“Hanya pemerintah yang kaya dan aman yang mampu menjadi negara
demokrasi, karena demokrasi adalah jenis pemerintahan yang paling mahal
dan paling jahat yang pernah terdengar di permukaan bumi.” (Mark Twain)
Paling mahal dan paling jahat. Dua kata yang mensifati sistem
demokrasi ini tercermin dari drama sidang paripurna DPR saat membahas
kenaikan harga BBM baru-baru ini. Mahal,karena sidang ini terkesan
berjalan alot , sampai larut malam, membutuhkan waktu yang lama.
Dananya tentu saja membengkak. Jahat, karena keputusannya akhirnya tetap
memberikan peluang untuk menaikkan BBM yang akan mencekik rakyat.
Ya demokrasi memang mahal. Karena itu, kekuatan modal menjadi penentu
kemenangan dalam menjadi penguasa dan pengambilan keputusan. Untuk biaya
Pemilu 2009 diperkirakan 48 trilyun , pilkada DKI menghabiskan dana
124 milyar, sementara pilkada Jatim 2 putaran menghabiskan dana 800
milyar. Jangan tanya biaya kampanye, yang menelan ratusan milyar. Untuk
iklan di televisi misalnya jika rata-rata biaya beriklan secara
excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per
bulan adalah Rp 15 milyar .
Biaya pembuatan UU nya juga mahal. Meski kinerja legislasi DPR
dinilai belum memuaskan, lembaga tersebut tetap menganggarkan Rp 466,78
miliar untuk biaya legislasi dari Rp2,91 triliun anggaran tahun 2012.
Itu berarti terjadi pembengkakan biaya dari anggaran 2005 yang hanya
Rp560 juta.
Secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang
terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang
merugikan rakyat. Akibatnya kebijakan yang muncul bukan untuk
kepentingan rakyat tapi elit pemilik modal yang mendukung. Menjadi alat
untuk mengembalikan investasi politik yang mahal sekaligus untuk
mempertahankan kekuasaan.
Sistem ini menjadikan uang atau modal sebagai panglima.
Konsekuensinya, praktik suap menyuap, manipulasi dan korupsi pun
menjadi kanker ganas yang menjadi penyakit bawaan dari sistem cacat ini.
Dalam bahasa sehari-hari, kata yang digunakan untuk percobaan
mempengaruhi tindakan seseorang melalui insentif uang disebut dengan
istilah ‘suap’. Tapi dalam dunia politik demokrasi, kita bersikeras
menggunakan istilah-istilah seperti ‘dana’, ‘melobi’ atau ‘pinjaman
lunak’.
Dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di Inggris yang
dikenal sebagai kampiun demokrasi dunia. Skandal politik Inggris yang
terbaru membuktikan hal itu. Bendahara bersama Partai Konservatif yang
memerintah tertangkap kamera sedang menawarkan akses kepada perdana
menteri dan kanselir hingga lebih dari £ 250.000 dari dana sumbangan.
Kemudian terungkap bagaimana para pendonor telah diundang makan malam
secara pribadi dengan David Cameron dan keluarganya.
Skandal ‘The Cash for Questions’, pecah pada tahun 1994. Seorang
pelobi parlemen, Ian Greer, telah menyuap para anggota parlemen sebagai
ganti untuk menukar pertanyaan-pertanyaan parlemen yang diajukan, dan
tugas-tugas lainnya, atas nama pengusaha Mohamed Al Fayed. Pada tahun
2009 , muncul lagi skandal ketika empat orang anggota Partai Buruh dari
parlemen Inggris yang dipecat karena menawarkan membantu membuat
amandemen undang-undang dengan uang hingga lebih dari £ 120.000.
Uang sebagai panglima inilah yang membuat sistem demorkasi menjadi
sistem yang jahat. Disamping penuh dengan suap menyuap baik legal atau
tidak, sistem ini juga melahirkan kebijakan yang jauh dari kepentingan
rakyat. Yang terpenting adalah kepentingan pemilik modal. Mengurangi
bahkan menghapuskan hak rakyat yang diklaim disubsidi oleh negara.
Disisi lain privatisasi dan pasar bebas telah menjadi alat bagi
negara-negara imperialis asing merampok kekayaan alam kita yang
sesungguhnya merupakan milik rakyat.
Maka tidak heran kalau kita menyaksikan dalam drama sidang paripurna
kemarin menghasilkan kebijakan yang justru melegitimasi kebijakan
liberal. Memberikan peluang naiknya harga BBM dengan tunduk kepada rezim
pasar internasional yang rakus. Seperti yang disampaikan Jubir HTI
Ismail Yusanto dalam pernyataan persnya bahwa keputusan rapat Paripurna
DPR kemaren alih-alih bisa menyelesaikan kemelut persoalan BBM, tapi
sebenarnya justru menegaskan makin kokohnya liberalisasi migas di negeri
ini. DPR dan pemerintah telah secara bulat meletakkan migas sebagai
komoditas semata-mata yang dalam penetapan harga (pricing policy)
benar-benar mengikuti harga internasional atau harga pasar.
Padahal Pasal 28 Ayat 2 UU Migas yang menjadi dasar untuk mengkaitkan
harga BBM dengan mekanisme pasar telah dianulir oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. Akibatnya, segala bentuk
perhitungan juga akan mengacu ke sana. Disitulah problema di seputar
berapa sebenarnya harga produksi, harga jual, dan berapa sebenarnya
subsidi (dan apakah tepat istilah subsidi itu) akan terus berlanjut yang
membuat persoalan BBM ini menajdi tidak terurai secara jernih.
Karena itu Hizbut Tahrir dengan tegas menyatakan bahwa menaikkan harga
BBM dan kebijakan apapun yang bermaksud untuk meliberalkan pengelolaan
sumber daya alam khususnya migas merupakan kebijakan yang bertentangan
syariat Islam. Migas serta kekayaan alam yang melimpah lainnya dalam
pandangan Islam merupakan barang milik umum yang pengelolaannya harus
diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, kebijakan kapitalistik, yakni liberalisasi migas
baik di sektor hilir (termasuk dalam pricing policy) maupun di sektor
hulu (yang sangat menentukan jumlah produksi migas setiap hari), juga
kebijakan dzalim dan khianat ini harus segera dihentikan. Sebagai
gantinya, migas dan SDA lain dikelola sesuai dengan syariah. Jalannya
hanya satu, melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai
Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. (Farid Wadjdi)
Sumber
Kamis, 20 Februari 2014
Filled Under:
IPTEK
Demokrasi, Pemerintahan Paling Mahal dan Paling Jahat
Posted By:
Unknown
on 04.14
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar