Tempat Pemujaan Arya Kenceng di Buahan Tabanan
Arya Kenceng karena telah lanjut usia, akhirnya beliau wafat dan dibuatkan upacara pengabenan (palebon) susai dengan anugrah Dalem Samprangan yaitu boleh menggunakan bade bertingkat sebelas yang diwariskan hingga saat ini. Adapun roh sucinya (Sang Hyang Dewa Pitara) dibuatkan tugu penghormatan (Padharman) yag disebut batur dan disungsung oleh keturunan beliau hingga saat ini dan selanjutnya.
MASA PEMERINTAHAN SHRI MEGADA NATHA/ DEWA MADE / ARYA YASAN/ SRI ARYA NGURAH TABANAN/ RAJA TABANAN II
Karena Sri Megadaprabu tidak bersedia memegang kekuasaan di Tabanan, maka yang menjadi Raja menggantikan Bhetara Arya Kenceng adalah Sri Megadanata, dengan nama yang lain Sri Ngurah Tabanan. Beliau tidak lupa dengan hubungan baik dengan Dalem yang pada waktu itu adalah Dalem Ketut Ngulesir, yang lebih dikenal dengan Sri Kepakisan yang beristana di Swecapura atau Linggarsapura Sukasada atau Gelgel. Beliau putra dari Sri Kresna Kepakisan ( cucu dari Dalem Wawu Rawuh ) yang mempunyai istana di Samprangan dan merupakan adik dari Dalem Ile.
Beliau Arya Ngurah Tabanan mempunyai tiga orang istri dari keturunan kesatria dan memberikan 8 orang putra Istri Pertama (Warga para Sanghyang) lahir 4 orang putra (menetap di Tabanan):
- Nararya Ngurah Tabanan / Sirarya Ngurah langwang (Putra Mahkota)
- Kiyai Madhyattara/ Made Kaler – menurunkan Pragusti Subamia ·
- Kiyai Nyoman Pascima / Nyoman Dawuh – menurunkan pragusti Jambe (Pamregan) ·
- Kiyai Ketut Wetaning Pangkung – menurunkan pragusti Lodrurung, Ksimpar dan Serampingan
- Kiyai Nengah Samping Boni – menurunkan pragusti Samping ·
- Kiyai Nyoman Ancak – menurunkan pragusti Ancak dan Angligan ·
- Kiyai Ketut Lebah – tidak memberikan keturunan karena kesua anaknya perempuan.
Istri ketiga (Putri bendesa Pucangan) lahir 1 orang putra (menetap di Badung):
- Kiyai Ketut Bendesa/ Kiyai Pucangan/ Nararya Bandhana
Prasasti Mpu Aji Tusan Lembar 7a transkrip halaman 9 menyebutkan Pada suatu ketika Putra Mahkota Dalem Ketut minta tolong kepada Sri Maganata yang masih merupakan pamannya untuk memotong rambutnya yang sudah panjang. Beliau karena demikian akrabnya maka dipototonglah rambut putra mahkota tersebut sampai gundul tanpa persetujuan dari ayahnya.
Memang sudah takdir dari Yang Maha Kuasa, ketika Dalem Ketut melihat anaknya dalam keadaan gundul, beliau sangat terkejut dan mencari tahu siapa gerangan yang melakukan hal tersebut tanpa seijin dirinya.
Hatinya merasa berang setelah mengetahui bahwa Sri Maganatalah yang melakukan hal tersebut, namun beliau berupaya menyembunyikan kemarahannya tersebut serta menanyakan hal tersebut kepada Sri Maganata Setelah mendengar penjelasan dari Sri Maganata hati beliau tetap tidak senang akan hal tersebut dan mengusir Sri Maganata secara halus ke Majapahit untuk menengok keluarganya disana. Mengetahui kemarahan Dalem tersebut tanpa membantah lagi maka berangkatlah Sri Maganata ke Majapahit .
Arya Yasan tinggal di Kerajaan Majapahit kurang lebih 8 tahun, disana beliau berusaha untuk mencari dan menanyakan keluarganya dari keturunan Arya Damar/ Adityawarman, namun pencarian tersebut tidak membuahkan hasil karena Majapahit sudah runtuh tahun 1478 sehingga beliau memutuskan untuk pulang kembali ke Bali.
