisah itu, aku merasa sangat rindu bertemu dengan nabi itu. Aku berharap bisa segera pergi ke negeri Arab. Maka ketika datang rombongan pedagang dari negeri Arab, aku langsung menemui mereka. Kukatakan kepada mereka, “Bolehkah aku ikut ke negeri kalian? Imbalannya, aku akan memberi kalian hewan-hewan ternakku.” Mereka pun menerima. Namun di tengah perjalanan, mereka berkhianat. Mereka menjualku kepada seorang Yahudi. Mulai saat itu aku menjadi seorang budak. Dia membawaku ke tempat tinggalnya untuk hidup dan mengabdi kepadanya. Dia tinggal di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon kurma. Dalam hati, aku berharap bahwa tempat itu adalah tempat yang dimaksud oleh guruku. Bahwa nabi baru itu akan berhijrah ke sana.
Sehari-hari aku sibuk dengan banyak pekerjaan seorang budak. Aku tidak banyak mendengar kabar dunia luar. Termasuk kabar yang tersiar di Mekah tentang seseorang yang mengaku sebagai nabi. Saat yang kutunggu-tunggu itu rupanya sudah tiba. Saat itu aku sedang bekerja di atas pohon kurma, sedangkan tuanku berada di bawah. Ketika datang seseorang mengabarkan bahwa nabi itu telah tiba, aku hampir terjatuh saking kaget dan bahagianya. Kutanyakan kepada tuanku, “Benarkah nabi itu telah tiba?” Tuanku marah dan menamparku, “Apa urusanmu dengan datangnya nabi itu? Ayo, lanjutkan kerjamu.” Aku menjawab, “Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja.”
Baru sebentar nabi itu datang, aku sudah ingin segera menemuinya. Saat itu aku sudah memiliki kurma. Aku ingin memberikan kurma itu kepada nabi baru itu. Aku menemuinya yang saat itu masih berada di Quba’, belum sampai ke Madinah. Kukatakan kepadanya, “Aku mendengar bahwa engkau adalah orang yang baik. Engkau juga mempunyai banyak teman yang sangat membutuhkan bantuan. Aku ingin mensedekahkan kurma-kurma ini.” Aku meletakkan kurma-kurma itu di hadapannya, tapi beliau malah berkata kepada para sahabatnya, “Makanlah kurma-kurma ini.” Sedangkan beliau sendiri tidak makan sedikitpun. Dalam hati aku berkata, “Salah satu tanda kenabiannya sudah kubuktikan.”
Selang beberapa hari, nabi itu melanjutkan perjalanan ke Madinah. Aku mengumpulkan kurma lagi untuk diberikan kepadanya, “Kemarin aku melihat engkau tidak berkenan memakan sedekah. Sekarang aku ingin memberimu kurma-kurma ini sebagai hadiah.” Mendengar hal itu, beliau pun memakannya. Dalam hati aku berkata, “Sudah dua tanda kenabiannya yang kulihat.”
Suatu hari, ada seorang penduduk Madinah yang meninggal dunia. Kulihat nabi itu ikut mengantarnya ke kuburan Baqi’ul Gharqad. Beliau menutupi tubuhnya dengan dua selendang dari kain yang sangat kasar. Aku menemui dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah itu aku mundur ke arah belakang beliau. Aku bermaksud menunggu kainnya tersingkap hingga bisa kulihat tanda kenabian yang tertulis di punggung beliau. Seakan merasakan hal tersebut, beliau langsung menyingkap kainnya sehingga dengan sangat jelas kulihat tanda kenabian itu di punggungnya. Aku menangis sejadi-jadinya, dan langsung memeluk dan mencium beliau. Akhirnya kutemui juga nabi yang selama ini kutunggu-tunggu dan kucari-cari.
Langsung terbayang dalam benakku saat aku meninggalkan ayah yang sangat mencintaiku. Saat aku hidup berpindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain di negeri-negeri yang berjauhan. Saat kehilangan harta-hartaku. Saat aku dihinakan menjadi seorang budak yang diperjual-belikan, yang dipaksa bekerja bagaikan hewan ternak. Namun rasanya, semua itu hilang begitu saja ketika kubuktikan bahwa orang yang ada di depanku adalah nabi yang selama ini aku cari dan tunggu.
Sekarang aku menjadi salah seorang sahabatnya. Aku sangat mencintainya, seperti perasaan seluruh pengikutnya. Beliau adalah pemimpin agung yang sangat menyayangi kami. Karena sayangnya, beliau meminta untuk segera menebus diri agar tidak lagi menjadi seorang budak. Beliau membantuku mengumpulkan harta untuk tebusan. Sekarang aku seorang Muslim yang Merdeka. Seorang sahabat Rasulullah saw. Aku kini dikenal dengan nama Salman Al-Farisi. Di atas adalah foto kuburan beliau di Irak.
Sumber
Langganan:
Postingan (Atom)