Raja Dretarastra Drop Out dari SLB Hastinapura
(Sekedar latihanku corat-coret fiksi)
Suatu sore ditahun 2800 SM, tiga orang
bocah bermain-main di halaman sebuah rumah mewah diawasi oleh dua orang
pembantunya. Mereka bersenda gurau terkadang tertawa terbahak-bahak
karena asyik dengan permainannya. Terkadang mereka berlari saling kejar
mengejar di halaman rumah yang sangat luas itu. Maklumlah, istana
kerajaan kuru adalah tempat paling mewah di hastina kala itu. Rumah
seluas 800 meter persegi ditempati oleh dua orang ibu permaisuri yang
bernama ibu Ambika dan Ambalika. Dari kedua permaisuri inilah cikal
bakal keturunan bangsa bharata yang gagah perkasa.
Bocah-bocah itu tiada lain adalah
Dretarastra, pandu dan widura. Dretarastra adalah putra ibu Ambika,
pandu adalah putra ibu ambalika dan widura adalah saudara tiri dari
keduanya dari ibu yang berbeda. Namun ketiga anak itu mempunyai ayah
yang sama.
Ketika hari menjelang petang anak-anak
selesai bermain. Satu persatu mereka kembali ke rumah istana. Namun
Dretarastra tidak kunjung masuk rumah, ia tetap asyik mendengarkan musik
keroncong pada walkman kesayangannya. Ia adalah penyandang Tuna Netra.
Maklumlah Dretarastra tidak menyadari hari semakin malam dan
saudara-saudara tirinya telah beranjak meninggalkannya.
“Dretarastra, anakku!” “Hari menjelang
malam, lekaslah masuk!” kata ibu Ambika. Bergegaslah Dretarastra masuk
rumah sembari memikirkan keadaannya yang buta itu. Dretarastra terlahir
Tuna Netra akibat kesalahan ibu Ambika dalam ritual memperoleh keturunan
yang dipimpin oleh Resi Byasa. Karena Ambika menutup mata selama
upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta.
Pendidikan di Hastinapura kala itu
tergolong maju. Dari pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi
telah tersedia. SD, SMP, SMA bahkan Universitas kesemuanya ber-bandrol
hastinapura. Tidak ketinggalan pula Sekolah Luar Biasa juga didirikan,
mulai dari A, B, C dan D. Apalagi salah seorang pangeran kerajaan,
Dretarastra adalah penyandang Tuna Netra. Sudah barang tentu
pembangunan SLB-A Hastinapura menjadi prioritas utama.
Sekolah Luar Biasa tipe A ini berdiri di
ujung timur lapangan kuruksetra. Berdekatan dengan fasilitas-fasilitas
lainnya yang memudahkan teknik orientasi dan mobilitas bagi
siswa-siswanya. Guru besar Bhisma menjadi kepala sekolah luar biasa kala
itu. Drona dan kripa adalah merupakan bagian dari guru-guru yang
bertugas mendidik Dretarastra. Kurikulum SLB Hastinapura mencakup
pengetahuan perang, strategi dan tata pemerintahan yang tidak kalah
hebatnya dengan sekolah umum. Tentunya dengan harapan setelah
Dretarastra tamat SLB, ia akan mampu melanjutkan ke perguruan tinggi
untuk kemudian dipersiapkan menjadi Raja Hastinapura yang cukup lama
kosong atau status quo.
Pandu dan Widura bersekolah di SD
Hastinapura, sedangkan Dretarastra bersekolah di SLB-A Hastinapura.
Mereka adalah tergolong anak-anak cerdas dalam belajar. Setiap pelajaran
mereka selesaikan dengan baik. Namun, ada yang mengganjal dalam
perasaan Dretarastra. Ia tidak memiliki teman di kelasnya, karena
Dretarastra adalah satu-satunya siswa di SLB itu. Seperti anak-anak
seusianya, Dretarastra ingin sekali mempunyai banyak teman seperti
saudara tirinya, Pandu dan Widura.
Kegelisahan dan rasa malas mulai
menyelimuti Dretarastra, rupanya nasihat-nasihat yang diberikan oleh
guru-gurunya di SLB tidak ada yang diindahkannya. Suatu ketika,
Dretarastra berusaha susah payah memanjat pagar sekolah yang setinggi
orang dewasa. Namun tiap kali juga ia jatuh ke tanah, rupanya sang guru
belum mengajarinya teknik memanjat yang baik. Kebetulan jam istirahat,
guru bhisma sedang lewat dan menegur Dretarastra, “mengapa engkau harus
memanjat pagar jika ingin pergi ke luar sekolah?” “Bukankah gerbang
sekolah selalu terbuka bagimu wahai putra Ambika?”.
“Maafkan kesalahan hamba guru!” jawab
Dretarastra dengan rasa bersalah. “Hamba tidak kuat belajar sendirian di
sekolah, tanpa teman yang hamba ajak bermain setiap waktu istirahat”
lanjut Dretarastra.
Mendengar jawaban muridnya, guru Bhisma
termenung sembari membenarkan dalam hati apa yang dirasakan Dretarastra.
Kenyataan bahwa hanya Dretarastra-lah yang menjadi murid tunggal di
sekolah itu. Tidak mungkin baginya untuk merekrut siswa SLB jika di
Provinsi Hastina memang benar-benar tidak ada lagi anak-anak tuna netra.
“Mungkin saat ini semua orang mendapatkan karma baik dari perbuatannya
dahulu” pikir Bhisma dalam hati.
Sarana bermain bagi siswa dan
Laboratorium internet memang sudah diusulkannya, namun anggaran belum
turun juga. Tanda Bintang yang dibubuhkan Dewan Rakyat Hastinapura pada
program tersebut belum juga dicabut. Alhasil proyek pengembangan SLB
belum bisa terealisasi.
Adapula program pendidikan inklusi yang
digembar-gemborkan Menteri Pendidikan Hastina masih sebatas wacana saja.
Pendidikan inklusi adalah suatu model pendidikan yang diselenggarakan
di sekolah inklusi, dimana semua anak baik anak normal maupun yang
berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan pendidikan yang sama dalam
suatu sekolah (education for all). Sehingga dalam hal ini Dretarastra, Pandu dan Widura akan bisa duduk dan belajar dalam kelas dan sekolah yang sama.
“Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi
jika Dretarastra ingin minggat atau berhenti sekolah” pikir guru Bhisma
sembari bergegas untuk menemui ibu Ambika guna melaporkan keadaan
Dretarastra di sekolah.
Setelah menerima laporan Bhisma dan
mengetahui keadaan putranya, ibu Ambika dengan berat hati akhirnya
mengijinkan Dretarastra berhenti sekolah alias Drop Out. Ia
sangat mengasihi Dretarastra, putra tunggalnya yang tuna netra. Sambil
tersenyum ia berkata, “Anakku, Ibu menyekolahkanmu di SLB adalah dengan
tujuan mulia. Setelah tamat nanti, engkau dapat melanjutkan ke perguruan
tinggi yang mencetak calon-calon raja besar. Kebutaan yang membelenggu
dirimu tidak lagi menjadi penghalang engkau menjadi raja Hastina!”
“Jika engkau membuang kesempatan ini,
maka Pandu-lah yang akan menggantikan posisimu sebagai raja Hastina!”
terang ibu Ambika yang ditimpali dengan anggukan kepala Dretarastra
pertanda ia tidak lagi merubah keputusannya untuk berhenti sekolah.
Demikian semenjak saat itu, putra-putra
Kuru ini tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Mereka tumbuh
dewasa menjadi pangeran-pangeran perkasa negeri Hastinapura. Pandu telah
menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri
(STPDN). Widura pula telah diwisuda dari Sekolah Tinggi Jurnalistik yang
membentuk dirinya menjadi Jurnalis dan Reporter Hebat kala itu. Hanya
Dretarastra saja yang gagal mengenyam pendidikan dibandingkan
saudara-saudaranya yang lain karena keinginannya sendiri.
“Aku sangat menyesalkan keputusanku 85
tahun yang silam” gumam Dretarastra pada istrinya Dewi Gandhari di
tempat pertapaannya di tengah hutan. Dretarastra dan istrinya
mengasingkan diri kedalam hutan setelah meletusnya perang BharataYuda
dan 40 tahun menjadi raja Hastina.
“Tekadku untuk kabur dari Sekolah Luar
Biasa membuat aku sangat bodoh dan tolol menjadi raja menggantikan
adikku Pandu yang telah tiada”. “Aku bersalah membiarkan anak-anakku
musnah dalam pertempuran dengan Pandawa”, Ucapnya terbata-bata.
“Seandainya aku menguasai tehnik
orientasi dan mobilitas tuna netra, tentu aku dapat berjalan sendiri ke
medan Kurukshetra dan melerai pertumpahan darah itu”. “Dokumen-dokumen
kerajaanpun aku tidak bisa mengetahuinya karena aku tidak bisa baca dan
tulis huruf Braille”, jelas Dretarastra sambil menundukkan kepalanya
penuh penyesalan. Butiran air matanya pecah membasahi pipi keriput sang
raja Hastina.
Perang Bharatayuda sebagai sebuah simbul
kehancuran dan musnahnya keluarga besar Bharata telah terjadi.
Peperangan menimbulkan korban jiwa dan materi yang tak terhitung
jumlahnya. Raja Dretarastra tidak berkutik mencegah timbulnya peperangan
karena keterbatasannya sebagai tuna netra yang minim pendidikan.
Keterbatasan yang seharusnya bukan menjadi penghalang baginya untuk
memimpin Negeri Hastinapura jikalau saja ia tidak drop out dari SLB Hastinapura.
Sekian.
(Tulisan ini adalah karangan cerita fiksi
semata, tanpa bermaksud merubah ataupun menghilangkan cerita yang sudah
ada. Coretan-coretan diatas hanyalah hiburan sekaligus refreshing pada main-set kita akan pentingnya pendidikan untuk semua orang “education for all ”).
0 komentar:
Posting Komentar