Prasasti Grahi
Prasasti Grahi ditemukan di Ch'ai-ya, selatan Thailand, piagam ini ditulis dalam bahasa Khmer, bertarikh 1183.Teks Prasasti
Pada Prasasti Grahi disebutkan, bahwa pada tahun Saka 1105 (1183), atas perintah Kamraten An Maharadja Srimat Trailokya raja Maulibhusanawarmadewa, hari ketiga bulan naik bulan Jyestha, hari Rabu, mahasenapati Gelanai yang memerintah Grahi menyuruh mraten Sri Nano membuat arca Budha. Beratnya 1 bhara 2 tula, dan nilai emasnya 10 tamlin[1]Referensi
- ^ Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya, Yogyakarta: LKIS.
Arca Bhairawa
Arca Bhairawa adalah patung batu raksasa dan kini menjadi salah satu koleksi pameran utama di Museum Nasional Indonesia. Arca ini menggambarkan "Bhairawa", suatu dewa-raksasa dalam aliran sinkretisme Tantrayana, yaitu pengejawantahan Siwa sekaligus Buddha sebagai raksasa yang menakutkan. Arca ini dikaitkan sebagai perwujudan Raja Adityawarman karena ia adalah penganut Buddha aliran Tantrayana Kalachakra.[1]Deskripsi arca
Patung batu raksasa ini berukuran tinggi 4,41 meter dan berat 4 ton [2] dan terbuat dari batu andesit. Bhairawa digambarkan sebagai raksasa mengerikan sebagai merupakan perwujudan Siwa sekaligus Buddha dalam aliran Tantrayana. Arca Bhairawa ini memiliki dua tangan, tangan kiri memegang mangkuk dari tengkorak manusia berisi darah manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk menunjukkan upacara ritual Matsya atau Mamsa. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah dalam upacara meminum darah.Bhairawa merupakan dewa Siwa dalam salah satu aspek perwujudannya. Bhairawa berkategori ugra (ganas) dan digambarkan bersifat kejam, berwujud mengerikan, memiliki taring, dan bertubuh sangat besar seperti raksasa. Rambutnya disanggul besar ke atas menyerupai bola, tetapi ditengahnya terdapat arca Buddha Amitabha, laksana atau atribut seperti ini merupakan atribut bodhisattwa Awalokiteswara, hal ini menggambarkan aspek sinkretisme Tantrayana yang memadukan unsur Hindu dan Buddha. Bhairawa mengenakan perhiasan yang raya berupa mahkota dan kalung, sementara kelat bahu, gelang tangan dan gelang kakinya berupa belitan ular, sedangkan ikat pinggangnya berukir kepala kala. Bhairawa ini digambarkan tengah menginjak orang cebol yang tengah terlentang dan berdiri di atas lapik delapan tengkorak berjajar yang menggambarkan lapangan mayat.
Penemuan
Arca raksasa ini aslinya terletak di bukit di tengah persawahan di kompleks percandian Padang Roco, Dharmasraya, Sumatera Barat, menghadap ke arah timur dan dibawahnya mengalir sungai Batanghari. Dulu, di tempat strategis itu Bhairawa dengan gagah berdiri memandang ke arah Sungai Batanghari, sehingga siapa pun yang melewati sungai tersebut akan mudah melihatnya. Dikatakan strategis karena Padang Roco merupakan gerbang masuk melalui Batanghari menuju pusat pemerintahan Kerajaan Malayu di Sumatera Barat, dan arca raksasa ini berfungsi sebagai markah tanah.Arca raksasa ini sempat roboh dan terkubur tanah, hanya satu sisi bagian lapik (alas) yang menyembul ke permukaan tanah. Penduduk setempat yang tidak menyadari keberadaan arca itu menjadikan batu itu sebagai batu pengasah parang dan membuat lubang lumpang batu sebagai lesung untuk menumbuk padi. Hingga kini pun bekas lubang itu dapat ditemukan pada sisi landasan arca ini. Patung yang dikaitkan dengan perwujudan Raja Adityawarman itu diangkut oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935 ke Kebun Margasatwa Bukittinggi. Lalu pada tahun 1937 arca ini diboyong ke Museum Nasional di Batavia dan menghuni Museum Nasional hingga kini.
