BANGSA YADAWA MUSNAH
Ketika
perang di medan Kurukshetra berakhir, dan Yudhishthira dinobatkan
sebagai raja, di mana ia juga melaksanakan upacara Ashwamedha yang
agung, Krishna minta diri kepada Pandawa untuk kembali pulang ke
negrinya, Dwaraka. Dalam perjalanan pulang tersebut Krishna bersua
dengan kawan lamanya seorang brahmana bernama Utanga di tengah jalan.
Krishna berhenti, turun dari keretanya, lalu memberi salam kepada
brahmana tersebut. Maka terjadilah percakapan yang agak panjang di
antara kedua kawan-lama ini. Masing-masing menanyakan tentang kesehatan,
keadaan sanak keluarga serta kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai
dalam perjalanan hidup ini.
Utanga juga menanyakan tentang berita
keadaan Pandawa, sebab ia tahu Krishna adalah keluarga dekat mereka.
Brahmana yang malang itu sama sekali tidak mendengar berita tentang
peperangan yang besar yang telah berlangsung di medan Kurukshetra.
Krishna merasa heran akan hal itu. Untuk beberapa saat tidak tahu apa
yang harus dikatakannya.
Akhirnya Krishna terpaksa menceritakan
panjang-lebar tentang pertempuran dahsyat antara Kaurawa dan Pandawa.
Krishna juga menceritakan betapa ia telah mencoba agar perang tersebut
tidak terjadi, tetapi sia-sia. “Hampir semuanya habis, tewas dalam medan
pertempuran. Siapakah yang dapat mengelakkan diri dari renggutan tangan
nasib? Krishna mengakhiri ceritanya.
Mendengar cerita tersebut Utanga
merasa jijik, benci dan amarahnya timbul. Matanya merah, hatinya panas,
lalu berkata mengutuk Krishna dan menuduh dia telah membiarkan kejadian
itu berlangsung tanpa berusaha menghindarkannya. la menuduh
Krishna telah menipu, dan tidak melakukan tugas kewajibannya sebagaimana
mestinya, sehingga menyebabkan kemusnahan Kaurawa. “Sekarang,
bersiaplah engkau menerima kutuk pastu dariku” katanya mengakhiri
tuduhannya terhadap Krishna.
Krishna
menyabarkan brahmana itu dengan tersenyum-senyum dan memberi nasehat
kepadanya agar ia tidak mempergunakan hasil jerih-payah pertapaannya
untuk yang bukan-bukan, dan meminta kepadanya agar mau mendengar kisah
secermat-cermatnya sebelum mengucapkan kutuk pastunya. Setelah Krishna
memberi perincian peristiwa dan kejadian sebelumnya, yang menyebabkan
perang Kurukshetra itu berlangsung, dan belum juga Utanga menunjukkan
pengertian akan duduknya persoalan, maka Krishna memperlihatkan dirinya
dalam bentuk Wishwarupa, sebagai manifestasi Hyang Tunggal, lalu berkata
: “Aku lahir dalam segala bentuk dan segala jaman untuk menyelamatkan
dunia dan menegakkan kebenaran. Dalam bentuk apapun aku dilahirkan, aku
harus mengikuti kodrat dari pada jasmaniku. Apabila aku dilahirkan
sebagai Dewa, maka Aku bertindak sebagai Dewa. Bila aku dilahirkan
sebagai yaksha atau raksasa, aku akan berbuat seperti yaksha atau
raksasa. Apabila aku dilahirkan sebagai manusia, maka aku akan berbuat
sebagai manusia dalam melakukan tugasku sampai kelahiran sebagai manusia
selesai. Dalam hubungan ini aku telah meminta Kaurawa untuk tidak mabuk
dan berkeras kepala. Tetapi mereka tidak ambil pusing akan semua itu.
Mereka terus saja membuat kesalahan-kesalahan dan kejahatan-kejahatan
yang menimbulkan perang, sehingga perang itu memusnahkan mereka sendiri.
Brahmana yang budiman, demikianlah kisahnya. Engkau tidak mempunyai
alasan untuk marah-marah”.
Setelah mendengar keterangan dan melihat
siapa sebenarnya Krishna, amarah Utanga hilang lenyap seketika, yang
menyebabkan Krishna merasa senang, lalu berkata: “Nah, sekarang apakah
gerangan kehendak Brahmana yang bisa kuberikan?”
