33. Pakubuwana XI
Sri Susuhunan Pakubuwana XI (lahir: Surakarta, 1886 – wafat: Surakarta, 1945) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1939 – 1945.Riwayat Pemerintahan
Nama aslinya adalah Raden Mas Antasena, merupakan putra sulung Pakubuwana X dari istri selir KRAy. Mandayaretna. la dilahirkan pada Senin Kliwon, 1 Februari 1886, dan setelah dewasa bergelar KGPH. Hangabehi. Ia naik tahta sebagai Pakubuwana XI pada tanggal 26 April 1939.Pengangkatan KGPH. Hangabehi menjadi Pakubuwana XI bukanlah tanpa konflik. Pasalnya, Pakubuwana X cenderung lebih memilih KGPH. Kusumayuda, adik Hangabehi, untuk menggantikannya. Apalagi di mata Pemerintah Hindia Belanda, Kusumayuda dianggap merupakan bangsawan Jawa yang berkepribadian kuat, mandiri, serta tertarik pada persoalan keuangan dan administrasi keraton. Di sisi lain, posisi Hangabehi juga sangat kuat, terutama dukungan mayoritas elite keraton yang anti-Belanda. Sampai akhirnya keinginan Pakubuwana X itu diurungkan, dan ia lebih memilih Hangabehi untuk menjadi pewaris tahta.
Hangabehi kemudian diberikan sejumlah posisi penting, di antaranya menjabat sebagai Wedana Tengen (jabatan setingkat Pengageng Putera Sentana), serta memperoleh kepercayaan sesoeratman, sebagai Wakil Ketua Raad Nagari, sebuah dewan pertimbangan kerajaan. Hangabehi juga diutus Pakubuwana X untuk menghadiri undangan peringatan 40 tahun kenaikan Ratu Wilhelmina di Belanda. la memiliki dua istri permaisuri, masing-masing GKR. Kencana serta GKR. Pakubuwana.
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo. Pakunuwama XI mangkat pada 1 Juni 1945, ia digantikan oleh putranya yang masih berusia sangat muda, Pakubuwana XII.
Sumber
========================================================================
34. Pakubuwana XII
Sri Susuhunan Pakubuwana XII (lahir: Surakarta, Jawa Tengah, 1925 – wafat: Surakarta, Jawa Tengah, 2004) adalah salah satu raja Kasunanan Surakarta yang memerintah terlama, tepatnya pada tahun 1945 – 2004.Awal Kehidupan
Nama aslinya adalah Raden Mas Surya Guritna, putra Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kuspariyah (bergelar GKR. Pakubuwana) pada tanggal 14 April 1925.Surya Guritna yang semasa kecil oleh teman-temannya sering dipanggil dengan nama Bobby Guritna, semula beristrikan enam orang, yang semuanya berstatus garwa ampil atau selir. Keenam selir itu adalah KRAy. Rogasmara, KRAy. Pradapaningrum, KRAy. Mandayaningrum, KRAy. Kusumaningrum, KRAy. Retnadiningrum, dan KRAy. Pujaningrum. Ia dikaruniai putra-putri sebanyak 37 orang.
Surya Guritna di masa kecilnya pernah bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) Pasar Legi, Surakarta. Di sekolah yang sama ini pula beberapa pamannya, putra Pakubuwana X yang sebaya dengannya menempuh pendidikan. Surya Guritna termasuk murid yang mudah bergaul dan hubungannya dengan teman-teman berlangsung akrab, bahkan ketika di sekolah pun ia bergaul tanpa memandang status sosial yang disandangnya. Waktu kecil ia gemar mempelajari tari-tarian klasik, dan yang paling digemari adalah Tari Handogo dan Tari Garuda. Ia juga pemuda yang gemar mengaji pada Bapak Prodjowijoto dan Bapak Tjondrowijoto dari Mambaul Ulum. Kegemarannya yang lain adalah olah raga panahan. Mulai tahun 1938 Surya Guritna terpaksa berhenti sekolah cukup lama, sekitar lima bulan, karena harus mengikuti ayahandanya yang memperoleh mandat mewakili kakeknya, Pakubuwana X, pergi ke Belanda bersama raja-raja di Hindia Belanda saat itu untuk menghadiri undangan perayaan peringatan 40 tahun kenaikan tahta Ratu Wilhelmina.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Hogere Burger School (HBS) Bandung bersama beberapa pamannya. Baru dua setengah tahun ia belajar, pecah Perang Pasifik, dan waktu itu bala tentara Jepang menang melawan sekutu dan Indonesia pun jatuh ke tangan Jepang.