Referensi
Naskah Tanjung Tanah
Naskah Tanjung Tanah adalah kitab undang-undang yang dikeluarkan oleh kerajaan Melayu pada abad ke-14. Naskah ini merupakan naskah Melayu yang tertua, dan juga satu-satunya yang tertulis dalam aksara pasca-Palawa yang juga disebut sebagai aksara Malayu, dan naskah pada kitab ini masih menggunakan bahasa Sanskerta.[1]Penemuan
Naskah ini ditemukan di Tanjung Tanah di Mendapo Seleman (terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci) dan masih disimpan sampai sekarang oleh pemiliknya. Naskah Tanjung Tanah sebetulnya ditemukan dua kali, pertama pada tahun 1941 oleh Petrus Voorhoeve' yang pada saat itu menjabat sebagai taalambtenar (pegawai bahasa di zaman kolonial) untuk wilayah Sumatera dan kemudian didaftarkan oleh sekretarisnya dengan nomor 252 dan tebal 181 halaman yang diberi judul Tambo Kerinci.[2][3] Penemuan kedua oleh Uli Kozok pada tahun 2002,[1] Kozok lalu membawa sampel naskah ini ke Wellington, Selandia Baru untuk diperiksa di laboratorium agar dilakukan penanggalan radiokarbon; hasil pengujian ini memperkuat dugaan Kozok bahwa naskah Tanjung Tanah adalah naskah Melayu yang tertua.Naskah ini ditentukan tarikh penangggalan secara radiokarbon yaitu antara tahun 1304 dan 1436 dan berdasarkan data sejarah kemungkinan ditulis sebelum tahun 1397. Karena mengingat pada periode tersebut yaitu antara 1377 dan 1397 ditandai oleh ketidakpastian dan diwarnai peperangan, maka dapat disimpulkan bahwa naskah ini malahan ditulis sebelum tahun 1377, yaitu selama masa kejayaan Adityawarman.[4]
Bahan Naskah Tanjung Tanah
Naskah Tanjung Tanah ini telah diteliti oleh Tokyo Restoration & Conservation Center pada Oktober 2004, dan hasilnya menunjukan bahwa bahannya adalah daluang (Broussonetia papyrifera (L.) L'Hér. ex Vent)[5][6]. Daluang, juga disebut dluwang atau daluwang, merupakan salah satu bahan yang telah digunakan sejak dahulu sebagai kain (tapa) atau sebagai bahan tulis[7]. Pemeriksaan mikroskop juga menunjukkan bahwa naskah ini tidak diolesi dengan kanji, dan pada seratnya masih terdapat pektin serta hemiselulose. Biasanya serat kayu yang utuh selalu dibalut oleh serat larut pektin dan hemiselulose. Pada proses pemurnian kulit kayu daluang untuk digunakan menjadi bahan tulis, kadar kedua hidrat arang biasanya menyusut sehingga tinggal serat murni. Adanya kadar pektin serta hemiselulose dalam sampel naskah Tanjung Tanah menjadi indikator bahwa proses pembuatan naskah termasuk sederhana. Di samping itu permukaan daluang Tanjung Tanah juga termasuk kasar dibandingkan dengan naskah daluang lainnya yang diperiksa sebagai bahan pembandingnya[4].Analisis radiokarbon
Sampel kecil yang dengan izin pemilik naskah Tanjung Tanah diambil dari salah satu halaman yang kosong (yang tidak mengandung tulisan), dikirim ke Rafter Radiocarbon Laboratory di Wellington, New Zealand[4], untuk dianalisis dengan menggunakan spektrometer pemercepat masa, accelerator mass spectrometry (AMS)[8]. AMS dapat disebut terobosan baru dalam metode pengukuran radiokarbon karena memungkinan analisis radiokarbon pada sampel yang sangat kecil volumenya. Dengan menggunakan spektrometer, akurasi penentuan umur menjadi semakin tingi karena metode tersebut mampu melacak unsur C-14 dari bahan uji coba yang amat kecil. Analisis sampel naskah Tanjung Tanah yang diadakan di Laboratorium Rafter menghasilkan umur radiokarbon 553 ± 40 tahun before present (BP) yang sama dengan tahun 1397 M ± 