Utanga merasa sangat bersyukur telah
bertemu dengan Hyang Tunggal yang menjelma dalam diri Krishna dan tidak
hendak bermohon apa-apa. Tetapi terus mendesak agar dia meminta sesuatu.
Akhirnya ia pun memajukan permohonan: “Kalau Engkau hendak
menganugerahi aku sesuatu, baiklah Engkau beri aku mantra yang bisa
menolong aku mendapatkan air bilamana dan di mana saja aku merasa
dahaga”. Krishna meluluskan permintaannya tersebut.
Pada suatu hari Utanga merasa sangat haus
dan tidak dapat menemui air untuk diminumnya. Ia teringat akan mantra
yang diberikan oleh Krishna kepadanya. Segera setelah selesai
mengucapkan mantra tersebut, seorang pria kotor tiba-tiba muncul di
depannya. Pakaiannya compang-camping dan seluruh badannya kotor diliputi
debu. Bau keringatnya menusuk hidung. Di tangan kanannya ia memegang
alat berburu, sedangkan di pinggangnya terselip sebilah kapak. Sebuah
kantong kulit berisi air tergantung di pundaknya yang diapit oleh tangan
kirinya. Seekor anjing mengipas-ngipaskan ekornya di bawah kakinya.
Orang kotor dan menjijikkan itu nyengir, seraya berkata: “Rupa-rupanya
Brahmana sangat kehausan. Aku ada membawa air dalam kantong kulit ini.
Silahkan minum” sambil mengisi cangkir bambunya untuk disuguhkan kepada
Utanga.
Melihat orang kotor dan anjingnya yang
memuakkan itu, Utanga berkata dengan jijik: “Ah, Aku tidak
membutuhkannya, terima kasih !” sambil berpikir-pikir bahwa “hadiah”
yang diberikan oleh Krishna kepadanya sebagai olok-olok belaka. Nishada,
orang kotor itu, berulang-ulang menawarkan airnya kepada Utanga, sebab
ia tahu brahmana itu sangat kehausan. Utanga menjadi bertambah marah
karena jijiknya. Kemudian pemburu yang memuakkan itu lenyap dengan
anjingnya dari pemandangan.
Tatkala pemburu itu lenyap dan ia kembali
sendirian, Utanga berpikir-pikir lagi, siapa gerangan orang yang muncul
dan pergi itu secara sangat aneh? Ia mulai merenungkan, bahwa orang itu
tidak mungkin seorang paria, Nishada biasa. Sebagai suatu
introspeksi hatinya berkata-kata: “Mungkin hanya merupakan cobaan
bagiku. Ah, aku telah berbuat tolol! Kenapa aku mesti tolak airnya
dengan cara yang angkuh, sedangkan aku sesungguhnya merasa sangat haus ?
Sungguh tolol aku ini”
Sesaat kemudian muncullah Krishna dengan
cakra dan trompet kerangnya, tersenyum di depan Utanga. Brahmana itu
memprotes: “Hai, Purushottama, engkau telah mencoba aku secara terlalu
kasar. Masakan engkau mencoba aku, seorang brahmana, dengan jalan
memberikan air yang kotor dari orang paria yang tabu kalau kusentuh.
Engkau tidak adil, dan ini kelakar yang tidak lucu”, sungutnya kepada
Krishna.
Janardana tersenyum, lalu menceritakan
apa yang telah dikerjakannya sewaktu Utanga mengucapkan mantranya,
Krishna meminta kepada Batara Indra agar memberikan amrita, air suci,
kepada Utanga sebagai air minum untuk melepaskan dahaganya. Batara Indra
tidak mau memberikan amrita kepada seorang manusia, sebab air suci itu
hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak lagi menemui kematian seperti
halnya manusia di dunia ini. Tetapi Krishna terus mendesak dan akhirnya
Batara lndra setuju dengan catatan bahwa Ia sendiri mau memberikan
Utanga amrita tersebut dalam bentuk sebagai manusia paria, Nishada.
