4. Dalem Di Made
Putra Mahkota dari Dalem Sagening setelah dinobatkan menjadi Raja di Kerajaan Gelgel bergelar Dalem Di Made atau Sri Di Made. Dalam
kehidupan keagamaannya beliau lebih mengutamakan ajaran Siwa
dibandingkan dengan agama Budha terbukti dalam kitab “Srat Raja Purana”
gelar baginda disebutkan “Adi Paramartha siwa”. Sekalipun demikian beliau tidak
mengabaikan ajaran agama Budha karena penduduk di Bali kebanyakan
memeluk kudua agama tersebut yang dinamakan agama Siwa Budha.
(Gambar kiri: Prajurit Bali)
Semasa beliau memerintah adalah Kiyai Agung Maruti yang menjabat sebagai patih Agung yang merupakan
cucu dari Kiyai Widya, untuk jabatan Demung dijabat oleh Kiyai Kaler
dan Tumenggung dijabat oleh Kiyai Babelod yang kesemuanya itu masih satu
hubungan kekeluargaan. Patih Agung yang masih muda tersebut bertenaga
seperti angin topan “ Maruti adalah nama lain dari hanoman yang
merupakan salah seorang abdi Ramayana yang termasyur akan kedigjayaannya
dalam perang melawan Rahwana.
PEMBERONTAKAN DI NUSA PENIDA
Menurut
“Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa Pemerintahan Dalem Di Made
telah terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan kerajaan Gelgel di Nusa
Penida oleg Dalem Bungkut. Untuk mengatasi pemberotakan tersebut Dalem
Di Made kemudian menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya untuk bertindak sebagai pimpinan pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.
Laskar
Gelgel bertolak dari pantai Kusamba dengan pasukan yang berkuatan 200
orang prajurit pilihan. Perjalanan Kyai Jelantik disertai oleh istrinya
Gusti Ayu Kaler dan senjata sakti andalannya “ Ki Pencok Sahang”.
Setelah menempuh satu jam perjalanan maka sampailah mereka di suatu
tempat yang bernama Jungut Batu. Disana telah menanti rakyat Nusa Penida
yang tertindas oleh pemerintahan Dalem Bungkut di Nusa Penida dan
kedatangan laskar Gelgel sangat diharapkan untuk membebaskan dirinya
dari belenggu kekuasaan Dalem Bungkut.
Perlawanan Dalem Bungkut
tidak berlangsung lama karena tidak mendapat dukungan penh dari
rakyatnya sehingga memungkinkan Kiyai Jelantik berhadapan langsung
dengan Dalem Bungkut. Dalam perang tanding tersebut Dalem Bungkut
menderita kekalahan dan beliau tewas terkena sabetan keris sakti Ki
Pencok Sahang. Sisa pendukungnya kemudian menyerahkan diri karena
pimpinannya sudah tidak ada lagi. Keamanan dan ketentraman daerah Nusa
Penida akhirnya kembali normal dan Kiyai Jelantik kembali ke Gelgel
untuk melaporkannya kepada Dalem Di Made. Keberhasilan Kyai Jelantik
memadamkan pemberontakan di Nusa Penida mendapat penghargaan dari Dalem
Di Made.
EKSPEDISI KE WILAYAH BLAMBANGAN
Menurut
‘Kidung Pamancanggah” disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Dalem Di
Made telah dilakukan pertemuan penting di istana Gelgel yang dihadiri
oleh seluruh pemuka pemuka di wilayah Bali yang mana pertemuan tersebut
membahas tentang perebutan wilayah Kerajajaan Gelgel didaerah Pasuruan
yang dilakukan oleh Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Seperi
diketahui bahwa pada Jaman Pemerintahan Dalem Waturenggong yang
merupakan masa Keemasan Kerajaan Gelgel wilayahnya meliputi Pasuruan dan
Blambangan di Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sumbawa. Dalam pertemuan
tersebut disepakati bahwa wilayah tersebut harus direbut kembali dan
Dalem Dimade akan mengirimkan pasukan dalam jumlah besar untuk
melaksanakan misi tersebut.
Adalah
Kiyai Wayahan Pemandekan dan adiknya Kiyai Made Pemandekan anak Jawa
Cokorda Winalwan Raja Tabanan Kiyai Pacung ditunjuk oleh Dalem Di Made
sebagai pimpinan laskar Bali untuk membebaskan wilayah Blambangan dari
pendudukan Kerajaan pasuruan Timur dengan kekuatan laskar 20.000
pasukan. Maka pada hari yang ditentukan yaitu sasih keempat
Minggu pon berangkatlah pasukan dari Bali dengan persenjataan lengkap
dan mendarat di pantai Jawa Timur.
Rupanya kedatangan pasukan
dari Bali telah diketahui oleh Kerajaan Mataram sehingga pertempuran
yang sengit bisa dihindarkan lagi. Pasukan dari Bali walaupun jumlahnya
lebih sedikit namun tidak sedikitpun menunjukkan rasa takut mereka
terus bertempur sampai titik darah penghabisan. Namun demikian karena
kalah dalam jumlah pasukan maka Laskar Bali dapat dipukul mundur oleh
Kerajaan Mataram.