40 tahun (1357 – 1437 M) karena tahun 1950 dianggap sebagai present — (sesuai dengan ketentuan konvensi yang berlaku). Akan tetapi umur yang konvensional tersebut tidak persis sama dengan umur yang sebenarnya karena waktu paruh karbon-14 adalah 5.730 tahun. Dimana waktu paruh adalah waktu yang diperlukan untuk meluruhkan setengah dari inti atom. Artinya apabila proses peluruhan dimulai pada satu kilogram material radioaktif, material tersebut akan luruh menjadi setengah kilogram dari unsur tersebut. Selanjutnya setengah kilogram material tersebut akan menjadi setengahnya lagi setelah waktu paruhnya dan seterusnya. Setelah memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi karbon-14 dan selanjutnya penye¬suaian dilakukan dengan menggunakan kalibrasi INTCAL98 [9]. Setelah diadakan kalibrasi maka terdapat dua kemungkinan tentang umur naskah Tanjung Tanah: Dengan probabilitas 95,4% naskah Tanjung Tanah jatuh pada kurun waktu 1304 dan 1370 M (44,3%), atau antara tahun 1380 dan 1436 M (51,7%). Persentase yang di kurung adalah distribusi probabilitas yang untuk kedua kurun waktu hampir sama sehingga kita harus menerima kenyataan bahwa penanggalan tidak dapat diadakan dengan sangat tepat. Namun demikian jelas bahwa pohon yang digunakan untuk menghasilkan kertas daluang ditebang antara tahun 1304 dan 1436 Masehi.Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah
Transliterasi naskah Tanjung Tanah[4] telah disajikan dalam dua versi, yaitu transliterasi kritis dan transliterasi diplomatis. Transliterasi kritis merupakan salinan teliti secara huruf demi huruf, tanda demi tanda, sedapatnya mencerminkan setiap ciri atau kekhususan teks asli. Sedangkan transliterasi diplomatis yang merupakan salinan luwes yang bertujuan memperkirakan bagaimana bacaan teks tersebut sebagaimana yang dimaksudkan.Arti beberapa kata
Beberapa kata-kata yang terdapat di dalam UU Tanjung Tanah, jika ditelusuri masih digunakan oleh masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut, diantaranya:- Anjing Mawu[4] : Kata mawu sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk binatang yang telah terlatih dengan baik. Anjing mawu artinya anjing terlatih. Burung mawu artinya burung peliharaan yang akan segera berbunyi jika kita bersiul. (Silakan rujuk Naskah UU Tanjung Tanah pada alih bahasa nomor 10).
Referensi
- ^ a b Kozok, U., (2004), The Tanjung Tanah code of law: The oldest extant Malay manuscript, Cambridge: St Catharine's College and the University Press.
- ^ Voorhoeve, Petrus, (1941), Tambo Kerinci, In Stukken uit Kerintji / verzameld door P. Voorhoeve. Leiden: KITLV Library.
- ^ Voorhoeve, Petrus, (1970), Kerintji Documents, Bijdragen tot de Taal- Land en Volkenkunde. 126: 369-399.
- ^ a b c d e Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
- ^ www.rarefruit.org Broussonetia papyrifera (diakses pada 15 Juli 2010)
- ^ plants.usda.gov Broussonetia papyrifera (diakses pada 15 Juli 2010)
- ^ Teygeler, René, (1995), Dluwang, van bast tot boek, Den Haag: Koninklijke Bibliotheek.
- ^ Budzikiewicz H., Grigsby R.D. (2006). "Mass spectrometry and isotopes: a century of research and discussion". Mass spectrometry reviews 25 (1): 146–57. doi:10.1002/mas.20061. PMID 16134128.
- ^ Stuiver M., P.J. Reimer, E. Bard, J.W. Beck, G.S. Burr, K.A. Hughen, B. Kromer, G. McCormac, J. van der Plicht and M. Spurk., (1998), INTCAL98 Radiocarbon age calibration, 24000-0 cal BP, Radiocarbon, 40:1041-1083.
Sumber