Sebelum Islam datang dan mencapai masa kejayaannya, dunia ternyata belum mengenal konsep rumah sakit (RS), seperti saat ini. Bangsa Yunani, misalnya, merawat orang-orang yang sakit di petirahan yang berdekatan dengan kuil untuk disembuhkan pendeta. Proses pengobatannya pun lebih bersifat mistis yang terdiri dari sembahyang dan berkorban untuk dewa penyembuhan bernama Aaescalapius.
Menurut
Ketua Institut Internasional Ilmu Kedokteran Islam, Husain F Nagamia
MD, sederet RS baru dibangun dan dikembangkan mulai awal kejayaan Islam.
Pada masa itu tempat mengobati dan merawat orang yang sakit dikenal
dengan sebutan `Bimaristan’ atau ‘Maristan’. ”Ide membangun RS sebagai
tempat merawat orang sakit mulai diterapkan pada awal kekhalifahan
Islam,” papar Husain.
RS
pertama dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705 M – 715 M) –
seorang khalifah dari Dinasti Umayyah. Tempat perawatan yang dikenal
dengan nama `Bimaristan’ itu disediakan tak hanya pagi penderita
leprosoria tapi juga bagi penderita lepra yang saat itu merajalela.
Untuk merawat para pasien itu, khalifah menggaji tenaga perawat dan
dokter.
”RS
Islam pertama yang sebenarnya dibangun pada era kekuasaan Khalifah
Harun Al-Rasyid (786 M – 809 M),” ungkap Husain. Setelah berdirinya RS
Baghdad, di metropolis intelektual itu mulai bermunculan RS lainnya.
Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu merupakan ide dari Al-Razi, dokter Muslim terkemuka.
Dalam
catatan perjalanannya, seorang sejarawan bernama Djubair sempat
mengunjungi Baghdad pada 1184 M. Ia melukiskan, RS yang ada di Baghdad
seperti sebuah `istana yang megah’. Airnya dipasok dari Tigris
dan semua perlengkapannya mirip istana raja. Menurut Dr Hossam Arafa
dalam tulisannya berjudul Hospital in Islamic History pada akhir abad
ke-13, RS sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia.
Pada
era keemasan, RS Islam yang tersebar di kawasan Arab itu memiliki
karakteristik yang khas. Pertama, RS Islam melayani semua orang tanpa
membedakan warna kulit, agama, serta latar belakang asal usul lainnya.
RS Islam dikelola pemerintah. Direkturnya biasanya seorang dokter. Di RS
itu semua dokter dengan keyakinan agama yang berbeda bahu-membahu
bekerja sama untuk menyembuhkan pasiennya.
Kedua,
sudah menerapkan pemisahan bangsal. Pasien pria dan wanita menempati
bangsal yang terpisah. Penderita penyakit menular juga dirawat di tempat
yang berbeda dengan pasien lainnya. Ketiga, pembagian perawat. Perawat
pria bertugas merawat pria dan perawat wanita merawat pasien wanita.
Keempat, memperhatikan kamar mandi dan pasokan air. Shalat lima
waktu merupakan rukun Islam yang wajid bagi setiap Muslim. Baik dalam
kondisi sehat maupun sakit, shalat tetap merupakan sebuah kewajiban.
Meski begitu, orang yang sakit mendapat keringan untuk melaksanakan
shalat berdasarkan kemampuan fisiknya.
Bagi
mereka yang tak mampu, bisa shalat sembari tidur di atas kasur. Sebelum
menunaikan ibadah shalat, setiap Muslim harus berwudhu membersihkan
muka, tangan, kepala dan kaki. Untuk memenuhi kebutuhan itu, RS
menyediakan air yang melimpah dengan dilengkapi fasilitas kamar mandi.
Kelima,
tak sembarang dokter bisa berpraktik di RS. Hanya dokter-dokter yang
berkualitas yang diizinkan untuk mengobati pasien di RS. Khalifah
Al-Mugtadir dari Dinasti Abbasiyah sangat memperhatikan betul kualitas
dokter yang bertugas di RS. Untuk memastikan semua dokter berkualitas,
khalifah memerintahkan kepala dokter istana, Sinan Ibn-Thabit untuk
menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad.
Dokter yang mendapat izin praktik di RS hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Tak hanya di Baghdad,
khalifah juga memerintahkan Abu Osman Sa’id Ibnu Yaqub untuk melakukan
seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah. Hal itu
dilakukan, lantara dua kota suci itu setiap tahunnya dikunjungi jamaah haji dari seluruh dunia.
Keenam,
RS Islam pada zaman kekhalifahan tak hanya sekedar tempat untuk merawat
dan mengobati orang sakit. RS juga berfungsi sebagai tempat menempa
mahasiswa kedokteran, tempat pertukaran ilmu kedokteran, dan pusat
pengembangan dunia kesahetan dan kedokteran secara keseluruhan. RS besar
dan terkemuka dilengkapi dengan perpustakaan mewah yang memiliki
koleksi buku-buku terbaru. Selain itu, RS Islam zaman kekhalifahan juga
dilengkapi auditorium untuk pertemuan dan perkuliahan. Di kompleks RS
juga berdiri mess atau perumahan untuk mahasiswa kedokteran serta staf
RS.
Ketujuh,
untuk pertama kalinya dalam sejarah, RS Islam menyimpan data pasien dan
rekam medisnya. Konsep itu hingga kini digunakan RS yang ada di seluruh
dunia. Kedelapan, selama era Islam ilmu farmasi dan prpfesi apoteker
telah berkembang menjadi ilmu dan profesi terkemuka.
Apotek
dan apoteker sudah berkembang pesat. Tak heran, jika obat-obatan baru
tiap waktu terus bermunculan. Pada saat itu, umat Islam yang menguasai
perdagangan telah menjalin kontak dengan bangsa-bangsa terkemuka di
dunia. Ilmu kimia yang menopang farmasi juga berkembang pesat.
RS
di era keemasan Islam bertugas untuk merawat seluruh pasien baik
laki-laki maupun perempuan sampai benar-benar sembuh. Tak hanya itu,
seluruh biaya ditanggung pihak RS. Mereka yang dilayani secara prima dan
cuma-cuma itu bisa pendatang, orang asing, orang pribumi, kaya atau
miskin, bekerja atau pengangguran, bodoh atau pintar, cacat atau normal
diperlakukan secara sederajat dan adil.
Tak
ada persyarakat tertentu dan pembayaran. Tak ada pasien yang ditolak
untuk dirawat dan berobat. Semua pelayanan di RS itu dilakukan dengan
mengharap keridhaan Sang Pencipta, Allah SWT. Lagi-lagi, Islam lebih
dulu unggul dan maju dibanding Barat.
Konsep
RS Islam di era keemasan yang begitu modern itu kemudian ditiru dan
dijadikan model oleh bangsa-bangsa di Eropa. Tak cuma itu, Barat juga
banyak mempelajari kitab-kitab kedokteran yang dihasilkan para dokter
Muslim. Adakah RS Islam di Indonesia yang meniru konsep RS di era
keemasaan Islam itu? (Republika; 18/03/2008)Sumber
0 komentar:
Posting Komentar