Merasa kekalahan sudang diambang mata maka
sebagai pimpinan pasukan Kiyai Wayahan Pemandekan memerintahkan adiknya
Kiyai Made pemandekan untuk mundur dan segera balik ke Bali. Sedangkan
Kiyai Wayahan Pemandekan terus bertekad maju ke garis depan tanpa
memikirkan keselamatan dirinya. Beliau dikurung oleh ratusan prajurit
Mataram, walaupun beliau kebal dan tidak terluka sedikitpu oleh senjata
musuh namun lama kelamaan tenaga beliau habis sehingga jatuh lemas
ditanah.
Pada saat itulah beliau berwasiat “ Semoga keturunanku kelak turun temurun tidak ada yang kebal agar tidak mengalami siksaan seperti yang kualami”
Di Hadapan Raja Mataram beliau mengatakan bahwa beliau telah kalah dan
sekarang menjadi tawanan dan sebagai seorang kesatria maka kekalahan
harus ditebus dengan kematian. Beliau mempersilahkan Raja Mataram untuk
membunh dirinya.
Raja Mataram termanggu dan kagum akan keberanian
serta jiwa satria Kiyai Wayahan Pemandekan dan merasa yakin bahwa
tawanan ini bukanlah orang sembarangan. Raja Mataram kemudian menyakan
asal usul Kiyai Wayahan Pemandekan dan dijawab oleh Beliau bahwa beliau adalah anak dari Raja Winalwan yang berkuasa di Tabanan keturunan Arya Kenceng dari Kerajaan Majapahit.
Raja
Mataram semakin tertarik akan prilaku tawanannya ini dan menawarkan
kepada Kiyai Wayahan Pemandekan untuk tinggal di Mataram karena orang
orang seperti inilah yang dibutuhkan oleh Kerajaan Mataram untuk
mempertahankan wilayah kekuasaanya. Bahkan Raja Mataram memberikan anak
perempuannya untuk dijadikan istri oleh Kiyai Wayahan Pemandekan agar
kelak menurunkan putra putra yang perkasa seperti ayahnya. Demikianlah
sejak itu Kiyai Wayahan Pemandekan tinggal di Kerajaan Mataram dan dari
pernikahannya tersebut lahir seorang putra yang diberi nama Raden Tumenggung.
Dengan
kekalahan tersebut maka gagal pula usaha dari Kerajaan Gelgel untuk
merebut kembali wilayah Blambangan yang dulu dikuasai pada jaman
pemerintahan Dalem Waturenggong dari tangan Kerajaan Mataram.
Berita
VOC menyebutkan bahwa pada waktu yang bersamaan wilayah Kerajaan di
wilayah Timur yaitu Kerajaan Bima telah direbut oleh kerajaan Makasar
dibawah pemerintahan Sultan Alaudin. Kerajaan Bali dibawah pimpinan
Dalem Di Made pernah menjalin persahatan dengan Sultan Alaudin yang
didesak oleh kepentingan bersama dalam rangka membantu desakan dari VOC
yang semakin meluas di wilayah Nusantara. Dengan adanya peristiwa
tersebut maka persahabatan antara Kerajaan Gelgel dan Makasar menjadi
terputus pada tahun 1633.
PEMBERONTAKAN SAGUNG MARUTI
Setelah
masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya Gelgel diperintah
oleh Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa kerajaan Gelgel.
Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak dapat
dipertahankan oleh Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di
Made terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I
Gusti Agung Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk
meninggalkan puri.
Hal
inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung MAruti untuk
menggulingkan pemerintahan Dalem Di Made. Usaha ini ternyata berhasil,
Dalem Di Made beserta putra-putranya menyelamatkan diri ke desa Guliang
diiring oleh sekitar 300 orang yang masih setia. Disinilah Dalem Di Made
mendirikan keraton baru. Hampir selama 35 tahun Gelgel mengalami
kevakuman karena Dalem Di Made telah mengungsi ke Guliang (Gianyar).
Sementara
Maruti menguasai Gelgel. Hal ini justru membuat Bali terpecah-pecah
yang mengakibatkan beberapa kerajaan bagian seperti Den Bukit, Mengwi,
Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli ikut menyatakan diri
merdeka keadaan ini diperparah dengan wafatnya Dalem Di Made di keraton
Guliang. Dengan wafatnya Dalem Di Made, membuat para pembesar kerajaan
menjadi tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti Kepakisan.
Hal ini dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton Panji Sakti, Ki Bagus
Sidemen, dan Jambe Pule, mereka akhirnya menyusun strategi unuk
menyerang Maruti yang berkuasa di Gelgel.
Penyerangan
dilakukan dari tiga arah secara serentak yang membuat Maruti dan
pengikutnya tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruti berhasil
melarikan diri ke Jimbaran kemudian memilih memukim di Alas
Rangkan.kerajaan Klungkung. Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang
bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari tangan
pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di
Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap
mempertahankan kemerdekaannya. Raja Klungkung, Dewa Agung, diposisikan sebagai pimpinan spiritual dengan gelar Susuhunan Bali dan Lombok.
Sumber
Minggu, 02 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar