Bentuk pemerintahan demokrasi atau republik atau kerakyatan menjadi trend
dunia pasca sekularisme politik di Eropa selepas Perjanjian Westphalia
1648. Kekuasaan politik benar-benar dilepaskan dari kekuasaan agama agar
dapat benar-benar berjalan sesuai dengan idealitas rasionalitas
manusia. Perjanjian Westphalia dianggap sebagai titik lahirnya
negara-negara nasional yang modern. Melalui Perjanjian Westphalia
hubungan negara dilepaskan dari hubungan kegerejaan (keagamaan).
Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat
Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas
negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan)
maupun mengenai dan hakikat pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan
negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Demokrasi atau demos kratos alias pemerintahan rakyat disepadankan dengan re publica, mengembalikan kekuasaan kepada public
(rakyat). Inilah gagasan yang mengemuka pada Revolusi Prancis. Bentuk
pemerintahan ini adalah kritik terhadap kekuasaan absolut para raja
(monarki /mono archi) dan kekuasaan para bangsawan
(aristokrasi). Saat itu puncak absolutisme Prancis terjadi pada
pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715) dengan semboyan l’etat cest moi
(negara adalah saya). Penyerbuan Penjara Bastille pada 14 Juli 1789
menjadi tonggak dari Revolusi Prancis untuk mengakhiri absolutisme
Kerajaan. Robespierre kemudian mencetuskan semboyan Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan) dan Fraternite
(persaudaraan) sebagai prinsip dari demokrasi yang kemudian
diabadikan dalam warna-warna bendera nasional Prancis (merah, putih dan
biru).
Samuel P. Huntinton dalam bukunya, The Third Wave: Democratization in the Late Twenti-eth Century (1991), mencatat ada tiga gelombang demokratisasi yang menjadi trend politik dunia saat ini. Para analis Barat lainnya menyebutkan bahwa Arab Spring
adalah gelombang demokratisasi keempat, yang menandakan bahwa demokrasi
sudah diakui dan diterapkan di semua belahan bumi ini, tanpa kecuali.
Gelombang pertama adalah awal demokrasi yang digagas ratusan abad lalu oleh para pemikir Yunani seperti Aristoteles dalam Politea-nya. Demokrasi kemudian dibangkitkan kembali pada masa renaissance oleh para pemikir Barat seperti Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu (1689-1755) dalam bukunya, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang memunculkan konsep Trias Politika; John Locke (1632-1704) dalam bukunya, Two Treatises on Civil Government (1690), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya, Du Contract Social (1762).
Kini demokrasi diterapkan secara luas hampir meliputi semua negara di dunia. Menurut Freedom House, pada tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi elektoral (naik dari 40 pada tahun 1972). Menurut World Forum on Democracy,
jumlah negara demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192 negara di dunia
dan mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang sama, negara-negara
demokrasi liberal (yang dianggap Freedom House sebagai negara
yang bebas dan menghormati hukum dan HAM) berjumlah 85 dan mencakup 38
persen penduduk dunia. Hanya ada 25 negara yang dikategorikan sebagai
demokrasi penuh oleh Democracy Index pada tahun 2011, di antaranya Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan di Asia. Democracy Index
memasukkan 53 negara dalam kategori demokrasi tidak sempurna yang pada
umumnya negara-negara di Afrika dan Asia, termasuk di dalamnya
Indonesia. Bahkan pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan
15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional.
Pertanyaannya: Sudahkan demokrasi
mencapai tujuannya? Ataukah demokrasi malah menjadi bentuk pemerintahan
yang merusak dan utopia sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Aristoletes?
Demokrasi dan Kesejahteraan
Salah satu yang diimpikan dengan
penerapan demokrasi adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Ini
merupakan salah satu utopia dari demokrasi. Mengapa? Karena tidak ada
hubungannya sama sekali antara demokrasi dan kesejahteraan.
Negara-negara yang dianggap sejahtera yang secara faktual menerapkan
demokrasi dianggap sebagai role model. Namun, fakta lain
menunjukkan banyak negara non demokrasi yang tingkat kesejahtera-annya
juga tinggi. Tengok saja Singapura, negara dengan indeks demokrasi yang
lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya bahkan
tidak terkategori negera demokratis justru memiliki PDB 40.920 pada
tahun 2010 dibandingkan Indonesia yang pada tahun yang sama hanya
memiliki PDB 2.580. Bukti lain adalah RRC, negara yang secara ideologi
politik masih menerapkan sistem komunis, sekarang dianggap sebagai
negara maju. Bahkan kejayaan Khilafah Islam pada abad pertengahan sama
sekali tidak menerapkan demokrasi.
Penerapan demokrasi menunjukkan
peng-hambur-hamburan dana negara dan dana masyarakat untuk apa yang
disebut sebagai ‘pesta demokrasi’. Pemilihan umum sebagai mekanisme
perwujudan partisipasi masyarakat baik dalam pemilihan presiden dan
pemilihan wakil rakyat adalah pemborosan uang untuk apa yang dinamakan
‘partisipasi’. Contoh biaya kampanye di Amerika pada American
Presidential Election 2008 mencapai $5 billion, biaya yang dikeluarkan
oleh Obama $730 million dan McCain $333 million. Pendanaan ini
kebanyakan datang dari para pemilik modal/punya hubungan modal yang
dalam American Presidential Election 2008 tersebut mencapai 72%.
Di Indonesia, menurut catatan The
Nielsen Co.Ind, belanja iklan pada Pemilu 2009 mencapai Rp 2,154
triliun; meningkat sekitar 335% dibanding Pemilu 2004. Jumlah biaya
iklan politik yang realistis sulit diketahui karena banyak iklan
terselubung.
Hal inilah yang menjadikan demokrasi secara efektif memberi para pemilik modal “majority vote”.
Karena itu para pemilik modal memiliki kemampuan dan kesempatan untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Wajar jika pada akhirnya kebijakan
pemerintah terpilih lebih mementingkan kaum ‘kaya’.
Kolaborasi elit politik dan ekonomi dengan pihak asing di Indonesia telah menimbulkan apa yang disebut dengan governance as private enterprise (Arif, 1996) atau corporation state
(Gatra, 2006). Dalam kondisi seperti itu, politik dan administrasi
negara diperlakukan seperti kegiatan bisnis swasta. Akibatnya,
perhitungan bisnis telah dijadikan dasar pengambilan keputusan ekonomi
agar tujuan pihak swasta besar menjadi manunggal dengan tujuan pemegang
kekuasaan. Ujung-ujungnya, kepentingan rakyat terabaikan. Rakyat harus
membayar mahal untuk mendapatkan haknya.
Faktor inilah yang membuat demokrasi
hanya menguntungkan segelintir orang. Demokrasi di Indonesia tidak
membuat rakyat sejahtera, tetapi malah sengsara.
Maka dari itu, tidak aneh jika ada yang
mengungkapkan bahwa melalui demokrasi, kesejahteraan rakyat pun sudah
diwakili oleh wakil rakyat. Artinya, rakyat tetap miskin, wakil
rakyatlah yang kekayaannya berlipat dan menikmati kesejahteraan.
Demokrasi dan Keamanan Masyarakat
Penerapan demokrasi diharapkan dapat mewujudakan rasa keamanan masyarakat (society security).
Dengan partisipasi tinggi, tidak adanya otoritarianisme, maka dengan
demokrasi masyarakat menjadi terbebas dari kekangan penguasa. Masyarakat
dapat mewujudkan ekspresi kebebasan individualnya sehingga akan
meningkatkan indeks kebahagiaannya, dan akhirnya keamanan masyarakat
akan terwujud.Benarkah?
Kebebasan individu sebagaimana dalam Revolusi Prancis dicanangkan dalam deklarasi hak-hak manusia dan hak warga Negara (Declaration des Droits de’l Homme et du Citoyoen)
pada tanggal 27 Agustus 1789. Awalnya ia merupakan solusi atas kekangan
penguasa. Namun, solusi ini menimbulkan masalah ikutan. Justru yang ada
adalah kewibawaaan pemerintah menjadi memudar. Seiring dengan
meningkatnya tingkat kebebasan masyarakat, rasa keamanan malah semakin
menipis. Ekspresi partisipasi masyarakat yang tidak terkendali malah
menimbulkan kekhawa-tiran elemen masyarakat lain yang memiliki nilai,
norma dan kebiasaan yang berbeda. Tengok saja bagaimana maraknya
pornografi yang lahir dari kebebasan berprilaku malah menimbulkan
berbagai aksi kriminalitas baru. Munculnya berbagai tempat hiburan
sebagai wujud kebebasan menjadi pusat berbagai kriminalitas mulai dari
narkoba, premanisme dan lainnya.
Demokrasi dan Penegakan Hukum
Penerapan demokrasi adalah impian untuk
lepas dari kelaliman penguasa yang absolut. Dengan demokrasi, hukum
dibuat bukan berdasar hasrat dan hawa nafsu seorang raja yang otoriter,
namun berdasarkan ‘kebaikan’ bersama yang tumbuh di tengah masyarakat.
Dengan demokrasi, diharapkan hukum yang muncul adalah hukum yang
partisipatif dan mewujudkan keadilan bersama.
Kenyataannya, hukum di alam demokrasi
adalah hukum buatan manusia; walau dibuat bersama, ‘hawa nafsu’ manusia
akan tetap dasarnya. Inilah yang dikhawatirkan oleh Aristoteles sehingga
dia menawarkan sistem hukum alternatif yang ideal, yaitu nomokrasi.
Dalam sistem demokrasi hukum menjadi
penuh dengan kepentingan. Lihat saja bagaimana keberadaan hukum-hukum
yang penuh dengan kepentingan ekonomi; hukum dan aturan diperjualbelikan
sesuai dengan keinginan personal dan kelompok tertentu. Lalu bagaimana
mungkin sistem demokrasi bisa melahirkan peradilan yang adil ketika
persepsi tentang keadilan pun tidak memiliki standar yang jelas? Bila
demikian, bagaimana bisa muncul peradilan yang solutif, peradilan yang
bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat; yang dapat menenetramkan kehidupan sosial, tidak hanya di
dunia, namun juga berdimensi ukhrawi?
Demokrasi dan Korupsi
Pameo yang diluncurkan oleh Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Karena itu kekuasaan harus dibagi. Inilah yang melahirkan konsep sharing of power atau distribution of power dalam demokrasi yang lebih dikenal dengan trias politica. Kekuasaan dibagi menjadi kekuasan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun kenyataannya, trias politica tidak lebih menjadi trias corruptica. Lembaga Legistalif, Eksekutif dan Yudikatif adalah poros dari penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
Alhasil, sharing of power tidak
serta-merta menghilangkan korupsi. Alasannya, karena masalahnya bukan
dari terpusatnya kekuasaan, namun dari asal-muasal kekuasaan. Kalau
kekuasaan masih berasal dari rakyat/kelompok yang penuh dengan
kepentingan, maka penyalahgunaan akan selalu terjadi dan korupsi akan
selalu marak. Namun, bila kekuasaan berasal dari amanah sang Pencipta,
ada relasi spiritual, maka pengawasan tidak hanya bersifat duniawi;
kekuasaan akan digunakan untuk menjalan amanah dari sang Pencipta.
Demokrasi dan Integrasi Masyarakat
Demokrasi digembar-gemborkan sebagai sistem yang compatible dengan
masyarakat majemuk. Pluralitas masyarakat membutuhkan sistem yang dapat
menjamin setiap aspirasi rakyat. Dalam demokrasi, katanya, tidak ada
dominasi dan hegemoni mayoritas terhadap minoritas, sehingga akan
tercapai suatu konsensus dengan prosedur demokrasi yang disepakati
bersama.
Namun yang terjadi malah sebaliknya,
prosedur demokrasi adalah kesepakatan yang kadang tidak disepakati oleh
semua pihak. Alih-alih menciptakan integrasi masyarakat, demokrasi malah
melahirkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya konflik
horisontal antarmasyarakat, prosedur demokrasi juga melahirkan konflik
vertikal antara elit dengan masyarakat luas.
Demokrasi dan Diskriminasi Masyarakat
Prinsip demokrasi secara prosedural
dibuat sebagai mekanisme penyaluran aspirasi dan perwujudan keinginan
bersama. Melalui demokrasi, kehendak rakyat, bahkan kedaula-tan rakyat,
diwujudkan. Semestinya dengan mekanisme demokrasi, mayoritaslah yang
memegang kehendak karena merekalah yang menguasai kekuasaan ketika
prosedur itu dijalankan.
Namun yang terjadi, kadang demokrasi
menimbulkan anomali lain, yakni adanya tirani minoritas. Kontradiksi
antara mayoritas yang diam (silent majority) dengan minoritas yang tirani (tyrani minority)
melahirkan kondisi bahwa tidak selalu keinginan atau kehendak mayoritas
yang harus dijalankan. Bila mayoritas masyarakat diam, bisa jadi yang
sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat adalah kalangan minoritas
sehingga terjadilah tirani minoritas. Jadinya, kaum mayoritas gagal
terayomi bahkan terlindungi. Mereka malah menjadi korban dari kalangan
minoritas. Inilah kontradiksi dari demokrasi.
Demokrasi dan Kemandirian Politik
Demokrasi sebagai tren dunia adalah sistem yang trial and error.
Tidak ada bentuk ideal dari sistem demokrasi ini, di belahan bumi
manapun. Namun demikian, negara-negara yang memiliki kepentingan
terhadap proses demokratisasi berupaya membuat standar sesuai dengan
keinginan mereka. Salah satu contohnya adalah democracy index.
Dibuatlah seolah-olah ada standar demokrasi yang harus diseragamkan
secara mendunia; dinilai dan dievaluasi tanpa menyentuh esensi dari
demokrasi itu sendiri.
Hal ini melahirkan kebergantungan kepada
negara lain. Seolah-oleh suatu negara harus membebek kepada negara
lain. Seakan tidak boleh ada negara yang tidak menganut demokrasi. Bila
ada maka harus dilakukan proses demokratisasi di sana, tanpa peduli
rakyatnya paham atau tidak, rakyatnya suka atau tidak. Setelah hal itu
dapat dilakukan, terjadilah kebergantungan (dependecy) dari negara tersebut kepada negara yang dia ikuti.
Demokrasi dan Pertahanan Aset Negara
Demokrasi yang merupakan turunan dari
Kapitalisme adalah cara legal yang menjadi justifikasi atas perampokan
harta rakyat. Dengan berdalih pada keputusan wakil rakyat, muncullah
berbagai perundangan yang isinya justru merampas dan menguras kekayaan
rakyat. Hal ini terjadi karena para wakil rakyat yang harusnya menjadi
wakil rakyat, ketika menyusun perundang-undangan malah menjadi wakil
kaum kapitalis yang sedari awal menanam sahamnya di dunia politik agar
kepentingannya tetap terjaga.
Jadilah melalui demokrasi aset dan
kekayaan negara terkuras habis, diputuskan untuk diprivatisasi dan
dikuasai oleh swasta. Anggaran negara menjadi bancakan proyek-proyek
yang minim dalam mensejahterakan rakyat namun justru menjadi sarana
untuk memupuk kekayaan swasta yang bermain di sana.
Demokrasi dan Masyarakat Bertakwa
Demokrasi adalah sistem paganis, sistem
yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum, bukan sang Pencipta.
Melalui sistem demokrasi, hawa nafsu manusia senantiasa mendapatkan
salurannya dan pembenarannya.
Bagaimana bisa membangun masyarakat yang
bertakwa ketika negara menyerahkan ketakwaan hanya menjadi persoalan
personal dan invididual, saat kebenaran dan kebatilan dibiarkan
bertarung secara bebas? Akibatnya, dalam sistem demokrasi,
individu-individu jauh dari nilai-nilai ketuhanan karena negara abai
terlibat untuk menjaga masyarakatnya.
Demokrasi dan Keberpihakan pada Islam dan Umat Islam
Demokrasi dan Islam adalah dua sisi yang
saling bertolak belakang. Demokrasi menjadikan manusia sebagai tuhan,
sedangkan Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang harus
tunduk pada sang Pencipta alam semesta, tuhannya yang hakiki.
Maka dari itu, tidak aneh bila demokrasi
tidak memiliki keberpihakan terhadap Islam. Bahkan Islam hanya
dijadikan stempel bagi penerapan sistem demokrasi. Tidak ada tempat bagi
Islam dalam sistem demokrasi kecuali menjadi korban dan dikorbankan.
Demikian juga bagi umat Islam. Umat mengira bahwa Islam bisa diterapkan
melalui demokrasi. Umat mengira bahwa demokrasi membuka peluang untuk
beraspirasi, menerapkan hukum-hukum Allah. Namun, kenyataaanya tidak.
Sekali lagi tidak ada tempat bagi Islam dan umat Islam dalam sistem
demokrasi.
Apa yang terjadi di Mesir dan Aljazair
semestinya menjadi pelajaran bagi kita bahwa memanfaatkan demokrasi
untuk Islam akan berujung pada pengkhianatan demokrasi itu sendiri.
Pasalnya, demokrasi tidak menghendaki sistemnya hancur. Ia memiliki
imunitas walau dengan cara-cara yang tidak demokratis seperti kudeta dan
kecurangan-kecurangan.
Penutup
Demikianlah, demokrasi adalah sistem yang gagal (failed system);
gagal sedari konsep awalnya, gagal dalam proses penerapannya, dan gagal
dalam mencapai tujuannya yang utopis. Tidak layak umat Islam sebagai khayru ummah menerapkan demokrasi. Maka dari itu, tinggalkanlah demokrasi, terapkan Islam! Hanya Islam, bukan lainnya. WalLahu’alam. [Dari berbagai sumber]
[H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si.; Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Unikom Bandung]
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar