W i d u r a
Resi
Mandawya, yang telah memperoleh kekuatan jiwa dan pengetahuan tentang
kitab-kitab suci, melewatkan hari-harinya dengan jalan bertapa dan
melaksanakan kebajikan-kebajikan seperti diisyaratkan oleh agama. Ia
tinggal dalam sebuah pertapaan dalam hutan di tepi kota. Pada suatu hari
ketika ia sedang khusuknya dalam pertapaan menyatukan jiwa dan
pikirannya di bawah sebatang pohon kayu rindang di luar gubuknya,
segerombolan penyamun telah melarikan diri ke dalam hutan dikejar-kejar
oleh pasukan bala-tentara kerajaan. Gerombolan ini memasuki pertapaan
itu karena menyangka bahwa tempat itu pasti akan dapat melindungi diri
mereka. Mereka menyembunyikan diri mereka dan hasil perampokan mereka
dalam suatu pojok. Balatentara kerajaan mengikuti jejak mereka ke
pertapaan tersebut.
Pemimpin pasukan balatentara itu bertanya
kepada Resi Mandawya, yang sedang tenggelam dalam pertapaan menyatukan
jiwanya, dengan perintah keras : “Apakah kau melihat perampok lewat di
sini ? Ke manakah mereka pergi ? Ayo, jawablah segera supaya kita dapat
menangkap mereka seketika”. Resi itu, benar-benar tenggelam dalam
yoganya, tidak menjawab apa-apa. Pemimpin itu mengulangi perintahnya
dengan kasar.
Tetapi resi itu tidak mendengar apa-apa,
sedangkan beberapa orang anggota pasukan memasuki pertapaan dan gubuknya
dan menemukan barang-barang rampokan itu. Mereka melaporkan kepada
pemimpin mereka hal tersebut, lalu menyerbu masuk dan diketemuilah semua
barang-barang curian dan para perampoknya sekaligus yang bersembunyi di
dalam pertapaan tersebut. Pemimpinnya berfikir bahwa : “Sekarang aku
tahu sebab-sebabnya kenapa brahmana ini pura-pura saja diam, terbenam
dalam semadinya” “Sesungguhnya ia inilah kepala penyamun ini. Ia yang
merencanakan perampokan ini”.
Kemudian ia lalu memerintahkan
anak-buahnya mengurung tempat itu dan ia sendiri pergi melaporkan ke
istana bahwa Resi Mandawya telah ditangkap dengan semua barang
rampasannya.
Raja sangat amarah atas kelancangan
kepala penyamun itu yang telah berani menyamar menggunakan nama dan
pakaian resi untuk menipu dunia. Tanpa ampun dan pemeriksaan fakta-fakta
terlebih dahulu, raja memerintahkan penjahat licik itu untuk dianiaya
dengan tombak. Komandan itu kembali ke pertapaan, menganiaya resi ini
dengan jalan menusuk badannya dengan tombak hingga tembus dan kemudian
memancangnya. Barang-barang rampasannya lalu dipersembahkan kepada raja.
Resi yang suci. penuh kebenaran itu
walaupun telah ditusuk-tusuk, dipancang di ujung tombak namun ia tidak
mati. Karena ia adalah sedang dalam yoga walaupun ditusuk-tusuk dengan
tombak ia tetap hidup dengan kekuatan yoganya. Para resi yang tinggal di
bagian lain dalam hutan itu pada datang ke tempat itu lalu bertanya
kepada Resi Mandawya apa gerangan yang menyebabkan ia sampai menderita
sekejam itu.
Mandawya menjawab : “Siapakah yang harus
disalahkan ? Pasukan raja yang harus melindungi dunia ini telah
melakukan hukuman ini”. Raja terkejut dan cemas mendengar bahwa resi
yang telah ditusuk dengan tombak masih hidup dan sedang dikerumuni oleh
para resi yang tinggal di seluruh hutan itu. Ia segera pergi ke hutan
bersama-sama balatentaranya, dan segera memerintahkan supaya resi itu
diturunkan dari tombak. Ia lalu berlutut sembari menyembah dengan
sujudnya dan meminta ampun atas hukuman keji yang telah
diperintahkannya.
Resi Mandawya tidak marah kepada raja. Ia
segera pergi menghadap Bagawan Dharma, penyebar keadilan suci, yang
sedang duduk di atas singgasananya, lalu bertanya : “Kejahatan apakah
yang aku telah lakukan untuk menerima hukuman ini ?” Bagawan Dharma;
yang mengetahui kekuatan gaib resi itu, menjawab dengan rendah hati :
“Wahai Resi, engkau telah menyiksa burung-burung dan kumbang-kumbang.
Engkau tidak sadar akan semua perbuatan itu. Kebaikan dan kejahatan,
walaupun bagaimana kecilnya, pasti harus menerima akibatnya, baik atau
keji”.
Mandawya terkejut mendengar jawaban
Bagawan Dharma ini lalu bertanya lagi : “Kapankah aku telah berbuat
kesalahan ini”, dan Bagawan Dharma menjawab : “Ketika engkau masih
kanak-kanak”.
Resi Mandawya lalu mengucapkan
kutuk-pastunya kepada Bagawan Dharma : “Hukuman yang engkau putuskan ini
adalah keterlaluan, melampaui batas kesalahan yang diperbuat oleh
kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa. Karenanya, lahirlah engkau ke dunia
sebagai manusia !”.
Bagawan Dharma yang dikutuk-pastu oleh
Resi Mandawya numitis, menjelma, sebagai Widura dan lahir sebagai
pelayan Ratu Ambalika istri maharaja Wichitrawirya.
Demikianiah
kisahnya, bahwa sesungguhnya Widura adalah inkarnasi Bagawan Dharma.
Orang orang di dunia menganggap Widura sebagai seorang mahatma tidak ada
taranya dalam ilmu pengetahuan tentang dharma, peradilan sastra dan
ketatanegaraan dan sama sekali tidak pernah mempunyai keinginan ambisi
apa-apa dan tidak pernah marah. Bhishma tela mengangkat dia ketika ia
masih berumur belasan tahun sebagai penasehat utama raja Dhritarashtra.
Menurut Bagawan Wyasa, tidak ada orang
yang menandingi Widura di ketiga-tiga dunia ini, baik dalam ilmu
pengetahuan maupun dalam soal-soal kebajikan. Ketika Dhritarashtra
mengijinkan anak-anaknya berjudi, bermain dadu, Widura menyembah di
kakinya sambil rnemprotes dengan sujudnya : “Oh Tuanku Raja, aku tidak
dapat menyetujui perbuatan ini. Pertengkaran akan terjadi di antara
putra-putra Tuanku akibat permainan ini. Berdoalah, jangan diijinkan hal
ini”.
Tetapi karena cintanya sangat besar
terhadap anak-anaknya, ia tidak kuasa menolaknya dan memutuskan untuk
mengutus Yudhishthira guna menerima undangan bermain dadu itu. ***
0 komentar:
Posting Komentar