Mengapa Weda dan Kitab Hindu Lainnya dianggap Mitologi?
Memang, masih menjadi
paradigma yang kuat dalam pikiran orang, bahkan orang Hindu sendiri,
bahwa Weda dan Purana hanya berisi epos dan mitologi. Ambillah contoh
kitab Bhagavadgita. Bhagavad-gita berisi wejangan rohani yang
disampaikan oleh Sri Krishna kepada Arjuna menjelang berlangsungnya
perang Bharata Yudha, yang konon terjadi sekitar lima ribu tahun yang
lalu. Kita semua tahu bahwa Bhagavad-gita sebenarnya adalah bagian dari Bhisma Parwa,
salah satu diantara 18 Parwa kitab Mahabharata. Sri Krishna, Arjuna,
beserta para Pandawa adalah tokoh-tokoh utama dalam kisah Mahabharata.
Tetapi dalam anggapan sebagian besar masyarakat Hindu sekalipun,
Mahabharata tidak lebih daripada sekedar sebuah epos, cerita
kepahlawanan yang dikarang oleh Rsi Vyasa. Ketika kita jelaskan bahwa
tempat-tempat yang disebutkan dalam kitab Mahabharata saat ini masih
bisa kita telusuri lokasinya, orang masih akan menyangkal dan meragukan
penjelasan itu. Menurut mereka, Rsi Vyasa terinspirasi oleh nama-nama
tempat itu, lantas mengarang cerita fiksi, yang mengambil nama-nama
seperti Hastinapura. (sekarang New Delhi), Dwaraka, dan lain-lain
sebagai latar atau setting terjadinya kisah dalam Mahabharata.
Apalagi, dalam masyarakat Indonesia,
terutama masyarakat Jawa, Krishna dan Arjuna dikenal sekedar sebagai
tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan. Bahkan, ada orang Jawa yang akan
marah besar, kalau dikatakan bahwa Mahabharata berasal dari India.
Mereka meyakini bahwa kisah Mahabharata terjadi di Jawa, dibuktikan
dengan adanya nama nama tempat dan gunung di Indonesia yang diberi nama
Arjuna, Bima, dan lain-lain. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita
pewayangan telah menjadi filosofi hidup bagi sebagian besar orang jawa.
Karena itu, kalau kita katakan perang Mahabharata betul-betul terjadi
dalam sejarah, mereka menyangsikan kebenarannya.
Pengertian Mitologi
Apa sebenarnya arti kata mitos atau mitologi? Kata mitologi, diadaptasi dari bahasa Inggris “myth”. Dalam kamus Webster New World College Dictionary 3rd Edition, kata “myth” diartikan sebagai : “1)
any fictitious story; or unscientific account, theory,belief,etc 2)
any imaginary persons or thing spoken as though existing”. Artinya :
1) sembarang kisah atau cerita fiksi (tidak nyata/hayalan/dongeng);
atau kejadian, teori dan kepercayaan dan lain-lain yang tidak bersifat
ilmiah. 2) sembarang orang atau sesuatu yang dianggap seolah-olah
benar-benar ada.
Jadi, menurut definisi di atas, kalau orang menyebut Mahabharata, atau Ramayana,
sebagai mitologi atau mitos, itu berarti bahwa kedua kisah itu hanyalah
sebuah dongeng, sebuah cerita fiksi, yang sebenarnya tidak pernah
benar-benar terjadi di alam nyata. Bukankah secara ilmiah, tidak ada
bukti-bukti kuat yang mendukung kebenaran kisah-kisah Purana itu?
Bukankah itu juga berard uraian tentang dasa awatara (sepuluh
awatara Wishnu) dalam Purana-Purana tidak lebih dari dongeng? Lantas,
apakah dapat disimpulkan bahwa umat Hindu memuja Tuhan dan para dewa
yang hanya ada dalam dongeng?
Dari Mana Asal Sebutan Mitologi itu?
Kalau kita telusuri asal mula mengapa
kitab-kitab Purana dijuluki mitologi, kita akan temukan beberapa alasan.
Setidaknya, kami melihat ada dua alasan penting. Pertama, kata “Purana”
secara harfiah berarti sejarah. Memang, kitab-kitab Purana mengandung
banyak sejarah tentang kegiatan atau lila Tuhan, Para dewa, atau penyembah-penyembah mulia Tuhan. Matsya Purana,
misalnya, berisi kisah tentang kemunculan Sri Wishnu yang menjelma
sebagai seekor ikan raksasa yang menyelamatkan seorang raja saleh bemama
Raja Satyavrata. Kisah ini sebenamya sangat mirip dengan kisah Nabi Nuh
dalam Islam yang juga diselamatkan dari Banjir Besar. Sayangnya, dalam
Mastya Purana tersebut tidak disebutkan kapan persisnya peristiwa
tersebut terjadi Padahal, dalam dunia akademik dan ilmiah, adanya angka
tahun ini merupakan syarat penting bagi kita untuk percaya bahwa sesuatu
peristiwa benar benar terjadi. Kalau kita tanyakan kepada umat Islam,
kapan terjadinya Banjir Besar itupun, mereka juga akan kesulitan
menyebutkan angka tahun yang pasti.
Kalaupun kemudian kita berikan penjelasan
bahwa Matsya Awatara muncul pada jaman Satya Yuga, ratusan juta tahun
yang lalu, orang masih akan mendebat dengan menyatakan bahwa. menurut
Teori Evolusi Darwin, adanya jenis kehidupan seperti kera (belum jadi
manusia, lho) baru mulai sekitar 100 ribu tahun yang lalu. Manusia jenis
homo sapien, yang dikatakan sebagai cikal bakal manusia modern
seperti kita baru ada sekitar 5 ribu tahun yang lalu. jadi, bagaimana
mungkin telah ada seorang raja bernama Satyavrata jutaan tahun yang
lalu?
Begitupun dengan kisah Mahabharata.
Menurut Professor K. Srinivasaraghavan, dalam perhitungan ilmu
perbintangan Weda (Jyotishastra), perang di Kuruksetra tersebut terjadi
pada tanggal 22 November 3067 Sebelum Masehi. Kesimpulan itu didasarkan
pada keterangan-keterangan waktu yang terdapat dalam ayat-ayat
Mahabharata itu sendiri. Namur, angka tahun itu ditolak oleh sebagian
kalangan sejarawan Barat, karena menurut Teori Invasi (Penyerangan)
bangsa Arya ke Dravida ciptaan Max Muller, bangsa Arya diperkirakan
datang ke India baru pada sekitar tahun 1500 Sebelum Masehi. Menurut
teori yang sudah terlanjur dianggap benar itu, Bangsa Arya lah yang
merupakan pembawa Rg Weda ke India. jadi, kalau teori ini benar, bahkan
Weda dan peradaban Hindu tidak murni lahir dari India, melainkan berasal
dari wilayah Indo-jerman, tempat asal bangsa Arya. jadi, tidak adanya kronologi peristiwa yang runtut itulah yang menyebabkan Purana disebut mitologi.
Alasan kedua, julukan mitologi pada Weda
tidak dapat kita lepaskan begitu saja dari konteks sejarah penjajahan
India oleh Inggris selama ratusan tahun. Kolonial Inggris mulai resmi
menjajah India sejak mereka memenangkan pertempuran yang dikenal sebagai
Battle of Plassey tahun 1757 (Satsvarupa, 1977). Adalah sebuah
fakta bahwa. penjajahan Inggris di India dimanfaatkan oleh Para
misionaris Kristen untuk mengalihkan agama penduduk India dari Hindu
menjadi Kristen. Mereka mulai membuka sekolah dan perguruan tinggi
Kristen. Alexander Duff (1806 – 1878) mendirikan Scots College di
Calcutta, yang ia cita-citakan menjadi “headquarters for a great campaign against Hinduism” (Pusat kampanye besar melawan Hindu).
Para misionaris itu tidak segan-segan menyebut kitab-kitab Weda sebagai “absurdities meant for the amusement of children “ yang artinya “serangkaian takhayul yang dimaksudkan untuk hiburan anak anak”.
Dengan tujuan besar seperti di atas,
mulailah muncul kalangan intelektual Inggris yang menggangap perlu untuk
mendidik orang-orang India dengan ilmu pengetahuan Barat. Upaya itu
dimulai dengan lahirnya beberapa, orang Inggris yang mempelajari budaya
India dan menguasai bahasa Sanskerta. Terbentuklah sebuah organisasi
yang bernama Royal Asiatic Society. Mereka-mereka ini selanjutnya dikenal sebagai indologists,
yang kemudian menjadi para penterjemah kitab-100kitab Weda ke dalam
bahasa Inggris. Sir William Jones (1746 – 1794), Charles Wilkins (1749 –
1836), dan Thomas Colebrooke (1756 – 1837) dianggap sebagai para
pelopor indologist (indology adalah bidang ilmu yang mengkaji budaya dan peradaban India).
Tentu saja, mereka adalah orang-orang
Kristen yang sangat taat dan terpelajar, sehingga tujuan mereka
menterjemahkan kitab-kitab Weda. ke dalam. bahasa Inggris bukannya tanpa
maksud tertentu. Mereka sadar bahwa tidaklah mudah untuk mengubah
keyakinan orang India terhadap tradisi turun temurun mereka yang
bersumber pada kitab-kitab Weda. Karena itulah, mereka berpendapat bahwa
satu-satunya cara adalah menunjukkan kepada orang-orang India bahwa
kitab Weda yang mereka yakini tidak lebih dari sekedar takhayul,
dongeng, dan mitologi yang tidak masuk akal.
William Jones misalnya, menyebut Bhagavata Purana sebagai “kisah saduran” dan ia berspekulasi bahwa Bhagavata
sebenarnya meniru Gospel Kristen yang dibawa ke India, dan bahwa
Kesava. (nama lain Krishna) sebenarnya adalah Apollo pahlawan Yunani.
Teori ini telah terbukti salah, karena berbagai temuan arkeologi yang
berhubungan dengan. legenda Krishna menunjukkan bahwa Krishna telah ada
jauh sebelum agama Kristen lahir.
Tokoh Indologist
lain yang sangat besar pengaruhnya pada kesan masyarakat dunia terhadap
Weda adalah Frederick Max Muller (1823 – 1900). Muller adalah ahli
bahasa Sanskerta asal Jerman yang kemudian bekerja pada East India Company, dan dipercaya untuk menterjemahkan kitab Rg Veda
ke dalam bahasa Inggris. Muller inilah yang kemudian menciptakan teori
“Legenda Arya” dan “Invasi bangsa Arya ke Dravida”. dengan mendasarkan
argumentasinya pada ayat-ayat dalam kitab Rg Veda itu sendiri.
Bahwa ada sebuah suku bangsa Arya yang telah memiliki peradaban yang
tinggi, berasal dari kawasan Iran. Bangsa Arya ini hidup
berpindah-pindah, berperang dan menaklukkan suku bangsa lainnya,
termasuk suku bangsa Dravida berkulit hitam, yang merupakan suku asli
India.
Kebanyakan buku-buku tentang Hindu dan
Weda yang bertebaran di perpustakaan dunia saat ini, yang berbahasa
Inggris, adalah hasil terjemahan dan tulisan para indologist
tersebut dan mengharap orang beralih menjadi Kristen. Karena itulah,
tidak mengherankan kalau orang-orang mengenal. kitab Weda sebagai
mitologi dan dongeng, karena mereka membaca buku-buku yang memang
ditulis untuk misi-misi khusus pada masa itu.
WEDA BUKAN MITOLOGI!
Dari uraian di atas, jelas menjadi sebuah
tantangan bagi kita untuk paling tidak meyakinkan diri kita sendiri,
sebelum meyakinkan orang lain, bahwa Weda khususnya Itihasa dan Purana,
bukan sekedar mitologi. Bagaimana caranya?
Pertama, berhubungan dengan bukti-bukti
ilmiah yang sering dianggap tidak memadai untuk mendukung kebenaran
sejarah Weda. Dalam Weda, disebutkan bahwa ada berbagai metode atau cara
yang dapat kita tempuh untuk mernperoleh pengetahuan. Salah satunya
adalah pratyaksa, yang berarti persepsi langsung dengan mengandalkan indera kita sebagai alat utamanya. Metode kedua adalah anumana, yaitu pengambilan kesimpulan (inferensi). Metode yang lain disebut sabdha, atau mendengar dari sumber yang dibenarkan.
Dari ketiga metode itu, ilmu pengetahuan modern lebih didasarkan pada dua metode yang pertama, yaitu pratyaksa dan anumana.
Sebaliknya, Weda lebih mendasarkan pada metode sabdha, mendengarkan
dari penguasa atau sumber rohani. Yang dimaksud penguasa disini bukanlah
sebuah rezim yang diktator atau pun seorang raja atau pemimpin yang
memiliki kekuasaan mutlak. Ambillah contoh sebuah buku, orang yang
paling paham dengan maksud yang ada dalam buku itu, adalah sang penulis
buku itu sendiri. Dalam hal. ini penulis itu disebut sebagai penguasa
(author) bagi buku itu.
Untuk mendapatkan pengetahuan rohani atau spiritual, Weda menolak penggunaan metode pratyaksa dan anumana, Mengapa? Karena pratyaksa pramana
mengandalkan pada kemampuan indera kita dalam menangkap atau memahami
sesuatu. Sedangkan indera-indera kita jelas-jelas memiliki banyak
kelemahan. Kita tidak bisa melihat benda yang terlalu dekat, atau benda
yang terlalu jauh. Dalam ilmu fisika, banyak sekali dipelajari tentang
kelemahan mata, telinga, dan kulit kita. Meskipun kemudian kita
menciptakan alat-alat untuk membantu penglihatan dan pendengaran kita,
akan tetapi jangan lupa bahwa alat-alat itupun kita buat dengan
menggunakan indera yang tidak sempurna. Alat-alat itu digunakan oleh
manusia yang inderanya tidak sempurna, dan dianalisa oleh orang yang
inderanya tidak sempurna.
Setelah menyadari bahwa pratyaksa
memiliki banyak kelemahan, para ilmuwan sekarang mengandalkan metode
anumana, yang kadang mengarah pada spekulasi, interpolasi dan
interpretasi untuk mengambil kesimpulan mengenai hal-hal yang tidak
dapat diamati secara langsung oleh panca indera manusia.
Contoh nyata spekulasi itu adalah teori
tentang penciptaan alam semesta. Manusia adalah makhluk yang serba
terbatas, dan hidup hanya di satu planet bumi ini. Ada jutaan planet di
alam semesta ini, dan mungkin jutaan galaxy, yang kita tidak pernah
mengetahuinya. Umur manusia pendek, hanya ratusan tahun, dan ilmu
pengetahuan modern juga baru berkembang beberapa ratus tahun terakhir
ini. Namun demikian, para ilmuwan itu telah berani dengan lantang
menyatakan kepada kita, apa yang telah terjadi jutaan tahun yang lalu.
Mereka menyimpulkan bahwa, alam semesta tercipta karena adanya sebuah
ledakan atau dentuman besar yang disebut dengan Big Bang Theory.
Bukankah tidak seorang ilmuwanpun yang hadir dan menyaksikan pada saat
alam semesta tercipta? Kalau ada pihak-pihak yang meragukan atau
mempertanyakan kebenaran teori itu, maka akan dilabeli dengan sebutan
dogmatis, tidak ilmiah dan rasional, penganut agama yang fanatik,
sentimentalis, dan sebagainya.
TEORI BIG BANG (DENTUMAN BESAR) TELAH DIURAIKAN DALAM WEDA.
Sekarang marilah kita coba bandingkan,
apa yang diuraikan dalam Weda yang sering dianggap sebagai takhayul atau
mitologi, dengan hasil temuan terakhir para ilmuwan mengenai
terciptanya alam semesta. Anehnya, apa yang akhir-akhir ini ditemukan
oleh para ilmuwan itu, semuanya telah dijelaskan dalam Weda beribu-ribu
tahun sebelum para ilmuwan menyadarinya.
Tahun-tahun
terakhir ini ilmuwan fisika dan astronomi mengusulkan teori terbaru
terciptanya alam semesta. Mereka menyebut teori itu Big Bang Theory.
Teori ini muncul bermula dari pengamatan ahli astronomi Edwin Hubble
pada tahun 1920-an (Cremo, 2003) yang menemukan fakta bahwa alam semesta
ini tampak mengembang. Ada penjelasan teknis yang cukup rumit mengenai
hal ini, yang menyangkut panjang gelombang dan spektrum cahaya. Secara
sederhana, terbukti bahwa cahaya yang terpancar dari berbagai galaxy
yang ditangkap oleh bumi kita ini makin lama makin besar panjang
gelombangnya. Ini menunjukkan bahwa, jarak antara bumi dan galaxy-galaxy
itu semakin jauh. Jarak yang bertambah itu menunjukkan bahwa alam
semesta ini mengembang! Untuk memudahkan memahaminya, galaxy-galaxy itu
dapat diibaratkan sebagai bintik-bintik warna yang terdapat pada kulit
balon mainan anak-anak. Bila balon ditiup, lama-kelamaan bintik-bintik
warna, pada kulit balon itu akan memiliki jarak yang makin besar satu
sama lain.
Berdasarkan temuan ini, para ahli
astronomi dan ahli fisika mengemukakan sebuah teori, bahwa alam semesta
ini mulai muncul sebagai sebuah fluktuasi quantum mechanical vacuum,
atau mekanika kuantum kosong, yang secara mudah digambarkan sebagai
lautan energi yang tak terdefinisikan. Menurut teori itu, pada tahap
awal, alam semesta ini dalam bentuk benih alam semesta (seedlike universes)
yang sangat-sangat kecil, padat, dan panas. Lalu dalam waktu singkat ia
menggelembung dengan pesat, kemudian seiring dengan proses mengembang
itu, benih alam semesta tersebut dipenuhi dengan plasma yang bersuhu
sangat tinggi (super hot plasma).
Setelah mengembang dalam kurun waktu
sangat lama, dan sekaligus mengalami pendinginan, plasma-plasma bersuhu
tinggi tersebut memadat menjadi sub partikel unsur-unsur hidrogen,
helium, dan deuterium. Proses-proses selanjutnya, yang memakan waktu
jutaan tahun, membuat bahan-bahan itu menjadi planet, bintang, dan
galaxy, lalu terbentuklah alam semesta yang kita huni saat ini. Soal
kapan persisnya hal itu terjadi, para ahli itu tak mampu menjelaskannya.
Dalam teori itu, para ilmuwan juga mengusulkan bahwa alam semesta
memancar dan mengembang dari sebuah lubang putih (white hole), kemudian akan mengalami penyusutan dan masuk ke dalam lubang hitam (black hole). Jadi, white hole memunculkan alam semesta, lalu black hole menelan alam semesta itu.
Bagaimana dengan uraian asal-usul alam semesta menurut Weda? Dalam Bhagavata Purana dan Brahma Samhita dijelaskan sebagai berikut : Diluar konsep ruang dan waktu seperti yang kita pahami saat ini, Maha-Vishnu berbaring di lautan Karana (Lautan Penyebab atau Causal Ocean. Dari pori-pori Maha-Vishnu ini bermunculanlah “benih-benih alam semesta” yang jumlahnya tak terhingga. Ketika Maha-Vishnu
memandang benih-benih itu, memberikan energi kepada elemen tersebut
dengan energi Beliau, maka mereka mulai mengembang dalam kecepatan yang
sangat tinggi. Dalam masing-masing alam semesta, perlahan-lahan
terbentuklah unsur-unsur alam, mulai dari yang paling ringan hingga yang
lebih berat. Dan alam semesta terus menerus mengembang. Alam
semesta-alam semesta tersebut eksis dalam kurun waktu satu kali nafas Maha-Vishnu. Saat Maha-Vishnu mengeluarkan nafas alam semesta diciptakan, dan pada saat Beliau menarik nafas, alam semesta dileburkan (Cremo, 2004: 465).
Perhatikan bahwa baik Teori Big Bang maupun uraian Weda mengenai asal usul alam semesta memiliki banyak persamaan. Teori Big Bang
mengusulkan adanya lautan energi yang tidak dapat dipahami sebagai
sumber munculnya alam semesta. Kitab Weda juga menyatakan hal yang sama.
Beberapa ahli kosmologi mengusulkan bahwa ada white hole yang “memuntahkan” alam semesta, dan ada black hole
yang menelan alam semesta pada suatu masa. Weda juga menyebutkan bahwa
alam semesta muncul dan terserap ke dalam lubang, dalam hal ini adalah
pori-pori kulit Maha-Wishnu. Keduanya juga menyebutkan bahwa
pada tahap awal terjadi proses mengembang yang berlangsung dalam jangka
waktu yang sangat cepat.
Teori BigBang dan uraian Weda
sama-sama menyatakan bahwa pada saat terjadinya proses mengembang, alam
semesta memancarkan cahaya radiasi, keduanya menyatakan bahwa alam
semesta terus menerus mengembang, dan sama-sama menyebutkan bahwa proses
itu melibatkan alam semesta yang jumlahnya tidak terhingga.
Tentu saja, perbedaan keduanya juga
tampak jelas. Uraian Weda menyatakan bahwa penciptaan alam semesta itu
terjadi melalui campur tangan Tuhan dalam wujudnya sebagai Maha-Vishnu, sedangkan teori Big Bang
menyatakan alam semesta “dimuntahkan” dari lautan energi, yang kalau
ditanya lebih jauh, apa dan bagaimana asal mula energi itu, para ahli
yang mengusulkan teori itu juga akan bungkam. Mereka akan menjawab bahwa
energi itu ada begitu saja …. tanpa ada kecerdasan ilahi (divine intelligent) yang mengatur dibalik semua proses tersebut.
Disinilah letak tidak adilnya Para
ilmuwan modern yang mengkritik Weda. Ketika kita jelaskan bahwa alam
semesta ada karena diciptakan oleh Tuhan, maka mereka akan bertanya :
“Lalu, siapa yang menciptakan Tuhan?”. Kalau kita jawab “Tuhan itu ada
begitu saja tanpa ada yang menciptakan, dan tak-terdefinisikan, sebab
dari segala sebab, sumber segala sesuatu”, Para ilmuwan itu akan
menyebut kita dogmatis, fanatik, tidak ilmiah dan tidak rasional. Tapi
lihatlah, bukankah mereka juga berbuat dogmatis ketika mereka
mengusulkan teori Big Bang, dan teori teori lainnya? Ambillah contoh,
ketika kita tanyakan darimana asalnya “lautan energi”, yang mereka sebut
sebagai sumber pelontar ”benih-benih” alam semesta itu? Dari mana
asalnya white hole dan black hole… yang menjadi
“pelontar” dan “penelan” alam semesta itu? Mereka juga akan menjawab
“lautan energi itu ada begitu saja, terjadi secara kebetulan, tanpa ada
yang menyebabkan….” Nah, bukankah itu tidak menyelesaikan masalah???
Bukankah mereka mulai dari tengah-tengah, bukan dari asal usul alam
semesta itu sendiri? Bukankah seharusnya, kalau mereka menyebut
“asal-usul” alam semesta, mereka harus bisa menjelaskan asal-usul lautan
energi yang menjadi sumber munculnya alam semesta itu? Ilmuwan itu juga
menyebut bahwa “benih” alam semesta yang belum mengembang itu bersifat “immeasurably smaIl, dense, and hot”
yang artinya baik ukuran, sifat padat, maupun panasnya tidak dapat
dijelaskan secara ilmiah dan secara matematis. Dan karena mereka
scientist, kita dipaksa percaya begitu saja dengan penjelasan mereka,
yang sebenarnya juga sama dengan jawaban kita saat mereka bertanya siapa
yang mengadakan Tuhan … Bukankah itu juga dogmatis? Bukankah itu juga
mitologi??
Suatu ketika Mr. Carl Sagan, seorang ahli
kosmologi melakukan show di sebuah TV di Amerika. Dengan bantuan
animasi dan simulasi komputer, Mr. Sagan mempresentasikan semua teori
yang dikemukakan oleh Para ahli fisika astronomi saat ini. Dijelaskannya
tentang panjang gelombang cahaya galaxy yang terus bertambah, alam
semesta mengembang, teori Big Bang, efek Dopler, dan sebagainya. Para
pemirsa terkejut, ketika menjelang akhir acaranya Mr. Sagan terlihat
berada di India, berdiri di depan sebuah temple Krishna yang telah
berusia ribuan tahun. Mr. Sagan berkata “Para ilmuwan menemukan semua
teori yang telah saya paparkan tadi tahun-tahun akhir ini saja,
sedangkan di sini, di India, orang sudah mengetahui informasi itu sejak
ribuan tahun yang lalu, dari kitab-kitab Weda…” (Danavir Gosvarni,
2002).
Ada alasan lain lagi, mengapa orang
menganggap Weda hanya dongeng atau mitologi. Menurut Stephen Knapp,
dalam kitab-kitab agama Abrahamis (Yahudi, Islam, Kristen) disebutkan
bahwa dunia ini baru berusia enam ribuan tahun. Max Muller, misalnya,
tokoh yang menciptakan teori penyerangan bangsa Arya ke India itu,
adalah seorang Kristen yang taat, dan ia percaya pada kronologi
penciptaan dunia beserta isinya menurut uraian kitab Injil. Menurut
Injil, dunia ini diciptakan pada tanggal 23 Oktober tahun 4004 Sebelum
Masehi, pukul 9 pagi.
Karena itulah, kalau Weda menguraikan
adanya jaman Satya Yuga, Treta Yuga, dan Dvapara Yuga yang berlangsung
sejak jutaan tahun yang lalu, dari kacamata kitab suci agama-agama lain,
Weda hanya mendongeng. Apalagi, yang dipaparkan dalam Weda, tidak
sebatas hanya peristiwa atau sejarah yang pernah terjadi di bumi ini
saja, melainkan diseluruh alam semesta. Padahal dalam perjalanan sejarah
kita tahu bahwa banyak paparan dalam kitab suci itu yang tidak selalu
akurat. Bahwa bentuk bumi bulat, bumi bukan pusat tata surya, dan umur
bumi yang jauh lebih tua dibandingkan teori penciptaan dalam Injil,
hanyalah beberapa contoh yang nyata bahwa belum menjamin kitab suci lain
pun bisa bebas dari tuduhan sekedar sebagai dongeng semata.
Jadi, masihkah orang menganggap Weda dan
Purana sekedar mengajarkan mitologi, bila dari hari ke hari semakin
banyak penemuan ilmiah yang membuktikan kebenaran apa yang telah
diuraikan dalam Weda???
0 komentar:
Posting Komentar