Pakubuwana XI memintanya pulang dari Bandung ke Surakarta. Kemudian, ia harus menerima kenyataan menyedihkan lantaran pada Sabtu, 1 Juni 1945, Pakubuwana XI wafat. Berdasarkan tradisi maka KGPH. Mangkubumi, putra sulung Pakubuwana XI, sesungguhnya yang paling berhak meneruskan tahta. Namun peluang itu tertutup setelah ibundanya, GKR. Kencana (istri pertama Pakubuwana XI), telah mendahului wafat pada tahun 1910 sehingga tidak berkesempatan diangkat sebagai permaisuri tatkala suaminya mewarisi tahta kerajaan. Maka terbukalah peluang untuk Surya Guritna bisa menggantikan Pakubuwana XI sekalipun berumur paling muda.
Teka-teki itu kian terkuak waktu jenazah Pakubuwana XI dimakamkan di Astana Imogiri, Surya Guritna tidak terlihat hadir di pemakaman. Terlepas setuju atau tidak, keluarga keraton harus mulai bisa menerima pertanda itu, sebab berdasarkan kepercayaan adat keraton, bakal raja dipantangkan datang ke pemakaman. Namun versi lain menyebutkan, pengangkatan Surya Guritna itu berkaitan erat dengan peran yang dimainkan Presiden Soekarno. Pakubuwana XII dipilih karena masih muda dan mampu mengikuti perkembangan serta tahan terhadap situasi. Meski raja baru telah disepakati, namun bukan berarti seluruh persoalan terselesaikan. Rencana penobatan Surya Guritna itu sempat mendapat tentangan keras dari Kooti Jimu Kyoku Tyokan, Pemerintah Gubernur Jepang. Jepang menyatakan tidak berani menjamin keselamatan calon raja.
Riwayat Pemerintahan
(Pakubuwana XII bersama Mangkunegara VIII dan Presiden Soekarno di Sasana Handrawina, Keraton Surakarta).Raden Mas Surya Guritna naik takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945. Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Karena masih berusia sangat muda, dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia seringkali didampingi ibunya, GKR. Pakubuwana, yang dikenal dengan julukan Ibu Ageng.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, pada 1 September 1945 Pakubuwana XII bersama Mangkunegara VIII, secara terpisah mengeluarkan dekrit (maklumat) resmi kerajaan yang berisi pernyataan ucapan selamat dan dukungan terhadap Republik Indonesia, empat hari sebelum maklumat Hamengkubuwana IX dan Pakualam VIII. Lima hari kemudian, 6 September 1945, Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mendapat Piagam Penetapan Daerah Istimewa dari Presiden Soekarno.
Selama revolusi fisik Pakubuwana XII memperoleh pangkat militer kehormatan (tituler) Letnan Jenderal dari Presiden Soekarno. Kedudukannya itu menjadikan ia sering diajak mendampingi Presiden Soekarno meninjau ke beberapa medan pertempuran. Tanggal 12-13 Oktober 1945, Pakubuwana XII sendiri bahkan ikut serta menyerbu markas Kenpetai di Kemlayan. Ia juga berkenan ikut melakukan penyerbuan ke markas Kenpetai di Timuran. Sewaktu melakukan penyerbuan ke markas Kido Butai di daerah Mangkubumen, Pakubuwana XII juga menyempatkan berangkat bersama anggota KNI dan berhasil kembali dengan selamat.
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Pakubuwana XII ketika mengikuti kirab usai upacara Tingalandalem Jumenengan di Keraton Surakarta.
Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.
Sebenarnya Pakubuwana XII sudah berusaha untuk mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta. Pada 15 Januari 1952 Pakubuwana XII pernah memberi penjelasan tentang Wilayah Swapraja Surakarta secara panjang lebar pada Dewan Menteri di Jakarta, dalam kesempatan ini ia menjelaskan bahwa Pemerintah Swapraja tidak mampu mengatasi gejolak dan rongrongan yang disertai ancaman bersenjata, sementara Pemerintah Swapraja sendiri tidak mempunyai alat kekuasaan. Namun usaha itu tersendat-sendat karena tak kunjung menemui titik temu. Pada tahun 1954, akhirnya Pakubuwana XII sendiri memutuskan untuk meninggalkan keraton guna menempuh pendidikan di Jakarta. Ia menunjuk KGPH. Kusumayuda sebagai wakil sementara di keraton.
Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.
Pakubuwana XII meninggal dunia pada tanggal 11 Juni 2004. Sepeninggalnya sempat terjadi perebutan takhta antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.
Sumber
========================================================================
35. Pakubuwana XIII
SISKS. Pakubuwana XIII (Bahasa Jawa: Sri Susuhunan Pakubuwono XIII) adalah gelar yang mewakili Sunan Kasunanan Surakarta yang ke-13; yang awalnya diklaim oleh 2 pihak. Setelah meninggalnya Pakubuwana XII tanpa putra mahkota yang jelas karena ia tidak memiliki Ratu yang formal (permaisuri), maka dua putra Pakubuwana XII dari ibu yang berbeda saling mengakui tahta ayahnya. Putra yang tertua, Hangabehi, oleh keluarga didaulat sebagai penguasa keraton (istana) dan Pangeran Tejowulan menyatakan keluar dari keraton; dua-duanya mengklaim pemangku tahta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Pakubuwana XIII. Pada tanggal 18–19 Juli 2009 diselenggarakan upacara di keraton untuk merayakan pengangkatan tahta dengan iringan Tari Bedhaya Ketawang yang biasanya hanya ditampilkan khusus pada acara ini saja. Para tamu yang hadir terdiri dari tamu penting lokal dan asing dan juga Pangeran Tejowulan. Namun saat ini konflik Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang di prakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (pepatih dalem) dengan gelar KGPHPA. (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung)[rujukan?].Kehidupan
Dalam buku Angger-angger dan Perubahan Zaman yang diterbitkan Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta tahun 2004 menyebutkan, dari seorang garwa ampil Sinuhun Pakubuwana XII bernama KRAy. Pradapaningrum, telah lahir seorang anak lelaki tertua pada Senin, 28 Juni 1948, dengan nama GRM. Suryadi. Karena sakit-sakitan, neneknya yang permaisuri Sinuhun Pakubuwana XI bernama GKR. Pakubuwana, mengganti nama sang cucu dengan GRM. Suryo Partono seperti lazimnya masyarakat kebanyakan mengikuti petuah spiritual dalam adat Jawa. Ketika sudah dewasa dan Sinuhun Pakubuwana XII bersama komunitas keraton berada di alam republik, paugeran atau pranata adat lalu menetapkan anak lelaki tertua di antara 35 anak yang lahir dari 6 garwa ampil itu untuk menyandang nama Hangabehi dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo. Artinya, dia adalah seorang pangeran tertua yang disiapkan menjadi putera mahkota atau calon penerus tahta di Keraton Surakarta.Semasa muda, Hangabehi gemar bermain keyboard dan juga pandai menciptakan beberapa lagu sebagai koleksi pribadinya, Sinuhun juga menghabiskan masa lapang dengan berolahraga seperti bowling dan mengendarai motor besar. Hangabehi menjalankan tugasnya sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat Kasunanan Surakarta dan semua aktivitas kebudayaan Jawa yang ada di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Hangabehi selain menerima beberapa anugerah tertinggi dari beberapa lembaga institusi maupun negara asing, ia juga mendapat gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Global (GULL, Amerika Serikat).
Kini, setelah konflik internal keraton usai, Hangabehi sebagai Pakubuwana XIII mencoba merangkul seluruh keluarga keraton (sentana dalem) yang bertikai, terutama keluarga yang menolak rekonsiliasi dan Tejowulan, untuk rujuk dan saling memaafkan. Selain itu, bersama Pangeran Tejowulan, ia bertekad untuk memperbaiki seluruh isi keraton, baik secara fisik maupun aspek lainnya, demi mengembalikan wibawa Keraton Surakarta sebagai benteng penjaga budaya.
Sri Susuhunan Pakubuwono XIII bersama permaisuri GKR. Pakubuwono berjalan menuju Siti Hinggil Keraton Surakarta ketika acara kirab Tingalandalem Jumenengan.
Sumber