Oleh Batara Indra hal ini memang dimaksudkan sebagai cobaan bagi
Utanga. Kalau Utanga memang benar-benar telah mencapai Jnana, ilmu
pengetahuan yang tinggi, sudah pasti ia akan menerimanya. Tetapi Utanga
yang dungu itu menolaknya, menyebabkan Krishna mendapat malu besar di
hadapan Batara Indra. Mendengar cerita itu Utanga merasa sangat menyesal
dan malu atas ketololannya sendiri.
* * *
Demikian
Krishna kembali ke negrinya dan memerintah selama tigapuluh enam tahun
sesudah perang besar Kurukshetra. Selama ia memegang tampuk pemerintahan
rakyat merasa bahagia. Suku-suku Wrishni dan Bhoja yang merupakan
cabang bangsa Yadawa, di mana Krishna termasuk di dalamnya, terkenal
sebagai suku-suku yang suka bersenang-senang dan bergembira.
Sejak Krishna memerintah mereka jadi
makmur, dan kemakmuran mereka ini menyebabkan mereka suka pada
barang-barang mewah, makan makanan yang serba lezat dan minum-minuman
keras. Lambat laun mereka menjadi bangsa yang sembrono, angkuh, liar
tidak berdisiplin, suka mabuk dan melampiaskan hawa nafsu. Pejabat
pemerintahan korup, para pedagang main suap, wanita jalang,
pemuda-pemuda suka pesiar dan remaja banyak morfinis.
Pada suatu hari seorang resi dari negri
asing datang berkunjung ke Dwaraka. Ia dipermainkan oleh segerombolan
orang kota. Mereka memperolok-olokkan dan mengejek resi itu dengan suatu
lelucon yang tidak lucu. Salah seorang di antara mereka laki-laki muda
diberi pakaian perempuan hamil yang perutnya besar, diganjal dengan
bantal, lalu dihadapkan di muka brahmana itu. Mereka. bersorak-sorak,
tertawa kegirangan dengan olok-olok mereka, di mana “perempuan” bunting
itu dengan genit menari-nari di depan brahmana, seraya bertanya
kepadanya : “Wahai Resi yang Mahabijaksana, ceritakanlah kepada kami,
apakah perempuan ini akan punya anak lakl-laki atau perempuan”. Sang
brahmana merasa tersinggung hatinya dan dengan kutuk pastunya menjawab: “Orang
ini akan melahirkan sebuah gada, bukan seorang laki-Iaki atau
perempuan. Gada itu adalah Batara Yama, yang akan memusnahkan bangsamu
ini, termasuk engkau sekalian”.
Mereka yang hadir di situ merasa kaget
mendengar jawaban Resi itu. Mereka menyesal dan banyak di antara mereka
yang .mendengar kutuk pastu sang brahmana merasa ketakutan, yang mulanya
hanya mengharapkan sesuatu yang menyenangkan dari hasil olok-olok
mereka.
Benarlah hari-hari berikutnya, pemuda
Samba yang diberi pakaian perempuan bunting oleh teman-temannya itu,
merasa sakit pada perutnya seperti orang hendak melahirkan. Alangkah
paniknya mereka ketika benar-benar melihat pemuda Samba melahirkan
sebuah gada, alat perang yang kuat perkasa, dan bukan bayi laki-Iaki
atau perempuan. Kejadian itu menimbulkan teror dalam jiwa mereka, sebab
seperti yang diramalkan oleh Resi yang misterius itu, bangsa mereka akan
musnah, termasuk mereka sendiri.
Beramai-ramai mereka hancurkan gada itu sehingga menjadi abu.
Mereka semufakat untuk membuang abu itu
jauh-jauh. Abu, hancuran gada ajaib itu, dihamburkan di laut secara
terpisah-pisah, ditebarkan dimana-mana. Setelah itu mereka lupalah akan
lelucon mereka. Pemuda Samba hidup sebagai seorang laki-Iaki biasa lagi.
Tahun berganti tahun, musim panen berganti musim kering, rakyat hidup
makmur dan bahagia. Di tempat di mana abu gada ditebarkan, lambat-laun
tumbuh rumput raksasa dengan sangat rimbunnya, dengan batangnya
sebesar-besar batang bambu.
Di antara bangsa Yadawa, selain Krishna
sendiri dan bala tentaranya yang ikut mengambil bagian dalam perang di
medan Kurukshetra, juga Kritawarma bersama pasukannya bertempur di pihak
Kaurawa, sedangkan Satyaki dengan pasukannya pula di pihak Pandawa.
Sewaktu kembali dari Kurukshetra, Krishna membuat peraturan untuk
melarang bangsanya minum minuman keras. Tetapi peraturan itu kemudian
diubah sedikit, di mana pada hari-hari tertentu mereka diijinkan minum
minuman keras.
Sebagai
bangsa yang periang dan gemar bersuka ria, pada suatu hari mereka
mengadakan darmawisata ke tepi pantai tempat tumbuhnya rumput raksasa
yang lebat itu. Mereka bersenang-senang, makan-makan dan minum-minuman
keras, sehingga mabuk-mabuk. Dalam keadaan mabuk-mabuk itu terjadilah
pertengkaran mulut, yang tumbuh menjadi perkelahian yang hebat.
Mula-mula baku-tinju, tetapi kemudian, dengan batang-batang rumput
raksasa yang diruncingi, mereka baku-tusuk.
Pangkal mula pertengkaran, yang kemudian
menjadi pertempuran itu, adalah disebabkan oleh percekcokan mulut antara
Kritawarma dan Satyaki, yang sama-sama dalam keadaan mabuk. Satyaki
berkata: “Apakah seorang kesatria sejati akan mau menyerang dan
membunuh musuhnya yang sedang tidur nyenyak? Engkau Kritawarma, telah
membawa malu kepada bangsa kita buat selama-lamanya“ dengan mengejek, yang diikuti oleh kawan-kawannya yang lain. Kritawarma tidak tahan akan ejekan itu, membalas dengan pedas: “Engkau
seperti tukang potong sapi saja, telah membunuh Bhurisrawas yang dalam
keadaan duduk bersila dengan samadinya. Engkau Satyaki, pengecut, masih
juga berlagak kesatria”, dan kawan-kawannya tidak ketinggalan membakari semangat Kritawarma.
Perkelahian mulut ini ternyata tidak bisa
dibatasi di situ saja. Ia menjadi sungguh-sungguh dan kemudian
pertempuran yang sengit antara dua pihak meledak: pro Kritawarma atau
Satyaki. Putra Krishna, Pardyumna juga ada di situ bermaksud menolong,
menyelamatkan Satyaki, terlibat dalam pertempuran itu sehingga ia
menemui ajalnya: kutuk pastu resi yang pernah mereka hinakan
rupa-rupanya mulai membuahkan hasilnya. Batang rumput yang diruncingi
ujungnya, merupakan senjata utama dalam pertempuran ini. Demikianlah
kedua belah pihak mati di ujung senjata tajam itu, tidak terkecuali,
laki dan perempuan, tua dan muda, kesatria dan bukan pahlawan atau
pengecut, sehingga bangsa Yadawa musnah seluruhnya.
Balarama, yang menyaksikan peristiwa ini
merasa sangat malu, meninggalkan tempat itu, pergi menghabiskan hidupnya
dengan yoga di bawah pohon kayu besar hingga saat-saat terakhirnya.
Krishna juga menyaksikan bagaimana bangsanya memusnahkan diri mereka
sendiri. Dan setelah ia mengetahui abangnya, Balarama, sudah
meninggalkan dunia mayapada ini, ia sendiri pergi mengembara ke dalam
hutan. Di tengah-tengah hutan belantara ia merebahkan dirinya sambil
berkata : “Kini telah tiba waktunya bagiku untuk pergi buat
selama-lamanya meninggalkan dunia ini”.
Seorang pemburu bernama Jaras
kebetulan liwat di dekat-dekat tempat Krishna merebahkan dirinya. Jaras
melepaskan anak panahnya yang tepat menembus kaki dan tubuh Krishna yang
disangkanya seekor rusa sedang beristirahat. Pada saat itu
juga Wasudewa menghembuskan nafasnya yang penghabisan untuk meninggalkan
dunia manusia ini. Arjuna datang ke Dwaraka untuk melakukan upacara
pembakaran jenazah Krishna. Beberapa hari kemudian, seluruh negri
Dwaraka dilanda banjir dan ombak samudra yang dahsyat, sehingga akhirnya
tenggelam ke dasar laut.
0 komentar:
Posting Komentar