Setibanya di Bali beliau kemudian mengembara ke gunung gunung untuk menjadi serang pendeta kemudian bertapa. Arya Yasan tidak diperkenankan menyandang kedudukan dan tidak berhak memiliki rakyat demikian pula kedua putra beliau juga mengalami hal yang sama dengan ayahnya. Diceritakan bahwa adik beliau yang paling kecil tinggal diistana yang bernama Bibi Kyahi Tegeh Kori diambil oleh Dalem Gelgel dan diserahkan kepada putra Si Arya Wongaya Kepakisan yang bernama Kyahi Asak yang tinggal di Kapal. Mengetahui adiknya diambil oleh Dalem, beliau marah terhadap Dalem, lalu mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pada putranya Sri Arya Longwan / Sri Arya Ngurah Tabanan sebagai Raja Tabanan III.
(Puri Pemecutan Setelah Puputan Badung 1906)
Karena perbuatan Dalem yang sewenang-wenang tersebut Arya Yasan menjadi marah dan mengutuk Dalem dan para patih agar selama lamanya terkutuk karena Dalem tidak mematuhi petuah dimasa lampau (antara Arya Kenceng dengan Dalem Kresna Kepakisan ).
Akibat kutukan tersebut Dalem mendapat serangan burung gagak yang senantiasa mengusik hidangan Dalem sehingga beliau menjadi sangat kesal. Beliau Arya Yasan/ Sri Megadanata kemudian menjalani kehidupan suci serta membuat pesraman yang dilengkapi tetamanan dan telaga didaerah Kebon Tingguh yang terletak dibarat daya dari Istana di Pucangan. Pesraman tersebut sekarang sudah menjadi sebuah pura besar yang dinamakan Pura Mentingguh Tabanan yang sekarang disungsung oleh rakyat Tabanan dan Badung.
Pura Kebon Tingguh Buahan Tabanan
Diceritakan bendesa Pucangan mempunyai seorang putri yang sangat cantik bernama Sang Ayu Mendesa, diberikan tugas oleh bendesa pucangan untuk melayani kebutuhan sehari hari Arya Yasan/ Sri Megadanata sehingga lama kelamaan tumbuh benih benih cinta kasih diantara keduanya yang dilanjutkan dengan upacara perkawinan.
Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra yang diberi nama Kyahi Ketut Bendesa atau Kyahi Pucangan. Beliau menerima pusaka demon dan pahleng yaitu supit atau tulup tanpa lubang. Setelah besar beliau diserahkan kepada kakaknya Sri Arya Ngurah Longwan / Sri Arya Ngurah Tabanan dean tetap tinggal di Istana. Tidak berapa lama karena lanjut usia wafatlah beliau dan diadakan upacara sebagaimana mestinya.
KYAYI KETUT BENDESA/ KYAYI PUCANGAN/ SANG ARYA BAGUS ALIT
Kembali lagi ke peristiwa yang menimpa ayah dari Arya Notor Wandira / Arya Notor Waringin yaitu Arya Yasan, Karena perbuatan Dalem yang sewenang-wenang tersebut Arya Yasan menjadi marah dan mengutuk Dalem dan para patih agar selama lamanya terkutuk karena Dalem tidak mematuhi petuah dimasa lampau (antara Arya Kenceng dengan Dalem Kresna Kepakisan ). Akibat kutukan tersebut Dalem mendapat serangan burung gagak yang senantiasa mengusik hidangan Dalem sehingga beliau menjadi sangat kesal. Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengusir keberadaan burung gagak tersebut, namun selalu saja tidak membuahkan hasil.
Terdengar berita bahwa cucu Arya Kenceng di Tambangan yang bernama Sang Arya Bagus Alit / Arya Pucangan mempunyai keahlian nyumpit atau nulup, maka Dalem mengundang Sang Arya Bagus Alit ke Ibukota Kerajaan.
Keberhasilan Sang Arya Bagus Alit mengalahkan burung gagak tersebut membuat Dalem menjadi tersadar dan ingat kembali kepada Sang Arya Yasan ayah dari Sang Arya Bagus Alit yang masih merupakan sepupunya untuk datang ke Puri Gelgel.
Dalam transkrip lontar Museum Bali dalam Pamancangah Badung Mwang Tabanan dan dalam lontar Babad Badung milik Anak Agung Oka Manek dari Jero Grenceng demikian pula prasasti Mpu Tusan diceritakan bahwa dari pertemuan Dalem dengan Arya Yasan tersebut Dalem menyampaikan permohonan maafnya dan mengembalikan kedudukan Arya Yasan sebagai penguasa daerah Tabanan bersama putra sulungnya. Sedangkan Sang Arya Bagus Alit disuruh menetap di Tambangan (Badung) oleh Dalem Gelgel semenjak itu Sang Arya Bagus Alit terkenal dengan nama Dewa Hyang Anulup.
Setelah sekian lama Dewa Hyang Anulup mempunyai seorang putra, beliau kemudian kembali ke daerah Tabanan untuk menetap di daerah Pucangan sehingga diberi nama Bhatara Pucangan. Beliau wafat dan meninggalkan seorang putra yang bernama Bhatara Notor Wandira atau Bhatara Notor Waringin
Tiga orang saudara dari Kiyayi Pucangan Tabanan yaitu Kyayi Samping Boni, Kyayi Nyoman Batan Ancak, Kyayi Ketut Lebah, atas perintah Dalem agar menetap di Badung sebagai pendamping Raja Badung.
SANG ARYA KETUT NOTOR WANDIRA/ ARYA NOTOR WARINGIN
Setelah dewasa Kyahi Ketut Bendesa atau Kyahi Pucangan meninggalkan pesraman dan mengabdi Ke Puri Tabanan yaitu Nararya Ngurah Tabanan / Sirarya Ngurah langwang yang diangkat menjadi Raja Tabanan ke III. Di puri Tabanan beliau tidak diberikan kedudukan yang wajar, beliau hanya diberi tugas sebagai tukang kurung ayam istana. Begitupun untuk tempat tinggal beliau tidak diberikan tempat tinggal di Puri sehingga pada malam hari beliau tidur dirumah-rumah penduduk, pasar ataupun balai banjar.
Pada suatu malam rakyat Tabanan dibuat kaget karena melihat adanya cahaya yang terang benderang namun setelah didekati ternyata berasal dari cahaya ubun kepala Sang Arya Ketut Notor Wandira yang sedang tidur. Berita tersebut akhirnya terdengar oleh Raja Tabanan, dalam hati beliau sangat murung mendengar kesaktian Sang Arya Ketut Notor Wandira tersebut dan khawatir sewaktu waktu akan merebut tahta kerajaan Tabanan, maka dicarilah jalan untuk menyingkirkan beliau.
Di bencingah Puri Tabanan tumbuh pohon beringin yang sangat besar dan sangat angker dimana sebelumnya 10 orang yang diberi tugas untuk memotong pohon beringin tersebut telah tewas dalam menjalankan tugasnya. Timbulah muslihat dari Raja Tabanan bahwa untuk melaksankan tugas berat tersebut akan diserahkan kepada Sang Arya Ketut Notor Wandira. Maka dipanggilah adiknya untuk menghadap dan minta kesanggupan adiknya untuk melaksanakan tugas tersebut.
Arya Ketut Notor Wandira menerima tugas tersebut dan minta waktu beberapa hari untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Maka sebelum melaksankan tugas tersebut beliau kemudian ngaturang pakeling di temat tersebut dan selanjutnya bertapa semedi di Pura Batukaru Tabanan mohon keselamatan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Karena ketekunannya oleh Bethara di Pura Batukaru beliau mendapat anugrah senjata sakti berupa kapak yang bernama I Cekle.
Maka pagi pagi sekali Arya Ketut Notor Wandira sudah berada di bencingah Puri Tabanan untuk mulai melaksanakan tugas memotong pohon beringin tersebut. Beliau naik sampai ke puncak pohon beringin dan mulai memotong dahan pohon tersebut satu persatu sampai yang tersisa hanya batangnya saja. Diatas pohon tersebut Arya Ketut Notor Wandira bertolak pinggang dan menari nari. Rakyat Tabanan beserta Raja sangat heran dan kagum atas kesaktian Arya Ketut Notor Wandira sehingga mulai saat itu Arya Ketut Notor Wandira diberi gelar Arya Notor Waringin oleh Raja Tabanan karena keberhasilannya memotong pohon beringin yang angker tersebut.
Setelah dewasa Arya Notor Wandira / Arya Notor Waringin mengambil istri dari desa Buwahan yaitu Ni Gusti Ayu Pucangan dan berputra 2 orang yaitu
- Kyahi Gde Raka
- Kyahi Gde Rai (membuat puri di Kerambitan)
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar